Lompat ke isi

Ibnu Qutaibah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP47Dhorifah (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
k top: Menambah kotak info
 
(32 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox orang}}
{{inuseBP|BP47Dhorifah|27 Juni 2014|1 April 2014}}
[[Berkas:Al Ma'arif.jpg|jmpl|ka|300px|Al Ma'arif merupakan karangan terkenal milik Ibnu Qutaibah]]


'''Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Maruzi al-Dinawari''' (lahir 213 [[Kalender hijriyah|H]] ({{circa}} 828) – wafat Rajab 276 H (889)) adalah seorang ahli [[sejarah]] [[politik]].{{sfn|Syamsuddin|1431 H}}<ref name="Ilmy">Ilmy, Bachrul (2007).''Pendidikan Agama Islam''. Bandung: PT Grafindo Media Pratama. Hal 142</ref> Dia juga adalah seorang [[cendekiawan]] [[Islam]] dan pakar [[bahasa]] [[Arab]] serta pembela [[ahli]] [[hadits]].<ref name="Ilmy"/><ref name="Ainol">Radzi, Khusyairi Ainol (2005).''Cerita-cerita Motivasi untuk Iman''. Kuala Lumpur: PTS Millennia. SDN. BHD. Hal 64 Cet.3</ref><ref name="Ismail">Ismail, Nurjannah (2003). ''Perempuan dalam pasungan: Bias laki-laki dalam penafsiran''. Yogyakarta: LKiS. Hal 99</ref> Para [[sejarawan]] berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya.<ref name="Ibnu">Qutaibah, Ibnu.''www.pondokpesantren.net'' diakses tanggal 15 April 2014</ref> Menurut [[Ibnu Khallikan]], dia lahir di [[Baghdad]], sedangkan menurut [[Ibnu an-Nadim|An-Nadim]] dan [[Ibnu al-Anbar]] dia lahir di [[Kufah]] pada awal [[Rajab]] tahun 313 H.<ref name="Ibnu"/>
{{Infobox Ilmuwan Muslim |


Dari keluarga berkebangsaan [[Persia]] yang menetap di Kota [[Marw]], Ibnu Qutaibah tumbuh dan besar di Kota [[Baghdad]].{{sfn|Syamsuddin|1431 H}} Ibnu Qutaibah berguru kepada ulama-ulama besar, seperti [[Ishaq bin Rahawaih|Ibnu Rahawaih]].{{sfn|Syamsuddin|1431 H}} Karya tulisnya mencapai lebih dari lima puluh judul.{{sfn|Syamsuddin|1431 H}} Di antaranya adalah ''Ta’wīl Musykil al-Qur’ān'' dalam masalah [[Tafsir Al-Qur'an|tafsir]]{{sfn|Syamsuddin|1431 H}} dan ''al-Ma‘ārif'' yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab (terdiri dari empat volume).<ref name="Wahid">Wahid, Abdurrahman (2001).''Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren''. Yogyakarta: LKiS. Hal 220</ref> Ibnu Qutaibah mendapat nisbah dengan kota Dinawar, tempat dia tinggal dalam waktu lama untuk menjabat sebagai hakim.{{sfn|Al-Kinani|n.d.|loc=I/7-8}}
notability = Ilmuwan Muslim|
era = [[Islamic golden age]]|


== Pemikiran ==
image = |
caption = |


Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan [[Al-Jahith]], seorang [[teolog]] terkemuka dari kalangan [[Muktazilah]].<ref name="Ismail"/> Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli [[Sunnah]] sebagaimana yang dikatakan oleh [[Ibnu Taimiyah]].<ref name="Ismail"/>
name = '''Abū Muhammad Abd-Allāh ibn Muslim ibn Qutayba al-Dīnawarī al-Marwazī'''|
title= '''ibn Qutaybah'''|
birth_date = 828CE, 213 AH|
death_date = 885CE, 276 AH|
Maddhab = [[Sunni]]|
school_tradition|= |
region = |
notable_ideas= |
main_interests = [[politics]], [[history]], [[Tafsir]], [[Hadith]], [[Kalam]] and [[Arabic literature]]|
influences = |
influenced = |
works = ''Training of the Secretary'', ''`Uyun al-akhbar'', ''Gharīb al-Qur’ān''|
}}


