Lompat ke isi

Erna Djajadiningrat: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(2 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{infobox orang}}
'''Erna Djajadiningrat''' ({{lahirmati|[[Serang]], [[Banten]]|4|3|1911|[[Jakarta]]|8|11|1984}}) adalah seorang pejuang perempuan asal [[Indonesia]]. Erna menjadi perempuan pertama yang menerima penghargaan [[Bintang Gerilya]] pada 5 Oktober 1949 di Markas Divisi Siliwangi, Bandung, Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin
'''Erna Djajadiningrat''' ({{lahirmati|[[Serang]], [[Banten]]|4|3|1911|[[Jakarta]]|8|11|1984}}) adalah seorang pejuang perempuan asal [[Indonesia]]. Erna menjadi perempuan pertama yang menerima penghargaan [[Bintang Gerilya]] pada 5 Oktober 1949 di Markas Divisi Siliwangi, Bandung, Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin


== Riwayat Hidup ==
== Riwayat Hidup ==
Erna lahir di Serang, Banten, 4 Maret 1911. Anak ketiga Bupati Serang [[Achmad Djajadiningrat|RAA Achmad Djajadiningrat]] ini mengenyam pendidikan sekolah dasar ''Europeesche Lagere School'', sekolah menengah ''Hoogere Burger School'', dan Middelbare Huishouds School (Sekolah Kesejahteraan Keluarga).
Erna lahir di Serang, Banten, 4 Maret 1911. Anak ketiga Bupati Serang [[Achmad Djajadiningrat|RAA Achmad Djajadiningrat]] ini mengenyam pendidikan sekolah dasar ''Europeesche Lagere School'', sekolah menengah ''Hoogere Burger School'', dan ''Middelbare Huishouds School'' (Sekolah Kesejahteraan Keluarga).


Ensiklopedi Sunda menyebutkan bahwa meski keluarga bangsawan, Erna dekat dengan rakyat kecil. Mendapat pendidikan agama Islam yang mendalam dan mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Dia bersama saudara perempuannya diminta oleh ayahnya agar menjadi guru untuk mencerdaskan bangsa. Setelah menyelesaikan Sekolah Kesejahteraan Keluarga, dia menjadi guru di Van Deventer School di Solo, Jawa Tengah. Di luar waktu mengajar, dia aktif di berbagai kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia aktif pula mempelajari adat-istiadat Sunda. Sejak tahun 1932, dia berpindah-pindah tempat tugas, dan hampir semua kota di Pulau Jawa pernah ditinggali dalam rangka tugas mengajar.
Ensiklopedi Sunda menyebutkan bahwa meski keluarga bangsawan, Erna dekat dengan rakyat kecil. Mendapat pendidikan agama Islam yang mendalam dan mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Dia bersama saudara perempuannya diminta oleh ayahnya agar menjadi guru untuk mencerdaskan bangsa. Setelah menyelesaikan Sekolah Kesejahteraan Keluarga, dia menjadi guru di ''Van Deventer School'' di Surakarta, Jawa Tengah. Di luar waktu mengajar, dia aktif di berbagai kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, beliau juga aktif di dalam mempelajari adat-istiadat Sunda. Sejak tahun 1932, beliau berpindah-pindah tempat tugas dan hampir semua kota di Pulau Jawa pernah ditinggali dalam rangka tugas mengajar.


=== Revolusi Kemerdekaan Indonesia ===
=== Revolusi Kemerdekaan Indonesia ===
Baris 11: Baris 12:
Menurut buku Seperempat Abad Badan Penghubung Organisasi-organisasi Wanita (BPOW) DKI Jakarta, Erna bertugas di dapur umum Wani bersama Maria Ulfah dan Ibu Subari, mula-mula di Jalan Mampang 47 kemudian pindah ke Pegangsaan Timur 19. Dapur umum menghimpun bahan makanan seperti ikan asin, rokok, daging kering, gula, kopi, beras dan lain sebagainya. Bahan-bahan makanan ini kemudian dikirim ke garis depan. Permintaan pakaian seragam ditangani bagian penjahit. Biasanya dikirimkan ke garis depan bersama dengan pengiriman makanan. Anggota Barisan Putri Indonesia dan ibu-ibu pekerja di kantor-kantor membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan.
Menurut buku Seperempat Abad Badan Penghubung Organisasi-organisasi Wanita (BPOW) DKI Jakarta, Erna bertugas di dapur umum Wani bersama Maria Ulfah dan Ibu Subari, mula-mula di Jalan Mampang 47 kemudian pindah ke Pegangsaan Timur 19. Dapur umum menghimpun bahan makanan seperti ikan asin, rokok, daging kering, gula, kopi, beras dan lain sebagainya. Bahan-bahan makanan ini kemudian dikirim ke garis depan. Permintaan pakaian seragam ditangani bagian penjahit. Biasanya dikirimkan ke garis depan bersama dengan pengiriman makanan. Anggota Barisan Putri Indonesia dan ibu-ibu pekerja di kantor-kantor membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan.


“Dapur umum Wani menyediakan makanan nasi bungkus untuk beratus-ratus orang dari Badan Keamanan Rakyat, Polisi Umum, dan Jawatan Kereta Api,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 3.
“Dapur umum Wani menyediakan makanan nasi bungkus untuk beratus-ratus orang dari Badan Keamanan Rakyat, Polisi Umum, dan Jawatan Kereta Api,” tulis [[Rosihan Anwar]] dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 3.


Dapur umum Wani bekerja sama dengan Wali kota Jakarta Soewirjo, Mayor Oetaryo dari Kantor Perhubungan Tentara, Mayor Kemal Idris dari Resimen Tangerang, dan Letkol Mufraeni dari Resimen Cikampek. “Mengingat situasi politik dan ekonomi pada masa itu, keamanan jelek, uang dan pangan sulit, maka usaha yang dijalankan oleh Erna dengan tabah dari hari ke hari patutlah memperoleh penghargaan,” kata Rosihan.
Dapur umum Wani bekerja sama dengan Wali kota Jakarta [[Suwiryo|Soewirjo]], Mayor Oetaryo dari Kantor Perhubungan Tentara, Mayor [[Kemal Idris]] dari Resimen Tangerang, dan Letkol [[Moeffreni Moe'min|Mufraeni]] dari Resimen Cikampek. “Mengingat situasi politik dan ekonomi pada masa itu, keamanan jelek, uang dan pangan sulit, maka usaha yang dijalankan oleh Erna dengan tabah dari hari ke hari patutlah memperoleh penghargaan,” kata Rosihan.


Erna yang dijuluki “Si Nona Keras kepala” oleh Jepang dalam menyelenggarakan dapur umum benar-benar berkarakter wani atau berani. “Ketika saya di redaksi Merdeka mendengar berita bahwa rumah tempat Erna bekerja ditembaki serdadu NICA-Belanda yang lewat, sama sekali Erna tidak panik, tetap tenang. Itulah sosok wanita pejuang,” kata Rosihan.
Erna yang dijuluki “Si Nona Keras kepala” oleh Jepang dalam menyelenggarakan dapur umum benar-benar berkarakter wani atau berani. “Ketika saya di redaksi Merdeka mendengar berita bahwa rumah tempat Erna bekerja ditembaki serdadu NICA-Belanda yang lewat, sama sekali Erna tidak panik, tetap tenang. Itulah sosok wanita pejuang,” kata Rosihan.
Baris 21: Baris 22:
Belanda juga menggeledah rumah Erna. Meski tidak berhasil menemukan bukti bahwa Wani bekerja untuk kepentingan perjuangan, namun Belanda tetap melarang Wani. Agar pengiriman makanan ke garis depan tetap berjalan, Erna mengubah Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik). Pengiriman makanan tetap diteruskan sehingga para pejuang di garis depan bisa terus melanjutkan perjuangannya.
Belanda juga menggeledah rumah Erna. Meski tidak berhasil menemukan bukti bahwa Wani bekerja untuk kepentingan perjuangan, namun Belanda tetap melarang Wani. Agar pengiriman makanan ke garis depan tetap berjalan, Erna mengubah Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik). Pengiriman makanan tetap diteruskan sehingga para pejuang di garis depan bisa terus melanjutkan perjuangannya.


Selain pengiriman makanan, PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda. Salah satu yang dibebaskan adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang masuk penjara Bukit Duri Jakarta tahun 1947.
Selain pengiriman makanan, PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda. Salah satu yang dibebaskan adalah sastrawan [[Pramoedya Ananta Toer]] yang masuk penjara Bukit Duri Jakarta tahun 1947.


