Lompat ke isi

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP12Mutia (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
k Masa peralihan: Merapikan
 
(33 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Pusat Penelitian Arkeologi Nasiona'''l atau biasa disingkat menjadi '''Puslit Arkenas,''' dulu adalah unit di bawah [[Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Badan Penelitian dan Pengembangan]] [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan]] yang bertugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan penelitian di bidang [[arkeologi]].<ref>https://arkenas.kemdikbud.go.id/#2</ref> Untuk mendukung pelaksanaan tugasnya, organisasi ini dulu juga memiliki sepuluh [[balai arkeologi]] yang tersebar di seantero Indonesia.
{{inuseBP|BP12Mutia||11 April|6 April}}
==Sejarah==
Kelahiran institusi purbakala berkaitan dengan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.<ref name="website">{{cite website
| author = Bambang Budi Utomo,Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
| year =
| month =
| title = Sejarah Berdiri
| journal =
| format =
| page =
| location = Jakarta
| url = http://setjen.kemdikbud.go.id/arkenas/
| publisher =
| accessdate = 10 Mei 2014
}}</ref>. Sebelum institusi kepurbakalaan lahir, pada tahun [[1901]] pemerintah [[Hindia]] [[Belanda]] membentuk sebuah komisi yang bernama [[Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera]].<ref name="website"/> Komisi ini bertugas menangani masalah-masalah kepurbakalaan yang ditemukan di [[Jawa]] dan [[Madura]].<ref name="website"/> Oleh pemerintah [[Hindia]] [[Belanda]], Brandes diangkat sebagai Ketua Komisi dan dibantu oleh dua orang anggota, yaitu J. Knebel dan H.L. Leydie Melville.<ref name="website"/> Pada tahun [[1905]], ia meninggal dunia dan jabatannya baru diisi pada tahun [[1910]] oleh [[Dr. N.J. Krom]].<ref name="website"/> Pada awal menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi, [[Krom]] menyadari bahwa tugas yang diembannya cukup berat. Karena itu harus dibentuk suatu lembaga oleh pemerintah.<ref name="website"/> Atas perjuangannya, dengan surat keputusan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda [[No. 13]] tanggal [[14 Juni 1913]] berdirilah [[Oudheidkundige Dienst]] in [[Nederlandsch-Indie]] sebagai badan tetap yang bertugas dalam bidang kepurbakalaan.<ref name="website"/>Sebagai Kepala Oudheidkundige Dienst yang pertama adalah [[Dr. N.J. Krom]] yang menduduki jabatan ini hingga tahun [[1915]] karena harus kembali ke [[Belanda]]. Dengan kembalinya [[Krom]] ke [[Belanda]], diangkat [[Dr. F.D.K Bosch]] sebagai Kepala [[Oudheidkundige Dienst]] pada tahun [[1916]]. [[Bosch]] memimpin lembaga ini selama sekitar 20 tahun. Selama kepemimpinannya banyak hal yang dilakukan untuk kemajuan ke­arkeo­logi­an di [[Hindia-Belanda]] ke arah kedewasaan melalui pemikiran di berbagai bidang, baik [[prasejarah]], [[kesenian]], [[arsitektur]], [[kebudayaan]], maupun epigrafi sehingga [[arkeologi]] [[Indone­sia]] mulai berdiri tegak sebagai ilmu dan sejajar dengan [[arkeologi]] di negara-negara lain.<ref name="website"/>
===Masa Peralihan===
Dalam perjalanan sejarahnya, [[Oudheidkundige Dienst]] mengalami pasang-surut tergantung dari pemerintah yang berkuasa, tetapi tugasnya tetap mengurusi barang-barang purbakala. Pada waktu pendudukan Jepang, Oudheidkundige Dienst namanya berubah dan lebih menjurus kepada mengurusi barang purbakala, yaitu [[Kantor Urusan Barang-barang Purbakala]]. Nama dan tugasnya berlangsung selama masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan ([[1942]]-[[1947]]). Pada tahun [[1946]] terjadi dualisme instansi, satu di bawah pemerintah Indonesia yang tetap memakai nama [[Kantor Urusan Barang-barang Purbakala]], dan satu di bawah pemerintah Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia. Di bawah Belanda namanya tetap [[Oudheidkundige Dienst]] dengan dikepalai oleh [[Ir. J.L. van Romondt]]. Karena tidak mempunyai arsip sebagai akibat peperangan, van Romondt membuka kantor cabang di Makassar.
Setelah keadaan pergolakan agak mereda, pada tahun [[1947]] nasib kepurbakalaan Indonesia diurus oleh [[Oudheidkundige Dienst]] dengan pimpinannya [[Dr. A.J. Bernet Kempers]]. Masa tenang berlangsung hingga tahun [[1950]]. Kemudian pada tahun ini namanya berubah lagi menjadi Bahagian Purbakala dari [[Jawatan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat]]. Kemudian pada tahun [[1951]] organisasi sudah lebih mantap, dan namanya kembali lagi menjadi [[Oudheidkundige Dienst]] (Dinas Purba­kala). Lembaga ini dipimpin oleh Kempers hingga tahun [[1953]]. Setelah itu digantikan oleh tenaga Indonesia, yaitu Drs. R. Soekmono yang telah lulus dari [[Universitas Indonesia]]. Dinas Purbakala berada di bawah Jawatan Kebudayaan, [[Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan]]. Nama instansi ini di bawah kepemimpinan Drs. Soekmono terus disandang hingga tahun [[1958]]. Setelah itu kembali diubah menjadi Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional (DPPN) hingga tahun [[1963]]/[[1964]]. Pada masa ini terdapat tiga buah kantor cabang, yaitu DPPN cabang Prambanan, DPPN cabang Gianyar, dan DPPN cabang Mojokerto.
===Lembaga Penelitian===
Masih di bawah kepemimpinan Soekmono, setelah tahun [[1963]]/[[1964]], DPPN kembali berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Nama ini terus disandang hingga tahun [[1975]]. Di akhhir masa jabatan [[Drs. Soekmono]], di bawah kepemimpinan [[Dra. Ny. Satyawati Suleiman]] terjadi re-strukturisasi organisasi yang meng­akibatkan perubahan nama. Sesuai dengan tuntutan perkembangan penelitian, LPPN fung­sinya dipecah menjadi dua bagian, yaitu Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) yang menangani masalah-masalah administratif dan perlindungan kepurbakalaan di Indonesia dan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (Pus. P3N). Pada tahun [[1975]] dengan terbitnya [[Surat Keputuan Mendikbud No. 079/0/1975]] mengenai pembentukan [[Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional]] sebagai instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan [[penelitian]] [[arkeologi]].
Perubahan nama menjadi Pus. P3N tidak berlangsung lama. Pada tahun [[1978]], ketika dipimpin oleh Dr. R.P. Soejono nama lembaga berubah lagi menjadi [[Pusat Pene­litian Arkeologi Nasional]] (Puslit Arkenas). Secara organisasi berada di bawah [[Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]]. Identitas sebagai lembaga [[penelitian]] [[arkeologi]] menjadi lebih jelas. Pada saat itu dibuka dua Unit Pelaksana Teknis (UPT) (Balai Arkeologi Denpasar dan Balai Arkeologi Yogyakarta) dan dua laboratorium (Lab. Paleo-ekologi dan Radiometri di Bandung dan Lab. Bio-antropologi dan Paleo-antropologi di Yogyakarta). Kerjasama dengan luar negeri yang telah dirintis oleh Dra. Ny. Satyawati Suleiman lebih diperluas lagi pada masa Dr. R.P. Soejono.
