Lompat ke isi

Pencegahan perkawinan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Atikah krsn (bicara | kontrib)
membuat artikel rintisan pencegahan perkawinan (hukum )
 
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh Gurunpasir (bicara) ke revisi terakhir oleh AABot
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(7 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Pencegahan perkawinan''' diatur dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 menjelaskan siapa saja yang dapat mencegah pelaksanaan perkawinan, diatur Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1974, diantaranya:<ref name=":0">{{Cite book|title=Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan|url-status=live}}</ref>
'''Pencegahan perkawinan''' diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang tersebut menjelaskan siapa saja yang dapat mencegah pelaksanaan perkawinan, diatur Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 yang di antaranya:<ref name=":0">{{Cite book|title=Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan|url-status=live}}</ref>


1.      Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai;
# Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai;
# Saudara dari salah seorang calon mempelai;
# Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
# Wali dari salah seorang calon mempelai;
# Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
# Pihak-pihak yang berkepentingan terkait ini berkaitan dengan perkawinan;
# Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai; dan
# Pejabat yang ditunjuk hal ini bermaksud kantor catatan sipil atau kejaksaan,


== Pengajuan ke pengadilan ==
2.      Saudara dari salah seorang calon mempelai;
Pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan sesuai dengan Pasal 17 UU No. 1 Tahun 1974 dalam dua macam di antaranya:<ref name=":0" />


# Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beraga islam kepada Pengadilan Agama. Hal ini tertuang juga dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975; dan
3.      Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
# Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beragama bukan Islam kepada Pengadilan Negeri.

4.      Wali dari salah seorang calon mempelai;

5.      Pengampu dari salah seorang calon mempelai;

6.      Pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini berkaitan dengan perkawinan;

7.      Suami atau isteri dari salah seorang calon mempelai; dan

8.      Pejabat yang ditunjuk hal ini bermaksud kantor catatan sipil atau kejaksaan,

== Diajukan ==
Pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan sesuai dengan Pasal 17 UU No. 1 Tahun 1974 dalam dua macam diantaranya:<ref name=":0" />

1.      Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beraga islam kepada Pengadilan Agama. Hal ini tertuang juga dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975; dan

2.      Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beragama bukan islam kepada Pengadilan Negeri.


== Alasan ==
== Alasan ==
Alasan dalam mengajukan permohonan pencegahan perkawinan, diantaranya:
Alasan dalam mengajukan permohonan pencegahan perkawinan, di antaranya:

1.      Dalam hal usia maka calon memperlai pria belum berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita belum berumur 16 tahun;

2.      Terdapat hubungan darah/ keluarga atau susunan yang tidak boleh kawin antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita:

a.      Berhubungan darah dalam garis lurus ke atas ataupun ke bawah;

b.      Berhubungan darah pada garis keturunan menyamping diantaranya antara seorang dengan saudara orang tua, antara saudara dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c.      Terdapat hubungan semenda dimana bisa mertua, anak tiri, bapak/ibu tiri dan menantu;

d.      Terdapat hubungan susuan, yaotu anak susuan, orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan;

e.      Terdapat hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang;

3.      Calon mempelai masih terikat tali perkawinan;

4.      Dimana antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk kedua kalinya , dimana agamanya dan kepercayaannya melarang untuk kawin yang ketiga kalinya; dan


# Terkait usia maka calon memperlai pria belum berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita belum berumur 16 tahun;
5.      Dimana perawinan yang dilakngsungkan tidak sesuai dan memenuhi prosedur ataupun tata cara yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. <ref>{{Cite book|first=Mulyadi|date=2016|title=Hukum Perkawinan Indonesia|location=Semarang|publisher=Badan Penerbit Universitas Dipoenegoro|url-status=live}}</ref>
# Terdapat hubungan darah/ keluarga atau susunan yang tidak boleh kawin antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita:
## Berhubungan darah dalam garis lurus ke atas ataupun ke bawah;
## Berhubungan darah pada garis keturunan menyamping diantaranya antara seorang dengan saudara orang tua, antara saudara dan antara seorang dengan saudara neneknya;
## Terdapat hubungan semenda di mana bisa mertua, anak tiri, bapak/ibu tiri dan menantu;
## Terdapat hubungan susuan, yaitu anak susuan, orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan;
## Terdapat hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, terkait suami beristri lebih dari seorang;
# Calon mempelai masih terikat tali perkawinan;
# Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk kedua kalinya, serta agamanya dan kepercayaannya melarang untuk kawin yang ketiga kalinya; dan
# Perkawinan yang dilangsungkan tidak sesuai dan memenuhi prosedur ataupun tata cara yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.<ref>{{Cite book|last="Mulyadi"|first="Mulyadi"|date=2016|title=Hukum Perkawinan Indonesia|location=Semarang|publisher=Badan Penerbit Universitas Dipoenegoro|url-status=live}}</ref>


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi terkini sejak 7 Maret 2024 03.51

Pencegahan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang tersebut menjelaskan siapa saja yang dapat mencegah pelaksanaan perkawinan, diatur Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 yang di antaranya:[1]

  1. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai;
  2. Saudara dari salah seorang calon mempelai;
  3. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
  4. Wali dari salah seorang calon mempelai;
  5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
  6. Pihak-pihak yang berkepentingan terkait ini berkaitan dengan perkawinan;
  7. Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai; dan
  8. Pejabat yang ditunjuk hal ini bermaksud kantor catatan sipil atau kejaksaan,

Pengajuan ke pengadilan

[sunting | sunting sumber]

Pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan sesuai dengan Pasal 17 UU No. 1 Tahun 1974 dalam dua macam di antaranya:[1]

  1. Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beraga islam kepada Pengadilan Agama. Hal ini tertuang juga dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975; dan
  2. Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beragama bukan Islam kepada Pengadilan Negeri.

Alasan dalam mengajukan permohonan pencegahan perkawinan, di antaranya:

  1. Terkait usia maka calon memperlai pria belum berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita belum berumur 16 tahun;
  2. Terdapat hubungan darah/ keluarga atau susunan yang tidak boleh kawin antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita:
    1. Berhubungan darah dalam garis lurus ke atas ataupun ke bawah;
    2. Berhubungan darah pada garis keturunan menyamping diantaranya antara seorang dengan saudara orang tua, antara saudara dan antara seorang dengan saudara neneknya;
    3. Terdapat hubungan semenda di mana bisa mertua, anak tiri, bapak/ibu tiri dan menantu;
    4. Terdapat hubungan susuan, yaitu anak susuan, orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan;
    5. Terdapat hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, terkait suami beristri lebih dari seorang;
  3. Calon mempelai masih terikat tali perkawinan;
  4. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk kedua kalinya, serta agamanya dan kepercayaannya melarang untuk kawin yang ketiga kalinya; dan
  5. Perkawinan yang dilangsungkan tidak sesuai dan memenuhi prosedur ataupun tata cara yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.[2]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 
  2. ^ "Mulyadi", "Mulyadi" (2016). Hukum Perkawinan Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipoenegoro.