Lompat ke isi

Wayang thengul: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Menambah referensi
Tag: kemungkinan spam pranala VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(14 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{sedang ditulis}}
{{noref}}
{{rapikan}}
Wayang thengul adalah sejenis kesenian wayang yang berasal dari [[Bojonegoro]] <ref> [http://www.negerikuindonesia.com/2015/08/wayang-thengul-kesenian-tradisional.html Wayang thengul kesenian tradisional dari Bojonegoro, Jawa Timur] </ref>.Wayang thengul hampir mirip dengan wayang golek namun perbedaan yang jelas terlihat ialah dari cerita yang diangkat dan juga karakter tokoh yang ditampilkan. Jika pada Wayang Golek lebih banyak yang mengangkat cerita dari Wayang Purwa seperti Mahabarata dan juga Ramayana, justru Wayang Thengul banyak mengangkat cerita rakyat seperti halnya cerita Wayang Gedhog yaitu cerita kerajaan majapahit, cerita panji serta cerita para wali. Selain itu juga ada yang menceritakan cerita dari Serat Damarwulan <ref> [https://medium.com/@nurikautari14/wayang-thengul-dan-tari-thengul-kebudayaan-asal-bojonegoro-4d819bf05031|Wayang Thengul dan Tari Thengul, Kebudayaan Asal Bojonegoro] </ref>. atau wayang yang menggunakan perangkat boneka kayu bulat dan tebal. Bagian bawah dan kaki dibalut dengan pakaian dan kain (sarung) dimana tangan sang dalang masuk ke dalamnya. Dalang menggerak-gerakkan boneka tersebut dengan ibu jari dan jari telunjuk, sedangkan tiga jari lain memegang tangkai wayang. Boneka sebelah atas biasanya telanjang, kecuali pada beberapa pelawak dan pahlawan, memakai baju sikepan. Berbeda dengan wayang kulit pada umumnya, layar (kelir) yang digunakan terdapat lubang kotak di tengahnya, sehingga penonton juga dapat menyaksikan dari arah belakang layar. Wayang ini berbentuk boneka 3 dimensi dan biasanya dimainkan dengan diiringi gamelan pelog/slendro. Jalan cerita yang sering dimainkan dari kesenian ini lebih banyak mengambil cerita menak, seputar kisah [[Umar Maya]], [[Amir Hamzah]], [[Damar Wulan]], Cerita Panji, sejarah [[Kerajaan Majapahit|Majapahit]], dan kisah [[Betoro Kolo]] yang biasa dipentaskan untuk ruwatan.
'''Wayang Thengul''' adalah salah satu jenis kesenian wayang berasal dari [[Bojonegoro]] <ref>[http://www.negerikuindonesia.com/2015/08/wayang-thengul-kesenian-tradisional.html Wayang thengul kesenian tradisional dari Bojonegoro, Jawa Timur]</ref>. Wayang Thengul berciri menggunakan perangkat boneka kayu bulat dan tebal. Bagian bawah dan kaki dibalut dengan pakaian dan kain (sarung) di mana tangan Sang Dalang masuk ke dalamnya. Dalang menggerak-gerakkan boneka tersebut dengan ibu jari dan jari telunjuk, sedangkan tiga jari lain memegang tangkai wayang.


Boneka sebelah atas biasanya telanjang, kecuali pada beberapa pelawak dan pahlawan, memakai baju sikepan. Berbeda dengan wayang kulit pada umumnya, layar (kelir) yang digunakan terdapat lubang kotak di tengahnya, sehingga penonton juga dapat menyaksikan dari arah belakang layar. Wayang ini berbentuk boneka 3 dimensi dan biasanya dimainkan dengan diiringi gamelan pelog/slendro.
Konon, asal mula wayang thengul terinspirasi dari wayang golek menak dari [[Kudus]]. Wayang menak digunakan sebagai media penyebaran agama Islam; sedangkan, Ki Samijan berniat membuat wayang thengul selain untuk mengembangkan kreativitas seninya, selain itu juga digunakan untuk mencari nafkah (ngamen), di mana pada tahun 1930 perekonomian rakyat sangat sulit. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) wayang thengul juga dikenal dengan sebutan Wayang golek menak. Sama seperti wayang golek, wayang thengul merupakan monolog dalang diiringi gamelan dan waranggana.Didasari dengan niat yang untuk berkeliling (mengembara) dari satu desa ke desa lain, yang dalam bahasa Jawa “methentheng niyat ngulandara” dengan mendalang menggunakan wayang boneka kayunya, yang dijadikan nama wayangnya dengan sebutan thengul (theng dari akronim methen-theng, dan ngul dari kata ngul-andara).


Jalan cerita yang sering dimainkan Wayang Thengul, sangat mirip [[Wayang gedog|Wayang Gedog]] dan [[Wayang Menak]]. Yakni, lebih banyak mengambil cerita dari naskah utama Serat Menak, yang berkisah seputar kisah Umar Maya, [[Amir Hamzah]], [[Damar Wulan]], Cerita Panji, dan kisah Betoro Kolo yang biasa dipentaskan untuk ruwatan.
Ada pula yang mengartikan karena wayang thengul ini di bagian kepala wayangnya dapat digerakan ke kiri dan ke kanan, atau methungal-methungul, maka disebut dengan wayang thengul. Namun versi lain menyebutkan kata “thengul” dalam penuturan masyarakat, berasal dari kata “methentheng” dan “methungul” yang artinya karena terbuat dari kayu berbentuk tiga dimensi, maka dhalang harus methentheng (tenaga ekstra) mengangkat dengan serius agar methungul (muncul dan terlihat penonton). Perihal tenghul di Bojonegoro sudah menjadi hal umum dan informasinya bersifat update.selain itu bisa di lihat dari berbagai berita yang terkait budaya asli Bojonegoro.* Gk

Serat Menak merupakan naskah yang pertamakali disadur Wali Songo. Dalam kitab [https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/kagunan/826-kawruh-asalipun-ringgit-hazeu-1915-1112-hlm-001-129 Kawruh Asalipun Ringgit], disebut secara jelas bahwa pada 1485 Saka (1563 M), Sunan Giri menciptakan Wayang Menak, dengan bentuk wujudnya yang menyerupai Wayang Purwa. Kemudian pada Pada tahun 1486 Saka (1564 M), Sunan Bonang juga menciptakan Wayang Beber Menak,  untuk memodifikasi wayang Beber Purwa. Tabuhannya rebab, kendhang, trebang, angklung, kenong, serta keprak.

Secara ilmiah, Serat Menak sudah beredar di [[Jawa]] sejak abad ke- 17 M. Pada awal abad ke-17 M, terdapat naskah Menak (Jawa) dalam lontar sebanyak 119 lembar. Pada 1627 M, Andrew James menyerahkan naskah itu ke Bodleian Library. Artinya, satu abad lebih sebelum Para Pujangga Surakarta menulisnya, Serat Menak sastra Amir Hamzah telah masuk dan beredar luas di Jawa (Ricklefs & Voohoeve, 1977:43, dikutip Sedyawati dkk, 2001:319).

Sepintas, Wayang Thengul mirip dengan Wayang Golek. Perbedaannya terletak pada cerita yang diangkat dan juga karakter tokoh yang ditampilkan. Jika Wayang Golek lebih banyak mengangkat cerita dari Wayang Purwa seperti Mahabarata dan juga Ramayana, Wayang Thengul hampir sama dengan Wayang Gedog. Yaitu mengangkat cerita dari [[Wayang Menak|Serat Menak]] dan Para Wali. Selain itu, juga ada yang menceritakan cerita dari Serat Damarwulan.<ref>[https://medium.com/@nurikautari14/wayang-thengul-dan-tari-thengul-kebudayaan-asal-bojonegoro-4d819bf05031|Wayang Thengul dan Tari Thengul, Kebudayaan Asal Bojonegoro]</ref>

Seperti halnya Wayang Gedog ataupun Wayang Menak, Wayang Thengul sangat identik kebudayaan masyarakat akar rumput. Wayang Thengul pertamakali tumbuh dan dikembangkan di wilayah [[Padangan, Bojonegoro|Padangan]], Bojonegoro. Sampai saat ini pun, pengrajin Wayang Thengul identik wilayah perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur tersebut.

Wayang Thengul terinspirasi dari Wayang Menak atau Wayang Gedog yang sudah populer di [[Jawa|Jawa.]] Di Bojonegoro, Wayang Thengul pertamakali dibuat oleh Ki Dalang Samijan [[Padangan, Bojonegoro|Padangan]] pada 1930 M. Pada periode berikutnya, Wayang Thengul dikembangkan secara masif oleh Ki Dalang Santoso Padangan.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Wayang Thengul juga dikenal dengan sebutan Wayang Golek Menak. Sama seperti Wayang Golek, Wayang Thengul merupakan monolog dalang diiringi gamelan dan waranggana. Didasari dengan niat yang untuk berkeliling (mengembara) dari satu desa ke desa lain, yang dalam bahasa Jawa “''methentheng niyat ngulandara”'' dengan mendalang menggunakan wayang boneka kayunya, yang dijadikan nama wayangnya dengan sebutan thengul (theng dari akronim methen-theng, dan ngul dari kata ngul-andara).

Ada pula yang mengartikan karena Wayang Thengul ini di bagian kepala wayangnya dapat digerakan ke kiri dan ke kanan, atau ''methungal-methungul,'' maka disebut dengan wayang thengul. Namun versi lain menyebutkan kata “thengul” dalam penuturan masyarakat, berasal dari kata “''methentheng''” dan “''methungul''” yang artinya karena terbuat dari kayu berbentuk tiga dimensi, maka dhalang harus ''methentheng'' (tenaga ekstra) mengangkat dengan serius agar ''methungul'' (muncul dan terlihat penonton). Perihal tenghul di Bojonegoro sudah menjadi hal umum dan informasinya bersifat update. Selain itu bisa di lihat dari berbagai berita yang terkait budaya asli Bojonegoro.


