Lompat ke isi

Suku Kurudu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Blackman Jr. (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Dafa Alamsyah (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
(35 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Ethnic group
{{Ethnic group
|group=Kurudu
|group=Kurudu
|popplace = [[Indonesia]] ([[Pulau Kurudu]] dan [[Pamai Erar]])
|native_name=Kurudu-Kaipuri
|pop=2.180 (1988)<ref name="Melalatoa"/>
|native_name=Miobo
|langs=[[Bahasa Kurudu|Kurudu]]
|langs=[[Bahasa Kurudu|Kurudu]]
|rels=[[Kekristenan]] (mayoritas [[Protestan]])
|rels=[[Kekristenan]] (mayoritas [[Protestan]])
|related = [[Suku Berbai|Berbai]]{{•}}[[Suku Kaipuri|Kaipuri]]{{•}}[[Suku Serui|Serui]]
}}
}}
'''Suku Kurudu''' ([[Bahasa Kurudu|Kurudu]]: ''Miobo'') adalah [[kelompok etnis]] yang mendiami [[pulau Kurudu]] dan pesisir [[Poiwai, Sawai, Mamberamo Raya|Pamai Erar]] di pesisir utara [[Papua]]. Masyarakat suku Kurudu sendiri merupakan campuran dari berbagai etnis yang berasal dari [[Yapen]], [[Waropen]], dan [[Biak]] yang telah berasimilasi dengan penduduk asli Kurudu di masa lampau dan membentuk penduduk suku Kurudu sekarang.<ref name="Pustaka Papua"/> Saat ini, suku Kurudu dan [[Suku Kaipuri|Kaipuri]] telah disatukan dan kemudian dikenal sebagai orang Miobo.<ref>{{cite web|url=https://kadatebintuni.com/2020/01/09/kilas-prosesi-peminangan-suku-miobo-di-tanah-papua/|title=Kilas Prosesi Peminangan Suku Miobo di Tanah Papua|website=kadatebintuni.com|language=id|access-date=21 Mei 2023}}</ref>
'''Suku Kurudu''' adalah [[kelompok etnis]] di [[Papua]] yang mendiami [[pulau Kurudu]] dan pesisir Pamai Erar. Suku ini berbeda dari suku Berbai. Beberapa orang yang tidak bertanggung jawab telah mencaplok status kesukuan etnis Kurudu dan memasukan suku Kurudu menjadi sub-suku dari suku Berbai.


Seorang penulis Belanda, dr. J.J. De Hollander yang hidup pada masa 1800-an, menuliskan bahwa "Penduduk Kurudu terdiri dari suku-suku yang sepenuhnya liar, mereka sebagai orang-orang yang berbahaya tapi sopan".<ref>''Handleiding bij de beoefening der Land- En Volkenkunde van Nederlandsch Oost-Indie'', 1884, hlm. 431.</ref>
Suku Kurudu telah menghuni pulau Kurudu lebih dari 40 abad. Dalam kurun waktu amat panjang ini suku Kurudu mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di pulau Kurudu.

Interaksi suku Kurudu dengan alam telah menghasilkan sejumlah kearifan lokal yang khas, antara lain ritual ratapan [[Matoa|buah matoa]] yang disebut Sai Antaun, memancing [[ikan tenggiri]] dengan bunga, melestarikan spesies mangga purba, memanggil aneka jenis ikan berkumpul dengan ritual berbahasa asli Kurudu, menyimpan sejarah burung cenderawasih setelah air bah, dan lain-lain.


