Lompat ke isi

Derma: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(121 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Thorma Alms.jpg|jmpl|Perempuan bederma, karya [[János Thorma]]]]
[[Berkas:Thorma Alms.jpg|jmpl|Perempuan bederma, lukisan karya [[János Thorma]]]]
'''Derma''' adalah uang, pangan, atau benda-benda lain yang disumbangkan kepada [[kemiskinan|fakir miskin]]. Memberi derma kerap dianggap sebagai [[amal kasih]]. Tindakan memberi derma disebut '''bederma'''.


== Etimologi ==
'''Derma''' adalah pemberian kepada orang lain atas dasar kemurahan hati atau niat untuk berbuat baik. Derma dapat berwujud barang maupun jasa (misalnya pendidikan) yang diberikan secara cuma-cuma. Bederma diajarkan oleh sejumlah agama dan adat-istiadat.
Kata ''derma'' berasal dari kata [[bahasa Sanskerta|Sangsekerta]] ''dharma'' (धर्म), yang berarti kepatutan, kebajikan, perbuatan yang benar, atau amal saleh. Istilah lain untuk derma adalah ''[[sedekah]]'', dari kata [[bahasa Arab|Arab]] ''ṣadaqah'' (صدقة), yang berarti segala macam kebajikan yang diperbuat dengan tulus ikhlas kepada sesama manusia.


== Agama Buddha ==
Kata "derma" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ''dharma'' (धर्म) dalam [[bahasa Sanskerta]], yang berarti kepatutan, kebajikan, perbuatan yang benar, atau amal saleh. Istilah lain untuk derma adalah "[[sedekah]]", dari [[bahasa Arab|bahasa Arab:]] ''صدقة'', ''ṣadaqah'', yang berarti segala macam perbuatan baik yang dilakukan secara tulus dan suka rela bagi orang lain.
{{Lihat pula|Dāna}}
[[Berkas:Almsbowl2.jpg|jmpl|Mangkuk derma yang dibawa para [[bhiksu|biksu]] bilamana berkeliling mengumpulkan derma.]]
[[Berkas:Three monks chanting in Lhasa, 1993.jpg|jmpl|Tiga orang biksu mengumpulkan derma di [[Lhasa]], Tibet (1993).]]
Dalam agama Buddha, baik tindakan "bederma" maupun tindakan "memberi" disebut ''[[dāna]]''.<ref>Nyanatiloka (1980), lema "dāna". [http://www.budsas.org/ebud/bud-dict/dic3_d.htm Budsas.org] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070219163600/http://www.budsas.org/ebud/bud-dict/dic3_d.htm |date=2007-02-19 }}</ref> Berdāna merupakan salah satu dari ketiga jalan amalan yang dianjurkan oleh [[Gautama Buddha|Sang Buddha]] kepada [[Gerhapati|umat awam]].<ref>{{Cite web|date=2021-05-26|title=Buddha Purnima 2021: Date, significance and importance of the day|url=https://indianexpress.com/article/lifestyle/life-style/buddha-purnima-2021-date-significance-and-importance-7303079/|access-date=2021-09-18|website=The Indian Express|language=en}}</ref> Tiga jalan amalan bagi umat awam adalah [[dāna]], [[Etika Buddhis|sīla]], dan [[Bhavana|bāwanā]].<ref>Nyanatiloka (1980), lema "dāna" [http://www.budsas.org/ebud/bud-dict/dic3_d.htm Budsas.org] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070219163600/http://www.budsas.org/ebud/bud-dict/dic3_d.htm |date=2007-02-19 }}; dan, PTS (1921–25), lema "Puñña" (jasa)[https://archive.today/20120707184520/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:3017.pali Uchicago.edu].</ref>

Tindakan bederma adalah sarana penghubung manusia dengan biksu atau biksuni beserta hal-hal yang diwakili oleh biksu atau biksuni tersebut, sebagaimana sabda Sang Buddha:
{{Quote|<poem>
yang berumah (grihapati) dan yang tak berumah (biksu-biksuni)
saling bergantung satu sama lain
kedua-duanya mencapai Darma sejati....
</poem>|[[Itivuttaka]] 4.7<ref>Thanissaro (2001).[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/iti/iti.4.100-112.than.html#iti-107 Accesstoinsight.org]</ref><ref group="note">Bederma juga dianjurkan oleh Sang Buddha untuk dilakukan dengan cara yang lebih bersahaja dalam berbagai nas sahih, misalnya [[Dighajanu Sutta]].</ref>}}

Dalam agama Buddha mazhab [[Theravada]], biksu dan biksuni berkeliling setiap hari untuk mengumpulkan derma (''pindacara'') berupa persembahan makanan (''piṇḍapāta''). Tindakan ini sering kali dianggap sebagai pembukaan kesempatan bagi umat awam untuk menciptakan pahala kebajikan (''puṇya''). Uang tidak dapat diterima oleh seorang biksu mazhab Theravada, baik yang diberikan sebagai pengganti maupun bersama makanan, karena menurut aturan pelatihan [[pratimoksa]] ({{lang-pi|patimokkha}}) penerimaan uang merupakan suatu pelanggaran yang patut diganjari penyitaan dan pengakuan bersalah.<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/vin/sv/bhikkhu-pati.html#np-part2 Thanissaro (2007)]</ref>

Di negara-negara penganut mazhab [[Mahayana]], praktik ''pindacara'' sudah nyaris punah. Di Tiongkok, Korea, dan Jepang, budaya masyarakat setempat menolak gagasan memberi makanan kepada para biksu 'peminta-minta', dan tidak ada pula tradisi menciptakan pahala kebajikan melalui tindakan bederma kepada para biksu yang mempraktikkan ''pindacara''. Selepas kurun waktu penindasan, biara-biara dibangun di daerah-daerah pegunungan yang terpencil sehingga jarak yang jauh antara biara dan kota-kota terdekat memustahilkan praktik ''pindacara''. Di Jepang, praktik [[takuhatsu]] yang dilakukan setiap minggu atau setiap bulan menggantikan praktik ''pindacara''. Di negara-negara pegunungan Himalaya, jumlah biksu yang sangat banyak membuat pelaksanaan ''pindacara'' berpotensi membebani keluarga-keluarga di sekitar biara. Persaingan dengan agama-agama lain dalam meminta dukungan masyarakat juga membuat praktik ''pindacara'' menjadi sukar dan bahkan membahayakan keselamatan jiwa; biksu-biksu pertama di [[Silla|Kerajaan Silla]] di Korea konon dipukuli orang karena jumlah mereka yang sangat sedikit kala itu.

Dalam agama Buddha terdapat suatu paradoks bahwasanya semakin banyak orang memberi – dan semakin banyak orang memberi tanpa pamrih – semakin makmur (dalam arti luas) pula orang itu kelak. Melalui tindakan memberi, orang menghancurkan nafsu serakah yang dapat membuat hidupnya semakin menderita. Kedermawanan juga ditunjukkan terhadap makhluk-makhluk lain, baik sebagai sarana menciptakan pahala kebajikan maupun untuk membantu si penerima. Dalam tradisi mazhab [[Mahayana]], meskipun [[Triratna|Triratna tempat berlindung]] merupakan dasar dari pahala kebajikan yang terbesar, dengan memandang mahkluk lain sebagai pihak yang memiliki fitrah Buddha dan memberi persembahan bagi ujud murni Buddha untuk berdiam di dalamnya akan sama berfaedahnya. Kedermawanan terhadap makhluk-makhluk lain sangat ditekankan dalam mazhab Mahayana sebagai salah satu dari kesempurnaan ([[paramita]]) sebagaimana yang termaktub dalam risalah [[Je Tsongkhapa|Lama Tsongkhapa]] yang berjudul 'Pokok-Pokok Ringkas dari Jalan Bertahap' ({{lang-bo|lam-rim bsdus-don}}):

{{Quote|<poem>
Kerelaan yang bulat untuk memberi adalah permata pengabul keinginan yang mampu mengabulkan harapan-harapan dari makhluk-makhluk yang sedang mengembara.
Ialah senjata tertajam untuk meretas simpul kekikiran.
Ialah penuntun menuju perilaku [[bodhisatwa]] (makhluk yang tercerahkan) yang memperbesar rasa percaya diri dan keberanian,
dan merupakan landasan bagi pemakluman ketenaran dan kehormatanmu ke seluruh jagat.
Sadar akan hal ini, orang yang bijaksana secara sehat menggantungkan hidupnya pada jalan mulia
yakni (senantiasa dengan rela hati) sepenuhnya menyerahkan raga, harta benda, dan kesanggupan-kesanggupan baik mereka.
Para lama yang senantiasa waspada telah menjalani laku yang demikian.
Jikalau engkau juga hendak mencari pembebasan,
alangkah baiknya jika engkau menempa dirimu dengan laku yang sama.<ref>Tsongkhapa & Berzin (2001), ayat 15.</ref>
</poem>}}

Dalam [[agama Buddha]], tindakan bederma adalah permulaan dari perjalanan mencapai [[nirwana]] ({{lang-pi|nibbana}}). Pada praktiknya, orang dapat memberi apa saja dengan maupun tanpa disertai niat mencapai nirwana. Tindakan ini dapat menuntun orang mencapai [[saddha|keimanan]] ({{lang-pi|saddha}}), yakni salah satu [[Lima kuasa|kuasa utama]] ({{lang-pi|bala}}) yang harus dibangkitkan orang dalam dirinya bagi [[Sang Buddha|Buddha]], [[Dhamma|Darma]], dan [[Sangha|Sangga]].

Alasan-alasan yang mendasari tindakan bederma memainkan peranan yang penting dalam pengembangan keunggulan-keunggulan rohani. Kitab-kitab sutra ({{lang-pi|sutta}}) memuat berbagai macam alasan yang mendorong orang untuk bersikap dermawan. Sebagai contoh, Angguttara Nikaya (A.iv,236) memerinci delapan alasan sebagai berikut:<ref>[http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/various/wheel367.html Accesstoinsight.org]</ref>

# ''Asajja danam deti'': memberi untuk menghina (memberi agar si penerima merasa terhina, atau memberi dengan maksud menghina si penerima).
# ''Bhaya danam deti'': memberi karena takut bahaya.
# ''Adasi me ti danam deti'': memberi sebagai balasan pemberian yang pernah diterima di masa lampau.
# ''Dassati me ti danam deti'': memberi dengan harapan dibalas dengan pemberian serupa di kemudian hari.
# ''Sadhu danan ti danam deti'': memberi karena tindakan memberi dianggap baik.
# ''Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti'': "Aku memasak, mereka tidak memasak. Tidaklah pantas jika aku yang memasak ini tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak" (memberi karena rasa peduli).
# ''Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati ti danam deti'': memberi agar tampak baik di mata orang lain.
# ''Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti'': memberi demi menghias dan memperindah akal budi.

Menurut [[kanon Pali]]:
{{Quote|Dari segala pemberian, pemberian [[Dhamma|Darmalah]] yang tertinggi.|[[Dhammapada|Dhp.]] XXIV ayat 354){{refn|Dalam bahasa Pali, ayat ini berbunyi: "''Sabba danam, Dhamma danam jinati''," terdapat dalam kitab ''[[Dhammapada]]'', Bab 24, ayat 354. Thanissaro (1997)<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/dhp/dhp.24.than.html#dhp-354 Accesstoinsight.org]</ref> menerjemahkan keseluruhan ayat ini sebagai berikut:
{{Quote|<poem>
Anugerah Darma mengalahkan segala anugerah;
nikmat Darma mengalahkan segala nikmat;
sukacita Darma mengalahkan segala sukacita;
akhir dari keinginan, segala derita,
dan kecemasan.
</poem>}}|group=note}}}}


== Agama Yahudi ==
== Agama Yahudi ==
Baris 9: Baris 63:
[[Berkas:Jewish cemetery Otwock Karczew Anielin IMGP6721.jpg|jmpl|Ukiran kotak [[tzedakah]] (puske) pada patahan sebuah batu nisan di [[Pekuburan Yahudi]] di [[Otwock]] (Karczew-Anielin), Polandia.]]
[[Berkas:Jewish cemetery Otwock Karczew Anielin IMGP6721.jpg|jmpl|Ukiran kotak [[tzedakah]] (puske) pada patahan sebuah batu nisan di [[Pekuburan Yahudi]] di [[Otwock]] (Karczew-Anielin), Polandia.]]
[[Berkas:Tzedoko gelt.JPG|jmpl|Pundi-pundi tzedakah dan ''gelt'' (koin atau uang dalam [[bahasa Yiddi]]).]]
[[Berkas:Tzedoko gelt.JPG|jmpl|Pundi-pundi tzedakah dan ''gelt'' (koin atau uang dalam [[bahasa Yiddi]]).]]
Dalam [[agama Yahudi]], tzedakah ({{lang-he|צדקה, ''[[tzedakah|ṣedakah]]''}}, secara harfiah berarti kebenaran, tetapi lazim pula diartikan sebagai ''karya amal'' atau ''kedermawanan'' <ref>Rabbi Hayim Halevy Donin; 'To Be A Jew.' Basic Books, New York; 1972, hlm. 48.</ref>) mengacu pada kewajiban pemeluk agama Yahudi untuk bertindak benar dan adil.<ref name="JTauber">"Umat Yahudi tidak melakukan karya amal, dan konsep karya amal nyaris tidak ada dalam tradisi agama Yahudi. Sebagai gantinya, umat Yahudi memberi tzedakah, yang berarti 'kebenaran' dan 'keadilan.' Bilamana seorang Yahudi menyumbangkan uang, waktu, dan sumber-sumber daya yang ia miliki kepada orang yang membutuhkannya, ia tidak sedang bersikap welas asih, murah hati, atau 'dermawan.' Ia hanya sekadar bertindak benar dan adil." [http://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/1079/jewish/The-Myth-of-Charity.htm Tzedakah vs The Myth of Charity]; oleh [[Yanki Tauber]]; Diakses 03-11-2012.</ref> Pemberian tzedakah yang dilakukan sekarang ini dianggap sebagai kelanjutan dari praktik [[Ma'ser Ani]] atau persepuluhan bagi fakir miskin, serta praktik-praktik kedermawanan lain yang diamanatkan dalam Alkitab, seperti mengizinkan fakir miskin menuai hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut lahan, dan membiarkan siapa saja menikmati hasil bumi yang tumbuh selama [[tahun sabat|Smitah]] (tahun sabat). Tzedakah, disertai doa dan pertobatan, dianggap sebagai penawar bagi akibat-akibat dari perbuatan buruk.
Dalam [[agama Yahudi]], tzedakah ({{lang-he|צדקה, ''[[tzedakah|ṣedakah]]''}}, secara harfiah berarti kebenaran, tetapi lazim pula diartikan sebagai kedermawanan<ref>Rabbi Hayim Halevy Donin; 'To Be A Jew.' Basic Books, New York; 1972, hlm. 48.</ref>) mengacu pada kewajiban pemeluk agama Yahudi untuk bertindak benar dan adil.<ref name="JTauber">"Umat Yahudi tidak melakukan karya amal, dan konsep karya amal nyaris tidak ada dalam tradisi agama Yahudi. Sebagai gantinya, umat Yahudi memberi tzedakah, yang berarti 'kebenaran' dan 'keadilan.' Bilamana seorang Yahudi menyumbangkan uang, waktu, dan sumber-sumber daya yang ia miliki kepada orang yang membutuhkannya, ia tidak sedang bersikap welas asih, murah hati, atau 'dermawan.' Ia hanya sekadar bertindak benar dan adil." [http://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/1079/jewish/The-Myth-of-Charity.htm Tzedakah vs The Myth of Charity]; oleh [[Yanki Tauber]]; Diakses 03-11-2012.</ref> Pemberian tzedakah sekarang ini dianggap sebagai kelanjutan dari praktik [[ma'ser ani]] atau penyisihan sepersepuluh dari hasil bumi bagi fakir miskin, serta praktik-praktik kedermawanan lain yang diamanatkan dalam Alkitab, seperti mengizinkan fakir miskin menuai hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladang, dan membiarkan siapa saja menikmati hasil bumi yang tumbuh selama [[tahun sabat|Smitah]] (tahun sabat). Tzedakah, disertai doa dan pertobatan, dianggap sebagai penawar bagi ganjaran perbuatan buruk.