[[Pusat Penelitian Arkeologi Nasional]] dipimpin oleh Kepala Pusat dalam jenjang eselon IIA. Sebagai pelaksana tugas dalam bidang penelitian arkeologi [[nasional]], Puslit Arkenas, mempunyai kedudukan langsung di bawah [[Menteri]], namun dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari bertanggung jawab kepada [[Direktur Jenderal Kebudayaan]].
Puslit Arkenas mempunyai tugas melaksanakan kegiatan dan membina penelitian dalam bidang arkeologi nasional, dan mempunyai fungsi:
1. Merumuskan kebijakan menteri dan kebijakan teknis dalam bidang penelitian arkeologi nasional;
2. Melaksanakan dan membina penelitian arkeologi nasional;
3. melaksanakan urusan tata usaha pusat.
Sementara itu, Direktorat Sejarah dan Purbakala pada tahun 1978 ketika dipim­pin oleh Drs. Uka Tjandrasasmita, nama lembaga berubah menjadi Direktorat Perlin­dungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah). Lembaga ini secara organisasi berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendi­dikan dan Kebudayaan. Sebelum tahun 1978 lembaga ini mempunyai UPT yang bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) di Prambanan (Jawa Tengah), Bogem (D.I. Yogyakarta), Trowulan (Jawa Timur), Gianyar (Bali), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Kemudian pada tahun 1989 ditambah lagi dengan UPT di Banda Aceh (Nangroe Aceh Darussalam), Batusangkar (Sumatra Barat), Jambi (Jambi), dan Banten (Banten).
Sejak masa kepemimpinan Dra. Ny. Satyawati Suleiman dan dilanjutkan Dr. R.P. Soejono dilakukan kerjasama penelitian arkeologi, antara lain dengan Ecole franςaise d’Extrê-Orient (EFEO, Perancis), SEAMEO Project in Arcaheology and Fine Arts (SPAFA, Proyek kerjasama Mentri-mentri Pendidikan dan Kebudayaan Asia Tenggara di bidang arkeologi dan kesenian), Toyota Foundation, Japan Foundation, dan Ford Foundation. Melalui kerja­sama ini bidang penelitian arkeologi maju pesat. Kerjasama masih terus berlanjut sampai dengan masa kepemimpinan Dr. Hasan Muarif Ambary.
Puslit Arkenas di bawah kepemimpinan Dr. Hasan Muarif Ambari berkembang lebih luas lagi. Pada saat ini dibuka delapan UPT, yaitu Balai Arkeologi Palembang, Balai Arkeologi Medan, Balai Arkeologi Bandung (Lab, Palrad terpaksa dilikuidasi dan diga­bungkan dengan Balai), Balai Arkeologi Banjarmasin, Balai Arkeologi Manado, Balai Arkeologi Ambon, dan Balai Arkeologi Jayapura. Lab. Bio-antropologi dan Paleo-antro­pologi dilepas dan dikembalikan ke Universitas Gajah Mada.
===Masa Ambang Keruntuhan===
Krisis moneter yang berkepanjangan yang mengakibatkan pergolakan politik, terjadi perubahan kekuasaan dan perubahan dalam organisasi pemerintahan. Pada tahun 2000 Puslit Arkenas yang semula berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kemudian berada dalam struktur di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namanya berubah menjadi Pusat Arkeologi. Sementara itu, Ditlinbinjarah yang juga berada di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, dan namanya berubah menjadi Direktorat Purbakala.
Pada tahun 2001 terjadi lagi perubahan kekuasaan yang disusul dengan perubah­an struktur organisasi pemerintahan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berubah men­­jadi Mentri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Pusat Arkeologi juga berubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi, dan Direktorat Purbakala berubah menjadi Direktorat Purba­kala dan Permuseuman. Kedua instansi tersebut berada dalam struktur Deputi Bidang Peles­tarian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. UPT dari Direktorat Purbakala dan Permuseuman yang semula bernama Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala kemudian berubah menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
Dimulai dengan kabar yang beredar pada bulan April-Mei 2003, menga­barkan bahwa akan terjadi penghapusan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata dan digabungkan kepada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Kabar menjadi kenyataan setelah turun Keputusan Presiden No. 29, 30, 31, dan 32 tertanggal 26 Mei 2003 yang isinya tentang pembubaran Badan Pengembangan Kebudaya­an dan Pariwisata dan dilebur pada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Pada struktur yang baru ini nasib Pusat Penelitian Arkeologi berubah menjadi Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan saudaranya Direktorat Purbakala dan Permuseuman menjadi Asisten Deputi Urusan Purbakala dan Permuseuman berada di bawah Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala. Balai Arkeologi dan Balai Pelestarian Peninggalan Purba­kala merupakan UPT dari Deputi Bidang Bidang Sejarah dan Purbakala. Kata “Urusan” mengingatkan kita pada Kantor Urusan Barang-barang Purbakala ketika Zaman Jepang (1942-1947). Hanya karena negara menjelang pailit, haruskah kita kembali seperti pada Zaman Jepang? Sebagai sebuah institusi penelitian, Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan Unit Pelaksana Teknisnya mempunyai tenaga peneliti yang cukup memadai sebagai­mana tercantum dalam tabel berikut ini. Peneliti-peneliti tersebut, selain berlatar belakang pendidikan arkeologi, juga ada yang berlatar belakang pendidikan geologi, biologi, sejarah, dan antropologi. Seluruhnya tersebar dalam berbagai jenjang Jabatan Fungsional, mulai dari Asisten Peneliti, Ajun Peneliti, Peneliti, dan Ahli Peneliti.
==Tugas==
Tugas Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sebagai institusi adalah menyusun, mendaftar dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala yang berada dalam wilayah Hindia-Belanda, membuat rencana dan tindakan penyelamatan bangunan purbakala dari keruntuhan, pengukuran dan penggambaran peninggalan purbakala serta menelitinya lebih dalam.<ref name="website"/> Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dibawah naungan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata yang bertugas melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan arkeologi. Dalam melaksanakan tugas Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menyelenggarakan fungsi : Pelaksanaan urusan tata usaha; Penyusunan rencana dan program kegiatan, pengembangan sistem dan metoda, serta hubungan kerja sama penelitian dan pengembangn Arkeologi; Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, dokumentasi dan publikasi data penelitian dan pengembangan Arkeologi; Pembinaan jabatan fungsional di lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.<ref name="website1">{{cite website
| author = Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
| year =
| month =
| title = Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Tugas Pokok dan Fungsi
| journal =
| format =
| page =
| location = Jakarta
| url = http://www.indonesia.go.id/en/industri/373-badan-pengembangan-kebudayaan-dan-pariwisata
| publisher =
| accessdate = 10 Mei 2014
}}</ref>.
==Karakter Arkeolog==
Pusat Penelitian Arkelogi Nasional menghimpun peneliti dengan berbagai karakter yaitu
Para arkeolog dengan penggunaan istilah saya. Adapun tipe-tipe para arkeolog adalah :