==Sejarah==
==Sejarah==
[[Pulau Kurudu]] atau dikenal juga sebagai Abere merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam wilayah [[Kepulauan Yapen]], provinsi [[Papua (provinsi)|Papua]]. Konon, pulau ini telah dikenal pada masa lalu sebagai pemasok barang-barang dagangan, baik antara sesama pedagang Papua maupun dengan para pedagang dari luar. Hal ini dapat diketahui melalui berbagai catatan-catatan orang Eropa yang pernah menyinggahi pulau ini pada masa [[VOC]] sampai masuknya pemerintahan Belanda di [[Nugini Barat|Tanah Papua]].<ref name="Pustaka Papua">{{cite web|url=http://www.pustakapapua.com/2022/03/orang-kurudu-dan-perdagangan-di-masa.html?m=1|title=Orang Kurudu dan Perdagangan di Masa Lalu|website=www.pustakapapua.com|language=id|access-date=18 Mei 2023}}</ref>
[[Pulau Kurudu]] atau disebut sebagai ''Miobo Krudu'' oleh penduduk setempat, merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam wilayah [[Kepulauan Yapen]], provinsi [[Papua (provinsi)|Papua]]. Konon, pulau ini telah dikenal pada masa lalu sebagai pemasok barang-barang dagangan, baik antara sesama pedagang Papua maupun dengan para pedagang dari luar. Hal ini dapat diketahui melalui berbagai catatan-catatan orang Eropa yang pernah menyinggahi pulau ini pada masa [[VOC]] sampai masuknya pemerintahan [[kolonial Belanda]] di [[Nugini Barat|Tanah Papua]].<ref name="Pustaka Papua">{{cite web|url=http://www.pustakapapua.com/2022/03/orang-kurudu-dan-perdagangan-di-masa.html?m=1|title=Orang Kurudu dan Perdagangan di Masa Lalu|website=www.pustakapapua.com|language=id|access-date=18 Mei 2023}}</ref>


Sejak abad ke-16, pulau Kurudu dicatat oleh [[bangsa Spanyol]] dengan nama La Ballena pada 1545. Meski telah dijelajahi pada tahun itu, tidak banyak informasi mengenai pulau Kurudu. Memasuki abad ke-18, pulau ini ditulis dalam buku-buku orang Eropa, tentang aspek perdagangan yang telah mereka amati disana. Sir Thomas Forrest mengunjungi pulau itu pada Februari 1775, dalam [[bahasa Inggris]] ia menyebutnya "Island of Krudo" berarti yang pulau Kurudu. Ia juga menulis bahwa masyarakat Kurudu-Kaipuri biasanya mengumpulkan kulit penyu yang akan diperdagangkan dengan pedagang [[Tionghoa]]. Wilayah Yapen, [[Waropen]], dan [[Nabire]] merupakan tempat-tempat dimana para pedagang Tionghoa, [[Suku Bugis|Bugis]], [[Suku Makassar|Makassar]], [[Pulau Seram|Seram]], dan Eropa melakukan [[barter]] dengan penduduk-penduduk di wilayah tersebut.<ref name="Pustaka Papua"/>
Sejak abad ke-16, pulau Kurudu dicatat oleh [[bangsa Spanyol]] dengan nama La Ballena pada 1545. Meski telah dijelajahi pada tahun itu, tidak banyak informasi mengenai pulau Kurudu. Memasuki abad ke-18, pulau ini ditulis dalam buku-buku orang Eropa, tentang aspek perdagangan yang telah mereka amati disana. Sir Thomas Forrest mengunjungi pulau itu pada Februari 1775, dalam [[bahasa Inggris]] ia menyebutnya "Island of Krudo" berarti yang pulau Kurudu. Ia juga menulis bahwa masyarakat Kurudu-Kaipuri biasanya mengumpulkan kulit penyu yang akan diperdagangkan dengan pedagang [[Tiongkok]]. Wilayah Yapen, [[Waropen]], dan [[Nabire]] merupakan tempat-tempat dimana para pedagang Tiongkok, [[Suku Bugis|Bugis]], [[Suku Makassar|Makassar]], [[Pulau Seram|Seram]], dan Eropa melakukan [[barter]] dengan penduduk-penduduk di wilayah tersebut.<ref name="Pustaka Papua"/>


Orang Kurudu menghasilkan berbagai produk-produk lokal gerabah tanah liat (''sempe''), ukiran, perahu, dan sagu yang nantinya akan diperdagangkan ke berbagai tempat di pesisir utara Papua. Orang Kurudu juga memiliki jaringan perdagangan sampai ke [[Sungai Mamberamo]] dan meluas ke Tanah Tabi ([[Kota Jayapura]] dan [[Kabupaten Jayapura]]). Misalnya, orang Kurudu membawa produk-produk seperti manik-manik, pisau, piring, dan menukarnya dengan masyarakat Mamberamo.<ref name="Pustaka Papua"/>
Orang Kurudu menghasilkan berbagai produk-produk lokal gerabah tanah liat (''[[sempe]]''), ukiran, perahu, dan sagu yang nantinya akan diperdagangkan ke berbagai tempat di pesisir utara Papua. Orang Kurudu juga memiliki jaringan perdagangan sampai ke [[Sungai Mamberamo]] dan meluas ke Tanah Tabi ([[Kota Jayapura]] dan [[Kabupaten Jayapura]]). Misalnya, orang Kurudu membawa produk-produk seperti manik-manik, pisau, piring, dan menukarnya dengan masyarakat Mamberamo.<ref name="Pustaka Papua"/>