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi terkini sejak 8 Juni 2024 09.49

Wayang Thengul adalah salah satu jenis kesenian wayang berasal dari Bojonegoro [1]. Wayang Thengul berciri menggunakan perangkat boneka kayu bulat dan tebal. Bagian bawah dan kaki dibalut dengan pakaian dan kain (sarung) di mana tangan Sang Dalang masuk ke dalamnya. Dalang menggerak-gerakkan boneka tersebut dengan ibu jari dan jari telunjuk, sedangkan tiga jari lain memegang tangkai wayang.

Boneka sebelah atas biasanya telanjang, kecuali pada beberapa pelawak dan pahlawan, memakai baju sikepan. Berbeda dengan wayang kulit pada umumnya, layar (kelir) yang digunakan terdapat lubang kotak di tengahnya, sehingga penonton juga dapat menyaksikan dari arah belakang layar. Wayang ini berbentuk boneka 3 dimensi dan biasanya dimainkan dengan diiringi gamelan pelog/slendro.

Jalan cerita yang sering dimainkan Wayang Thengul, sangat mirip Wayang Gedog dan Wayang Menak. Yakni, lebih banyak mengambil cerita dari naskah utama Serat Menak, yang berkisah seputar kisah Umar Maya, Amir Hamzah, Damar Wulan, Cerita Panji, dan kisah Betoro Kolo yang biasa dipentaskan untuk ruwatan.

Serat Menak merupakan naskah yang pertamakali disadur Wali Songo. Dalam kitab Kawruh Asalipun Ringgit, disebut secara jelas bahwa pada 1485 Saka (1563 M), Sunan Giri menciptakan Wayang Menak, dengan bentuk wujudnya yang menyerupai Wayang Purwa. Kemudian pada Pada tahun 1486 Saka (1564 M), Sunan Bonang juga menciptakan Wayang Beber Menak,  untuk memodifikasi wayang Beber Purwa. Tabuhannya rebab, kendhang, trebang, angklung, kenong, serta keprak.

Secara ilmiah, Serat Menak sudah beredar di Jawa sejak abad ke- 17 M. Pada awal abad ke-17 M, terdapat naskah Menak (Jawa) dalam lontar sebanyak 119 lembar. Pada 1627 M, Andrew James menyerahkan naskah itu ke Bodleian Library. Artinya, satu abad lebih sebelum Para Pujangga Surakarta menulisnya, Serat Menak sastra Amir Hamzah telah masuk dan beredar luas di Jawa (Ricklefs & Voohoeve, 1977:43, dikutip Sedyawati dkk, 2001:319).

Sepintas, Wayang Thengul mirip dengan Wayang Golek. Perbedaannya terletak pada cerita yang diangkat dan juga karakter tokoh yang ditampilkan. Jika Wayang Golek lebih banyak mengangkat cerita dari Wayang Purwa seperti Mahabarata dan juga Ramayana, Wayang Thengul hampir sama dengan Wayang Gedog. Yaitu mengangkat cerita dari Serat Menak dan Para Wali. Selain itu, juga ada yang menceritakan cerita dari Serat Damarwulan.[2]

Seperti halnya Wayang Gedog ataupun Wayang Menak, Wayang Thengul sangat identik kebudayaan masyarakat akar rumput. Wayang Thengul pertamakali tumbuh dan dikembangkan di wilayah Padangan, Bojonegoro. Sampai saat ini pun, pengrajin Wayang Thengul identik wilayah perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur tersebut.

Wayang Thengul terinspirasi dari Wayang Menak atau Wayang Gedog yang sudah populer di Jawa. Di Bojonegoro, Wayang Thengul pertamakali dibuat oleh Ki Dalang Samijan Padangan pada 1930 M. Pada periode berikutnya, Wayang Thengul dikembangkan secara masif oleh Ki Dalang Santoso Padangan.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Wayang Thengul juga dikenal dengan sebutan Wayang Golek Menak. Sama seperti Wayang Golek, Wayang Thengul merupakan monolog dalang diiringi gamelan dan waranggana. Didasari dengan niat yang untuk berkeliling (mengembara) dari satu desa ke desa lain, yang dalam bahasa Jawa “methentheng niyat ngulandara” dengan mendalang menggunakan wayang boneka kayunya, yang dijadikan nama wayangnya dengan sebutan thengul (theng dari akronim methen-theng, dan ngul dari kata ngul-andara).

Ada pula yang mengartikan karena Wayang Thengul ini di bagian kepala wayangnya dapat digerakan ke kiri dan ke kanan, atau methungal-methungul, maka disebut dengan wayang thengul. Namun versi lain menyebutkan kata “thengul” dalam penuturan masyarakat, berasal dari kata “methentheng” dan “methungul” yang artinya karena terbuat dari kayu berbentuk tiga dimensi, maka dhalang harus methentheng (tenaga ekstra) mengangkat dengan serius agar methungul (muncul dan terlihat penonton). Perihal tenghul di Bojonegoro sudah menjadi hal umum dan informasinya bersifat update. Selain itu bisa di lihat dari berbagai berita yang terkait budaya asli Bojonegoro.

Referensi[sunting | sunting sumber]