Dalam agama Yahudi, tzedakah (kedermawanan) dipandang sebagai salah satu perbuatan termulia yang dapat dilakukan oleh manusia.<ref>?</ref> Para petani Yahudi dilarang memanen hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladangnya maupun memungut panenan yang terjatuh, sehingga dapat dimanfaatkan oleh fakir miskin.
Dalam agama Yahudi, tzedakah (kedermawanan) dipandang sebagai salah satu perbuatan termulia yang dapat dilakukan oleh manusia.<ref>?</ref> Para petani Yahudi dilarang memanen hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladangnya maupun memungut panenan yang terjatuh, sehingga dapat dimanfaatkan oleh fakir miskin.


Ulama besar Yahudi, [[Moses Maimonides|Musa bin Maymun]], pernah menyusun sebuah daftar tindakan kedermawanan. Menurut Musa bin Maymun, tindakan kedermawanan yang paling benar adalah memampukan seseorang untuk mandiri sehingga mampu menjadi dermawan bagi orang lain. Tindakan-tindakan kedermawanan dalam daftar yang disusunnya adalah sebagai berikut:<ref>http://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/45907/jewish/Eight-Levels-of-Charity.htm</ref>
Rohaniwan besar Yahudi, [[Moses Maimonides|Musa bin Maimun]], pernah menyusun sebuah daftar tindakan kedermawanan. Menurut Musa bin Maimun, tindakan kedermawanan yang paling benar adalah memampukan si penerima menjadi pribadi yang mandiri sehingga mampu bertindak dermawan terhadap orang lain. Tindakan-tindakan kedermawanan dalam daftar yang disusunnya adalah sebagai berikut:<ref>http://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/45907/jewish/Eight-Levels-of-Charity.htm</ref>
# Memampukan si penerima menjadi mandiri
# Memandirikan si penerima
# Memberi bilamana si pemberi dan si penerima tidak saling kenal
# Memberi bilamana si pemberi dan si penerima tidak saling kenal
# Memberi bilamana si pemberi mengenal si penerima, tetapi si penerima tidak mengenal si pemberi
# Memberi bilamana si pemberi mengenal si penerima, tetapi si penerima tidak mengenal si pemberi
Baris 20: Baris 74:
# Memberi sebelum diminta
# Memberi sebelum diminta
# Memberi sesudah diminta
# Memberi sesudah diminta
# Memberi kurang dari yang mampu diberikan, tetapi dilakukan dengan senang hati
# Memberi kurang dari yang mampu diberikan, tetapi dilakukan dengan rela
# Memberi dengan bersungut-sungut
# Memberi dengan bersungut-sungut


== Agama Islam ==
== Agama Islam ==
{{utama|Zakat|Sedekah}}
{{utama|Zakat|Sedekah}}
Dalam agama Islam, konsep kedermawanan pada umumnya dibedakan menjadi [[sedekah|Sadaqah]] yang berarti memberi dengan suka rela, dan [[Zakat]] yang berarti memberi menurut ketentuan yang telah digariskan oleh [[fikih|syariat Islam]] demi menunaikan kewajiban selaku pemeluk agama Islam dan warga masyarakat. Oleh karena itu, meskipun Zakat memainkan peranan yang lebih besar bagi karya amal Islam, agaknya Sadaqah yang lebih semakna dengan 'derma'.
Dalam agama Islam, pada umumnya konsep kedermawanan dibedakan menjadi [[sedekah|sadaqah]] dan [[zakat]]. Sadaqah berarti bederma secara suka rela, sementara zakat berarti bederma menurut ketentuan [[fikih|syariat Islam]] demi menunaikan kewajiban selaku pemeluk agama Islam dan warga masyarakat. Oleh karena itu, meskipun zakat memainkan peranan yang lebih besar bagi karya amal Islam, agaknya sadaqah yang lebih semakna dengan 'derma'.


Zakat adalah rukun ketiga dari [[rukun Islam|Lima Rukun Islam]].<ref>{{cite web |url=https://www.pbs.org/empires/islam/faithpillars.html |title=Five Pillars |publisher=PBS |accessdate=2010-11-17}}</ref><ref>{{cite web|url=http://www.wsu.edu/~dee/GLOSSARY/5PILLARS.HTM |title=arkan ad-din the five pillars of religion |publisher=[[Washington State University]] |first=Richard |last=Hooker |date=14 Juli 1999 |accessdate=2010-11-17 |archiveurl=https://web.archive.org/web/20101203124633/http://www.wsu.edu/~dee/GLOSSARY/5PILLARS.HTM |archivedate=2010-12-03 |deadurl=yes |df= }}</ref> Ada berbagai aturan terkait pelaksanaan zakat, tetapi secara umum, orang diwajibkan untuk menyerahkan 2,5% dari jumlah simpanan dan pendapatan usahanya, serta 5–10% dari hasil panennya kepada fakir miskin. Para penerima zakat meliputi orang-orang yang nyaris tidak memiliki apa-apa, orang-orang yang berpenghasilan sangat rendah, orang-orang yang tidak sanggup membayar utang, orang-orang yang kehabisan dana dalam perjalanan, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Prinsip umum zakat adalah ''zakaah'', yakni yang kaya harus memberi kepada yang miskin. Salah satu prinsip penting dalam agama Islam adalah ajaran bahwa segala sesuatu merupakan milik Allah, sehingga harta kekayaan hanya boleh disimpan sebagai titipan untuk dikelola.
Zakat adalah rukun (saka guru) ketiga dari [[rukun Islam|lima rukun Islam]].<ref>{{cite web |url=https://www.pbs.org/empires/islam/faithpillars.html |title=Five Pillars |publisher=PBS |accessdate=2010-11-17}}</ref><ref>{{cite web|url=http://www.wsu.edu/~dee/GLOSSARY/5PILLARS.HTM |title=arkan ad-din the five pillars of religion |publisher=[[Washington State University]] |first=Richard |last=Hooker |date=14 Juli 1999 |accessdate=2010-11-17 |archiveurl=https://web.archive.org/web/20101203124633/http://www.wsu.edu/~dee/GLOSSARY/5PILLARS.HTM |archivedate=2010-12-03 |deadurl=yes |df= }}</ref> Ada berbagai aturan terkait pelaksanaan zakat, tetapi secara umum, orang diwajibkan untuk menyerahkan 2,5% dari jumlah simpanan dan pendapatan usahanya, serta 5–10% dari hasil panennya kepada fakir miskin. Para penerima zakat meliputi orang-orang yang nyaris tidak memiliki apa-apa, orang-orang yang berpenghasilan sangat rendah, orang-orang yang tidak sanggup membayar utang, orang-orang yang kehabisan dana dalam perjalanan, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Prinsip umum zakat adalah ''zakaah'', yakni yang kaya harus memberi kepada yang miskin. Salah satu prinsip penting dalam agama Islam adalah ajaran bahwa segala sesuatu merupakan milik Allah, sehingga harta kekayaan hanya boleh disimpan sebagai titipan untuk dikelola.


Arti harfiah dari kata zakat adalah "memurnikan", "mengembangkan", dan "memicu pertumbuhan". Menurut syariat Islam, zakat adalah ibadah. Harta kekayaan seorang Muslim dimurnikan melalui tindakan memisahkan sebagian dari harta kekayaan itu bagi orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana tanaman dipangkas guna meremajakannya dan merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.
Arti harfiah dari kata zakat adalah "memurnikan", "mengembangkan", dan "memicu pertumbuhan". Menurut syariat Islam, zakat adalah ibadah. Harta kekayaan seorang Muslim dimurnikan melalui tindakan memisahkan sebagian dari harta kekayaan itu bagi orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana tanaman dipangkas guna meremajakannya dan merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.


Zakat adalah sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh setiap Muslim dewasa, pria maupun wanita, yang waras (bermental sehat), merdeka, dan mampu secara finansial, untuk digunakan sebagai bantuan dana bagi pihak-pihak tertentu.
Zakat adalah sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh setiap Muslim dewasa, pria maupun wanita, yang waras (sehat rohani), merdeka, dan mampu secara finansial, untuk digunakan sebagai dana bantuan bagi pihak-pihak tertentu.


Pihak-pihak tertentu ini diperinci dalam surah At-Taubah ayat 60:
Pihak-pihak tertentu ini diperinci dalam surah At-Taubah ayat 60:
{{quote|"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (Al-Qur'an 9:60).}}
{{quote|"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (Al-Qur'an 9:60).}}


Baris 43: Baris 97:
Zakat menjadi wajib bilamana jumlah uang telah mencapai atau melebihi batas tertentu yang disebut nisab. Zakat tidak wajib jika jumlah uang yang dimiliki masih di bawah nisab. Nisab (atau jumlah terendah) untuk emas dan alat tukar dari emas adalah 20 miskal, yakni sekitar 85&nbsp;gram emas murni. Satu miskal kurang lebih setara dengan 4,25&nbsp;gram. Nisab untuk perak dan alat tukar dari perak adalah 200 dirham, yakni sekitar 595&nbsp;gram perak murni. Nisab untuk jenis uang dan alat tukar lainnya disesuaikan dengan nisab untuk emas; nisab untuk uang setara dengan harga 85&nbsp;gram emas 999 (emas murni) pada hari pembayaran Zakat.
Zakat menjadi wajib bilamana jumlah uang telah mencapai atau melebihi batas tertentu yang disebut nisab. Zakat tidak wajib jika jumlah uang yang dimiliki masih di bawah nisab. Nisab (atau jumlah terendah) untuk emas dan alat tukar dari emas adalah 20 miskal, yakni sekitar 85&nbsp;gram emas murni. Satu miskal kurang lebih setara dengan 4,25&nbsp;gram. Nisab untuk perak dan alat tukar dari perak adalah 200 dirham, yakni sekitar 595&nbsp;gram perak murni. Nisab untuk jenis uang dan alat tukar lainnya disesuaikan dengan nisab untuk emas; nisab untuk uang setara dengan harga 85&nbsp;gram emas 999 (emas murni) pada hari pembayaran Zakat.


Zakat menjadi wajib setelah uang berada dalam penguasaan pemiliknya sepanjang satu tahun kamariah. Jika telah memenuhi persyaratan waktu penguasaan ini, maka pemilik uang wajib merelakan 2,5% (atau 1/40) dari uangnya sebagai Zakat (satu tahun kamariah terdiri atas kurang lebih 355 hari). Pemilik uang harus terlebih dahulu mengurangkan jumlah uang yang dikuasainya dengan jumlah uang yang dipinjamnya dari orang lain; jika jumlah yang tersisa sudah mencapai nisab, barulah dihitung Zakat yang harus dibayar.<!--
Zakat menjadi wajib setelah uang berada dalam penguasaan pemiliknya sepanjang satu tahun kamariah. Jika telah memenuhi persyaratan waktu penguasaan ini, maka pemilik uang wajib merelakan 2,5% (atau 1/40) dari uangnya sebagai Zakat (satu tahun kamariah terdiri atas kurang lebih 355 hari). Pemilik uang harus terlebih dahulu mengurangkan jumlah uang yang ia simpan dengan jumlah uang yang ia pinjam dari orang lain; jika jumlah yang tersisa sudah mencapai nisab, barulah dihitung Zakat yang harus dibayar.


Jika si pemilik uang memiliki uang dalam jumlah yang sudah mencapai nisab pada awal tahun kamariah, namun jumlah kekayaannya kemudian meningkat sepanjang tahun itu, maka si pemilik uang harus menambahkan jumlah peningkatan kekayaannya pada jumlah uang yang sudah mencapai nisab pada awal tahun, barulah kemudian menghitung zakat yang harus ia bayar, yakni 2,5% dari jumlah keseluruhan uang yang ia miliki pada akhir tahun kamariah. Ada sejumlah perbedaan kecil di antara mazhab-mazhab fikih mengenai cara menghitung zakat. Tiap-tiap Muslim menghitung sendiri jumlah zakat yang harus dibayarnya. Nyaris semua perhitungan zakat mencakup pula pembayaran tahunan sebesar 2,5% dari jumlah modal yang dimiliki seseorang.
If the owner had enough money to satisfy the nisab at the beginning of the year, but his wealth in any form increased, the owner needs to add the increase to the nisab amount owned at the beginning of the year, then pay Zakat, 2.5%, of the total at the end of the lunar year. There are minor differences between fiqh school on how this is to be calculated. Each Muslim calculates his or her own Zakat individually. For most purposes, this involves the payment each year of two and a half percent of one's capital.


Orang yang saleh dapat pula bederma sekehendak hatinya dalam bentuk sadaqah, dan dianjurkan untuk melakukannya secara diam-diam. Meskipun dapat diartikan sebagai "sumbangan sukarela", kata "sadaqah" sebenarnya mengandung makna yang luas. Nabi Muhammad diriwayatkan pernah mengajarkan bahwa sekadar berwajah cerah ketika berjumpa dengan saudara seiman sudah merupakan suatu sadaqah.
A pious person may also give as much as he or she pleases as sadaqa, and does so preferably in secret. Although this word can be translated as 'voluntary charity' it has a wider meaning. The Prophet said 'Even meeting your brother with a cheerful face is charity.'