“Aku sendiri tercantum sebagai sersan mayor. Pada 12 Desember 1949 kami bersembilan dibebaskan sebagai orang-orang terakhir. Kebebasan kami dijemput oleh Panitia Korban Politik yang diketuai oleh Erna Djajadiningrat,” kata Pram dalam Nanyi Sunyi Seorang Bisu.
“Aku sendiri tercantum sebagai sersan mayor. Pada 12 Desember 1949 kami bersembilan dibebaskan sebagai orang-orang terakhir. Kebebasan kami dijemput oleh Panitia Korban Politik yang diketuai oleh Erna Djajadiningrat,” kata Pram dalam ''Nanyi Sunyi Seorang Bisu''.


Pada waktu penandatanganan penyerahan kedaulatan di Jakarta pada 27 Desember 1949, Erna bersama Maria Ullfah dan Ibu Yamin menjadi anggota delegasi dengan ketua Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Roofink.
Pada waktu penandatanganan penyerahan kedaulatan di Jakarta pada 27 Desember 1949, Erna bersama Maria Ullfah dan Ibu Yamin menjadi anggota delegasi dengan ketua [[Hamengkubuwana IX|Sultan Hamengkubuwono IX]] sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Roofink.


Erna menikah dengan Ir. Soetoto, Sekjen Departemen Perhubungan. Dia pernah menjadi anggota [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat|DPRDS Jawa Barat]], penilik sekolah-sekolah rumah tangga seluruh Indonesia, serta kepala urusan pendidikan wanita pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dia meninggal di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta, 8 November 1984 dan dimakamkan di [[Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata]], Jakarta Selatan.<ref>https://historia.id/militer/articles/perempuan-pertama-penerima-bintang-gerilya-vZ5WZ</ref>
Erna menikah dengan Ir. Soetoto, Sekjen Departemen Perhubungan dan pernah menjadi anggota [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat|DPRDS Jawa Barat]], penilik sekolah-sekolah rumah tangga seluruh Indonesia, serta kepala urusan pendidikan wanita pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
== Akhir Hayat ==
Erna meninggal di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta, 8 November 1984 dan dimakamkan di [[Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata]], Jakarta Selatan.<ref>https://historia.id/militer/articles/perempuan-pertama-penerima-bintang-gerilya-vZ5WZ</ref>


== Referensi ==
== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist}}

[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]
[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Sunda]]
[[Kategori:Tokoh Sunda]]
Baris 36: Baris 41:
[[Kategori:Tokoh dari Serang]]
[[Kategori:Tokoh dari Serang]]
[[Kategori:Tokoh Angkatan 45]]
[[Kategori:Tokoh Angkatan 45]]
[[Kategori:Politikus Indonesia]]
[[Kategori:Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat]]
[[Kategori:Anggota DPRD Jawa Barat]]
[[Kategori:Penerima Bintang Gerilya]]
[[Kategori:Penerima Bintang Gerilya]]

Revisi terkini sejak 23 Mei 2024 18.48

Infobox orangErna Djajadiningrat

Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran4 Maret 1911 Edit nilai pada Wikidata
Serang Edit nilai pada Wikidata
Kematian8 November 1984 Edit nilai pada Wikidata (73 tahun)
Jakarta Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanaktivis Edit nilai pada Wikidata
Keluarga
KeluargaKeluarga Djajadiningrat Edit nilai pada Wikidata
AyahAchmad Djajadiningrat Edit nilai pada Wikidata
SaudaraIdrus Nasir Djajadiningrat Edit nilai pada Wikidata
KerabatHilman Djajadiningrat (paternal uncle (en) Terjemahkan)
Hussein Jayadiningrat (paternal uncle (en) Terjemahkan) Edit nilai pada Wikidata

Erna Djajadiningrat (4 Maret 1911 – 8 November 1984) adalah seorang pejuang perempuan asal Indonesia. Erna menjadi perempuan pertama yang menerima penghargaan Bintang Gerilya pada 5 Oktober 1949 di Markas Divisi Siliwangi, Bandung, Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]

Erna lahir di Serang, Banten, 4 Maret 1911. Anak ketiga Bupati Serang RAA Achmad Djajadiningrat ini mengenyam pendidikan sekolah dasar Europeesche Lagere School, sekolah menengah Hoogere Burger School, dan Middelbare Huishouds School (Sekolah Kesejahteraan Keluarga).