Tugas dari organisasi ini dulu meliputi penyiapan bahan kebijakan teknis, penyusunan program, pelaksanaan, koordinasi dan fasilitasi, konservasi dan arkeometri, kerja sama, pendayagunaan dan pelayanan data, serta pemantauan dan evaluasi di bidang penelitian dan pengembangan arkeologi.<ref name="website1">{{cite website|author=Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata|year=|title=Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Tugas Pokok dan Fungsi|url=http://www.indonesia.go.id/en/industri/373-badan-pengembangan-kebudayaan-dan-pariwisata|publisher=|location=Jakarta|page=|format=|month=|accessdate=10 Mei 2014|journal=}}</ref><ref>{{Cite web|title="Permendikbud no. 11 tahun 2015"|url=http://www.infokursus.net/download/1407151417permendikbud_tahun2015_nomor011.pdf|archive-url=https://web.archive.org/web/20160328110600/http://www.infokursus.net/download/1407151417permendikbud_tahun2015_nomor011.pdf|archive-date=2016-03-28|dead-url=yes|access-date=2016-06-29}}</ref>
1. Arkeolog Kaca Mata Kuda : Arkeolog yang seperti ini maksudnya ditujukan kepada mereka yang melihat arkeologi sebagai sebuah disiplin Ilmu murni, yang tidak wajib dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Penelitian yang dilakukan hanya mencari dan memililih situs penelitian yang kaya akan data arkeologi saja untuk didalami secara sistemastis dan ilmiah. Meskipun terkadang situs itu tidak begitu memiliki banyak potensi untuk dikaji dari sudut pandang ilmu lain. Keunggulan : Hasil penelitian sangat mendalam dan paling bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya dari sudut pandang Ilmu Arkeologi itu sendiri. Kekurangan : Hasil penelitian paling sulit digunakan untuk kepentingan diluar ilmu arkeologi.