{{quote|Nabi bersabda, "tiap muslim wajib bersadaqah." Para sahabat bertanya, "bagaimana kalau ia tidak memiliki sesuatu?" Nabi menjawab, "bekerja dengan keterampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersadaqah." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak mampu?" Nabi menjawab, "menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak melakukannya?" Nabi menjawab, "beramar ma'ruf." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak melakukannya?" Nabi menjawab, "mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sadaqah." (HR. Bukhari dan Muslim)}}
The Prophet said: 'Charity is a necessity for every Muslim.' He was asked: 'What if a person has nothing?' The Prophet replied: 'He should work with his own hands for his benefit and then give something out of such earnings in charity.' The Companions asked: 'What if he is not able to work?' The Prophet said: 'He should help poor and needy persons.' The Companions further asked 'What if he cannot do even that?' The Prophet said 'He should urge others to do good.' The Companions said 'What if he lacks that also?' The Prophet said 'He should check himself from doing evil. That is also charity.'


== Agama Buddha ==
== Agama Kristen ==
[[Berkas:Alms Bag taken from some Tapestry in Orleans Fifteenth Century.png|jmpl|Gambar pundi-pundi derma yang ditampilkan dalam sehelai tenunan [[dewangga]] di [[Orléans]], abad ke-15.]]
{{Lihat pula|Dāna}}
Bederma adalah adalah [[karya amal|amal kasih]] terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Pada [[Zaman Apostolik|masa hidup rasul-rasul Yesus]], umat Kristen diajari bahwa bederma adalah ungkapan cinta kasih yang pertama-pertama diungkapkan oleh Allah melalui pengorbanan diri Yesus selaku suatu amal kasih demi keselamatan umat beriman.<ref name="james">{{Alkitab|Yakobus 1:27}} "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia."</ref> [[persembahan (Kristen Katolik)|Persembahan]] adalah bagian dari [[Misa|perayaan Misa Katolik Roma]], [[teologi ekaristi Anglikan|ibadat Ekaristi Anglikan]], dan [[Kebaktian Protestan|kebaktian Lutheran]] manakala derma dikumpulkan. Sejumlah denominasi Kristen Protestan, seperti [[gereja Baptis]] atau [[gereja Methodis|gereja Metodis]], juga melakukan pengumpulan derma, namun lebih sering menyebutnya sebagai pengumpulan "[[persepuluhan]] dan persembahan". Sejumlah denominasi Kristen mempraktikkan pengumpulan derma khusus secara teratur yang disebut [[persembahan kasih]] demi membantu fakir miskin, orang-orang yang tertimpa kemalangan atau bencana seperti kebakaran rumah atau biaya pengobatan yang besar. Menurut tradisi, para diakon bertanggung jawab mendistribusikan dana yang terkumpul kepada para janda, yatim piatu, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Banyak umat Kristen yang mendukung karya amal yang dilakukan oleh berbagai organisasi amal, meskipun tidak semuanya berkaitan dengan denominasi Kristen tertentu. Banyak lembaga pendidikan dan pengobatan Amerika yang didirikan oleh paguyuban-paguyuban Kristen melalui pengumpulan derma.
[[Berkas:Almsbowl2.jpg|thumb|Mangkuk derma yang dibawa para [[bhiksu|biku]] bilamana berkeliling mengumpulkan derma.]]
[[Berkas:Three monks chanting in Lhasa, 1993.jpg|thumb|Tiga orang biarawan mengumpulkan derma di [[Lhasa]], Tibet (1993).]]
Dalam agama Buddha, derma merupakan wujud dari penghormatan seorang [[Householder (Buddhism)|lay Buddhist]] kepada seorang [[bhiksu|biarawan]], [[bhiksuni|biarawati]], spiritually-developed person or other sentient being. It is not charity as presumed by Western interpreters. It is closer to a symbolic connection to the spiritual realm and to show humbleness and respect in the presence of the secular society.<ref group="note">Indicative of the mutual nature of the almsgiving exchange, in some Theravada countries, if a monk were to refuse alms from someone—a gesture known as "turning over the rice bowl"—this would be interpreted as an act of excommunication of the almsgiver by the monk. An example of such a refusal the refusal of Buddhist monks to accept offerings by military personnel in military-occupied [[Myanmar]] (Mydans, 20 September 2007, NYT).</ref> The act of alms giving assists in connecting the human to the monk or nun and what he/she represents. As the Buddha has stated:
{{Quote|<poem>
Householders & the homeless or charity [monastics]
in mutual dependence
both reach the true Dhamma....
</poem>|[[Itivuttaka]] 4.7<ref>Thanissaro (2001).[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/iti/iti.4.100-112.than.html#iti-107 Accesstoinsight.org]</ref><ref group="note">Almsgiving is also commended by the Buddha in a less prominent way in various other canonical texts such as the [[Dighajanu Sutta]].</ref>}}


[[Berkas:Collecting the Offering in a Scottish Kirk by John Phillip YORAG 384.jpg|jmpl|''Pengumpulan persembahan di sebuah Kirk Skotlandia'' karya [[John Phillip]]]]
In [[Theravada]] Buddhism, nuns ([[Pāli]]: ''[[bhikkhuni]]s'') and monks ([[Pāli]]: ''[[bhikkhu]]s'') go on a daily almsround (''pindacara'') to collect food (''piṇḍapāta''). This is often perceived as giving the laypeople the opportunity to make merit (Pāli: [[Merit (Buddhism)|puñña]]). Money cannot be accepted by a Theravadan Buddhist monk or nun in lieu of or in addition to food, as the [[Patimokkha]] training rules make it an offence worth forfeiture and confession.<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/vin/sv/bhikkhu-pati.html#np-part2 Thanissaro (2007)]</ref>
Di [[Gereja Ortodoks Timur|Gereja-Gereja Ortodoks Timur]] dan [[Ritus Timur|Gereja-Gereja Katolik Timur]], pengumpulan derma dan sumbangan persepuluhan tidak disatukan dengan upacara persembahan dalam ibadat. Meskipun demikian, meletakkan piring persembahan di [[narteks]] gereja atau mengedarkannya selama ibadat berlangsung tidak jarang pula dilakukan. Dalam [[teologi Ortodoks]], bederma merupakan bagian penting dari hidup rohani, dan [[puasa|berpuasa]] selayaknya selalu dilakukan bersama-sama dengan berdoa dan bederma.<ref>{{Cite book

In countries that follow [[Mahayana]] Buddhism, the practice of a daily alms round has mostly died out. In China, Korea and Japan, local cultures resisted the idea of giving food to 'begging' clerics, and there was no tradition of gaining 'merit' by donating to practitioners. After periods of persecution, monasteries were situated in remote mountain areas in which the distance between the monastery and the nearest towns would make a daily alms round impossible. In Japan, the practice of a weekly or monthly [[takuhatsu]] replaced the daily round. In the Himalayan countries, the large number of bikshus would have made an almsround a heavy burden on families. Competition with other religions for support also made daily almsrounds difficult and even dangerous; the first Buddhist monks in the [[Silla]] dynasty of Korea were said to be beaten due to their minority at the time.{{citation needed|date=June 2012}}

In Buddhism, both "almsgiving" and, more generally, "giving" are called "[[Dana (Buddhism)|dāna]]" (Pāli).<ref>Nyanatiloka (1980), entry for "dāna". [http://www.budsas.org/ebud/bud-dict/dic3_d.htm Budsas.org]</ref> Such giving is one of the three elements of the path of practice as formulated by the [[Gautama Buddha|Buddha]] for laypeople. This path of practice for laypeople is: [[Dana (Buddhism)|dāna]], [[Śīla|sīla]], [[Samādhi (Buddhism)|bhāvanā]].<ref>Nyanatiloka (1980), entry for "dāna" [http://www.budsas.org/ebud/bud-dict/dic3_d.htm Budsas.org]; and, PTS (1921–25), entry for "Puñña" (merit)[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:3017.pali Uchicago.edu].</ref>

The paradox in Buddhism is that the more a person gives – and the more one gives without seeking something in return – the wealthier (in the broadest sense of the word) one will become.{{citation needed|date=April 2013}} By giving one destroys those acquisitive impulses that ultimately lead to further suffering. Generosity is also expressed towards other sentient beings as both a cause for merit and to aid the receiver of the gift. In [[Mahayana]] Tradition it is accepted that although the [[Three Jewels|three jewels of refuge]] are the basis of the greatest merit, by seeing other sentient beings as having Buddhanature and making offerings towards the aspirational Buddha to be within them is of equal benefit. Generosity towards other sentient beings is greatly emphasised in Mahayana as one of the perfections ([[paramita]]) as shown in [[Je Tsongkhapa|Lama Tsong Khapa's]] 'The Abbreviated Points of the Graded Path' (Tibetan: ''lam-rim bsdus-don''):

{{Quote|<poem>
Total willingness to give is the wish-granting gem for fulfilling the hopes of wandering beings.
It is the sharpest weapon to sever the knot of stinginess.
It leads to [[bodhisattva]] conduct that enhances self-confidence and courage,
And is the basis for universal proclamation of your fame and repute.
Realizing this, the wise rely, in a healthy manner, on the outstanding path
Of (being ever-willing) to offer completely their bodies, possessions, and positive potentials.
The ever-vigilant lama has practiced like that.
If you too would seek liberation,
Please cultivate yourself in the same way.<ref>Tsongkhapa & Berzin (2001), verse 15.</ref>
</poem>}}

In [[Buddhism]], giving of alms is the beginning of one's journey to [[Nirvana (concept)|Nirvana]] (Pali: ''nibbana''). In practice, one can give anything with or without thought for [[Nibbana]]. This would lead to [[saddha|faith]] (Pali: ''saddha''), one [[Five Powers|key power]] (Pali: ''bala'') that one should generate within oneself for the [[Gautama Buddha|Buddha]], [[Dhamma]] and [[Sangha (Buddhism)|Sangha]].

The motives behind giving play an important role in developing spiritual qualities. The suttas record various motives for exercising generosity. For example, the Anguttara Nikaya (A.iv,236) enumerates the following eight motives:<ref>[http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/various/wheel367.html Accesstoinsight.org]</ref>

# Asajja danam deti: one gives with annoyance, or as a way of offending the recipient, or with the idea of insulting him.
# Bhaya danam deti: fear also can motivate a person to make an offering.
# Adasi me ti danam deti: one gives in return for a favor done to oneself in the past.
# Dassati me ti danam deti: one also may give with the hope of getting a similar favor for oneself in the future.
# Sadhu danan ti danam deti: one gives because giving is considered good.
# Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti: "I cook, they do not cook. It is not proper for me who cooks not to give to those who do not cook." Some give urged by such altruistic motives.
# Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati ti danam deti: some give alms to gain a good reputation.
# Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti: still others give alms to adorn and beautify the mind.

According to the [[Pali canon]]:
{{Quote|Of all gifts [alms], the gift of [[Dhamma]] is the highest.|[[Dhammapada|Dhp.]] XXIV v. 354){{refn|In Pali, this line is: "''Sabba danam, Dhamma danam jinati''." This line can be found in the ''[[Dhammapada]]'', Chapter 24, verse 354. Thanissaro (1997)<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/dhp/dhp.24.than.html#dhp-354 Accesstoinsight.org]</ref> translates this entire verse as:
{{Quote|<poem>
A gift of Dhamma conquers all gifts;
the taste of Dhamma, all tastes;
a delight in Dhamma, all delights;
the ending of craving, all suffering
& stress.
</poem>}}|group=note}}}}

==Christianity==
[[Berkas:Alms Bag taken from some Tapestry in Orleans Fifteenth Century.png|thumb|Alms bag taken from a [[tapestry]] in [[Orléans]], fifteenth century]]
The giving of alms is an act of [[Charity (practice)|charity]] toward those less fortunate. In the [[Apostolic age]], Christians were taught that giving alms was an expression of love which was first expressed by God to them in that Jesus sacrificed himself as an act of love for the salvation of believers.<ref name="james">The Book of James, chapter 1:27 (NIV) "Religion that God our Father accepts as pure and faultless is this: to look after orphans and widows in their distress and to keep oneself from being polluted by the world."</ref> The [[offertory]] is the traditional moment in [[Mass_(Catholic_Church)|Roman Catholic Mass]], [[Anglican eucharistic theology|Anglican Eucharist]], and [[Divine Service (Lutheran)|Lutheran Divine Services]] when alms are collected. Some Protestant groups, such as [[Baptist]]s or Methodists, also engage in alms, although it is more commonly referred to as "[[tithe]]s and offerings" by the church. Some fellowships practice regular giving for special purposes called [[Love Offerings]] for the poor, destitute or victims of catastrophic loss such as home fires or medical expenses. Traditionally, Deacons and Deaconesses are responsible for distributing these gifts among widows, orphans, and others in need. Many Christians support a plethora of charitable organizations not all of which claim a Christian religious affiliation. Many American Educational and Medical Institutions were founded by Christian fellowships giving alms.

[[Berkas:Collecting the Offering in a Scottish Kirk by John Phillip YORAG 384.jpg|thumb|''Collecting the Offering in a Scottish Kirk'' by [[John Phillip]]]]
In the [[Eastern Orthodox Church]] and the [[Eastern Catholic Churches]], the collection of alms and tithes has not been formally united to the offertory in any liturgical action. However, either having a collection plate in the [[narthex]] or passing it unobtrusively during the service is not uncommon. In [[Orthodox theology]], almsgiving is an important part of the spiritual life, and [[fasting]] should always be accompanied by increased prayer and almsgiving.<ref>{{Cite book
| last =Kallistos (Ware)
| last =Kallistos (Ware)
| first =Bishop
| first =Bishop
Baris 135: Baris 135:
| accessdate =
| accessdate =
| postscript =
| postscript =
}}</ref> Bederma atas nama orang yang sudah wafat juga sering kali dilakukan bersama-sama dengan pelaksanaan [[doa bagi orang-orang yang telah wafat]]. Orang-orang yang tidak mampu bederma dengan uang boleh bederma dengan cara lain, misalnya dengan [[doa syafaat|berdoa syafaat]] dan [[karya belas kasih|tindakan-tindakan welas asih]].
}}</ref> Almsgiving in the name of the deceased also frequently accompanies [[prayer for the dead]]. Those whose financial circumstances do not permit the giving of monetary alms may give alms in other ways, such as [[intercessory prayer]] and [[Works of Mercy|acts of mercy]].

Sebagian besar denominasi Kristen melakukan pengumpulan "persepuluhan dan persembahan" untuk mendanai misi, belanja, pelayanan, dan penyantunan fakir miskin yang dilakukan oleh denominasi yang bersangkutan sebagai salah satu tindakan [[kedermawanan]] Kristiani yang penting dan dipersatukan dengan doa seluruh jemaat.


