Lompat ke isi

Daan Mogot: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Hdtarmanp620 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(48 revisi perantara oleh 30 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Nama Minahasa|'[[Marga Minahasa#M|Mogot]]'}}{{nofootnote}}
{{rapikan}}
{{Infobox military person
<!-- untuk sementara heading-nya di tutup dulu, hingga di temukan paragraf yang sesuai
|name = Daan Mogot
== Mayor Daan Mogot (1928-1946): Pendiri & Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) ==
-->


|image = Daan_Mogot_1.jpg
[[Berkas:Daan_Mogot_1.jpg|thumb|180px|Elias Daniel Mogot]]
|caption =
'''Daan Mogot''' ({{lahirmati|[[Kota Manado|Manado]]|28|12|1928|Lengkong, Tangerang|25|1|1946}}) adalah seorang pejuang dan pelatih anggota [[PETA]] di [[Bali]] dan [[Jakarta]] pada tahun [[1942]]. Setelah [[Perang Dunia ke-2]] selesai, ia menjadi Komandan [[TKR]] di Jakarta dengan pangkat [[Mayor]]. Bulan November 1945 menjadi pendiri sekaligus Direktur Pertama [[Akademi Militer Tangerang]] (MAT) dalam usia 17 tahun. Ia gugur di Hutan [[Lengkong]] bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara [[Jepang]] saat hendak melucuti senjata mereka di Hutan Lengkong di [[Tangerang]].
|birth_date = {{birth date|1927|12|28}}
|death_date = {{death date and age|1946|1|25|1927|12|28}}
|birth_place = [[Manado]], [[Sulawesi Utara]], [[Hindia Belanda]]
|death_place = [[Tangerang]], [[Indonesia]]
|birth_name = Elias Daniel Mogot
|placeofburial = Taman Makam Pahlawan Taruna
|placeofburial_label =
|placeofburial_coordinates = <!-- {{Coord|LAT|LONG|display=inline,title}} -->
|nickname = Daan Mogot
|branch = [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR)
|serviceyears = 1945-1946
|rank = Mayor
|servicenumber =
|unit =
|commands = Militaire Academie Tangerang (MAT)
|relations =
|laterwork =
|signature =
}}
'''Elias Daniel Mogot''', atau lebih dikenal dengan nama '''Daan Mogot''' ({{lahirmati|[[Kota Manado|Manado]], [[Sulawesi Utara]]|28|12|1927|Lengkong, [[Tangerang Selatan]], [[Banten]]|25|1|1946}}), adalah seorang pejuang kemerdekaan [[Indonesia]] dan mantan anggota (dan pelatih) [[PETA]] di [[Bali]] dan [[Jakarta]] pada tahun [[1942]]-[[1945]]. Setelah [[Perang Dunia ke-2]] selesai, ia menjadi Komandan [[TKR]] di Jakarta dengan pangkat [[Mayor]]. Bulan November [[1945]] mendirikan sekaligus menjadi Direktur Pertama [[Akademi Militer Tangerang]] (MAT) dalam usia 18 tahun. Ia gugur di Hutan Lengkong, di [[Tangerang Selatan|selatan Kota Tangerang]], bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara [[Jepang]] saat hendak melucuti senjata mereka di Hutan Lengkong di [[Tangerang]].


== Biografi ==
== Biografi ==
Daan Mogot lahir di Manado pada tanggal 28 Desember 1928 dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien) dengan nama Elias Daniel Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel [[Alex Kawilarang]] (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut).


=== Masa Kecilnya ===
Pada tahun 1939, yaitu ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (Jakarta sekarang) dan menempati rumah di Van Heutsz Plein yang sekarang bernama Jalan Cut Meutiah – Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota [[VOLKSRAAD]] (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang.
Daan Mogot lahir di [[Kota Manado|Manado]], [[Sulawesi Utara]], pada tanggal [[28 Desember]] [[1927]] dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien), diberi nama Elias Daniel Mogot dan dipanggil Daan Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel [[Alex Kawilarang]] (Panglima [[Divisi Siliwangi]], serta pendiri [[Komando Pasukan Khusus]]) dan Inspektur Jenderal Polisi A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulawesi Utara serta Kadiv Propam Mabes Polri).