=== Konsep tentang Qadha ===


Menurut Ibnu Qutaibah, [[qadha]] ialah [[hukum]], ciptaan, kepastian, dan penjelasan.<ref name="Ezza">Ezza, Abu (2012).''Setiap Doa Pasti Allah Kalbukan''.Jakarta:Qultum Media.Hal 58</ref> Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.<ref name="Ezza"/> Qadha terbagi menjadi dua, yakni ''qadha mahtum'' (definitif)dan ''qadha ghairu mahtum'' (tidak definitif).<ref name="Ezza"/> [[Qadha mahtum]] adalah sebuah [[takdir]] pasti yang tidak bisa diubah, [[Allah]] bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.<ref name="Ezza"/> Hal ini misalnya disebutkan dalam [[Surat]] Al Kahfi [[ayat]] 29: ''Allah menciptakan [[manusia]] sebagai [[makhluk]] yang bebas dalam bertindak dan menetukan [[nasib]]nya sendiri.<ref name="Ezza"/> Kemudian [[qadha ghairu mahtum]] adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan mengubah [[takdir]] seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.<ref name="Ezza"/>
Ibnu Qutaibah adalah seorang ahli sejarah politik.<ref name="Ilmy"> Ilmy, Bachrul (2007).''Pendidikan Agama Islam''.Bandung:PT Grafindo Media Pratama.Hal 142 </ref> Dia juga adalah seorang [[cendekiawan]] [[Islam]] dan pakar [[bahasa]] [[Arab]] serta pembela ahli hadits.<ref name="Ilmy"/> <ref name="Ainol"> Radzi, Khusyairi Ainol (2005).''Cerita-cerita Motivasi untuk Iman''.Kuala Lumpur:PTS Millennia.SDN. BHD. Hal64 Cet.3 </ref> <ref name="Ismail"> Ismail, Nurjannah (2003).''Perempuan dalam pasungan:Bias laki-laki dalam penafsiran''.Yogyakarta:LKiS. Hal 99 </ref> Ibnu Qutaibah lahir pada tahun 828 M dan meninggal pada tahun 889 M.<ref name="Ismail"/> Namun, para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya.<ref name"net"> www.pondokpesantren, net </ref> Menurut Ibnu Khalikan, ia lahir di Baghdad, sedangkan menurut an-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di Kufah pada awal Rajab tahun 313 H.<ref name="net"/>


==Konsep Pemikiran==
=== Konsep Ibadah ===


Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada [[pluralitas]] [[jalan]] menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Baginya, [[jalan]] menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas [[shalat]] malam, [[puasa]] terus menerus, mengetahui mana yang [[halal]] dan mana yang [[haram]], tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar.<ref name="Ibnu"/> Kemaslahatan [[agama]] terkait dengan kemaslahatan [[zaman]], kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.<ref name="Ibnu"/>
Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan Muktazilah.<ref name="Ismail"/> Kendatipun demikian, Ibnu Qutaibah berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli [[Sunnah]] sebagaimana yang dikatakan oleh [[Ibnu Taimiyah]].<ref name="Ismail"/>


Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas [[shalat]], [[puasa]], dan [[zakat]], tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Dengan kata lain, [[etika]] yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita [[wushul ilallah]] (sampai kepada Allah).<ref name="Ibnu"/>
===Konsep tentang Qadha===


=== Konsep Al-Iktiwa ===
Menurut Ibnu Qutaibah, [[qadha]] ialah [[hukum]], ciptaan, kepastian, dan penjelasan.<ref name="Ezza"> Ezza, Abu (2012).''Setiap Doa Pasti Allah Kalbukan''.Jakarta:Qultum Media.Hal 58 </ref> Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.<ref name="Ezza"/> Qadha terbagi menjadi dua, yakni ''qadha mahtum'' (definitif)dan ''qadha ghairu mahtum'' (tidak definitif).<ref name="Ezza"/> Qadha mahtum adalah sebuah [[takdir]] pasti yang tidak bisa dirubah, [[Allah]] bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.<ref name="Ezza"/> Hal ini misalnya disebutkan dalam [[Surat]] Al Kahfi [[ayat]] 29: ''Allah menciptakan [[manusia]] sebagai [[makhluk]] yang bebas dalam bertindak dan menetukan [[nasib]]nya sendiri.<ref name="Ezza"/> Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan merubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.<ref name="Ezza"/>


[[Al Iktiwa]] adalah memanaskan [[besi]] dengan menggunakan [[api]] dengan tujuan pengobatan.<ref name="Adnan">Tharsyah, Adnan (2006).''Yang Disukai Nabi SAW dan yang Tidak Disukai''.Jakarta:Gema Insani. Hal 442-443</ref> Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam.<ref name="Adnan"/> Pertama, iktiwa pada anggota [[tubuh]] yang [[sehat]] di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami [[sakit]].<ref name="Adnan"/> Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan [[sehat]].<ref name="Adnan"/> Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.<ref name="Adnan"/> Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.<ref name="Adnan"/> Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan [[api]] untuk pengobatan pada anggota [[tubuh]] yang belum jelas sakitnya.<ref name="Adnan"/>
===Konsep Ibadah===


=== Konsep Penafsiran AlQuran ===
Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah. Baginya, [[jalan]] menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas [[shalat]] malam, [[puasa]] terus menerus, mengetahui mana yang [[halal dan mana yang [[haram]], tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar. Kemaslahatan [[agama]] terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.


Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam [[kitab]]nya ''Takwil Musykilu AlQur'an'' tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio.<ref name="Yusuf">{{ar}} Qaradawi, Yusuf (1999).''Berinteraksi dengan AlQur'an''.Jakarta:Gema Insani Press. Terj. Abdul Hayyie Hal 1298-1299 Cet. 1</ref> Ada [[hadits]] [[Nabi]] yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan [[rasio]] adalah perbuatan yang dilarang.<ref name="Yusuf"/> Dalam sebuah [[riwayat]] juga disebutkan bahwa [[sahabat]] dan para pembesar [[ulama]]' [[tabiin]] sangat takut untuk menafsirkan [[Al-Qur'an]] sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar ke[[ilmu]]wan dan ke[[taqwa]]annya sudah tinggi.<ref name="Yusuf"/> Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya.<ref name="Yusuf"/>
Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan [[zakat]], tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah. Dengan kata lain, [[etika]] yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).


===Konsep Al-Iktiwa===
== Referensi ==
{{reflist}}


== Daftar pustaka ==
Al Iktiwa adalah memanaskan [[besi]] dengan menggunakan [[api]] dengan tujuan pengobatan.<ref name="Adnan"> Tharsyah, Adnan (2006).''Yang Disukai Nabi SAW dan yang Tidak Disukai''.Jakarta:Gema Insani. Hal 442-443 </ref> Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam.<ref name="Adnan"/> Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit.<ref name="Adnan"/> Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan [[sehat]].<ref name="Adnan"/> Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.<ref name="Adnan"/> Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.<ref name="Adnan"/> Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan [[api]] untuk pengobatan pada anggota [[tubuh]] yang belum jelas sakitnya.<ref name="Adnan"/>
{{refbegin}}
* {{cite book |ref={{harvid|Al-Kinani|n.d.}} |last=Al-Kinani |first=Ibn Muthraf |title=Al-Qurṭain |year=n.d. |location=Beirut |language=Arab |publisher=Darul Ma'rifah}}
* {{cite book |ref={{harvid|Syamsuddin|1431 H}} |last=Syamsuddin |first=Ibrahim |year=1431 H |title=Ta’wīl Musykil al-Qur’ān |section=Tarjamah Ibn Qutaybah al-Daynawari |publisher=Darul Kutubil 'Ilmiyyah |url=https://www.noor-book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-%D8%AA%D8%A7%D9%88%D9%8A%D9%84-%D9%85%D8%B4%D9%83%D9%84-%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A7%D9%86-%D9%84%D8%A7%D8%A8%D9%86-%D9%82%D8%AA%D9%8A%D8%A8%D9%87-%D8%A7%D8%A8%D8%B1%D8%A7%D9%87%D9%8A%D9%85-%D8%B4%D9%85%D8%B3-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86-pdf}}
{{refend}}
{{Authority control}}


[[Kategori:Islam]]
===Konsep Penafsiran AlQuran===
[[Kategori:Ilmuwan]]

Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya ''Takwil Musykilu AlQur'an'' tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio. <ref name="Yusuf"> Qaradawi, Yusuf (1999).''Berinteraksi dengan AlQur'an''.Jakarta:Gema Insani Press. Terj. Abdul Hayyie Hal 1298-1299 Cet. 1 </ref> Ada [[hadits]] [[Nabi]] yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.<ref name="Yusuf"/> Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa [[sahabat ]]dan para pembesar [[ulama]]' tabiin sangat takut untuk menafsirkan AlQuran sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar ke[[ilmu]]wan dan ke[[taqwa]]annya sudah tinggi. <ref name="Yusuf"/> Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya. <ref name="Yusuf"/>

==Referensi==

{{reflist}}

Revisi terkini sejak 1 Februari 2024 17.50

Infobox orangIbnu Qutaibah
Nama dalam bahasa asli(ar) أبو محمد بن قتيبة الدينوري Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran828 Edit nilai pada Wikidata
Kufah Edit nilai pada Wikidata
Kematian29 Oktober 889 (Kalender Masehi Gregorius) Edit nilai pada Wikidata (60/61 tahun)
Bagdad Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaIslam dan Islam Sunni Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
SpesialisasiSejarah, tafsir al quran, Ulum hadis, Fikih dan Adab (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Pekerjaanteolog, Faqih, Qadi, muhaddith (en) Terjemahkan, sejarawan, mufasir, penulis Edit nilai pada Wikidata
Bekerja diBagdad Edit nilai pada Wikidata
Murid dariIshaq Ibn Rahwayh (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Karya kreatif
Al Ma'arif merupakan karangan terkenal milik Ibnu Qutaibah

Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Maruzi al-Dinawari (lahir 213 H (ca 828) – wafat Rajab 276 H (889)) adalah seorang ahli sejarah politik.[1][2] Dia juga adalah seorang cendekiawan Islam dan pakar bahasa Arab serta pembela ahli hadits.[2][3][4] Para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya.[5] Menurut Ibnu Khallikan, dia lahir di Baghdad, sedangkan menurut An-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di Kufah pada awal Rajab tahun 313 H.[5]

Dari keluarga berkebangsaan Persia yang menetap di Kota Marw, Ibnu Qutaibah tumbuh dan besar di Kota Baghdad.[1] Ibnu Qutaibah berguru kepada ulama-ulama besar, seperti Ibnu Rahawaih.[1] Karya tulisnya mencapai lebih dari lima puluh judul.[1] Di antaranya adalah Ta’wīl Musykil al-Qur’ān dalam masalah tafsir[1] dan al-Ma‘ārif yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab (terdiri dari empat volume).[6] Ibnu Qutaibah mendapat nisbah dengan kota Dinawar, tempat dia tinggal dalam waktu lama untuk menjabat sebagai hakim.[7]

Pemikiran

[sunting | sunting sumber]

Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan Al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan Muktazilah.[4] Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.[4]

Konsep tentang Qadha

[sunting | sunting sumber]

Menurut Ibnu Qutaibah, qadha ialah hukum, ciptaan, kepastian, dan penjelasan.[8] Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.[8] Qadha terbagi menjadi dua, yakni qadha mahtum (definitif)dan qadha ghairu mahtum (tidak definitif).[8] Qadha mahtum adalah sebuah takdir pasti yang tidak bisa diubah, Allah bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.[8] Hal ini misalnya disebutkan dalam Surat Al Kahfi ayat 29: Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas dalam bertindak dan menetukan nasibnya sendiri.[8] Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan mengubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.[8]

Konsep Ibadah

[sunting | sunting sumber]

Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah.[5] Baginya, jalan menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas shalat malam, puasa terus menerus, mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar.[5] Kemaslahatan agama terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.[5]

Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan zakat, tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah.[5] Dengan kata lain, etika yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).[5]

Konsep Al-Iktiwa

[sunting | sunting sumber]

Al Iktiwa adalah memanaskan besi dengan menggunakan api dengan tujuan pengobatan.[9] Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam.[9] Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit.[9] Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan sehat.[9] Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.[9] Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.[9] Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan api untuk pengobatan pada anggota tubuh yang belum jelas sakitnya.[9]

Konsep Penafsiran AlQuran

[sunting | sunting sumber]

Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya Takwil Musykilu AlQur'an tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio.[10] Ada hadits Nabi yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.[10] Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa sahabat dan para pembesar ulama' tabiin sangat takut untuk menafsirkan Al-Qur'an sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar keilmuwan dan ketaqwaannya sudah tinggi.[10] Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya.[10]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e Syamsuddin 1431 H.
  2. ^ a b Ilmy, Bachrul (2007).Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Grafindo Media Pratama. Hal 142
  3. ^ Radzi, Khusyairi Ainol (2005).Cerita-cerita Motivasi untuk Iman. Kuala Lumpur: PTS Millennia. SDN. BHD. Hal 64 Cet.3
  4. ^ a b c Ismail, Nurjannah (2003). Perempuan dalam pasungan: Bias laki-laki dalam penafsiran. Yogyakarta: LKiS. Hal 99
  5. ^ a b c d e f g Qutaibah, Ibnu.www.pondokpesantren.net diakses tanggal 15 April 2014
  6. ^ Wahid, Abdurrahman (2001).Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS. Hal 220
  7. ^ Al-Kinani n.d., I/7-8.
  8. ^ a b c d e f Ezza, Abu (2012).Setiap Doa Pasti Allah Kalbukan.Jakarta:Qultum Media.Hal 58
  9. ^ a b c d e f g Tharsyah, Adnan (2006).Yang Disukai Nabi SAW dan yang Tidak Disukai.Jakarta:Gema Insani. Hal 442-443
  10. ^ a b c d (Arab) Qaradawi, Yusuf (1999).Berinteraksi dengan AlQur'an.Jakarta:Gema Insani Press. Terj. Abdul Hayyie Hal 1298-1299 Cet. 1

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Al-Kinani, Ibn Muthraf (n.d.). Al-Qurṭain (dalam bahasa Arab). Beirut: Darul Ma'rifah. 
  • Syamsuddin, Ibrahim (1431 H). "Tarjamah Ibn Qutaybah al-Daynawari". Ta’wīl Musykil al-Qur’ān. Darul Kutubil 'Ilmiyyah.