Pada tahun 2022, organisasi ini digabung ke dalam [[Badan Riset dan Inovasi Nasional]]. Pegawainya kemudian dialihkan ke [[Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra]].<ref name="arkenas">{{Cite web|last=Alfarizi|first=Khory|date=5 Januari 2022|title=Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Ikut Melebur ke BRIN, Ini Kata Arkeolog|url=https://tekno.tempo.co/read/1546645/pusat-penelitian-arkeologi-nasional-ikut-melebur-ke-brin-ini-kata-arkeolog|publisher=Tempo|language=id|access-date=18 Juli 2024}}</ref>
2. Arkeolog Kapal Selam : Arkeolog yang seperti ini adalah karakter peneliti yang bekerja tanpa mendapatkan publikasi luas terhadap segala kegiatan penelitiannya. Alasan kurang mandapat publikasi dapat bermacam-macam. Bisa saja karena dia memang tidak suka dipublikasikan atau justru dia malah kurang memahami dan tahu tentang arti penting suatu kegiatan publikasi. Keunggulan : Disebabkan banyak yang tidak tahu penelitian apa yang sedang dia kerjakan, maka dia tidak terlalu mendapatkan tekanan dari kepentingan luar sampai penelitiannya selesai. Maka kedalaman berita hasil penelitinya dapat sesuai dengan keinginannya (tapi belum tentu sangat mendalam seperti tipe / karakter arkeolog kaca mata kuda). Namun justru karena itu, suatu saat hasil penelitiannya masih bisa digunakan sebagai acuan data oleh kepentingan para peneliti lain termasuk dari non ilmu arkeologi. Kekurangan : Karya-karya hasil penelitiannya tidak banyak yang mengetahui apalagi memanfaatkan hasil penelitiannya. Kemungkinan besar tersimpan utuh di ruangannya sendiri atau di ruang arsip / perpustakaan instansi tempat dia bekerja. Kalaupun telah diterbitkan dalam bentuk buku, kemungkinan salah sasaran penyebar-luasan atau diperparah dengan penampilan fisik buku yang tidak menarik dari luar sehingga sangat sulit orang tertarik membaca buku tersebut. Umumnya tipe arkeolog seperti ini kurang terkenal meskipun pada akhirnya dia sampai memiliki gelar tertinggi dalam karier seorang peneliti (Profesor Riset / Ahli Peneliti Utama)


== Sejarah ==
3. Arkeolog Pohon Rindang : Arkeolog yang seperti ini adalah arkeolog yang lebih menganggap kalau profesinya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi bukan termasuk kategori tujuan utama hidupnya (ada faktor-faktor kebetulan dia dapat bekerja di instansi tersebut). Karena faktor kebetulan tersebut, maka instansi tersebut cenderung sekedar menjadi tempat berteduh saja. Peneliti itu kemungkinan besar tidak menseriusi pekerjaannya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi. Yang lebih ironis menganggap kalau profesinya sebagai PNS hanya sampingan pemenuhan kebutuhan hidup belaka ditengah-tengah masa kini yang semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan. Maka karakter seperti ini kemudian akan berusaha mencari / menemukan kepuasan bekerja dibidang lain. Tentunya sekalian motivasi untuk mendapatkan penghasilan tambahan selain dari gaji PNS. Kelebihan : Dalam tiap kegiatan penelitian, lebih suka diatur, tidak perlu wajib memikirkan sepenuhnya kegiatan penelitian. Dia tidak terlalu berambisi mengejar karier penelitinya,karena kemungkinan besar dia telah memiliki kesibukan yang lebih dia pentingkan diluar instansi tempat dia bekerja. Maka cenderung dia terhindar bersitegang dengan sesama peneliti. Dapat bekerjasama dalam setiap penelitian sebagai seorang anggota tim (bukan ketua tim). Kekurangan : Paling tidak memiliki kontribusi untuk memajukan penelitian arkeologi. Apabila ada banyak peneliti yang memiliki tipe seperti ini, maka akan semakin cepat instansi penelitian arkeologi dibubarkan oleh pemerintah.