Di beberapa Gereja, "piring persembahan" atau "keranjang persembahan" diletakkan di atas [[altar]] untuk menunjukkan bahwa persembahan itu ditujukan kepada Allah, dan merupakan tanda ikatan kasih Kristiani.<ref group="note">{{Alkitab|Matius 5:23–24}}</ref> Selain itu, tindakan-tindakan kedermawanan yang dilakukan secara pribadi, yang hanya dianggap mulia jika tidak dilakukan demi mendapatkan pujian orang, dipandang sebagai salah satu kewajiban seorang pemeluk agama Kristen.
In the majority of Christian forms of worship and denominations, a collection of "tithes and offerings" is given for the support of the church's mission, budget, ministry, and for its relief of the poor, as an important act of Christian [[Charity (virtue)|charity]], united to communal prayer.
In some churches the "offering plate" or "offering basket" is placed upon the [[altar]], as a sign that the offering is made to God, and a sign of the bond of Christian love.<ref group="note">Cf. {{bibleverse||Matthew|5:23–24|KJV}}</ref> In addition, private acts of charity, considered virtuous only if not done for others to admire, are seen as a Christian duty.


{{Quote|Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.|{{Alkitab|Matius 6:1}}}}
{{Quote|Be careful not to do your 'acts of righteousness' in front of others, to be seen by them. If you do, you will have no reward from your Father in heaven.|{{bibleverse||Matthew|6:1}}}}


The outward and an inward giving of alms:<br />
Sisi lahiriah dan batiniah dari tindakan bederma:<br />
Yesus mengutamakan motif-motif di balik tindakan bederma, yang seharusnya adalah kasih.
Here Jesus places the primary focus on the motives behind such acts, which should be love.
{{Quote|Rather, give as alms what is inside, and then everything will be clean for you!|{{bibleverse||Luke|11:41}}}}
{{Quote|Akan tetapi, berikanlah isinya sebagai sedekah dan sesungguhnya semuanya akan menjadi bersih bagimu.|{{Alkitab|Lukas 11:41}}}}


[[Berkas:Gospel of Luke Chapter 21-4 (Bible Illustrations by Sweet Media).jpg|thumb|Jesus commends this poor but generous woman.]]
[[Berkas:Gospel of Luke Chapter 21-4 (Bible Illustrations by Sweet Media).jpg|jmpl|Yesus memuji perempuan yang miskin namun dermawan ini.]]
Giving of the rich versus the poor:<br />
Derma orang kaya dibanding derma orang miskin:<br />
Yesus membandingkan derma dari orang kaya dengan derma dari orang miskin
Here Jesus contrasts the giving of the rich and the poor
{{Quote|Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."|{{Alkitab|Lukas 21:1–4}}}}
{{Quote|He looked up and saw the rich putting their gifts into the treasury. And He saw a poor widow putting in two small copper coins. And He said, 'Truly I say to you, this poor widow put in more than all of them; for they all out of their surplus put into the offering; but she out of her poverty put in all that she had to live on.'|{{bibleverse||Luke|21:1–4}}}}


Giving out of Love and not out of duty:<br />
Bedermalah karena cinta kasih, bukan karena diwajibkan:<br />
{{quote|He will reply, 'I tell you the truth, whatever you did not do for one of the least of these, you did not do for me.'|{{bibleverse||Matthew|25:45}}}}
{{quote|Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.|{{Alkitab|Matius 25:45}}}}


== Agama Hindu ==
== Agama Hindu ==
{{utama|Dāna}}
{{utama|Dāna}}
[[Berkas:Ravi Varma-Lady Giving Alms at the Temple.jpg|right|thumb|Seorang Lady giving alms at the Temple, by [[Raja Ravi Varma]], (1848–1906)]]
[[Berkas:Mandodari based on Raja Ravi Varma's painting (cropped).jpg|ka|jmpl|Wanita Bederma di Kuil, karya [[Raja Ravi Varma]], (1848–1906)]]


Dāna (Sanskrit: दान) is an ancient concept of alms-giving dating to the [[Vedas|Vedic period]] of Hinduism.<ref name=shahsoulful>Shah et al (2013), Soulful Corporations: A Values-Based Perspective on Corporate Social Responsibility, Springer, {{ISBN|978-8132212744}}, page 125, Quote: "The concept of Daana (charity) dates back to the Vedic period. The Rig Veda enjoins charity as a duty and responsibility of every citizen."</ref> The word for alms in Vedic literature is ''Bhiksha'' (भिक्षा).<ref>[http://spokensanskrit.de/index.php?tinput=dakSiNA&direction=SE&script=HK&link=yes&beginning=0 bhikSA] Sanskrit English Dictionary, University of Koeln, Germany</ref><ref>Alberto Garcia Gomez et al. (2014), Religious Perspectives on Human Vulnerability in Bioethics, Springer, {{ISBN|978-9401787352}}, pages 170-171</ref> The [[Rigveda]] has the earliest discussion of ''dāna'' in the [[Vedas]] and offers reasons for the virtue of alms-giving.<ref name=rhdana>R Hindery, Comparative ethics in Hindu and Buddhist traditions, The Journal of the International Association of Buddhist Studies, Vol 2, Number 1, page 105</ref>
Dāna ([[bahasa Sanskerta]]: दान) adalah gagasan kuno mengenai tindakan bederma dari [[Weda|Zaman Weda]] dalam agama Hindu.<ref name=shahsoulful>Shah dkk. (2013), Soulful Corporations: A Values-Based Perspective on Corporate Social Responsibility, Springer, {{ISBN|978-8132212744}}, halaman 125, Kutipan: "Gagasan Daana (kedermawanan) berasal dari Zaman Weda. [[Regweda]] mengajarkan kedermawanan sebagai tugas dan tanggung jawab setiap warga negara."</ref> Kata yang digunakan dengan makna "derma" dalam kesusastraan Weda adalah ''bhiksya'' (भिक्षा).<ref>[http://spokensanskrit.de/index.php?tinput=dakSiNA&direction=SE&script=HK&link=yes&beginning=0 bhikSA] Kamus Sanskerta Inggris, Universitas Koeln, Jerman</ref><ref>Alberto Garcia Gomez dkk. (2014), Religious Perspectives on Human Vulnerability in Bioethics, Springer, {{ISBN|978-9401787352}}, halaman 170-171</ref> Pembahasan tertua mengenai ''dāna'' dalam [[Weda]] termaktub dalam [[Regweda]], dan berisi penjabaran alasan-alasan untuk berbuat baik dengan cara bederma.<ref name=rhdana>R Hindery, Comparative ethics in Hindu and Buddhist traditions, The Journal of the International Association of Buddhist Studies, Jilid 2, Nomor 1, Halaman 105</ref>


{{Quote|
{{Quote|
<poem>
<poem>
Para Dewa tak menggariskan kelaparan menjadi sebab ajal kita: bahkan orang yang makan kenyang pun menemui ajal dengan berbagai cara,
The Gods have not ordained hunger to be our death: even to the well-fed man comes death in varied shape,
Harta orang yang rela melepaskannya tidaklah terbuang percuma, tetapi orang yang tidak mau memberi tak akan menemukan ketentraman hati,
The riches of the liberal never waste away, while he who will not give finds none to comfort him,
Orang yang menyimpan makanan di lumbung, yang bilamana orang miskin dalam kesukaran datang meminta makanan, tega membiarkan orang miskin itu kelaparan, bila tua kelak, tak ada orang yang menentramkan hatinya.
The man with food in store who, when the needy comes in miserable case begging for bread to eat,
Hardens his heart against him, when of old finds not one to comfort him.


Berlimpahlah rezeki orang yang memberi makan peminta-minta makanan, dan menyantuni orang yang lemah,
Bounteous is he who gives unto the beggar who comes to him in want of food, and the feeble,
Kejayaan menyertainya dalam gemuruh sorak pertempuran. Ia mendapatkan sahabat di kala susah kelak,
Success attends him in the shout of battle. He makes a friend of him in future troubles,
Tanpa sahabatlah orang yang tak memberi apa-apa bilamana sahabat dan handai tolan datang meminta makanan.
No friend is he who to his friend and comrade who comes imploring food, will offer nothing.


Hendaklah orang kaya mencukupi orang miskin yang datang meminta-minta, dan mengarahkan pandangannya ke jalan yang lebih jauh ke depan,
Let the rich satisfy the poor implorer, and bend his eye upon a longer pathway,
Kekayaan sekarang jatuh ke tangan seseorang, lalu ke tangan orang lain, terus-menerus berputar laksana roda-roda kereta,
Riches come now to one, now to another, and like the wheels of cars are ever rolling,
Bodohlah orang yang mendapatkan makanan dengan kerja yang tak berfaedah: sesungguhnya kukatakan, makanan itu adalah biang kehancurannya,
The foolish man wins food with fruitless labour: that food – I speak the truth – shall be his ruin,
Ia tidak memberi makan sahabat tepercaya, tak ada orang yang mengasihinya. Bersalah sungguh orang yang makan tanpa ditemani orang lain.
He feeds no trusty friend, no man to love him. All guilt is he who eats with no partaker.
</poem>
</poem>
|[[Rigveda]], X.117|<ref name=rthg>[[s:The Rig Veda/Mandala 10/Hymn 117|The Rig Veda]], Mandala 10, Hymn 117, [[Ralph T. H. Griffith]] (Translator)</ref>}}
|[[Regweda]], X.117|<ref name=rthg>[[s:The Rig Veda/Mandala 10/Hymn 117|Regweda]], Mandala 10, Seloka 117, [[Ralph T. H. Griffith]] (penerjemah)</ref>}}


The early [[Upanishads]], those composed before 500 BCE, also discuss the virtue of alms-giving. [[Brihadaranyaka Upanishad]], in verse 5.2.3 for example, states that three characteristics of a good, developed person are self-restraint (damah), compassion or love for all sentient life (daya), and charity (dāna).<ref name=kane>PV Kane, [https://archive.org/stream/historyofdharmas029210mbp#page/n61/mode/2up Samanya Dharma], History of Dharmasastra, Vol. 2, Part 1, page 5</ref><ref>[http://sanskritdocuments.org/all_sa/brinew-proofed_sa.html Brihadaranyaka Upanishad]</ref><ref>[https://archive.org/stream/Brihadaranyaka.Upanishad.Shankara.Bhashya.by.Swami.Madhavananda#page/n843/mode/2up Brihadaranyaka Upanishad], Translator: S Madhavananda, page 816, For discussion: pages 814-821</ref> [[Chandogya Upanishad]], Book III, similarly, states that a virtuous life requires: [[Tapas (Sanskrit)|tapas]] (meditation, asceticism), [[dāna]] (charity), [[arjava]] (straightforwardness, non-hypocrisy), [[ahimsa]] (non-violence, non-injury to all sentinent beings) and [[satya]]vacana (truthfulness).<ref>अथ यत्तपो दानमार्जवमहिँसा सत्यवचनमिति ता अस्य दक्षिणाः Source: [https://sa.wikisource.org/wiki/छान्दोग्योपनिषद्_१ Chandogya Upanishad (Sanskrit)] Verse 3.17.4, Wikisource<br>Translation: Now [[Tapas (Sanskrit)|Tapas]] (austerity, meditation), [[Dāna]] (charity, alms-giving), [[Ārjava|Arjava]] (sincerity, uprightness and non-hypocrisy), [[Ahimsa]] (non-violence, don't harm others) and [[Satya|Satya-vacanam]] (truthfulness), these are the [[Dakshina]] (gifts, payment to others) he gives [in life]. – Chandogya Upanishad 3.17.4</ref><ref>Robert Hume, [https://archive.org/stream/thirteenprincipa028442mbp#page/n233/mode/2up Chandogya Upanishad] 3.17, The Thirteen Principal Upanishads, Oxford University Press, pages 212-213</ref><ref>[https://archive.org/stream/Shankara.Bhashya-Chandogya.Upanishad-Ganganath.Jha.1942.English#page/n179/mode/2up Chandogya Upanishad with Shankara Bhashya] Ganganath Jha (Translator), pages 165-166</ref>
Kitab-kitab [[Upanisad]] terdahulu, yakni yang disusun sebelum 500 SM, juga membahas tentang kemuliaan bederma. Sebagai contoh, seloka 5.2.3 dalam [[Brihadaranyakopanisad]] mengajarkan bahwa tiga ciri dari orang yang baik dan maju adalah pengendalian diri (damah), welas asih terhadap segala makhluk hidup (daya), dan bederma (dāna).<ref name=kane>PV Kane, [https://archive.org/stream/historyofdharmas029210mbp#page/n61/mode/2up Samanya Dharma], History of Dharmasastra, Jld. 2, Bagian 1, hlm. 5</ref><ref>[http://sanskritdocuments.org/all_sa/brinew-proofed_sa.html Brihadaranyaka Upanishad]</ref><ref>[https://archive.org/stream/Brihadaranyaka.Upanishad.Shankara.Bhashya.by.Swami.Madhavananda#page/n843/mode/2up Brihadaranyaka Upanishad], Penerjemah: S Madhavananda, hlm. 816, untuk pembahasannya: hlmn. 814-821</ref> Demikian pula parwa III dari [[Candogyopanisad]] mengajarkan bahwa kehidupan yang berbudi pekerti memerlukan [[tapa]] (semadi, bertarak), [[dāna]] (bederma), [[arjawa]] (tulus, tidak munafik), [[ahimsa]] (tidak melakukan kekerasan, tidak melukai makhluk lain) dan [[satya]]wacana (jujur).<ref>अथ यत्तपो दानमार्जवमहिँसा सत्यवचनमिति ता अस्य दक्षिणाः Sumber: [https://sa.wikisource.org/wiki/छान्दोग्योपनिषद्_१ Chandogya Upanishad (bahasa Sanskerta)] seloka 3.17.4, Wikisource<br>Terjemahan: Jadi [[Tapa]] (bertarak, semadi), [[Dāna]] (beramal baik, bederma), [[Arjawa]] (terus terang, tulus, tidak munafik), [[Ahimsa]] (tidak melakukan kekerasan, tidak membahayakan sesama), dan [[Satya|Satya-wacanam]] (jujur), semuanya adalah [[Daksina]] (hadiah, pembayaran kepada pihak lain) yang dipersembahkannya [selama hidup]. – Chandogya Upanishad 3.17.4</ref><ref>Robert Hume, [https://archive.org/stream/thirteenprincipa028442mbp#page/n233/mode/2up Chandogya Upanishad] 3.17, The Thirteen Principal Upanishads, Oxford University Press, hlmn. 212-213</ref><ref>[https://archive.org/stream/Shankara.Bhashya-Chandogya.Upanishad-Ganganath.Jha.1942.English#page/n179/mode/2up Chandogya Upanishad with Shankara Bhashya] Ganganath Jha (penerjemah), hlmn. 165-166</ref>