Dalam laporan residen Braam Morris, sewaktu mereka mengunjungi penduduk Mamberamo (kampung Pauwi) pada 21 Juli 1884, mereka menemukan bahwa penduduk asli memiliki barang-barang seperti manik-manik, pisau, piring, dan barang-barang lainnya. Setelah ditanya darimana penduduk Pauwi dan Mawa mendapatkan barang-barang tersebut, mereka menjawab dari Kurudu, orang Kurudu sering datang kepada mereka. Jejak perdagangan demikian sudah berlangsung tahun 1800-an. Bahkan ada seorang Korano (pemimpin lokal) Mamberamo yang bernama Anggori bisa berbicara dalam [[bahasa Kurudu]]. Catatan ini tampaknya mendukung catatan Thomas Forrest bahwa pedagang Tionghoa pernah melakukan kontak dengan orang Kurudu. Artinya masyarakat Mamberamo tidak mendapat barang-barang tersebut secara langsung dari pedagang Tionghoa. Bisa digambarkan bahwa setelah pedagang Tionghoa melakukan barter dengan orang Kurudu, kemudian orang Kurudu melakukan barter lagi dengan penduduk Mamberamo. Merujuk pada catatan Thomas Forrest bahwa bisa jadi perdagangan antara orang Kurudu dan orang Mamberamo sudah berlangsung sejak tahun 1700-an.<ref name="Pustaka Papua"/>
Dalam laporan residen Braam Morris, sewaktu mereka mengunjungi penduduk Mamberamo (kampung Pauwi) pada 21 Juli 1884, mereka menemukan bahwa penduduk asli memiliki barang-barang seperti manik-manik, pisau, piring, dan barang-barang lainnya. Setelah ditanya darimana penduduk Pauwi dan Mawa mendapatkan barang-barang tersebut, mereka menjawab dari Kurudu, orang Kurudu sering datang kepada mereka. Jejak perdagangan demikian sudah berlangsung tahun 1800-an. Bahkan ada seorang ''Korano'' (pemimpin lokal) Mamberamo yang bernama Anggori bisa berbicara dalam [[bahasa Kurudu]]. Catatan ini tampaknya mendukung catatan Thomas Forrest bahwa pedagang Tiongkok pernah melakukan kontak dengan orang Kurudu. Artinya masyarakat Mamberamo tidak mendapat barang-barang tersebut secara langsung dari pedagang Tiongkok. Bisa digambarkan bahwa setelah pedagang Tiongkok melakukan barter dengan orang Kurudu, kemudian orang Kurudu melakukan barter lagi dengan penduduk Mamberamo. Merujuk pada catatan Thomas Forrest bahwa bisa jadi perdagangan antara orang Kurudu dan orang Mamberamo sudah berlangsung sejak tahun 1700-an.<ref name="Pustaka Papua"/>

[[Pekabaran Injil]] di pulau Kurudu dilakukan pada tahun 1929 oleh Laurens Tanamal, perjalanan pekabar Injil Laurens Tanamal telah tercatat oleh pendeta Albert Jan de Neef dalam novel berjudul ''Di Tapal Batas: Mambu Ransar'', karya Alex Runggeary yang diterbitkan oleh Nas Media Pustaka di [[Makassar]] pada tahun 2022.<ref>{{cite book|url=https://edeposit.perpusnas.go.id/collection/di-tapal-batas-sumber-elektronis-mambu-ransar/101462|title=Di Tapal Batas: Mambu Ransar|website=edeposit.perpusnas.go.id|publisher=Nas Media Pustaka|location=[[Makassar]]|date=2022|isbn=978-623-351-471-2|first1=Alex|last1=Runggeary|language=id}}</ref>