=== Masa Hindia Belanda ===
4. Arkeolog Selebritis : Kebalikan dari karakter / tipe arkeolog kapal selam, paling banyak mendapatkan publikasi luas dan dikenal publik. Idealnya terkenal karena profesinya tersebut. Keunggulan : Akibat sering muncul / diberitakan oleh media publik, sehingga sangat membantu dalam kegiatan mempublikasikan ilmu arkeologi itu sendiri. Kekurangan : Dia sering dipublikasikan, mungkin karena dia pintar mengemas berita penelitiannya sehingga menarik untuk dikonsumsi publik. Namun yang ditakutkan apabila lebih mengutamakan performence dari pada kedalaman dan tingkat kebenaran hasil penelitiannya tersebut. Bahkan mungkin segala publikasi tentang penelitiannya (sehingga membuat dia menjadi terkenal) sangat jauh dari kebenaran sesungguhnya. Atau ironisnya, dia menjadi terkenal karena sesuatu publikasi yang tanpa disengaja turut mempublikasikan profesinya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi.
Sejak abad ke-19, perawatan benda purbakala merupakan tugas dari kepala daerah, dan terkadang kepala daerah juga mendapat perintah langsung dari [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Gubernur Jenderal]]. Pada tahun 1840, para kepala daerah diminta oleh Gubernur Jenderal [[Carel Sirardus Willem van Hogendorp]] untuk mengirimkan daftar benda purbakala yang ada di daerahnya masing-masing dan melaporkan segala sesuatu yang terkait dengan benda tersebut dalam jangka waktu yang singkat. Pengumpulan koleksi di bidang etnografi baru dilakukan pada tahun 1862, melalui instruksi Gubernur Jenderal [[Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele]], dan koleksi-koleksi tersebut akan diberikan kepada ''[[Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen]]'' yang diberi kebebasan untuk menentukan apakah benda-benda tersebut akan disimpan di museum mereka sendiri, atau akan dikirim ke Belanda untuk ditempatkan di Museum Purbakala di [[Leiden]].{{sfn|Aanroij|2014|p=121}}


Organisasi ini memulai sejarahnya pada tahun 1901 saat pemerintah Hindia Belanda membentuk ''Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera'' untuk menangani urusan kepurbakalaan di [[Jawa]] dan [[Madura]].<ref name="website">{{cite website|author=Bambang Budi Utomo,Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional|year=|title=Sejarah Berdiri|url=http://setjen.kemdikbud.go.id/arkenas/|publisher=|location=Jakarta|page=|format=|month=|archive-url=https://web.archive.org/web/20140513010725/http://setjen.kemdikbud.go.id/arkenas/|archive-date=2014-05-13|dead-url=yes|accessdate=10 Mei 2014|journal=}}</ref><ref>http://digilib.isi.ac.id/7977/1/BAB%201%20Rizqi.pdf</ref> Brandes pun diangkat sebagai ketua dari komisi tersebut, dengan dibantu oleh dua orang anggota, yaitu [[J. Knebel]] dan [[H.L. Leydie Melville]].<ref name="website" /> Pada tahun 1905, Brandes meninggal, sehingga pada tahun 1910, [[Nicolaas Johannes Krom|N.J. Krom]] ditunjuk sebagai ketua.<ref name="website" />
5. Arkeolog Multi Talent : Arkeolog yang seperti ini menurut saya adalah tipe / karakter arkeolog idaman. Dia mampu tampil dan menguasai pekerjaan tidak hanya di dalam kepakaran penelitian arkeologi saja. Namun dapat tampil menguasai kepakaran ilmu selain arkeologi yang lain, tentunya dapat dikaitkan dengan ilmu arkeologi tersebut. Sebagai contoh : para peneliti yang memiliki gelar S-1 arkeologi kemudian melanjutkan studi mengambil gelar S-2 di jurusan non arkeologi. Atau sebaliknya bagi peneliti yang memiliki gelar S-1 non arkeologi kemudian mengambil gelar S-2 Arkeologi. Harapannya ketika dia berbicara dalam kapasitas sebagai peneliti yang bekerja di instansi penelitian Arkeologi, dia juga mahir menguasai kepakaran di bidang lain yang memperkaya berita penelitian arkeologi tersebut. Menurut saya, sangat ideal diharapkan apabila di setiap instansi penelitian arkeologi, semua penelitinya memiliki kriteria tipe seperti ini. Maka akan terjadi kerjasama yang saling mengisi dengan aneka macam kepakaran masing-masing, bukan menjadi persaingan akibat berada di bidang kepakaran yang sama.<ref name="website">{{cite website
| author =
| year = 2009
| month = November
| title = MAU KITA BAWA KEMANA INSTANSI PENELITIAN ARKEOLOGI INDONESIA ? (Sekilas Evaluasi Terhadap Tipe /Karakter SDM Para Peneliti Balai Arkeologi Medan)
| journal =
| format =
| page =
| location = Medan
| url = http://balai-arkeologi-medan.web.id/penelitian-dan-terbitan/artikel-lepas/mau-kita-bawa-kemana-instansi-penelitian-arkeologi-indonesia-sekilas-evaluasi-terhadap-tipe-karakter-sdm-para-peneliti-balai-arkeologi-medan/
| publisher =
| accessdate = 10 Mei 2014
}}</ref>


Krom kemudian menyadari bahwa tugas yang diembannya cukup berat,<ref name="website" /> sehingga ia merasa bahwa urusan kepurbakalaan harus ditangani oleh lembaga, bukan sekedar komisi.<ref name="website" /> Pada tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda akhirnya membentuk ''Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie'' untuk menangani urusan kepurbakalaan.<ref name="website" /> Lembaga tersebut diletakkan di bawah [[Departemen Pendidikan, Ibadah, dan Industri Kerajinan Hindia Belanda|Departemen Pendidikan, Ibadah, dan Industri Kerajinan]]. Krom kemudian ditunjuk sebagai kepala dari lembaga tersebut, tetapi Krom hanya menjabat hingga tahun 1915, karena ia harus kembali ke [[Belanda]].<ref name="website" /> Lembaga tersebut berkantor pusat di gedung yang sama dengan ''Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.''
==Garis Besar Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi==

==Rujukan==
Lembaga tersebut diberi tugas menyusun, menginventarisasi, serta mengawasi peninggalan purbakala di seantero Hindia Belanda. Selain itu, lembaga tersebut juga diberi tugas merencanakan dan melakukan pemugaran, melakukan pengukuran dan penggambaran, serta melakukan penelitian terhadap peninggalan purbakala. Bersama pemerintah setempat, lembaga tersebut juga diberi tugas mengawasi benda purbakala, agar tidak ada yang dirusak, dihancurkan, dicuri, atau diekspor secara ilegal.