[[Bhagavad Gita]] describes the right and wrong forms of ''dāna'' in verses 17.20 through 17.22.<ref>Christopher Key Chapple, The Bhagavad Gita: Twenty-fifth–Anniversary Edition, State University of New York Press, {{ISBN|978-1438428420}}, pages 653-655</ref> The ''[[Adi Parva]]'' of the Hindu Epic ''[[Mahabharata]]'', in Chapter 91, states that a person must first acquire wealth by honest means, then embark on charity; be hospitable to those who come to him; never inflict pain on any living being; and share a portion with others whatever he consumes.<ref>MN Dutt (Translator), [https://archive.org/stream/aproseenglishtr00duttgoog#page/n143/mode/2up Adi Parva], Chapter XCI, verses 3-4, page 132</ref> In the ''[[Vana Parva]]'', Chapter 194, the Mahabharata recommends that one must, "conquer the mean by charity, the untruthful by truth, the wicked by forgiveness, and dishonesty by honesty".<ref>MN Dutt (Translator), [https://archive.org/stream/aproseenglishtr00duttgoog#page/n737/mode/2up Vana Parva], Chapter CXCIV, verse 6, page 291</ref> The ''[[Bhagavata Purana]]'' discusses when dāna is proper and when it is improper. In Book 8, Chapter 19, verse 36 it states that charity is inappropriate if it endangers and cripples modest livelihood of one's biological dependents or of one’s own. Charity from surplus income above that required for modest living is recommended in the [[Puranas]].<ref>Sanjay Agarwal (2010), Daan and Other Giving Traditions in India,{{asin|B00E0R033S}}, page 43</ref>
[[Bhagawadgita|agawadgita]] menggambarkan bentuk-bentuk yang benar dan salah dari ''dāna'' dalam seloka 17.20 sampai seloka 17.22.<ref>Christopher Key Chapple, The Bhagavad Gita: Twenty-fifth–Anniversary Edition, State University of New York Press, {{ISBN|978-1438428420}}, hlmn. 653-655</ref> Dalam adyaya (bab) 91 dari ''[[Adiparwa]]'' (kitab pertama), salah satu parwa dalam wiracarita Hindu, ''[[Mahabarata]]'', diajarkan bahwa manusia hendaknya pertama-tama mengumpulkan kekayaan dengan cara yang jujur, barulah ia bederma; bersikap ramah-tamah terhadap orang-orang yang datang padanya; tidak menyakiti makhluk hidup lain; dan memberi sebagian dari apa saja yang ia makan kepada orang lain.<ref>MN Dutt (penerjemah), [https://archive.org/stream/aproseenglishtr00duttgoog#page/n143/mode/2up Adiparwa], Adyaya XCI, seloka 3-4, hlm. 132</ref> Dalam ''[[Wanaparwa]]'' (kitab rimba), adyaya 194, Mahabarata menganjurkan agar orang harus, "mengalahkan kekejaman dengan kedermawanan, ketidaktulusan dengan ketulusan, orang-orang jahat dengan pengampunan, dan ketidakjujuran dengan kejujuran".<ref>MN Dutt (penerjemah), [https://archive.org/stream/aproseenglishtr00duttgoog#page/n737/mode/2up Wanaparwa], adyaya CXCIV, seloka 6, hlm. 291</ref> ''[[Bagawatapurana]]'' membahas tentang bilamana dāna itu patut dan bilamana tidak patut dilakukan. Dalam parwa 8, adyaya 19, seloka 36, diajarkan bahwa kedermawanan tidak patut dilakukan bilamana membahayakan dan melumpuhkan penghidupan seisi rumah si penderma atau penghidupan si penderma sendiri. [[Purana]] menganjurkan tindakan mendermakan penghasilan yang masih tersisa sesudah dikurangi jumlah yang secukupnya untuk dipakai hidup secara sederhana.<ref>Sanjay Agarwal (2010), Daan and Other Giving Traditions in India,{{asin|B00E0R033S}}, hlm. 43</ref>


Dāna has been defined in traditional texts as any action of relinquishing the ownership of what one considered or identified as one's own, and investing the same in a recipient without expecting anything in return.<ref name=kandm3>Krishnan & Manoj (2008), Giving as a theme in the Indian psychology of values, in Handbook of Indian Psychology (Editors: Rao et al.), Cambridge University Press, {{ISBN|978-8175966024}}, pages 361-382</ref> While dāna is typically given to one person or family, Hinduism also discusses charity or giving aimed at public benefit, sometimes called ''utsarga''. This aims at larger projects such as building a rest house, school, drinking water or irrigation well, planting trees, and building care facility among others.<ref>Sanjay Agarwal (2010), Daan and Other Giving Traditions in India,{{asin|B00E0R033S}}, page 54-62</ref>
Dāna telah didefinisikan dalam karya-karya tulis tradisional sebagai segala macam tindakan pelepasan kepemilikan atas barang yang dianggap seseorang sebagai miliknya, dan menyerahkannya kepada seorang penerima tanpa mengharapkan apa-apa sebagai balasannya.<ref name=kandm3>Krishnan & Manoj (2008), Giving as a theme in the Indian psychology of values, in Handbook of Indian Psychology (Editors: Rao et al.), Cambridge University Press, {{ISBN|978-8175966024}}, hlmn. 361-382</ref> Jika dāna lazimnya ditujukan kepada satu orang atau satu keluarga, maka dalam agama Hindu ada pula pembahasan mengenai tindakan kedermawanan atau bederma demi kepentingan umum yang kadang-kadang disebut ''utsarga''. Tindakan kedermawanan ini ditujukan bagi proyek-proyek yang lebih besar misalnya proyek pembangunan petirahan, pembangunan sekolah, penggalian sumber air minum atau irigasi, penanaman pohon, dan pembangunan fasilitas perawatan.<ref>Sanjay Agarwal (2010), Daan and Other Giving Traditions in India,{{asin|B00E0R033S}}, hlmn. 54-62</ref>


[[Abū Rayḥān al-Bīrūnī]], the 11th century Persian historian, who visited and lived in India for 16 years from about 1017 CE, mentions the practice of charity and almsgiving among Hindus as he observed during his stay. He wrote, "It is obligatory with them (Hindus) every day to give alms as much as possible."<ref name=birunihind>Alberuni's India (v. 2), [http://www.columbia.edu/cu/lweb/digital/collections/cul/texts/ldpd_5949073_002/pages/ldpd_5949073_002_00000157.html?toggle=image&menu=maximize&top=&left= Chapter LXVII, On Alms and how a man must spend what he earns], Columbia University Libraries, London : Kegan Paul, Trübner & Co., (1910), pages 149-150</ref>
[[Al-Biruni|Abū Raiḥān Al-Bīrūnī]], sejarawan Persia pada abad ke-11 yang pernah tinggal selama 16 tahun di India sejak sekitar 1017 M, mencatat tentang praktik bederma dan kedermawanan di kalangan umat Hindu yang ia saksikan selama berada di negeri itu. Al-Biruni menulis bahwa "sudah merupakan kewajiban bagi mereka (umat Hindu) untuk setiap hari bederma sebanyak mungkin."<ref name=birunihind>Alberuni's India (Jld. 2), [http://www.columbia.edu/cu/lweb/digital/collections/cul/texts/ldpd_5949073_002/pages/ldpd_5949073_002_00000157.html?toggle=image&menu=maximize&top=&left= Bab LXVII, On Alms and how a man must spend what he earns], Columbia University Libraries, London : Kegan Paul, Trübner & Co., (1910), hlmn. 149-150</ref>


{{quote|After the taxes, there are different opinions on how to spend their income. Some destine one-ninth of it for alms.<ref>Al Biruni states that another one-ninth is put into savings/reserve, one-ninth in investment/trade for profits</ref> Others divide this income (after taxes) into four portions. One fourth is destined for common expenses, the second for liberal works of a noble mind, the third for alms, and the fourth for being kept in reserve.| Abū Rayḥān al-Bīrūnī, Tarikh Al-Hind, 11th century AD<ref name="birunihind"/>}}
{{quote|Selain untuk membayar pajak, ada berbagai pendapat lain mengenai bagaimana cara orang memanfaatkan penghasilannya. Sebagian orang menyisihkan sepersembilan dari penghasilannya untuk didermakan.<ref>Al Biruni meriwayatkan bahwa sepesembilan lagi ditabung, dan sepersembilan lainnya diinvestasikan (diusahakan) untuk mendapatkan laba</ref> Sebagian yang lain membagi penghasilannya (sesudah dikurangi pajak) menjadi empat bagian. Seperempat bagian yang pertama disisihkan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, seperempat bagian yang kedua disisihkan untuk karya-karya bebas dari pujangga berakal mulia, seperempat bagian yang ketiga disisihkan untuk didermakan, dan seperempat bagian yang keempat disisihkan untuk ditabung.| Abū Rayḥān Al-Bīrūnī, Tarikh Al-Hind, abad ke-11 M<ref name="birunihind"/>}}


Alms-giving is held as a noble deed in Hinduism, to be done without expectation of any return from those who receive the charity.<ref name=kandm3/> Some texts reason, referring to the nature of social life, that charity is a form of good karma that affects one's future circumstances and environment, and that good charitable deeds leads to good future life because of the [[Reciprocity (social psychology)|reciprocity principle]].<ref name=kandm3/> Other Hindu texts, such as ''Vyasa Samhita'', state that reciprocity may be innate in human nature and social functions but dāna is a virtue in itself, as doing good lifts the nature of one who gives.<ref>MN Dutt (1979), {{Google books|tws7AAAAMAAJ|The Dharma-shastras}}, Volumes 3, Cosmo Publishers, pages 20-29</ref> The texts do not recommend charity to unworthy recipients or where charity may harm or encourage injury to or by the recipient. Dāna, thus, is a [[dharma|dharmic]] act, requires idealistic-normative approach, and has spiritual and philosophical context.<ref name=kandm3/> Some medieval era authors state that ''dāna'' is best done with ''shraddha'' (faith), which is defined as being in good will, cheerful, welcoming the recipient of the charity and giving without ''anasuya'' (finding faults in the recipient).<ref name=bilimoriadaana/> These scholars of Hinduism, states Kohler, suggest that charity is most effective when it is done with delight, a sense of "unquestioning hospitality", where the ''dāna'' ignores the short term weaknesses as well as the circumstances of the recipient and takes a long term view.<ref name=bilimoriadaana>P Bilimoria et al. (2007), Dana as a Moral Category, in Indian Ethics: Classical traditions and contemporary challenges, Volume 1, {{ISBN|978-0754633013}}, pages 196-197 with footnotes</ref>
Tindakan bederma dihargai sebagai perbuatan yang mulia dalam agama Hindu, dan dianjurkan untuk dilakukan tanpa mengharapkan balas budi dari pihak yang menerimanya.<ref name=kandm3/> Sejumlah karya tulis, dengan mengacu pada hakikat kehidupan bermasyarakat, mengemukakan bahwa kedermawanan adalah salah satu bentuk karma baik yang berpengaruh pada keadaan dan lingkungan hidup seseorang di masa depan karena berlakunya [[Timbal balik (psikologi sosial)|asas timbal balik]].<ref name=kandm3/> Dalam karya-karya tulis Hindu lainnya, misalnya ''Wyasa Samhita'', diajarkan bahwa asas timbal balik mungkin saja merupakan bawaan lahir dan kelaziman dalam masyarakat namun dāna dengan sendirinya merupakan suatu kebajikan, karena perbuatan baik memuliakan fitrah pelakunya.<ref>MN Dutt (1979), {{Google books|tws7AAAAMAAJ|The Dharma-shastras}}, Jld. 3, Cosmo Publishers, hlmn. 20-29</ref> Naskah-naskah ini tidak menganjurkan tindakan kedermawanan terhadap orang-orang yang tidak patut menerimanya atau jika derma dapat membahayakan penerimanya, merangsang orang untuk melukai penerimanya, atau merangsang penerimanya untuk melukai orang lain. Jadi, dāna adalah suatu tindakan [[dharma|darma]], yang memerlukan pendekatan idealistik-normatif, dan yang memiliki konteks rohaniah dan filsafati.<ref name=kandm3/> Sejumlah pujangga Abad Pertengahan mengemukakan bahwa ''dāna'' sebaiknya dilakukan dengan ''srada'' (rasa percaya), yang diartikan dengan berniat baik, riang gembira, menyambut si penerima derma, dan bederma tanpa ''anasuya'' (mencari-cari kesalahan si penerima).<ref name=bilimoriadaana/> Menurut Kohler, para cerdik pandai Hindu ini menyiratkan bahwa kedermawanan akan sangat efektif bilamana dilakukan dengan senang hati, suatu "keramahtamahan tanpa ragu-ragu", di mana ''dāna'' menafikan kelemahan-kelemahan jangka pendek serta keadaan si penerima dan menggunakan cara pandang jangka panjang.<ref name=bilimoriadaana>P Bilimoria et al. (2007), Dana as a Moral Category, in Indian Ethics: Classical traditions and contemporary challenges, Jld. 1, {{ISBN|978-0754633013}}, hlmn. 196-197 disertai catatan kaki</ref>


''Satrams'', also called ''Dharamsala'' or ''Chathrams'' in parts of India, have been one means of alms-giving in Hinduism. Satrams are shelters (rest house) for travelers and the poor, with many serving water and free food. These were usually established along the roads connecting major [[Hindu temple]] sites in south Asia, as well as near major temples.<ref>KN Kumari (1998), History of the Hindu Religious Endowments in Andhra Pradesh, {{ISBN|978-8172110857}}, page 128</ref><ref>Kota Neelima (2012), Tirupati, Random House, {{ISBN|978-8184001983}}, pages 50-52; Prabhavati C. Reddy (2014), Hindu Pilgrimage: Shifting Patterns of Worldview of Srisailam in South India, Routledge, {{ISBN|978-0415659970}}, page 190</ref><ref>[http://www.thehindu.com/todays-paper/tp-features/tp-sundaymagazine/sanctuaries-of-times-past/article487938.ece Sanctuaries of times past] The Hindu (June 27, 2010)</ref>
''Satram'', ''catram'', atau ''daramsala'' di India merupakan salah satu sarana untuk bederma dalam agama Hindu. Satram adalah pondokan atau rumah singgah bagi para musafir dan fakir miskin. Banyak di antaranya menyediakan air dan makanan secara cuma-cuma. Satram-satram ini lazimnya dibangun di sepanjang jalan yang menghubungkan situs-situs [[kuil Hindu]] utama di Asia Selatan, dan juga di bangun di dekat kuil-kuil besar.<ref>KN Kumari (1998), History of the Hindu Religious Endowments in Andhra Pradesh, {{ISBN|978-8172110857}}, hlm. 128</ref><ref>Kota Neelima (2012), Tirupati, Random House, {{ISBN|978-8184001983}}, hlmn. 50-52; Prabhavati C. Reddy (2014), Hindu Pilgrimage: Shifting Patterns of Worldview of Srisailam in South India, Routledge, {{ISBN|978-0415659970}}, hlm. 190</ref><ref>[http://www.thehindu.com/todays-paper/tp-features/tp-sundaymagazine/sanctuaries-of-times-past/article487938.ece Sanctuaries of times past] The Hindu (27 Juni 2010)</ref>