==Populasi==
Suku Kurudu merupakan penduduk asli di wilayah [[Kabupaten Kepulauan Yapen|Kepulauan Yapen]] dan pesisir utara [[Kabupaten Mamberamo Raya|Mamberamo Raya]], provinsi Papua. Mereka terutama mendiami wilayah distrik Yapen Timur (saat ini dimekarkan menjadi beberapa distrik, salah satunya distrik [[Pulau Kurudu, Kepulauan Yapen|Pulau Kurudu]]) dan distrik Waropen Atas (saat ini dimekarkan menjadi beberapa distrik, salah satunya distrik [[Sawai, Mamberamo Raya|Sawai]]). Pada tahun 1988, penduduk distrik Yapen Timur berjumlah 7.397 jiwa dan Waropen Atas 4.580 jiwa. Diantara jumlah itulah termasuk 2.180 orang Kurudu.<ref name="Melalatoa">Melalatoa, J. (1995). ''Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia''. Jilid A-K. [[Jakarta]]: [[Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]].</ref>
==Budaya==
===Tradisi war wen===
Pada masa pandemi [[COVID-19]] melanda dunia, masyarakat suku Kurudu meyakini khasiat tiga jenis tumbuhan yang mampu menangkal penyakit virus corona. Ketiga tumbuhan dalam tradisi war wen tersebut yaitu, ''nianggotr'' (sirih hutan), ''nianggoi tu'' (sirih domestik), dan ''manemyo'' (sirih lele).<ref>{{cite web|url=https://bbksda-papuabarat.com/3039-2/|title=Masyarakat Arfak, Membangun Kehidupan Di Tengah Pandemi, Tak Abai Lingkungan Alami|website=bbksda-papuabarat.com|access-date=19 Mei 2023|language=id}}</ref>
===Perahu tradisional===
Karena kondisi geografis wilayah yang didiami masyarakat suku Kurudu dikelilingi oleh lautan, maka masyarakat Kurudu memiliki tradisi melaut yang membutuhkan perahu. Dalam kearifan lokal suku Kurudu dikenal 3 jenis perahu tradisional, yaitu:
#[[Wantbo]] (perahu untuk menangkap ikan)
#[[Dakam]] (perahu untuk transportasi antar pulau dan perdagangan hasil alam)
#[[Mansusu]] (perahu untuk berperang dan penangkapan budak)

Tiga jenis perahu ini dilengkapi dengan dayung (''awo''), layar (''sariun''), naju (''adaisi''), semang (arui), dan mata naju (''adaisi re''), serta penimba air (''asobo'').

Setelah masuknya pengaruh era modernisasi, maka suku Kurudu mengenal lagi 4 jenis perahu bermesin, yaitu:
#Wa yonson (perahu untuk transportasi antar pulau sekaligus perahu dagang dan untuk menangkap ikan)
#[[Kole-kole]] (perahu tanpa naju dan semang)
#[[Speedboat]] (perahu fiber)
#[[Jolor]] (perahu sejenis speedboat kecil berbahan dasar papan).
Suku Kurudu mempunyai pengetahuan tradisional pembuatan bagian depan wantbo dan belakang wantbo.
Depan dan belakang perahu wantbo dalam [[bahasa Kurudu]] disebut ''ode''. Yakni depan perahu disebut ''ode waraun'' dan belakang perahu disebut ''ode wasriu''. Bentuk bagian depan dan belakang perahu suku Kurudu tidak sama dengan perahu suku-suku lainnya.<ref>{{cite Instagram|url=https://www.instagram.com/p/CH41Ypoj0FU/?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==|title=BENTUK ODEBO, WASRIU DAN BAGIAN-BAGIAN WANTBO (PERAHU TRADISIONAL SUKU KURUDU)|postid=www.instagram.com|user=paulssukardipapua|access-date=19 Mei 2023|date=27 November 2020|language=id}}</ref>


== Referensi ==
== Referensi ==
{{Reflist}}
{{Reflist}}
== Daftar pustaka ==
*{{cite book|url=https://edeposit.perpusnas.go.id/collection/di-tapal-batas-sumber-elektronis-mambu-ransar/101462|title=Di Tapal Batas: Mambu Ransar|publisher=Nas Media Pustaka|location=[[Makassar]]|date=2022|isbn=978-623-351-471-2|first1=Alex|last1=Runggeary|language=id}}
*{{Cite book|author=Melalatoa, J.|date=1995|title=Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid A-K|location=Jakarta|publisher=[[Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]]}}

[[Kategori:Suku bangsa di Papua|Kurudu]]
[[Kategori:Suku bangsa di Indonesia|Kurudu]]

Revisi per 8 April 2024 17.03

Kurudu
Miobo
Jumlah populasi
2.180 (1988)[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia (Pulau Kurudu dan Pamai Erar)
Bahasa
Kurudu
Agama
Kekristenan (mayoritas Protestan)
Kelompok etnik terkait
Berbai • Kaipuri • Serui