Pada tahun 1916, [[Frederik David Kan Bosch|F.D.K Bosch]] diangkat sebagai kepala dari lembaga tersebut.<ref name="website" /> Bosch pun memimpin lembaga tersebut selama sekitar 20 tahun. Selama kepemimpinannya, banyak hal yang dilakukan untuk memajukan ­kepurbakalaan di [[Hindia Belanda]] melalui pemikiran di berbagai bidang, baik [[prasejarah]], [[kesenian]], [[arsitektur]], [[kebudayaan]], maupun [[epigrafi]], sehingga kepurbakalaan di Indone­sia mulai sejajar dengan kepurbakalaan di negara-negara lain.<ref name="website" />

=== Masa peralihan ===
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, ''Oudheidkundige Dienst'' diubah namanya menjadi '''Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala'''. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946, terjadi dualisme lembaga kepurbakalaan, yakni di bawah pemerintah Indonesia dengan nama Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala dan di bawah pemerintah Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia dengan nama ''Oudheidkundige Dienst'' yang dipimpin oleh [[J.L. van Romondt]]. ''Oudheidkundige Dienst'' juga memiliki kantor cabang di [[Makassar]].

Setelah pergolakan agak mereda, pada tahun 1947, urusan kepurbakalaan di Indonesia ditangani oleh ''Oudheidkundige Dienst'' yang dipimpin oleh [[A.J. Bernet Kempers]]. Pada tahun 1950, lembaga tersebut dijadikan Bahagian Purbakala dari '''Jawatan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat'''. Pada tahun 1951, Bahagian Purbakala diubah menjadi Dinas Purbakala dan dipimpin oleh Kempers. Pada tahun 1953, Kempers digantikan oleh [[R. Soekmono]] yang baru lulus dari [[Universitas Indonesia]]. Pada tahun 1958, Dinas Purbakala diubah namanya menjadi '''Dinas Purbakala & Peninggalan Nasional''' (DPPN). Pada saat itu, DPPN telah memiliki tiga kantor cabang, yaitu di [[Prambanan, Klaten|Prambanan]], [[Gianyar]], dan [[Mojokerto]].

=== Orde Baru ===
Pada tahun 1963/1964, DPPN diubah namanya menjadi '''Lembaga Purbakala & Peninggalan Nasional''' (LPPN). Pada tahun 1973, Soekmono digantikan oleh [[Satyawati Suleiman]]. Pada tahun 1975, LPPN dibagi menjadi dua organisasi, yaitu '''Direktorat Sejarah & Purbakala''' (DSP) yang bertugas menangani urusan administrasi dan perlindungan kepurbakalaan di Indonesia dan '''Pusat Penelitian Purbakala & Peninggalan Nasional''' (Pusat P3N) yang bertugas menyelenggarakan penelitian arkeologi. DSP diletakkan di bawah [[Direktorat Jenderal Kebudayaan]].

Pada tahun 1978, saat dipimpin oleh [[R.P. Soejono]], Pusat P3N diubah namanya menjadi '''Pusat Pene­litian Arkeologi Nasional''' (Puslit Arkenas) dan secara organisasi diletakkan di bawah [[Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia|Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]]. Organisasi ini kemudian membentuk dua [[unit pelaksana teknis]] baru (Balai Arkeologi Denpasar dan Balai Arkeologi Yogyakarta) dan dua laboratorium baru (Laboratorium Paleoekologi & Radiometri di [[Bandung]] dan Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi di [[Yogyakarta]]).

Sejak masa kepemimpinan Satyawati Suleiman, telah dilakukan sejumlah kerja sama penelitian arkeologi, antara lain dengan [[École Française d'Extrême-Orient]], [[SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts]] (SPAFA), [[Toyota Foundation]], [[Japan Foundation]], dan [[Ford Foundation]]. Melalui kerja­sama tersebut, penelitian arkeologi pun berkembang pesat.

Di bawah kepemimpinan [[Hasan Muarif Ambari]], organisasi ini membentuk delapan unit pelaksana teknis baru, yaitu Balai Arkeologi Palembang, [[Balai Arkeologi Medan]], Balai Arkeologi Bandung (Laboratorium Paleoekologi & Radiometri diga­bung ke balai ini), Balai Arkeologi Banjarmasin, Balai Arkeologi Manado, Balai Arkeologi Ambon, dan Balai Arkeologi Jayapura. Sedangkan Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantro­pologi diserahkan ke [[Universitas Gajah Mada]].

=== Pasca Orde Baru ===
Pada tahun 2000, organisasi ini diubah namanya menjadi '''Pusat Arkeologi''' dan diletakkan di bawah Direktorat Jenderal Sejarah & Purbakala dari [[Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia|Departemen Kebudayaan & Pariwisata]]. Pada tahun 2001, organisasi ini kembali diubah namanya menjadi '''Pusat Penelitian Arkeologi''' dan diletakkan di bawah Deputi Bidang Peles­tarian & Pengembangan Kebudayaan dari [[Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata|Badan Pengembangan Kebudayaan & Pariwisata]].

