Prabu Kiansantang: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Pengembalian manual Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Nama tokoh yang salah Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(14 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Unreliable sources|date=September 2021}} |
{{Unreliable sources|date=September 2021}} |
||
'''Prabu Kian Santang''' atau '''''Raden Sangara''''' atau '''''Syeh Sunan Rohmat Suci,''''' adalah Putra [[Prabu Siliwangi]] atau |
'''Prabu Kian Santang''' atau '''''Raden Sanggara ( sering dieja Radja Sangara)''''' atau '''''Syeh Sunan Rohmat Suci,''''' adalah Putra [[Prabu Siliwangi]] atau Sri Baduga Maharaja, Raja [[Pakwan Pajajaran|Pakuan Padjajaran]] dengan [[Nyi Subang Larang]], Pernikahan [[Prabu Siliwangi]] dengan Nyi Subang Larang dinikahkan oleh [[Syekh Quro|Syekh Quro']] [[Karawang]]. Dari pernikahan [[Sri Baduga Maharaja]] dengan Nyi Subang Larang dikarunia 3 orang anak yaitu [[Pangeran Walangsungsang|''Walangsungsang'' (Pangeran Cakrabuana)]], ''[[Rara Santang]]'' (''ibu [[Sunan Gunung Jati]]'') dan '''''Prabu'' ''Kian Santang'''''. |
||
Beliau lahir pada 1427 M dengan nama Radja Sangara. |
|||
== Prabu Kian Santang menjadi dalem Bogor == |
== Prabu Kian Santang menjadi dalem Bogor == |
||
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Beschreven steen in Batoetoelis de batu tulis TMnr 60016460.jpg|jmpl|280x280px|Batu Tulis Bogor]] |
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Beschreven steen in Batoetoelis de batu tulis TMnr 60016460.jpg|jmpl|280x280px|Batu Tulis Bogor]] |
||
Disebutkan oleh Ferry Taufiq El Jaquene dalam Hitam Putih Padjajaran bahwa Kian Santang yang bernama kecil Radja Sangara masuk Islam sejak kecil dan disebutkan dalam Api Sejarah 1 karya Ahmad Mansur Suryanegara bahwa Kian Santang turut serta meresmikan berdirinya Kadipaten Cirebon dibawah kekuasaan abangnya,Raden Walangsungsang dengan menyerahkan bendera kerajaan. |
|||
Pada usia 22 tahun Prabu Kian Santang diangkat menjadi ''Dalem Bogor'' ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor |
Pada usia 22 tahun Prabu Kian Santang diangkat menjadi ''[[Dalem Bogor]]'' ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan [[tongkat pusaka kerajaan]] dan [[penobatan]] [[Prabu Munding Kawati]], putra Sulung [[Prabu Susuk Tunggal]], menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama [[Batu Tulis]] [[Bogor]] |
||
Disebutkan dalam Ensiklopedi Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia yang ditulis kementrian agama NKRI beliau berdakwah mengajak raja raja Sunda pedalaman masuk Islam diantaranya Sunan Pancer,Raja Galuh Pakuan. |
|||
Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Pasundan. Prabu Kian Santang merupakan ''sinatria'' yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, Prabu Kian Santang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya di sejagat pulau Jawa. |
|||
Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya jilid 2 menyebutkan bahwa Kian Santang pernah menuntut Ilmu ke Makkah. |
|||
Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "Dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya." Akhirnya Prabu Kian Santang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kian Santang. Namun tak seorang pun yang mampu menunjukkannya. |
|||
Beliau menikah dengan Nyai Kalimah Sapujagad demikian menurut Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cirebon dan tidak ada catatan resmi siapa keturunannya sehingga hal itu menimbulkan perdebatan. |
|||
== Prabu Kiansantang dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib == |
|||
Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, tetapi kejadian ini dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. |
|||
Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang, "Kalau memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus ''mujasmedi'' dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih-Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah. |
|||
Setiba di tanah Mekah dia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu, "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?" Laki-laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali. |
|||
Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, tetapi Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali." |
|||
Terpaksalah Galantrang Setra kembali ke tempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi daripada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra. |
|||
[[Berkas:Tongkat Ali di Garut.jpg|jmpl|Tongkat [[Ali bin Abu Thalib]] yang dihadiahkan pada Rakeyan Sancang yang berada di Kaum Pusaka (Yayasan Pusaka Muslimin diketuai Ucep Jamhari) [[Cinunuk, Wanaraja, Garut|Cinunuk Garut]]]] |
|||
Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Padjadjaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam. Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Sunda (Padjadjaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Padjadjaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam. |
|||
== Kiansantang dan Rakeyan Sancang == |
== Kiansantang dan Rakeyan Sancang == |
Revisi terkini sejak 12 Mei 2024 08.25
Beberapa atau seluruh referensi dari artikel ini mungkin tidak dapat dipercaya kebenarannya. |
Prabu Kian Santang atau Raden Sanggara ( sering dieja Radja Sangara) atau Syeh Sunan Rohmat Suci, adalah Putra Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, Raja Pakuan Padjajaran dengan Nyi Subang Larang, Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subang Larang dinikahkan oleh Syekh Quro' Karawang. Dari pernikahan Sri Baduga Maharaja dengan Nyi Subang Larang dikarunia 3 orang anak yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati) dan Prabu Kian Santang. Beliau lahir pada 1427 M dengan nama Radja Sangara.
Prabu Kian Santang menjadi dalem Bogor
[sunting | sunting sumber]Disebutkan oleh Ferry Taufiq El Jaquene dalam Hitam Putih Padjajaran bahwa Kian Santang yang bernama kecil Radja Sangara masuk Islam sejak kecil dan disebutkan dalam Api Sejarah 1 karya Ahmad Mansur Suryanegara bahwa Kian Santang turut serta meresmikan berdirinya Kadipaten Cirebon dibawah kekuasaan abangnya,Raden Walangsungsang dengan menyerahkan bendera kerajaan. Pada usia 22 tahun Prabu Kian Santang diangkat menjadi Dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor
Disebutkan dalam Ensiklopedi Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia yang ditulis kementrian agama NKRI beliau berdakwah mengajak raja raja Sunda pedalaman masuk Islam diantaranya Sunan Pancer,Raja Galuh Pakuan.
Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya jilid 2 menyebutkan bahwa Kian Santang pernah menuntut Ilmu ke Makkah.
Beliau menikah dengan Nyai Kalimah Sapujagad demikian menurut Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cirebon dan tidak ada catatan resmi siapa keturunannya sehingga hal itu menimbulkan perdebatan.
Kiansantang dan Rakeyan Sancang
[sunting | sunting sumber]Prabu Kiansantang inilah disebut-sebut tradisi masyarakat sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kian Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kian Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.
Cerita rakyat turun menurun dari mulut ke mulut bahwa Prabu Kiansantang / Kian Santang abad ke 15 yang bertemu dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib tahun 1599-1661 dan mengejar bapaknya Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan, hal ini terkait dengan siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, yakni dengan nama yang serupa dengan Pangeran dari Kerajaan Tarumanagara, yang bernama Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Raja Kerajaan Tarumanagara 562– 618 M) saudara sebapak Raja Suraliman Sakti (568–597) Putra Manikmaya cucu Suryawarman Raja Kerajaan Kendan.
Keturunan Ki Santang
[sunting | sunting sumber]Dalam wangsit uga siliwangi dikatakan bahwa keturunanya akan menjadi pengingat mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya:
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!:
artinya:
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!