[[Hindu temple]]s have served as institutions for alms-giving.<ref>SK Aiyangar, Ancient India: Collected Essays on the Literary and Political History, Asian Educational Services, {{ISBN|978-8120618503}}, pages 158-164</ref><ref name=burste/> The ''dāna'' the temples received from Hindus were used to feed people in distress as well as fund public projects such as irrigation and land reclamation.<ref name=burste>[[Burton Stein]], The Economic Function of a Medieval South Indian Temple, The Journal of Asian Studies, Vol. 19 (February, 1960), pp 163-76</ref><ref>Burton Stein (February 4, 1961), The state, the temple and agriculture development, The Economic Weekly Annual, pp 179-187</ref> Other forms of alms-giving in Hinduism includes donating means of economic activity and food source. For example, Go Dāna (donation of a cow),<ref>Padma (1993), The Position of Women in Mediaeval Karnataka, Prasaranga, University of Mysore Press, page 164</ref> Bhu Dāna (भू दान) (donation of land), and ''Vidya Dāna'' or [[Jnana|Jňana]] Dāna (विद्या दान, ज्ञान दान): gift of knowledge and skills, ''Aushadhā Dāna'': Charity of care for the sick and diseased, ''Abhay Dāna'': Giving freedom from fear (asylum, protection to someone facing imminent injury), and ''Anna Dāna'' (अन्ना दान): Giving food to the poor, needy and all visitors.<ref>Abbe Dubois and Henry Beauchamp (2007), Hindu Manners, Customs and Ceremonies, {{ISBN|978-1602063365}}, pages 223, 483-495</ref> Between giving food and giving knowledge, Hindu texts suggest the gift of knowledge is superior.<ref>Maria Heim (2004), Theories of the Gift in South Asia: Hindu, Buddhist, and Jain Reflections, Routledge, {{ISBN|978-0415970303}}, pages xv-xxvi, 141-149 and Chapter 2</ref><ref>[http://www.chitrapurmath.net/sanskrit/subhashitas/Subhashita%206.%20The%20Gift%20of%20Knowledge..pdf The Gift of Knowledge] Chitrapur Matha, India</ref>
[[Kuil Hindu|Kuil-kuil Hindu]] telah diberdayakan sebagai lembaga-lembaga karya amal.<ref>SK Aiyangar, Ancient India: Collected Essays on the Literary and Political History, Asian Educational Services, {{ISBN|978-8120618503}}, hlmn. 158-164</ref><ref name=burste/> ''Dāna'' persembahan umat Hindu yang terkumpul di kuil-kuil digunakan untuk memberi makanan kepada orang-orang yang membutuhkan, serta untuk mendanai proyek-proyek pekerjaan umum seperti pengerjaan irigasi dan lahan reklamasi.<ref name=burste>[[Burton Stein]], The Economic Function of a Medieval South Indian Temple, The Journal of Asian Studies, Jld. 19 (Februari, 1960), hlmn. 163-76</ref><ref>Burton Stein (4 Februari 1961), The state, the temple and agriculture development, The Economic Weekly Annual, hlmn. 179-187</ref> Bentuk-bentuk lain dari tindakan bederma dalam agama Hindu meliputi pemberian sumbangan berupa sarana-sarana kegiatan ekonomi dan penyediaan sumber pangan, misalnya ''Go Dāna'' (sumbangan berupa seekor lembu),<ref>Padma (1993), The Position of Women in Mediaeval Karnataka, Prasaranga, University of Mysore Press, hlm. 164</ref> ''bu dāna'' (भू दान, sumbangan lahan), ''widya dāna'' atau ''[[Jnana|nyana]] dāna'' (विद्या दान atau ज्ञान दान, sumbangan ilmu pengetahuan dan keterampilan), ''ausadā dāna'' (sumbangan pengobatan bagi orang sakit dan pemberantasan wabah penyakit), ''abaya dāna'' (sumbangan perlindungan dari rasa takut bagi orang yang sedang terancam bahaya), dan ''ana dāna'' (अन्ना दान, sumbangan makanan kepada fakir miskin, orang yang kelaparan, dan para musafir).<ref>Abbe Dubois and Henry Beauchamp (2007), Hindu Manners, Customs and Ceremonies, {{ISBN|978-1602063365}}, hlmn. 223, 483-495</ref> Menurut karya-karya tulis agama Hindu, sumbangan ilmu pengetahuan jauh lebih mulia daripada sumbangan makanan.<ref>Maria Heim (2004), Theories of the Gift in South Asia: Hindu, Buddhist, and Jain Reflections, Routledge, {{ISBN|978-0415970303}}, hlmn. xv-xxvi, 141-149 dan bab 2</ref><ref>[http://www.chitrapurmath.net/sanskrit/subhashitas/Subhashita%206.%20The%20Gift%20of%20Knowledge..pdf The Gift of Knowledge] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150926034428/http://www.chitrapurmath.net/sanskrit/subhashitas/Subhashita%206.%20The%20Gift%20of%20Knowledge..pdf |date=2015-09-26 }} Chitrapur Matha, India</ref>
-->


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
* [[Bhiksa]]
* [[Bhiksa]]
* [[Freeganisme|Freegan]]
* [[Freeganisme|Freegan]]
* [[Mendikan|Tarekat pengemis]]
* [[Mendikan|Tarekat fakir Kristen]]
* [[Mesulah]]
* [[Mesulah]]
* [[Qardul Hasan]]
* [[Qardul Hasan]]

Revisi terkini sejak 14 Maret 2024 19.51

Perempuan bederma, lukisan karya János Thorma

Derma adalah uang, pangan, atau benda-benda lain yang disumbangkan kepada fakir miskin. Memberi derma kerap dianggap sebagai amal kasih. Tindakan memberi derma disebut bederma.

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Kata derma berasal dari kata Sangsekerta dharma (धर्म), yang berarti kepatutan, kebajikan, perbuatan yang benar, atau amal saleh. Istilah lain untuk derma adalah sedekah, dari kata Arab ṣadaqah (صدقة), yang berarti segala macam kebajikan yang diperbuat dengan tulus ikhlas kepada sesama manusia.

Agama Buddha

[sunting | sunting sumber]
Mangkuk derma yang dibawa para biksu bilamana berkeliling mengumpulkan derma.
Tiga orang biksu mengumpulkan derma di Lhasa, Tibet (1993).

Dalam agama Buddha, baik tindakan "bederma" maupun tindakan "memberi" disebut dāna.[1] Berdāna merupakan salah satu dari ketiga jalan amalan yang dianjurkan oleh Sang Buddha kepada umat awam.[2] Tiga jalan amalan bagi umat awam adalah dāna, sīla, dan bāwanā.[3]

Tindakan bederma adalah sarana penghubung manusia dengan biksu atau biksuni beserta hal-hal yang diwakili oleh biksu atau biksuni tersebut, sebagaimana sabda Sang Buddha:

yang berumah (grihapati) dan yang tak berumah (biksu-biksuni)
saling bergantung satu sama lain
kedua-duanya mencapai Darma sejati....

Dalam agama Buddha mazhab Theravada, biksu dan biksuni berkeliling setiap hari untuk mengumpulkan derma (pindacara) berupa persembahan makanan (piṇḍapāta). Tindakan ini sering kali dianggap sebagai pembukaan kesempatan bagi umat awam untuk menciptakan pahala kebajikan (puṇya). Uang tidak dapat diterima oleh seorang biksu mazhab Theravada, baik yang diberikan sebagai pengganti maupun bersama makanan, karena menurut aturan pelatihan pratimoksa (Pali: patimokkha) penerimaan uang merupakan suatu pelanggaran yang patut diganjari penyitaan dan pengakuan bersalah.[5]

Di negara-negara penganut mazhab Mahayana, praktik pindacara sudah nyaris punah. Di Tiongkok, Korea, dan Jepang, budaya masyarakat setempat menolak gagasan memberi makanan kepada para biksu 'peminta-minta', dan tidak ada pula tradisi menciptakan pahala kebajikan melalui tindakan bederma kepada para biksu yang mempraktikkan pindacara. Selepas kurun waktu penindasan, biara-biara dibangun di daerah-daerah pegunungan yang terpencil sehingga jarak yang jauh antara biara dan kota-kota terdekat memustahilkan praktik pindacara. Di Jepang, praktik takuhatsu yang dilakukan setiap minggu atau setiap bulan menggantikan praktik pindacara. Di negara-negara pegunungan Himalaya, jumlah biksu yang sangat banyak membuat pelaksanaan pindacara berpotensi membebani keluarga-keluarga di sekitar biara. Persaingan dengan agama-agama lain dalam meminta dukungan masyarakat juga membuat praktik pindacara menjadi sukar dan bahkan membahayakan keselamatan jiwa; biksu-biksu pertama di Kerajaan Silla di Korea konon dipukuli orang karena jumlah mereka yang sangat sedikit kala itu.

Dalam agama Buddha terdapat suatu paradoks bahwasanya semakin banyak orang memberi – dan semakin banyak orang memberi tanpa pamrih – semakin makmur (dalam arti luas) pula orang itu kelak. Melalui tindakan memberi, orang menghancurkan nafsu serakah yang dapat membuat hidupnya semakin menderita. Kedermawanan juga ditunjukkan terhadap makhluk-makhluk lain, baik sebagai sarana menciptakan pahala kebajikan maupun untuk membantu si penerima. Dalam tradisi mazhab Mahayana, meskipun Triratna tempat berlindung merupakan dasar dari pahala kebajikan yang terbesar, dengan memandang mahkluk lain sebagai pihak yang memiliki fitrah Buddha dan memberi persembahan bagi ujud murni Buddha untuk berdiam di dalamnya akan sama berfaedahnya. Kedermawanan terhadap makhluk-makhluk lain sangat ditekankan dalam mazhab Mahayana sebagai salah satu dari kesempurnaan (paramita) sebagaimana yang termaktub dalam risalah Lama Tsongkhapa yang berjudul 'Pokok-Pokok Ringkas dari Jalan Bertahap' (bahasa Tibet Baku: lam-rim bsdus-don):

Kerelaan yang bulat untuk memberi adalah permata pengabul keinginan yang mampu mengabulkan harapan-harapan dari makhluk-makhluk yang sedang mengembara.
Ialah senjata tertajam untuk meretas simpul kekikiran.
Ialah penuntun menuju perilaku bodhisatwa (makhluk yang tercerahkan) yang memperbesar rasa percaya diri dan keberanian,
dan merupakan landasan bagi pemakluman ketenaran dan kehormatanmu ke seluruh jagat.
Sadar akan hal ini, orang yang bijaksana secara sehat menggantungkan hidupnya pada jalan mulia
yakni (senantiasa dengan rela hati) sepenuhnya menyerahkan raga, harta benda, dan kesanggupan-kesanggupan baik mereka.
Para lama yang senantiasa waspada telah menjalani laku yang demikian.
Jikalau engkau juga hendak mencari pembebasan,
alangkah baiknya jika engkau menempa dirimu dengan laku yang sama.[6]

Dalam agama Buddha, tindakan bederma adalah permulaan dari perjalanan mencapai nirwana (Pali: nibbana). Pada praktiknya, orang dapat memberi apa saja dengan maupun tanpa disertai niat mencapai nirwana. Tindakan ini dapat menuntun orang mencapai keimanan (Pali: saddha), yakni salah satu kuasa utama (Pali: bala) yang harus dibangkitkan orang dalam dirinya bagi Buddha, Darma, dan Sangga.

Alasan-alasan yang mendasari tindakan bederma memainkan peranan yang penting dalam pengembangan keunggulan-keunggulan rohani. Kitab-kitab sutra (Pali: sutta) memuat berbagai macam alasan yang mendorong orang untuk bersikap dermawan. Sebagai contoh, Angguttara Nikaya (A.iv,236) memerinci delapan alasan sebagai berikut:[7]

  1. Asajja danam deti: memberi untuk menghina (memberi agar si penerima merasa terhina, atau memberi dengan maksud menghina si penerima).
  2. Bhaya danam deti: memberi karena takut bahaya.
  3. Adasi me ti danam deti: memberi sebagai balasan pemberian yang pernah diterima di masa lampau.
  4. Dassati me ti danam deti: memberi dengan harapan dibalas dengan pemberian serupa di kemudian hari.
  5. Sadhu danan ti danam deti: memberi karena tindakan memberi dianggap baik.
  6. Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti: "Aku memasak, mereka tidak memasak. Tidaklah pantas jika aku yang memasak ini tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak" (memberi karena rasa peduli).
  7. Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati ti danam deti: memberi agar tampak baik di mata orang lain.
  8. Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti: memberi demi menghias dan memperindah akal budi.

Menurut kanon Pali:

Dari segala pemberian, pemberian Darmalah yang tertinggi.

— Dhp. XXIV ayat 354)[note 2]

Agama Yahudi

[sunting | sunting sumber]
Ukiran kotak tzedakah (puske) pada patahan sebuah batu nisan di Pekuburan Yahudi di Otwock (Karczew-Anielin), Polandia.
Pundi-pundi tzedakah dan gelt (koin atau uang dalam bahasa Yiddi).

Dalam agama Yahudi, tzedakah (bahasa Ibrani: צדקה, ṣedakah‎, secara harfiah berarti kebenaran, tetapi lazim pula diartikan sebagai kedermawanan[9]) mengacu pada kewajiban pemeluk agama Yahudi untuk bertindak benar dan adil.[10] Pemberian tzedakah sekarang ini dianggap sebagai kelanjutan dari praktik ma'ser ani atau penyisihan sepersepuluh dari hasil bumi bagi fakir miskin, serta praktik-praktik kedermawanan lain yang diamanatkan dalam Alkitab, seperti mengizinkan fakir miskin menuai hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladang, dan membiarkan siapa saja menikmati hasil bumi yang tumbuh selama Smitah (tahun sabat). Tzedakah, disertai doa dan pertobatan, dianggap sebagai penawar bagi ganjaran perbuatan buruk.

Dalam agama Yahudi, tzedakah (kedermawanan) dipandang sebagai salah satu perbuatan termulia yang dapat dilakukan oleh manusia.[11] Para petani Yahudi dilarang memanen hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladangnya maupun memungut panenan yang terjatuh, sehingga dapat dimanfaatkan oleh fakir miskin.

Rohaniwan besar Yahudi, Musa bin Maimun, pernah menyusun sebuah daftar tindakan kedermawanan. Menurut Musa bin Maimun, tindakan kedermawanan yang paling benar adalah memampukan si penerima menjadi pribadi yang mandiri sehingga mampu bertindak dermawan terhadap orang lain. Tindakan-tindakan kedermawanan dalam daftar yang disusunnya adalah sebagai berikut:[12]

  1. Memandirikan si penerima
  2. Memberi bilamana si pemberi dan si penerima tidak saling kenal
  3. Memberi bilamana si pemberi mengenal si penerima, tetapi si penerima tidak mengenal si pemberi
  4. Memberi bilamana si pemberi tidak mengenal si penerima, tetapi si penerima mengenal si pemberi
  5. Memberi sebelum diminta
  6. Memberi sesudah diminta
  7. Memberi kurang dari yang mampu diberikan, tetapi dilakukan dengan rela
  8. Memberi dengan bersungut-sungut

Agama Islam

[sunting | sunting sumber]

Dalam agama Islam, pada umumnya konsep kedermawanan dibedakan menjadi sadaqah dan zakat. Sadaqah berarti bederma secara suka rela, sementara zakat berarti bederma menurut ketentuan syariat Islam demi menunaikan kewajiban selaku pemeluk agama Islam dan warga masyarakat. Oleh karena itu, meskipun zakat memainkan peranan yang lebih besar bagi karya amal Islam, agaknya sadaqah yang lebih semakna dengan 'derma'.

Zakat adalah rukun (saka guru) ketiga dari lima rukun Islam.[13][14] Ada berbagai aturan terkait pelaksanaan zakat, tetapi secara umum, orang diwajibkan untuk menyerahkan 2,5% dari jumlah simpanan dan pendapatan usahanya, serta 5–10% dari hasil panennya kepada fakir miskin. Para penerima zakat meliputi orang-orang yang nyaris tidak memiliki apa-apa, orang-orang yang berpenghasilan sangat rendah, orang-orang yang tidak sanggup membayar utang, orang-orang yang kehabisan dana dalam perjalanan, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Prinsip umum zakat adalah zakaah, yakni yang kaya harus memberi kepada yang miskin. Salah satu prinsip penting dalam agama Islam adalah ajaran bahwa segala sesuatu merupakan milik Allah, sehingga harta kekayaan hanya boleh disimpan sebagai titipan untuk dikelola.

Arti harfiah dari kata zakat adalah "memurnikan", "mengembangkan", dan "memicu pertumbuhan". Menurut syariat Islam, zakat adalah ibadah. Harta kekayaan seorang Muslim dimurnikan melalui tindakan memisahkan sebagian dari harta kekayaan itu bagi orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana tanaman dipangkas guna meremajakannya dan merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.

Zakat adalah sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh setiap Muslim dewasa, pria maupun wanita, yang waras (sehat rohani), merdeka, dan mampu secara finansial, untuk digunakan sebagai dana bantuan bagi pihak-pihak tertentu.

Pihak-pihak tertentu ini diperinci dalam surah At-Taubah ayat 60:

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (Al-Qur'an 9:60).

Sifat wajib dari Zakat ditetapkan dalam Al-Qur'an, sunah (atau hadis), dan mufakat para sahabat nabi dan para ulama. Allah berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 34–35:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (Al-Qur'an 9:34–35).

Umat Muslim dari zaman ke zaman sepakat mengenai sifat wajib membayar Zakat atas emas dan perak, dan Zakat atas berbagai macam alat tukar lainnya.

Zakat menjadi wajib bilamana jumlah uang telah mencapai atau melebihi batas tertentu yang disebut nisab. Zakat tidak wajib jika jumlah uang yang dimiliki masih di bawah nisab. Nisab (atau jumlah terendah) untuk emas dan alat tukar dari emas adalah 20 miskal, yakni sekitar 85 gram emas murni. Satu miskal kurang lebih setara dengan 4,25 gram. Nisab untuk perak dan alat tukar dari perak adalah 200 dirham, yakni sekitar 595 gram perak murni. Nisab untuk jenis uang dan alat tukar lainnya disesuaikan dengan nisab untuk emas; nisab untuk uang setara dengan harga 85 gram emas 999 (emas murni) pada hari pembayaran Zakat.

Zakat menjadi wajib setelah uang berada dalam penguasaan pemiliknya sepanjang satu tahun kamariah. Jika telah memenuhi persyaratan waktu penguasaan ini, maka pemilik uang wajib merelakan 2,5% (atau 1/40) dari uangnya sebagai Zakat (satu tahun kamariah terdiri atas kurang lebih 355 hari). Pemilik uang harus terlebih dahulu mengurangkan jumlah uang yang ia simpan dengan jumlah uang yang ia pinjam dari orang lain; jika jumlah yang tersisa sudah mencapai nisab, barulah dihitung Zakat yang harus dibayar.

Jika si pemilik uang memiliki uang dalam jumlah yang sudah mencapai nisab pada awal tahun kamariah, namun jumlah kekayaannya kemudian meningkat sepanjang tahun itu, maka si pemilik uang harus menambahkan jumlah peningkatan kekayaannya pada jumlah uang yang sudah mencapai nisab pada awal tahun, barulah kemudian menghitung zakat yang harus ia bayar, yakni 2,5% dari jumlah keseluruhan uang yang ia miliki pada akhir tahun kamariah. Ada sejumlah perbedaan kecil di antara mazhab-mazhab fikih mengenai cara menghitung zakat. Tiap-tiap Muslim menghitung sendiri jumlah zakat yang harus dibayarnya. Nyaris semua perhitungan zakat mencakup pula pembayaran tahunan sebesar 2,5% dari jumlah modal yang dimiliki seseorang.

Orang yang saleh dapat pula bederma sekehendak hatinya dalam bentuk sadaqah, dan dianjurkan untuk melakukannya secara diam-diam. Meskipun dapat diartikan sebagai "sumbangan sukarela", kata "sadaqah" sebenarnya mengandung makna yang luas. Nabi Muhammad diriwayatkan pernah mengajarkan bahwa sekadar berwajah cerah ketika berjumpa dengan saudara seiman sudah merupakan suatu sadaqah.

Nabi bersabda, "tiap muslim wajib bersadaqah." Para sahabat bertanya, "bagaimana kalau ia tidak memiliki sesuatu?" Nabi menjawab, "bekerja dengan keterampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersadaqah." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak mampu?" Nabi menjawab, "menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak melakukannya?" Nabi menjawab, "beramar ma'ruf." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak melakukannya?" Nabi menjawab, "mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sadaqah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Agama Kristen

[sunting | sunting sumber]
Gambar pundi-pundi derma yang ditampilkan dalam sehelai tenunan dewangga di Orléans, abad ke-15.

Bederma adalah adalah amal kasih terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Pada masa hidup rasul-rasul Yesus, umat Kristen diajari bahwa bederma adalah ungkapan cinta kasih yang pertama-pertama diungkapkan oleh Allah melalui pengorbanan diri Yesus selaku suatu amal kasih demi keselamatan umat beriman.[15] Persembahan adalah bagian dari perayaan Misa Katolik Roma, ibadat Ekaristi Anglikan, dan kebaktian Lutheran manakala derma dikumpulkan. Sejumlah denominasi Kristen Protestan, seperti gereja Baptis atau gereja Metodis, juga melakukan pengumpulan derma, namun lebih sering menyebutnya sebagai pengumpulan "persepuluhan dan persembahan". Sejumlah denominasi Kristen mempraktikkan pengumpulan derma khusus secara teratur yang disebut persembahan kasih demi membantu fakir miskin, orang-orang yang tertimpa kemalangan atau bencana seperti kebakaran rumah atau biaya pengobatan yang besar. Menurut tradisi, para diakon bertanggung jawab mendistribusikan dana yang terkumpul kepada para janda, yatim piatu, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Banyak umat Kristen yang mendukung karya amal yang dilakukan oleh berbagai organisasi amal, meskipun tidak semuanya berkaitan dengan denominasi Kristen tertentu. Banyak lembaga pendidikan dan pengobatan Amerika yang didirikan oleh paguyuban-paguyuban Kristen melalui pengumpulan derma.

Pengumpulan persembahan di sebuah Kirk Skotlandia karya John Phillip

Di Gereja-Gereja Ortodoks Timur dan Gereja-Gereja Katolik Timur, pengumpulan derma dan sumbangan persepuluhan tidak disatukan dengan upacara persembahan dalam ibadat. Meskipun demikian, meletakkan piring persembahan di narteks gereja atau mengedarkannya selama ibadat berlangsung tidak jarang pula dilakukan. Dalam teologi Ortodoks, bederma merupakan bagian penting dari hidup rohani, dan berpuasa selayaknya selalu dilakukan bersama-sama dengan berdoa dan bederma.[16] Bederma atas nama orang yang sudah wafat juga sering kali dilakukan bersama-sama dengan pelaksanaan doa bagi orang-orang yang telah wafat. Orang-orang yang tidak mampu bederma dengan uang boleh bederma dengan cara lain, misalnya dengan berdoa syafaat dan tindakan-tindakan welas asih.

Sebagian besar denominasi Kristen melakukan pengumpulan "persepuluhan dan persembahan" untuk mendanai misi, belanja, pelayanan, dan penyantunan fakir miskin yang dilakukan oleh denominasi yang bersangkutan sebagai salah satu tindakan kedermawanan Kristiani yang penting dan dipersatukan dengan doa seluruh jemaat.

Di beberapa Gereja, "piring persembahan" atau "keranjang persembahan" diletakkan di atas altar untuk menunjukkan bahwa persembahan itu ditujukan kepada Allah, dan merupakan tanda ikatan kasih Kristiani.[note 3] Selain itu, tindakan-tindakan kedermawanan yang dilakukan secara pribadi, yang hanya dianggap mulia jika tidak dilakukan demi mendapatkan pujian orang, dipandang sebagai salah satu kewajiban seorang pemeluk agama Kristen.

Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.

Sisi lahiriah dan batiniah dari tindakan bederma:
Yesus mengutamakan motif-motif di balik tindakan bederma, yang seharusnya adalah kasih.

Akan tetapi, berikanlah isinya sebagai sedekah dan sesungguhnya semuanya akan menjadi bersih bagimu.

Yesus memuji perempuan yang miskin namun dermawan ini.

Derma orang kaya dibanding derma orang miskin:
Yesus membandingkan derma dari orang kaya dengan derma dari orang miskin

Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."

Bedermalah karena cinta kasih, bukan karena diwajibkan:

Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.

Agama Hindu

[sunting | sunting sumber]
Wanita Bederma di Kuil, karya Raja Ravi Varma, (1848–1906)

Dāna (bahasa Sanskerta: दान) adalah gagasan kuno mengenai tindakan bederma dari Zaman Weda dalam agama Hindu.[17] Kata yang digunakan dengan makna "derma" dalam kesusastraan Weda adalah bhiksya (भिक्षा).[18][19] Pembahasan tertua mengenai dāna dalam Weda termaktub dalam Regweda, dan berisi penjabaran alasan-alasan untuk berbuat baik dengan cara bederma.[20]

Para Dewa tak menggariskan kelaparan menjadi sebab ajal kita: bahkan orang yang makan kenyang pun menemui ajal dengan berbagai cara,
Harta orang yang rela melepaskannya tidaklah terbuang percuma, tetapi orang yang tidak mau memberi tak akan menemukan ketentraman hati,
Orang yang menyimpan makanan di lumbung, yang bilamana orang miskin dalam kesukaran datang meminta makanan, tega membiarkan orang miskin itu kelaparan, bila tua kelak, tak ada orang yang menentramkan hatinya.

Berlimpahlah rezeki orang yang memberi makan peminta-minta makanan, dan menyantuni orang yang lemah,
Kejayaan menyertainya dalam gemuruh sorak pertempuran. Ia mendapatkan sahabat di kala susah kelak,
Tanpa sahabatlah orang yang tak memberi apa-apa bilamana sahabat dan handai tolan datang meminta makanan.

Hendaklah orang kaya mencukupi orang miskin yang datang meminta-minta, dan mengarahkan pandangannya ke jalan yang lebih jauh ke depan,
Kekayaan sekarang jatuh ke tangan seseorang, lalu ke tangan orang lain, terus-menerus berputar laksana roda-roda kereta,
Bodohlah orang yang mendapatkan makanan dengan kerja yang tak berfaedah: sesungguhnya kukatakan, makanan itu adalah biang kehancurannya,
Ia tidak memberi makan sahabat tepercaya, tak ada orang yang mengasihinya. Bersalah sungguh orang yang makan tanpa ditemani orang lain.