Suku Kurudu (Kurudu: Miobo) adalah kelompok etnis yang mendiami pulau Kurudu dan pesisir Pamai Erar di pesisir utara Papua. Masyarakat suku Kurudu sendiri merupakan campuran dari berbagai etnis yang berasal dari Yapen, Waropen, dan Biak yang telah berasimilasi dengan penduduk asli Kurudu di masa lampau dan membentuk penduduk suku Kurudu sekarang.[2] Saat ini, suku Kurudu dan Kaipuri telah disatukan dan kemudian dikenal sebagai orang Miobo.[3]

Seorang penulis Belanda, dr. J.J. De Hollander yang hidup pada masa 1800-an, menuliskan bahwa "Penduduk Kurudu terdiri dari suku-suku yang sepenuhnya liar, mereka sebagai orang-orang yang berbahaya tapi sopan".[4]

Sejarah

Pulau Kurudu atau disebut sebagai Miobo Krudu oleh penduduk setempat, merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam wilayah Kepulauan Yapen, provinsi Papua. Konon, pulau ini telah dikenal pada masa lalu sebagai pemasok barang-barang dagangan, baik antara sesama pedagang Papua maupun dengan para pedagang dari luar. Hal ini dapat diketahui melalui berbagai catatan-catatan orang Eropa yang pernah menyinggahi pulau ini pada masa VOC sampai masuknya pemerintahan kolonial Belanda di Tanah Papua.[2]

Sejak abad ke-16, pulau Kurudu dicatat oleh bangsa Spanyol dengan nama La Ballena pada 1545. Meski telah dijelajahi pada tahun itu, tidak banyak informasi mengenai pulau Kurudu. Memasuki abad ke-18, pulau ini ditulis dalam buku-buku orang Eropa, tentang aspek perdagangan yang telah mereka amati disana. Sir Thomas Forrest mengunjungi pulau itu pada Februari 1775, dalam bahasa Inggris ia menyebutnya "Island of Krudo" berarti yang pulau Kurudu. Ia juga menulis bahwa masyarakat Kurudu-Kaipuri biasanya mengumpulkan kulit penyu yang akan diperdagangkan dengan pedagang Tiongkok. Wilayah Yapen, Waropen, dan Nabire merupakan tempat-tempat dimana para pedagang Tiongkok, Bugis, Makassar, Seram, dan Eropa melakukan barter dengan penduduk-penduduk di wilayah tersebut.[2]

Orang Kurudu menghasilkan berbagai produk-produk lokal gerabah tanah liat (sempe), ukiran, perahu, dan sagu yang nantinya akan diperdagangkan ke berbagai tempat di pesisir utara Papua. Orang Kurudu juga memiliki jaringan perdagangan sampai ke Sungai Mamberamo dan meluas ke Tanah Tabi (Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura). Misalnya, orang Kurudu membawa produk-produk seperti manik-manik, pisau, piring, dan menukarnya dengan masyarakat Mamberamo.[2]

Dalam laporan residen Braam Morris, sewaktu mereka mengunjungi penduduk Mamberamo (kampung Pauwi) pada 21 Juli 1884, mereka menemukan bahwa penduduk asli memiliki barang-barang seperti manik-manik, pisau, piring, dan barang-barang lainnya. Setelah ditanya darimana penduduk Pauwi dan Mawa mendapatkan barang-barang tersebut, mereka menjawab dari Kurudu, orang Kurudu sering datang kepada mereka. Jejak perdagangan demikian sudah berlangsung tahun 1800-an. Bahkan ada seorang Korano (pemimpin lokal) Mamberamo yang bernama Anggori bisa berbicara dalam bahasa Kurudu. Catatan ini tampaknya mendukung catatan Thomas Forrest bahwa pedagang Tiongkok pernah melakukan kontak dengan orang Kurudu. Artinya masyarakat Mamberamo tidak mendapat barang-barang tersebut secara langsung dari pedagang Tiongkok. Bisa digambarkan bahwa setelah pedagang Tiongkok melakukan barter dengan orang Kurudu, kemudian orang Kurudu melakukan barter lagi dengan penduduk Mamberamo. Merujuk pada catatan Thomas Forrest bahwa bisa jadi perdagangan antara orang Kurudu dan orang Mamberamo sudah berlangsung sejak tahun 1700-an.[2]