Ensiklopedi Sunda menyebutkan bahwa meski keluarga bangsawan, Erna dekat dengan rakyat kecil. Mendapat pendidikan agama Islam yang mendalam dan mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Dia bersama saudara perempuannya diminta oleh ayahnya agar menjadi guru untuk mencerdaskan bangsa. Setelah menyelesaikan Sekolah Kesejahteraan Keluarga, dia menjadi guru di Van Deventer School di Surakarta, Jawa Tengah. Di luar waktu mengajar, dia aktif di berbagai kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, beliau juga aktif di dalam mempelajari adat-istiadat Sunda. Sejak tahun 1932, beliau berpindah-pindah tempat tugas dan hampir semua kota di Pulau Jawa pernah ditinggali dalam rangka tugas mengajar.

Revolusi Kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pada Oktober 1945, Erna bersama Suwarni Pringgodigdo dan Maria Ulfah mendirikan organisasi Wani (Wanita Indonesia) di Jakarta. Dalam bahasa Sunda dan Jawa, wani artinya berani.

Menurut buku Seperempat Abad Badan Penghubung Organisasi-organisasi Wanita (BPOW) DKI Jakarta, Erna bertugas di dapur umum Wani bersama Maria Ulfah dan Ibu Subari, mula-mula di Jalan Mampang 47 kemudian pindah ke Pegangsaan Timur 19. Dapur umum menghimpun bahan makanan seperti ikan asin, rokok, daging kering, gula, kopi, beras dan lain sebagainya. Bahan-bahan makanan ini kemudian dikirim ke garis depan. Permintaan pakaian seragam ditangani bagian penjahit. Biasanya dikirimkan ke garis depan bersama dengan pengiriman makanan. Anggota Barisan Putri Indonesia dan ibu-ibu pekerja di kantor-kantor membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan.

“Dapur umum Wani menyediakan makanan nasi bungkus untuk beratus-ratus orang dari Badan Keamanan Rakyat, Polisi Umum, dan Jawatan Kereta Api,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 3.

Dapur umum Wani bekerja sama dengan Wali kota Jakarta Soewirjo, Mayor Oetaryo dari Kantor Perhubungan Tentara, Mayor Kemal Idris dari Resimen Tangerang, dan Letkol Mufraeni dari Resimen Cikampek. “Mengingat situasi politik dan ekonomi pada masa itu, keamanan jelek, uang dan pangan sulit, maka usaha yang dijalankan oleh Erna dengan tabah dari hari ke hari patutlah memperoleh penghargaan,” kata Rosihan.

Erna yang dijuluki “Si Nona Keras kepala” oleh Jepang dalam menyelenggarakan dapur umum benar-benar berkarakter wani atau berani. “Ketika saya di redaksi Merdeka mendengar berita bahwa rumah tempat Erna bekerja ditembaki serdadu NICA-Belanda yang lewat, sama sekali Erna tidak panik, tetap tenang. Itulah sosok wanita pejuang,” kata Rosihan.

Erna pernah diperiksa oleh Belanda setelah mereka mengetahui kegiatan dapur umum Wani yang sebenarnya. Kepada Belanda, Erna mengatakan bahwa kegiatan dapur umum untuk membantu rakyat dengan makanan. Sementara itu, kegiatan pokok mengirim makanan ke garis depan tetap berlangsung.

Belanda juga menggeledah rumah Erna. Meski tidak berhasil menemukan bukti bahwa Wani bekerja untuk kepentingan perjuangan, namun Belanda tetap melarang Wani. Agar pengiriman makanan ke garis depan tetap berjalan, Erna mengubah Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik). Pengiriman makanan tetap diteruskan sehingga para pejuang di garis depan bisa terus melanjutkan perjuangannya.

Selain pengiriman makanan, PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda. Salah satu yang dibebaskan adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang masuk penjara Bukit Duri Jakarta tahun 1947.

“Aku sendiri tercantum sebagai sersan mayor. Pada 12 Desember 1949 kami bersembilan dibebaskan sebagai orang-orang terakhir. Kebebasan kami dijemput oleh Panitia Korban Politik yang diketuai oleh Erna Djajadiningrat,” kata Pram dalam Nanyi Sunyi Seorang Bisu.

Pada waktu penandatanganan penyerahan kedaulatan di Jakarta pada 27 Desember 1949, Erna bersama Maria Ullfah dan Ibu Yamin menjadi anggota delegasi dengan ketua Sultan Hamengkubuwono IX sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Roofink.

Erna menikah dengan Ir. Soetoto, Sekjen Departemen Perhubungan dan pernah menjadi anggota DPRDS Jawa Barat, penilik sekolah-sekolah rumah tangga seluruh Indonesia, serta kepala urusan pendidikan wanita pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Akhir Hayat[sunting | sunting sumber]

Erna meninggal di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta, 8 November 1984 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]