Pada tahun [[1939]], ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke [[Batavia]] (sekarang [[Jakarta]]) dan menempati rumah di ''Van Heutsz Plein'' (sekarang bernama Jalan Cut Mutia di [[Jakarta Pusat]]). Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota [[Volksraad]] (Dewan Rakyat [[Hindia Belanda]]). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara [[Lembaga Pemasyarakatan Cipinang|Cipinang]] di timur [[Meester Cornelis]] (sekarang [[Jatinegara, Jakarta Timur]]).
Pada masa Pendudukan Jepang, ia masuk dalam organisasi militer pribumi bentukan Jepang di Jawa, yaitu Pembela Tanah Air atau PETA. Waktu itu tahun 1942, ia menjadi anggota PETA angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun. Waktu itu ia berumur 14 tahun.


=== Bergabung dengan PETA di Masa Pendudukan Jepang ===
Karena prestasinya, ia diangkat menjadi pelatih anggota PETA di Bali, kemudian dipindahkan di Jakarta. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat sejati yaitu [[Kemal Idris]] dan [[Zulkifli Lubis]].
Pada tahun [[1942]], [[Jepang]] menduduki [[Hindia Belanda]]. Pada tahun itu juga, pemuda Daan Mogot direkrut ke ''Seinen Dojo'', pasukan paramiliter pribumi bentukan Jepang di Tangerang. Di pasukan tersebut, Daan menjadi angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun, ia waktu itu masih berumur 14 tahun. Namun karena kepandaiannya dan prestasinya selama pendidikan militer, Daan justru dipromosikan menjadi pembantu instruktur [[Pembela Tanah Air|Pembela Tanah Air (PETA)]] di [[Bali]] pada tahun [[1943]]. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat karib, yaitu [[Kemal Idris]] dan [[Zulkifli Lubis]]. Mereka bertemu saat bersama 47 orang lainnya mengikuti pendidikan gerilya (“''guerilla warfare''”) di bawah pimpinan [[Kapten]] Yanagawa. Selain mereka, peserta lainnya adalah Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Satibi Darwis dan Effendi.


Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih para calon anggota PETA di Bali. Jepang mengganggap Bali sebagai daerah pertahanan strategis dan tempat pendaratan potensial bagi musuh. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah-daerah [[Tabanan]], Negara dan [[Kabupaten Klungkung|Klungkung]]. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di [[Tabanan]], Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah tempat tugasnya, tetapi mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah penjajahan. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna menghadapi serangan musuh di pantai.
Mereka yang berasal dari Seinen Dojo oleh instruktur Jepang diangkat sebagi Instruktur Pembantu. Sebab, latihan yang akan diberikan kepada mereka jauh lebih ringan dari latihan yang pernah diterima pada masa Seinen Dojo di Tangerang. Pendidikan dan latihan itu dapat terlaksana sampai empat angkatan. Angkatan pertama mulai bulan Desember 1943 dan angkatan keempat, terakhir selesai bulan Juli 1945, sebelum Jepang takluk pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.


Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun [[1944]] mereka harus berpisah. Daan Mogot, bersama 3 orang Shodancho lainnya harus kembali ke [[Jawa]], sedangkan [[Zulkifli Lubis]] dan [[Kemal Idris]] yang tetap tinggal di Bali. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA, memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang ketentaraan. Sedangkan Daan ditempatkan sebagai Staf Markas Besar PETA di [[Jakarta]] hingga Jepang menyerah pada [[15 Agustus]] [[1945]].
Ada 50 orang yang diambil dari peserta latihan angkatan pertama untuk mengikuti pendidikan “guerilla warfare” di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Di antara mereka yang ikut latihan khusus itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Satibi Darwis dan Effendi. Jenis latihan yang diberikan antara lain bagaimana cara memelihara burung merpati, karena burung itu dapat dipergunakan untuk alat komunikasi. Di samping itu mereka dilatih bagaimana menggunakan senjata yang baik untuk menghadapi lawan.