Pekabaran Injil di pulau Kurudu dilakukan pada tahun 1929 oleh Laurens Tanamal, perjalanan pekabar Injil Laurens Tanamal telah tercatat oleh pendeta Albert Jan de Neef dalam novel berjudul Di Tapal Batas: Mambu Ransar, karya Alex Runggeary yang diterbitkan oleh Nas Media Pustaka di Makassar pada tahun 2022.[5]

Populasi

Suku Kurudu merupakan penduduk asli di wilayah Kepulauan Yapen dan pesisir utara Mamberamo Raya, provinsi Papua. Mereka terutama mendiami wilayah distrik Yapen Timur (saat ini dimekarkan menjadi beberapa distrik, salah satunya distrik Pulau Kurudu) dan distrik Waropen Atas (saat ini dimekarkan menjadi beberapa distrik, salah satunya distrik Sawai). Pada tahun 1988, penduduk distrik Yapen Timur berjumlah 7.397 jiwa dan Waropen Atas 4.580 jiwa. Diantara jumlah itulah termasuk 2.180 orang Kurudu.[1]

Budaya

Tradisi war wen

Pada masa pandemi COVID-19 melanda dunia, masyarakat suku Kurudu meyakini khasiat tiga jenis tumbuhan yang mampu menangkal penyakit virus corona. Ketiga tumbuhan dalam tradisi war wen tersebut yaitu, nianggotr (sirih hutan), nianggoi tu (sirih domestik), dan manemyo (sirih lele).[6]

Perahu tradisional

Karena kondisi geografis wilayah yang didiami masyarakat suku Kurudu dikelilingi oleh lautan, maka masyarakat Kurudu memiliki tradisi melaut yang membutuhkan perahu. Dalam kearifan lokal suku Kurudu dikenal 3 jenis perahu tradisional, yaitu:

  1. Wantbo (perahu untuk menangkap ikan)
  2. Dakam (perahu untuk transportasi antar pulau dan perdagangan hasil alam)
  3. Mansusu (perahu untuk berperang dan penangkapan budak)

Tiga jenis perahu ini dilengkapi dengan dayung (awo), layar (sariun), naju (adaisi), semang (arui), dan mata naju (adaisi re), serta penimba air (asobo).

Setelah masuknya pengaruh era modernisasi, maka suku Kurudu mengenal lagi 4 jenis perahu bermesin, yaitu:

  1. Wa yonson (perahu untuk transportasi antar pulau sekaligus perahu dagang dan untuk menangkap ikan)
  2. Kole-kole (perahu tanpa naju dan semang)
  3. Speedboat (perahu fiber)
  4. Jolor (perahu sejenis speedboat kecil berbahan dasar papan).

Suku Kurudu mempunyai pengetahuan tradisional pembuatan bagian depan wantbo dan belakang wantbo. Depan dan belakang perahu wantbo dalam bahasa Kurudu disebut ode. Yakni depan perahu disebut ode waraun dan belakang perahu disebut ode wasriu. Bentuk bagian depan dan belakang perahu suku Kurudu tidak sama dengan perahu suku-suku lainnya.[7]

Referensi

  1. ^ a b Melalatoa, J. (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jilid A-K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  2. ^ a b c d e "Orang Kurudu dan Perdagangan di Masa Lalu". www.pustakapapua.com. Diakses tanggal 18 Mei 2023. 
  3. ^ "Kilas Prosesi Peminangan Suku Miobo di Tanah Papua". kadatebintuni.com. Diakses tanggal 21 Mei 2023. 
  4. ^ Handleiding bij de beoefening der Land- En Volkenkunde van Nederlandsch Oost-Indie, 1884, hlm. 431.
  5. ^ Runggeary, Alex (2022). Di Tapal Batas: Mambu Ransar. edeposit.perpusnas.go.id. Makassar: Nas Media Pustaka. ISBN 978-623-351-471-2. 
  6. ^ "Masyarakat Arfak, Membangun Kehidupan Di Tengah Pandemi, Tak Abai Lingkungan Alami". bbksda-papuabarat.com. Diakses tanggal 19 Mei 2023. 
  7. ^ @paulssukardipapua (27 November 2020). "BENTUK ODEBO, WASRIU DAN BAGIAN-BAGIAN WANTBO (PERAHU TRADISIONAL SUKU KURUDU)". Diakses tanggal 19 Mei 2023 – via Instagram. 

Daftar pustaka