Pada tahun 2003, seiring dengan digabungnya Badan Pengembangan Kebudaya­an & Pariwisata ke dalam [[Kementerian Pariwisata Indonesia|Kementerian Negara Kebudayaan & Pariwisata]], organisasi ini diubah namanya menjadi '''Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional''' dan diletakkan di bawah Deputi Bidang Sejarah & Purbakala.<ref name="website" /> Pada tahun 2011, organisasi ini kembali diubah namanya menjadi '''Pusat Penelitian Arkeologi Nasional''' (Puslit Arkenas) dan diletakkan di bawah [[Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Badan Penelitian Pengembangan Kemendikbud]].

Pada tahun 2022, organisasi ini digabung ke dalam [[Badan Riset dan Inovasi Nasional]]. Pegawainya kemudian dialihkan ke [[Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra]].<ref name="arkenas" />

== Rujukan ==
{{reflist}}
{{reflist}}
== Pranala luar ==
[[Kategori:Pusat Penelitian Arkeologi Nasional]]
https://www.facebook.com/PUSARNAS

[[Kategori:Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia]]
[[Kategori:Arkeologi]]
[[Kategori:Arkeologi]]
[[Kategori:Penelitian Arkeologi]]
[[Kategori:Artikel BP2014]]

Revisi terkini sejak 23 Juli 2024 02.08

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional atau biasa disingkat menjadi Puslit Arkenas, dulu adalah unit di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan penelitian di bidang arkeologi.[1] Untuk mendukung pelaksanaan tugasnya, organisasi ini dulu juga memiliki sepuluh balai arkeologi yang tersebar di seantero Indonesia.

Tugas dari organisasi ini dulu meliputi penyiapan bahan kebijakan teknis, penyusunan program, pelaksanaan, koordinasi dan fasilitasi, konservasi dan arkeometri, kerja sama, pendayagunaan dan pelayanan data, serta pemantauan dan evaluasi di bidang penelitian dan pengembangan arkeologi.[2][3]

Pada tahun 2022, organisasi ini digabung ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional. Pegawainya kemudian dialihkan ke Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra.[4]

Masa Hindia Belanda

[sunting | sunting sumber]

Sejak abad ke-19, perawatan benda purbakala merupakan tugas dari kepala daerah, dan terkadang kepala daerah juga mendapat perintah langsung dari Gubernur Jenderal. Pada tahun 1840, para kepala daerah diminta oleh Gubernur Jenderal Carel Sirardus Willem van Hogendorp untuk mengirimkan daftar benda purbakala yang ada di daerahnya masing-masing dan melaporkan segala sesuatu yang terkait dengan benda tersebut dalam jangka waktu yang singkat. Pengumpulan koleksi di bidang etnografi baru dilakukan pada tahun 1862, melalui instruksi Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele, dan koleksi-koleksi tersebut akan diberikan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang diberi kebebasan untuk menentukan apakah benda-benda tersebut akan disimpan di museum mereka sendiri, atau akan dikirim ke Belanda untuk ditempatkan di Museum Purbakala di Leiden.[5]

Organisasi ini memulai sejarahnya pada tahun 1901 saat pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera untuk menangani urusan kepurbakalaan di Jawa dan Madura.[6][7] Brandes pun diangkat sebagai ketua dari komisi tersebut, dengan dibantu oleh dua orang anggota, yaitu J. Knebel dan H.L. Leydie Melville.[6] Pada tahun 1905, Brandes meninggal, sehingga pada tahun 1910, N.J. Krom ditunjuk sebagai ketua.[6]

Krom kemudian menyadari bahwa tugas yang diembannya cukup berat,[6] sehingga ia merasa bahwa urusan kepurbakalaan harus ditangani oleh lembaga, bukan sekedar komisi.[6] Pada tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda akhirnya membentuk Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie untuk menangani urusan kepurbakalaan.[6] Lembaga tersebut diletakkan di bawah Departemen Pendidikan, Ibadah, dan Industri Kerajinan. Krom kemudian ditunjuk sebagai kepala dari lembaga tersebut, tetapi Krom hanya menjabat hingga tahun 1915, karena ia harus kembali ke Belanda.[6] Lembaga tersebut berkantor pusat di gedung yang sama dengan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Lembaga tersebut diberi tugas menyusun, menginventarisasi, serta mengawasi peninggalan purbakala di seantero Hindia Belanda. Selain itu, lembaga tersebut juga diberi tugas merencanakan dan melakukan pemugaran, melakukan pengukuran dan penggambaran, serta melakukan penelitian terhadap peninggalan purbakala. Bersama pemerintah setempat, lembaga tersebut juga diberi tugas mengawasi benda purbakala, agar tidak ada yang dirusak, dihancurkan, dicuri, atau diekspor secara ilegal.