=== Bergabung dengan BKR di Masa Kemerdekaan Indonesia ===
Setelah ke-50 orang itu dilantik menjadi perwira, mereka tidak lagi bertugas sebagai Instruktur Pembantu, melainkan menjadi Shodancho.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal [[17 Agustus]] [[1945]], Daan Mogot bergabung dengan [[BKR|Barisan Keamanan Rakyat (BKR)]]<ref>Dibentuk pada [[23 Agustus]] [[1945]], kemudian diubah namanya menjadi [[Tentara Keamanan Rakyat|Tentara Keamanan Rakyat (TKR)]] pada [[5 Oktober]] [[1945]],</ref> dan mendapat pangkat [[Mayor]]. Ini hal yang menarik, mengingat usia Daan Mogot saat itu baru 16 tahun. Daan Mogot bertugas di bawah Letnan Kolonel [[Moeffreni Moe'min]], seorang mantan ''Daidanco'' PETA dari Daidan I Jakarta, Pasukan yang menaungi wilayah Karesidenan Jakarta bermarkas di Jalan Cilacap No. 5. Sejumlah perwira ex-PETA yang bergabung di pasukan tersebut, antara lain Singgih, [[Daan Jahja]], [[Kemal Idris]], Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen [[Cikampek, Karawang|Cikampek]]), Darsono (Resimen Cikampek), dan lain-lain.


=== Mendirikan Akademi Militer Tangerang ===
Setelah dilantik menjadi perwira PETA, masing-masing perwira dikembalikan ke daerah asalnya. Di Bali, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan serta melatih para calon PETA di sana. Alasan Jepang mendirikan PETA di Bali, karena Bali dianggap merupakan daerah pertahanan dan tempat pendaratan. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah Nagara dan Klungkung. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di [[Tabanan]], Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah tempat tugasnya, namun mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah telapak penjajah. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna menghadapi serangan musuh di pantai. Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun selanjutnya mereka harus berpisah. Empat orang [[Shodancho]] harus kembali ke [[Jawa]], sedangkan Daan Mogot, [[Zulkifli Lubis]], dan [[Kemal Idris]] yang tetap tinggal. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA, memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang ketentaraan.
Berbekal pengalamannya sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot, bersama rekan-rekannya sesama perwira menengah TKR, seperti Kemal Idris, Daan Jachja dan Taswin, menggagas pendirian akademi militer untuk melatih calon-calon perwira TKR dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Gagasannya ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta dan pada [[18 November]] [[1945]] berdirilah ''Militaire Academie'' Tangerang (MAT), dan Daan Mogot pun dilantik sebagai Direktur.


Pada tahap awal direkrutlah 180 orang calon kadet angkatan pertama yang akan dilatih menjadi perwira. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Mereka dipersiapkan menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain [[Kapten]] Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, dan Sersan Sirodz.
Pada tahun 1945 ketika Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Ini suatu keunikan pada masa itu, karena Mayor Daan Mogot baru berusia 16 tahun


Pada saat yang hampir bersamaan, yaitu pada tanggal [[5 November]] [[1945]], di Yogyakarta juga berdiri sebuah Militaire Academie Yogya (MAY).
Di sana Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Keresidenan Jakarta, empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya. Sejumlah perwira yang bergerak di situ adalah Singgih, Daan Yahya, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen Cikampek), Darsono (Resimen Cikampek), dan lain-lain.


=== Pertempuran Lengkong ===
Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman [[revolusi]] [[perang]] mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan Lengkong-Serpong Tangerang Banten, ketika Taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang tanggal 25 Januari 1946.
Pada tanggal [[24 Januari]] [[1946]], Kepala Staf [[Resimen]] IV Tangerang [[Mayor]] [[Daan Jahja]] menerima informasi intelijen bahwa pasukan [[Belanda]] dan [[Koninklijk Nederlands-Indische Leger|KNIL]] sudah menduduki [[Parung, Bogor|Parung]] dan akan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki Belanda bulan Maret 1946). Gerakan militer Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.


Tanggal [[25 Januari]] [[1946]] sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada Komandan Resimen IV Tangerang Letnan Kolonel Singgih, berangkatlah pasukan di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70kadet MA Tangerang dan 8 tentara [[Gurkha]]. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira, yaitu Mayor Wibowo, [[Letnan Satu]] [[Soebianto Djojohadikoesoemo]] dan Letnan Satu Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira [[Corps Polisi Militer|Corps Polisi Militer (CPM)]]. Strategi ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata tentara Jepang yang sudah menyerah tidak jatuh ke tangan kepada tentara Belanda.
Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan rela gugur di medan pertempuran, ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda.
<!--
Suatu ketika, Mayor Daan Mogot bertemu dengan sepupunya Alex Kawilarang. Dengan mengenakan peci hijau, ia menuruni sepeda motornya. Pemuda berusia 17 tahun itu kemudian dijemput oleh Alex di pinggir jalan, dan ia pun menunjukkan muka gembira. Pertemuan yang hangat terjadi. Kemudian mereka mengobrol di dalam rumah. Daan Mogot bercerita bahwa ia sekarang tinggal di Jalan Asem Baru, menumpang pada keluarga Singgih. Segera disambungnya cerita mengenai perjuangan. Tentang serangan di Pondok Gede. Ia juga cerita tentang ayahnya yang baru saja dibunuh, tidak diketahui dengan pasti oleh siapa. “Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex. “Memang, itu yang mesti torang bereskan. Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe tangan” sambung Daan. Katanya lagi kepada Alex, “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas, hati-hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana kita berada.”


Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di depot senjata Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Kadet MAT diserahkan kepada Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo untuk menunggu di luar.
Lalu Daan bercerita pula mengenai pemikirannya tentang sebuah perguruan untuk mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara, yang kemudian ternyata terlaksana, ialah didirikannya “militer akademi” (akademi militer) pada tanggal 18 November 1945 di Tangerang.
-->


Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini, Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang pelucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo sudah mengerahkan para kadet memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana. Sementara sekitar 40 orang tentara Jepang yang ada di depot tersebut dikumpulkan di lapangan.
Sebagai sponsor terwujudnya gagasan mendirikan sekolah akademi militer, maka tanggal 18 November 1945 ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang diangan-angankan oleh Daan Mogot.


Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan Kadet MAT yang terjebak. Tentara Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya dan berbaris di lapangan lantas berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.
Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.


Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Kadet MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur satu lawan satu.
Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di staf sedangkan Kemal Idris di pasukan.


Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran, tetapi upaya tersebut tidak berhasil. Mayor Daan Mogot segera memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan depot tentara Jepang tersebut dan mundur ke hutan karet di sekitarnya. Kadet MAT yang berhasil lolos lantas menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang mereka sandang. Seringkali peluru yang dimasukkan ke magazsin tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.
Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.


Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru. Akhirnya 33 kadet dan 3 perwira gugur, sementara 10 kadet luka berat dan Mayor Wibowo beserta 20 kadet lainnya ditawan Jepang. Sedangkan, 3 kadet lainnya: Soedarno, Menod, Oesman Sjarief, berhasil meloloskan diri pada [[26 Januari]] [[1946]] dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi keesokan harinya.
Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.


Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada [[Kempetai]] [[Kota Bogor|Bogor]]. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.
Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
[[Berkas:Monumen Peristiwa Lengkong.JPG|jmpl|Monumen Pertempuran Lengkong, terletak di Jalan Pahlawan Seribu, Lengkong Wetan, [[Serpong, Tangerang Selatan|Serpong]], [[Kota Tangerang Selatan|Tangerang Selatan]], [[Provinsi Banten|Propinsi Banten]], [[Indonesia]].]]
Tanggal [[29 Januari]] [[1946]] di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira militer dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut [[Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri RI]] [[Sutan Sjahrir]], Wakil Menteri Luar Neger [[Agus Salim]], yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut, dan para anggota keluarga kadet yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.<!--
Suatu ketika, Mayor Daan Mogot bertemu dengan sepupunya Alex Kawilarang. Dengan mengenakan peci hijau, ia menuruni sepeda motornya. Pemuda berusia 17 tahun itu kemudian dijemput oleh Alex di pinggir jalan, dan ia pun menunjukkan muka gembira. Pertemuan yang hangat terjadi. Kemudian mereka mengobrol di dalam rumah. Daan Mogot bercerita bahwa ia sekarang tinggal di Jalan Asem Baru, menumpang pada keluarga Singgih. Segera disambungnya cerita mengenai perjuangan. Tentang serangan di Pondok Gede. Ia juga cerita tentang ayahnya yang baru saja dibunuh, tidak diketahui dengan pasti oleh siapa. “Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex. “Memang, itu yang mesti torang bereskan. Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe tangan” sambung Daan. Katanya lagi kepada Alex, “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas, hati-hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana kita berada.”