— Regweda, X.117, [21]

Kitab-kitab Upanisad terdahulu, yakni yang disusun sebelum 500 SM, juga membahas tentang kemuliaan bederma. Sebagai contoh, seloka 5.2.3 dalam Brihadaranyakopanisad mengajarkan bahwa tiga ciri dari orang yang baik dan maju adalah pengendalian diri (damah), welas asih terhadap segala makhluk hidup (daya), dan bederma (dāna).[22][23][24] Demikian pula parwa III dari Candogyopanisad mengajarkan bahwa kehidupan yang berbudi pekerti memerlukan tapa (semadi, bertarak), dāna (bederma), arjawa (tulus, tidak munafik), ahimsa (tidak melakukan kekerasan, tidak melukai makhluk lain) dan satyawacana (jujur).[25][26][27]

agawadgita menggambarkan bentuk-bentuk yang benar dan salah dari dāna dalam seloka 17.20 sampai seloka 17.22.[28] Dalam adyaya (bab) 91 dari Adiparwa (kitab pertama), salah satu parwa dalam wiracarita Hindu, Mahabarata, diajarkan bahwa manusia hendaknya pertama-tama mengumpulkan kekayaan dengan cara yang jujur, barulah ia bederma; bersikap ramah-tamah terhadap orang-orang yang datang padanya; tidak menyakiti makhluk hidup lain; dan memberi sebagian dari apa saja yang ia makan kepada orang lain.[29] Dalam Wanaparwa (kitab rimba), adyaya 194, Mahabarata menganjurkan agar orang harus, "mengalahkan kekejaman dengan kedermawanan, ketidaktulusan dengan ketulusan, orang-orang jahat dengan pengampunan, dan ketidakjujuran dengan kejujuran".[30] Bagawatapurana membahas tentang bilamana dāna itu patut dan bilamana tidak patut dilakukan. Dalam parwa 8, adyaya 19, seloka 36, diajarkan bahwa kedermawanan tidak patut dilakukan bilamana membahayakan dan melumpuhkan penghidupan seisi rumah si penderma atau penghidupan si penderma sendiri. Purana menganjurkan tindakan mendermakan penghasilan yang masih tersisa sesudah dikurangi jumlah yang secukupnya untuk dipakai hidup secara sederhana.[31]

Dāna telah didefinisikan dalam karya-karya tulis tradisional sebagai segala macam tindakan pelepasan kepemilikan atas barang yang dianggap seseorang sebagai miliknya, dan menyerahkannya kepada seorang penerima tanpa mengharapkan apa-apa sebagai balasannya.[32] Jika dāna lazimnya ditujukan kepada satu orang atau satu keluarga, maka dalam agama Hindu ada pula pembahasan mengenai tindakan kedermawanan atau bederma demi kepentingan umum yang kadang-kadang disebut utsarga. Tindakan kedermawanan ini ditujukan bagi proyek-proyek yang lebih besar misalnya proyek pembangunan petirahan, pembangunan sekolah, penggalian sumber air minum atau irigasi, penanaman pohon, dan pembangunan fasilitas perawatan.[33]

Abū Raiḥān Al-Bīrūnī, sejarawan Persia pada abad ke-11 yang pernah tinggal selama 16 tahun di India sejak sekitar 1017 M, mencatat tentang praktik bederma dan kedermawanan di kalangan umat Hindu yang ia saksikan selama berada di negeri itu. Al-Biruni menulis bahwa "sudah merupakan kewajiban bagi mereka (umat Hindu) untuk setiap hari bederma sebanyak mungkin."[34]

Selain untuk membayar pajak, ada berbagai pendapat lain mengenai bagaimana cara orang memanfaatkan penghasilannya. Sebagian orang menyisihkan sepersembilan dari penghasilannya untuk didermakan.[35] Sebagian yang lain membagi penghasilannya (sesudah dikurangi pajak) menjadi empat bagian. Seperempat bagian yang pertama disisihkan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, seperempat bagian yang kedua disisihkan untuk karya-karya bebas dari pujangga berakal mulia, seperempat bagian yang ketiga disisihkan untuk didermakan, dan seperempat bagian yang keempat disisihkan untuk ditabung.

— Abū Rayḥān Al-Bīrūnī, Tarikh Al-Hind, abad ke-11 M[34]

Tindakan bederma dihargai sebagai perbuatan yang mulia dalam agama Hindu, dan dianjurkan untuk dilakukan tanpa mengharapkan balas budi dari pihak yang menerimanya.[32] Sejumlah karya tulis, dengan mengacu pada hakikat kehidupan bermasyarakat, mengemukakan bahwa kedermawanan adalah salah satu bentuk karma baik yang berpengaruh pada keadaan dan lingkungan hidup seseorang di masa depan karena berlakunya asas timbal balik.[32] Dalam karya-karya tulis Hindu lainnya, misalnya Wyasa Samhita, diajarkan bahwa asas timbal balik mungkin saja merupakan bawaan lahir dan kelaziman dalam masyarakat namun dāna dengan sendirinya merupakan suatu kebajikan, karena perbuatan baik memuliakan fitrah pelakunya.[36] Naskah-naskah ini tidak menganjurkan tindakan kedermawanan terhadap orang-orang yang tidak patut menerimanya atau jika derma dapat membahayakan penerimanya, merangsang orang untuk melukai penerimanya, atau merangsang penerimanya untuk melukai orang lain. Jadi, dāna adalah suatu tindakan darma, yang memerlukan pendekatan idealistik-normatif, dan yang memiliki konteks rohaniah dan filsafati.[32] Sejumlah pujangga Abad Pertengahan mengemukakan bahwa dāna sebaiknya dilakukan dengan srada (rasa percaya), yang diartikan dengan berniat baik, riang gembira, menyambut si penerima derma, dan bederma tanpa anasuya (mencari-cari kesalahan si penerima).[37] Menurut Kohler, para cerdik pandai Hindu ini menyiratkan bahwa kedermawanan akan sangat efektif bilamana dilakukan dengan senang hati, suatu "keramahtamahan tanpa ragu-ragu", di mana dāna menafikan kelemahan-kelemahan jangka pendek serta keadaan si penerima dan menggunakan cara pandang jangka panjang.[37]

Satram, catram, atau daramsala di India merupakan salah satu sarana untuk bederma dalam agama Hindu. Satram adalah pondokan atau rumah singgah bagi para musafir dan fakir miskin. Banyak di antaranya menyediakan air dan makanan secara cuma-cuma. Satram-satram ini lazimnya dibangun di sepanjang jalan yang menghubungkan situs-situs kuil Hindu utama di Asia Selatan, dan juga di bangun di dekat kuil-kuil besar.[38][39][40]

Kuil-kuil Hindu telah diberdayakan sebagai lembaga-lembaga karya amal.[41][42] Dāna persembahan umat Hindu yang terkumpul di kuil-kuil digunakan untuk memberi makanan kepada orang-orang yang membutuhkan, serta untuk mendanai proyek-proyek pekerjaan umum seperti pengerjaan irigasi dan lahan reklamasi.[42][43] Bentuk-bentuk lain dari tindakan bederma dalam agama Hindu meliputi pemberian sumbangan berupa sarana-sarana kegiatan ekonomi dan penyediaan sumber pangan, misalnya Go Dāna (sumbangan berupa seekor lembu),[44] bu dāna (भू दान, sumbangan lahan), widya dāna atau nyana dāna (विद्या दान atau ज्ञान दान, sumbangan ilmu pengetahuan dan keterampilan), ausadā dāna (sumbangan pengobatan bagi orang sakit dan pemberantasan wabah penyakit), abaya dāna (sumbangan perlindungan dari rasa takut bagi orang yang sedang terancam bahaya), dan ana dāna (अन्ना दान, sumbangan makanan kepada fakir miskin, orang yang kelaparan, dan para musafir).[45] Menurut karya-karya tulis agama Hindu, sumbangan ilmu pengetahuan jauh lebih mulia daripada sumbangan makanan.[46][47]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Keterangan

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Bederma juga dianjurkan oleh Sang Buddha untuk dilakukan dengan cara yang lebih bersahaja dalam berbagai nas sahih, misalnya Dighajanu Sutta.
  2. ^ Dalam bahasa Pali, ayat ini berbunyi: "Sabba danam, Dhamma danam jinati," terdapat dalam kitab Dhammapada, Bab 24, ayat 354. Thanissaro (1997)[8] menerjemahkan keseluruhan ayat ini sebagai berikut:

    Anugerah Darma mengalahkan segala anugerah;
    nikmat Darma mengalahkan segala nikmat;
    sukacita Darma mengalahkan segala sukacita;
    akhir dari keinginan, segala derita,
    dan kecemasan.

  3. ^ Matius 5:23–24
  1. ^ Nyanatiloka (1980), lema "dāna". Budsas.org Diarsipkan 2007-02-19 di Wayback Machine.
  2. ^ "Buddha Purnima 2021: Date, significance and importance of the day". The Indian Express (dalam bahasa Inggris). 2021-05-26. Diakses tanggal 2021-09-18. 
  3. ^ Nyanatiloka (1980), lema "dāna" Budsas.org Diarsipkan 2007-02-19 di Wayback Machine.; dan, PTS (1921–25), lema "Puñña" (jasa)Uchicago.edu.
  4. ^ Thanissaro (2001).Accesstoinsight.org
  5. ^ Thanissaro (2007)
  6. ^ Tsongkhapa & Berzin (2001), ayat 15.
  7. ^ Accesstoinsight.org
  8. ^ Accesstoinsight.org
  9. ^ Rabbi Hayim Halevy Donin; 'To Be A Jew.' Basic Books, New York; 1972, hlm. 48.
  10. ^ "Umat Yahudi tidak melakukan karya amal, dan konsep karya amal nyaris tidak ada dalam tradisi agama Yahudi. Sebagai gantinya, umat Yahudi memberi tzedakah, yang berarti 'kebenaran' dan 'keadilan.' Bilamana seorang Yahudi menyumbangkan uang, waktu, dan sumber-sumber daya yang ia miliki kepada orang yang membutuhkannya, ia tidak sedang bersikap welas asih, murah hati, atau 'dermawan.' Ia hanya sekadar bertindak benar dan adil." Tzedakah vs The Myth of Charity; oleh Yanki Tauber; Diakses 03-11-2012.
  11. ^ ?
  12. ^ http://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/45907/jewish/Eight-Levels-of-Charity.htm
  13. ^ "Five Pillars". PBS. Diakses tanggal 2010-11-17. 
  14. ^ Hooker, Richard (14 Juli 1999). "arkan ad-din the five pillars of religion". Washington State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-03. Diakses tanggal 2010-11-17. 
  15. ^ Yakobus 1:27 "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia."
  16. ^ Kallistos (Ware), Bishop; Mary, Mother (1978). The Lenten Triodion. South Canaan PA: St. Tikhon's Seminary Press (dipublikasikan tanggal 2002). hlm. 35ff. ISBN 1-878997-51-3. 
  17. ^ Shah dkk. (2013), Soulful Corporations: A Values-Based Perspective on Corporate Social Responsibility, Springer, ISBN 978-8132212744, halaman 125, Kutipan: "Gagasan Daana (kedermawanan) berasal dari Zaman Weda. Regweda mengajarkan kedermawanan sebagai tugas dan tanggung jawab setiap warga negara."
  18. ^ bhikSA Kamus Sanskerta Inggris, Universitas Koeln, Jerman
  19. ^ Alberto Garcia Gomez dkk. (2014), Religious Perspectives on Human Vulnerability in Bioethics, Springer, ISBN 978-9401787352, halaman 170-171
  20. ^ R Hindery, Comparative ethics in Hindu and Buddhist traditions, The Journal of the International Association of Buddhist Studies, Jilid 2, Nomor 1, Halaman 105
  21. ^ Regweda, Mandala 10, Seloka 117, Ralph T. H. Griffith (penerjemah)
  22. ^ PV Kane, Samanya Dharma, History of Dharmasastra, Jld. 2, Bagian 1, hlm. 5
  23. ^ Brihadaranyaka Upanishad
  24. ^ Brihadaranyaka Upanishad, Penerjemah: S Madhavananda, hlm. 816, untuk pembahasannya: hlmn. 814-821
  25. ^ अथ यत्तपो दानमार्जवमहिँसा सत्यवचनमिति ता अस्य दक्षिणाः Sumber: Chandogya Upanishad (bahasa Sanskerta) seloka 3.17.4, Wikisource
    Terjemahan: Jadi Tapa (bertarak, semadi), Dāna (beramal baik, bederma), Arjawa (terus terang, tulus, tidak munafik), Ahimsa (tidak melakukan kekerasan, tidak membahayakan sesama), dan Satya-wacanam (jujur), semuanya adalah Daksina (hadiah, pembayaran kepada pihak lain) yang dipersembahkannya [selama hidup]. – Chandogya Upanishad 3.17.4
  26. ^ Robert Hume, Chandogya Upanishad 3.17, The Thirteen Principal Upanishads, Oxford University Press, hlmn. 212-213
  27. ^ Chandogya Upanishad with Shankara Bhashya Ganganath Jha (penerjemah), hlmn. 165-166
  28. ^ Christopher Key Chapple, The Bhagavad Gita: Twenty-fifth–Anniversary Edition, State University of New York Press, ISBN 978-1438428420, hlmn. 653-655
  29. ^ MN Dutt (penerjemah), Adiparwa, Adyaya XCI, seloka 3-4, hlm. 132
  30. ^ MN Dutt (penerjemah), Wanaparwa, adyaya CXCIV, seloka 6, hlm. 291
  31. ^ Sanjay Agarwal (2010), Daan and Other Giving Traditions in India,ASIN B00E0R033S, hlm. 43
  32. ^ a b c d Krishnan & Manoj (2008), Giving as a theme in the Indian psychology of values, in Handbook of Indian Psychology (Editors: Rao et al.), Cambridge University Press, ISBN 978-8175966024, hlmn. 361-382
  33. ^ Sanjay Agarwal (2010), Daan and Other Giving Traditions in India,ASIN B00E0R033S, hlmn. 54-62
  34. ^ a b Alberuni's India (Jld. 2), Bab LXVII, On Alms and how a man must spend what he earns, Columbia University Libraries, London : Kegan Paul, Trübner & Co., (1910), hlmn. 149-150
  35. ^ Al Biruni meriwayatkan bahwa sepesembilan lagi ditabung, dan sepersembilan lainnya diinvestasikan (diusahakan) untuk mendapatkan laba
  36. ^ MN Dutt (1979), The Dharma-shastras pada Google Books, Jld. 3, Cosmo Publishers, hlmn. 20-29
  37. ^ a b P Bilimoria et al. (2007), Dana as a Moral Category, in Indian Ethics: Classical traditions and contemporary challenges, Jld. 1, ISBN 978-0754633013, hlmn. 196-197 disertai catatan kaki
  38. ^ KN Kumari (1998), History of the Hindu Religious Endowments in Andhra Pradesh, ISBN 978-8172110857, hlm. 128
  39. ^ Kota Neelima (2012), Tirupati, Random House, ISBN 978-8184001983, hlmn. 50-52; Prabhavati C. Reddy (2014), Hindu Pilgrimage: Shifting Patterns of Worldview of Srisailam in South India, Routledge, ISBN 978-0415659970, hlm. 190
  40. ^ Sanctuaries of times past The Hindu (27 Juni 2010)
  41. ^ SK Aiyangar, Ancient India: Collected Essays on the Literary and Political History, Asian Educational Services, ISBN 978-8120618503, hlmn. 158-164
  42. ^ a b Burton Stein, The Economic Function of a Medieval South Indian Temple, The Journal of Asian Studies, Jld. 19 (Februari, 1960), hlmn. 163-76
  43. ^ Burton Stein (4 Februari 1961), The state, the temple and agriculture development, The Economic Weekly Annual, hlmn. 179-187
  44. ^ Padma (1993), The Position of Women in Mediaeval Karnataka, Prasaranga, University of Mysore Press, hlm. 164
  45. ^ Abbe Dubois and Henry Beauchamp (2007), Hindu Manners, Customs and Ceremonies, ISBN 978-1602063365, hlmn. 223, 483-495
  46. ^ Maria Heim (2004), Theories of the Gift in South Asia: Hindu, Buddhist, and Jain Reflections, Routledge, ISBN 978-0415970303, hlmn. xv-xxvi, 141-149 dan bab 2
  47. ^ The Gift of Knowledge Diarsipkan 2015-09-26 di Wayback Machine. Chitrapur Matha, India

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]