Pada tahun 1916, F.D.K Bosch diangkat sebagai kepala dari lembaga tersebut.[6] Bosch pun memimpin lembaga tersebut selama sekitar 20 tahun. Selama kepemimpinannya, banyak hal yang dilakukan untuk memajukan ­kepurbakalaan di Hindia Belanda melalui pemikiran di berbagai bidang, baik prasejarah, kesenian, arsitektur, kebudayaan, maupun epigrafi, sehingga kepurbakalaan di Indone­sia mulai sejajar dengan kepurbakalaan di negara-negara lain.[6]

Masa peralihan

[sunting | sunting sumber]

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Oudheidkundige Dienst diubah namanya menjadi Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946, terjadi dualisme lembaga kepurbakalaan, yakni di bawah pemerintah Indonesia dengan nama Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala dan di bawah pemerintah Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia dengan nama Oudheidkundige Dienst yang dipimpin oleh J.L. van Romondt. Oudheidkundige Dienst juga memiliki kantor cabang di Makassar.

Setelah pergolakan agak mereda, pada tahun 1947, urusan kepurbakalaan di Indonesia ditangani oleh Oudheidkundige Dienst yang dipimpin oleh A.J. Bernet Kempers. Pada tahun 1950, lembaga tersebut dijadikan Bahagian Purbakala dari Jawatan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat. Pada tahun 1951, Bahagian Purbakala diubah menjadi Dinas Purbakala dan dipimpin oleh Kempers. Pada tahun 1953, Kempers digantikan oleh R. Soekmono yang baru lulus dari Universitas Indonesia. Pada tahun 1958, Dinas Purbakala diubah namanya menjadi Dinas Purbakala & Peninggalan Nasional (DPPN). Pada saat itu, DPPN telah memiliki tiga kantor cabang, yaitu di Prambanan, Gianyar, dan Mojokerto.

Orde Baru

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1963/1964, DPPN diubah namanya menjadi Lembaga Purbakala & Peninggalan Nasional (LPPN). Pada tahun 1973, Soekmono digantikan oleh Satyawati Suleiman. Pada tahun 1975, LPPN dibagi menjadi dua organisasi, yaitu Direktorat Sejarah & Purbakala (DSP) yang bertugas menangani urusan administrasi dan perlindungan kepurbakalaan di Indonesia dan Pusat Penelitian Purbakala & Peninggalan Nasional (Pusat P3N) yang bertugas menyelenggarakan penelitian arkeologi. DSP diletakkan di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Pada tahun 1978, saat dipimpin oleh R.P. Soejono, Pusat P3N diubah namanya menjadi Pusat Pene­litian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan secara organisasi diletakkan di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Organisasi ini kemudian membentuk dua unit pelaksana teknis baru (Balai Arkeologi Denpasar dan Balai Arkeologi Yogyakarta) dan dua laboratorium baru (Laboratorium Paleoekologi & Radiometri di Bandung dan Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi di Yogyakarta).

Sejak masa kepemimpinan Satyawati Suleiman, telah dilakukan sejumlah kerja sama penelitian arkeologi, antara lain dengan École Française d'Extrême-Orient, SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts (SPAFA), Toyota Foundation, Japan Foundation, dan Ford Foundation. Melalui kerja­sama tersebut, penelitian arkeologi pun berkembang pesat.

Di bawah kepemimpinan Hasan Muarif Ambari, organisasi ini membentuk delapan unit pelaksana teknis baru, yaitu Balai Arkeologi Palembang, Balai Arkeologi Medan, Balai Arkeologi Bandung (Laboratorium Paleoekologi & Radiometri diga­bung ke balai ini), Balai Arkeologi Banjarmasin, Balai Arkeologi Manado, Balai Arkeologi Ambon, dan Balai Arkeologi Jayapura. Sedangkan Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantro­pologi diserahkan ke Universitas Gajah Mada.

Pasca Orde Baru

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2000, organisasi ini diubah namanya menjadi Pusat Arkeologi dan diletakkan di bawah Direktorat Jenderal Sejarah & Purbakala dari Departemen Kebudayaan & Pariwisata. Pada tahun 2001, organisasi ini kembali diubah namanya menjadi Pusat Penelitian Arkeologi dan diletakkan di bawah Deputi Bidang Peles­tarian & Pengembangan Kebudayaan dari Badan Pengembangan Kebudayaan & Pariwisata.

Pada tahun 2003, seiring dengan digabungnya Badan Pengembangan Kebudaya­an & Pariwisata ke dalam Kementerian Negara Kebudayaan & Pariwisata, organisasi ini diubah namanya menjadi Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan diletakkan di bawah Deputi Bidang Sejarah & Purbakala.[6] Pada tahun 2011, organisasi ini kembali diubah namanya menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan diletakkan di bawah Badan Penelitian Pengembangan Kemendikbud.

Pada tahun 2022, organisasi ini digabung ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional. Pegawainya kemudian dialihkan ke Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra.[4]

  1. ^ https://arkenas.kemdikbud.go.id/#2
  2. ^ Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. "Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Tugas Pokok dan Fungsi". Jakarta. Diakses tanggal 10 Mei 2014. 
  3. ^ ""Permendikbud no. 11 tahun 2015"" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-28. Diakses tanggal 2016-06-29. 
  4. ^ a b Alfarizi, Khory (5 Januari 2022). "Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Ikut Melebur ke BRIN, Ini Kata Arkeolog". Tempo. Diakses tanggal 18 Juli 2024. 
  5. ^ Aanroij 2014, hlm. 121.
  6. ^ a b c d e f g h i j Bambang Budi Utomo,Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional. "Sejarah Berdiri". Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-13. Diakses tanggal 10 Mei 2014. 
  7. ^ http://digilib.isi.ac.id/7977/1/BAB%201%20Rizqi.pdf

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

https://www.facebook.com/PUSARNAS