Lalu Daan bercerita pula mengenai pemikirannya tentang sebuah perguruan untuk mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara, yang kemudian ternyata terlaksana, ialah didirikannya “militer akademi” (akademi militer) pada tanggal 18 November 1945 di Tangerang.
Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan.
-->


== Penutup ==
Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.
Nama Daan Mogot diabadikan sebagai nama jalan yang menghubungkan Grogol dan [[Cengkareng, Jakarta Barat|Cengkareng]] di [[Kota Administrasi Jakarta Barat|Jakarta Barat]] dengan kota Tangerang. Sementara, di tempat pertempuran Lengkong tersebut, dibangun monumen peringatan. Kisah Pertempuran Lengkong dijadikan dasar penulisan skenario film [[Merah Putih (film)|Merah Putih (2009)]].


Ironisnya, sementara Daan Mogot berjuang gugur di medan pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ayahnya justru tewas dibunuh gerombolan perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang [[Minahasa]]) sebagai londo-londo (antek-antek) Belanda.
Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.


== Biodata singkat ==
Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong.


* Nama: Elias Daniel Mogot;
Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.
* Nama populer: [[Mayor]] Daan Mogot;
* Tempat/tgl lahir: [[Kota Manado|Manado]], [[28 Desember]] [[1927]];
* Tempat/tgl meninggal: [[Kabupaten Tangerang|Tangerang]], [[25 Januari]] [[1946]];
* Keluarga: Ayah: Nicolaas Mogot (Nico); <br /> Ibu: Emilia Inkiriwang (Mien); <br /> Saudara: Kakak: Evert, Lilly, Hetty, Eddy; <br /> Adik: Fietje, Tilly;


Pengalaman:
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
* 1942-1943: Anggota ''Seinen Dojo'' angkatan pertama;
* 1943: Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1;
* 1943-1944: ''Shodancho'' PETA di Bali;
* 1944-1945: Staf Markas PETA (''Gyugun Sidobu'') di Jakarta;
* 1945: Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor);
* 1945-1946: Pendiri/Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT)


== Referensi ==
Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
{{reflist}}


== Pranala luar ==
Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas mau diapakan.


* PAHLAWAN MINAHASA: MAYOR DAAN MOGOT - Pendiri dan Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) Oleh Bodewyn Grey Talumewo – Cet. 1 – Tomohon/ Minahasa: Februari 2007)
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI [[Sutan Sjahrir]], Wakil Menlu RI Haji [[Agus Salim]] yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.
* Saleh, R. H. A. (1995) ''Akademi Militer Tangerang Dan Peristiwa Lengkong''. Yayasan Pustaka Nusatama, Jakarta

== Biodata singkat ==
* Nama : Elias Daniel Mogot;
* Nama populer : Mayor Daan Mogot;
* Tempat/tgl lahir : Manado, 28 Desember 1928;
* Tempat/tgl meninggal : Tangerang, 25 Januari 1946;
* Keluarga: Ayah : Nicolaas Mogot (Nico); <br /> Ibu : Emilia Inkiriwang (Mien); <br /> Saudara : Kakak: Evert, Lilly, Hetty, Eddy; <br /> Adik : Fietje, Tilly;

Pengalaman:
* 1942-1943 Anggota Seinen Dojo angkatan pertama;
* 1943 Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1;
* 1943-1944 Shodancho PETA di Bali;
* 1944-1945 Staf Markas PETA (Gyugun Sidobu) di Jakarta;
* 1945 Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor);
* 1945-1946 Pendiri/Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT)

== Pranala luar ==
* PAHLAWAN MINAHASA: MAYOR DAAN MOGOT - Pendiri dan Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) Oleh Bodewyn Grey Talumewo – Cet. 1 – Tomohon/ Minahasa: Februari 2007)''


{{DEFAULTSORT:Mogot, Elias Daniel}}
{{DEFAULTSORT:Mogot, Elias Daniel}}
[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]

[[Kategori:Kematian akibat perang]]
{{lifetime|1928|1946|}}
[[Kategori:Tokoh Minahasa]]

[[Kategori:Marga Mogot]]
[[Kategori:Tokoh Sulawesi Utara]]
[[Kategori:Tokoh Sulawesi Utara]]
[[Kategori:Tokoh dari Manado]]
[[Kategori:Tokoh dari Manado]]
[[Kategori:Tokoh Minahasa]]
[[Kategori:Tokoh Angkatan 45]]
[[Kategori:Tokoh yang gugur dalam perang]]
[[Kategori:Marga Mogot]]

Revisi terkini sejak 5 Maret 2024 12.19

Daan Mogot
Nama lahirElias Daniel Mogot
JulukanDaan Mogot
Lahir(1927-12-28)28 Desember 1927
Manado, Sulawesi Utara, Hindia Belanda
Meninggal25 Januari 1946(1946-01-25) (umur 18)
Tangerang, Indonesia
DikebumikanTaman Makam Pahlawan Taruna
Dinas/cabangTentara Keamanan Rakyat (TKR)
Lama dinas1945-1946
PangkatMayor
KomandanMilitaire Academie Tangerang (MAT)

Elias Daniel Mogot, atau lebih dikenal dengan nama Daan Mogot (28 Desember 1927 – 25 Januari 1946), adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan mantan anggota (dan pelatih) PETA di Bali dan Jakarta pada tahun 1942-1945. Setelah Perang Dunia ke-2 selesai, ia menjadi Komandan TKR di Jakarta dengan pangkat Mayor. Bulan November 1945 mendirikan sekaligus menjadi Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) dalam usia 18 tahun. Ia gugur di Hutan Lengkong, di selatan Kota Tangerang, bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang saat hendak melucuti senjata mereka di Hutan Lengkong di Tangerang.

Masa Kecilnya

[sunting | sunting sumber]

Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 28 Desember 1927 dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien), diberi nama Elias Daniel Mogot dan dipanggil Daan Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex Kawilarang (Panglima Divisi Siliwangi, serta pendiri Komando Pasukan Khusus) dan Inspektur Jenderal Polisi A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulawesi Utara serta Kadiv Propam Mabes Polri).

Pada tahun 1939, ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (sekarang Jakarta) dan menempati rumah di Van Heutsz Plein (sekarang bernama Jalan Cut Mutia di Jakarta Pusat). Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang di timur Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur).

Bergabung dengan PETA di Masa Pendudukan Jepang

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda. Pada tahun itu juga, pemuda Daan Mogot direkrut ke Seinen Dojo, pasukan paramiliter pribumi bentukan Jepang di Tangerang. Di pasukan tersebut, Daan menjadi angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun, ia waktu itu masih berumur 14 tahun. Namun karena kepandaiannya dan prestasinya selama pendidikan militer, Daan justru dipromosikan menjadi pembantu instruktur Pembela Tanah Air (PETA) di Bali pada tahun 1943. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat karib, yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Mereka bertemu saat bersama 47 orang lainnya mengikuti pendidikan gerilya (“guerilla warfare”) di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Selain mereka, peserta lainnya adalah Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Satibi Darwis dan Effendi.

Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih para calon anggota PETA di Bali. Jepang mengganggap Bali sebagai daerah pertahanan strategis dan tempat pendaratan potensial bagi musuh. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah-daerah Tabanan, Negara dan Klungkung. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di Tabanan, Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah tempat tugasnya, tetapi mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah penjajahan. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna menghadapi serangan musuh di pantai.

Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun 1944 mereka harus berpisah. Daan Mogot, bersama 3 orang Shodancho lainnya harus kembali ke Jawa, sedangkan Zulkifli Lubis dan Kemal Idris yang tetap tinggal di Bali. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA, memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang ketentaraan. Sedangkan Daan ditempatkan sebagai Staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945.

Bergabung dengan BKR di Masa Kemerdekaan Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR)[1] dan mendapat pangkat Mayor. Ini hal yang menarik, mengingat usia Daan Mogot saat itu baru 16 tahun. Daan Mogot bertugas di bawah Letnan Kolonel Moeffreni Moe'min, seorang mantan Daidanco PETA dari Daidan I Jakarta, Pasukan yang menaungi wilayah Karesidenan Jakarta bermarkas di Jalan Cilacap No. 5. Sejumlah perwira ex-PETA yang bergabung di pasukan tersebut, antara lain Singgih, Daan Jahja, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen Cikampek), Darsono (Resimen Cikampek), dan lain-lain.

Mendirikan Akademi Militer Tangerang

[sunting | sunting sumber]

Berbekal pengalamannya sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot, bersama rekan-rekannya sesama perwira menengah TKR, seperti Kemal Idris, Daan Jachja dan Taswin, menggagas pendirian akademi militer untuk melatih calon-calon perwira TKR dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Gagasannya ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta dan pada 18 November 1945 berdirilah Militaire Academie Tangerang (MAT), dan Daan Mogot pun dilantik sebagai Direktur.

Pada tahap awal direkrutlah 180 orang calon kadet angkatan pertama yang akan dilatih menjadi perwira. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Mereka dipersiapkan menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, dan Sersan Sirodz.

Pada saat yang hampir bersamaan, yaitu pada tanggal 5 November 1945, di Yogyakarta juga berdiri sebuah Militaire Academie Yogya (MAY).

Pertempuran Lengkong

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 24 Januari 1946, Kepala Staf Resimen IV Tangerang Mayor Daan Jahja menerima informasi intelijen bahwa pasukan Belanda dan KNIL sudah menduduki Parung dan akan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki Belanda bulan Maret 1946). Gerakan militer Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.

Tanggal 25 Januari 1946 sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada Komandan Resimen IV Tangerang Letnan Kolonel Singgih, berangkatlah pasukan di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70kadet MA Tangerang dan 8 tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira, yaitu Mayor Wibowo, Letnan Satu Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Satu Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira Corps Polisi Militer (CPM). Strategi ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata tentara Jepang yang sudah menyerah tidak jatuh ke tangan kepada tentara Belanda.

Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di depot senjata Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Kadet MAT diserahkan kepada Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo untuk menunggu di luar.

Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini, Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang pelucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo sudah mengerahkan para kadet memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana. Sementara sekitar 40 orang tentara Jepang yang ada di depot tersebut dikumpulkan di lapangan.

Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan Kadet MAT yang terjebak. Tentara Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya dan berbaris di lapangan lantas berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.

Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Kadet MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur satu lawan satu.

Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran, tetapi upaya tersebut tidak berhasil. Mayor Daan Mogot segera memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan depot tentara Jepang tersebut dan mundur ke hutan karet di sekitarnya. Kadet MAT yang berhasil lolos lantas menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang mereka sandang. Seringkali peluru yang dimasukkan ke magazsin tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.

Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru. Akhirnya 33 kadet dan 3 perwira gugur, sementara 10 kadet luka berat dan Mayor Wibowo beserta 20 kadet lainnya ditawan Jepang. Sedangkan, 3 kadet lainnya: Soedarno, Menod, Oesman Sjarief, berhasil meloloskan diri pada 26 Januari 1946 dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi keesokan harinya.

Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.

Monumen Pertempuran Lengkong, terletak di Jalan Pahlawan Seribu, Lengkong Wetan, Serpong, Tangerang Selatan, Propinsi Banten, Indonesia.

Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira militer dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menteri Luar Neger Agus Salim, yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut, dan para anggota keluarga kadet yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.

Nama Daan Mogot diabadikan sebagai nama jalan yang menghubungkan Grogol dan Cengkareng di Jakarta Barat dengan kota Tangerang. Sementara, di tempat pertempuran Lengkong tersebut, dibangun monumen peringatan. Kisah Pertempuran Lengkong dijadikan dasar penulisan skenario film Merah Putih (2009).

Ironisnya, sementara Daan Mogot berjuang gugur di medan pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ayahnya justru tewas dibunuh gerombolan perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londo-londo (antek-antek) Belanda.

Biodata singkat

[sunting | sunting sumber]
  • Nama: Elias Daniel Mogot;
  • Nama populer: Mayor Daan Mogot;
  • Tempat/tgl lahir: Manado, 28 Desember 1927;
  • Tempat/tgl meninggal: Tangerang, 25 Januari 1946;
  • Keluarga: Ayah: Nicolaas Mogot (Nico);
    Ibu: Emilia Inkiriwang (Mien);
    Saudara: Kakak: Evert, Lilly, Hetty, Eddy;
    Adik: Fietje, Tilly;

Pengalaman:

  • 1942-1943: Anggota Seinen Dojo angkatan pertama;
  • 1943: Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1;
  • 1943-1944: Shodancho PETA di Bali;
  • 1944-1945: Staf Markas PETA (Gyugun Sidobu) di Jakarta;
  • 1945: Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor);
  • 1945-1946: Pendiri/Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT)

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Dibentuk pada 23 Agustus 1945, kemudian diubah namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945,

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  • PAHLAWAN MINAHASA: MAYOR DAAN MOGOT - Pendiri dan Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) Oleh Bodewyn Grey Talumewo – Cet. 1 – Tomohon/ Minahasa: Februari 2007)
  • Saleh, R. H. A. (1995) Akademi Militer Tangerang Dan Peristiwa Lengkong. Yayasan Pustaka Nusatama, Jakarta