Jemaah haji Indonesia: Perbedaan antara revisi
k Menambah Kategori:Jemaah haji Indonesia menggunakan HotCat |
k →Daftar pustaka: merapikan penautan rujukan |
||
(2 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 33: | Baris 33: | ||
=== Catatan kaki === |
=== Catatan kaki === |
||
{{Reflist}} |
|||
<references /> |
|||
=== Daftar pustaka === |
=== Daftar pustaka === |
||
* {{Cite book|last=Hamid|first=Noor|date=2020|url=https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39850/1/Buku%20Manajemen%20Haji%20dan%20Umroh.pdf|title=Manajemen Haji dan umrah: Mengelola Perjalanan Tamu Allah ke Tanah Suci|location=Bantul|publisher=Semesta Aksara|isbn=978-623-7108-66-5|editor-last=Hasyim|editor-first=Wahid|url-status=live}} |
* {{Cite book|last=Hamid|first=Noor|date=2020|url=https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39850/1/Buku%20Manajemen%20Haji%20dan%20Umroh.pdf|title=Manajemen Haji dan umrah: Mengelola Perjalanan Tamu Allah ke Tanah Suci|location=Bantul|publisher=Semesta Aksara|isbn=978-623-7108-66-5|editor-last=Hasyim|editor-first=Wahid|ref={{sfnref|Hamid|2020}}|url-status=live}} |
||
[[Kategori:Jemaah haji Indonesia]] |
[[Kategori:Jemaah haji Indonesia]] |
Revisi terkini sejak 23 Juli 2024 15.04
Jemaah haji Indonesia adalah jemaah haji yang berasal dari wilayah Indonesia. Perjalanan haji secara berjemaah telah dilakukan di Indonesia sejak Kesultanan Utsmaniyah menjadi penguasa Makkah. Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, pengaturan jemaah haji Indonesia dilakukan oleh pemerintah Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pengaturan jemaah haji Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui perundang-undangan. Jemaah haji Indonesia umumnya mengalami masalah kesehatan hingga kematian selama haji, sehingga Pemerintah Indonesia menetapkan aturan badal haji.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Umat muslim dari beberapa daerah di Indonesia memandang keberangkatan jemaah haji ke Ka'bah merupakan suatu hal yang istimewa.[1] Jemaah haji asal Indonesia yang pertama kali melaksanakan haji berasal dari kalangan pedagang, pelayar dan diplomat dari kesultanan-kesultanan di Nusantara, Mereka memulai perjalanan haji ketika Makkah berada dalam kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.[2]
Lalu pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda mewajibkan tiap anggota jemaah haji untuk membayar sebanyak 10 gulden untuk diberangkatkan ke Makkah. Keberangkatan ini menggunakan kapal milik Belanda dan harus melalui izin pemerintah Belanda. Peraturan ini mulai berlaku sejak tahun 1825. Jemaah haji yang tidak meminta izin dikenakan denda sebesar 1000 gulden.[3]
Pada akhir abad ke-19 Masehi dan awal abad ke-20 Masehi, jumlah jemaah haji dari Nusantara dibandingkan dengan jumlah seluruh jemaah haji asing sebesar 10–20%. Kemudian proporsinya meningkat menjadi sekiter 40% hanya untuk jemaah haji asal wilayah Indonesia pada dekade 1920-an.[4]
Pengaturan
[sunting | sunting sumber]Pada masa pemerintah Belanda di Indonesia, ketentuan-ketenutan atas jemaah haji ditetapkan pada tahun 1872. Pada tahun ini, kantor konsulat Belanda bagi jemaah haji asal Indonesia didirikan di Jeddah.[5] Kemudiaan penyelenggaraan perjalanan ibadah haji di Indonesia sepenuhnya diatur melalui kebijakan Pemerintah Indonesia.[6] Undang-undang yang mengatur mengenai jemaah haji di Indonesia disebut undang-undang penyelenggaraan haji. Penetapan pertamanya adalah pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999. Kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008.[7] Pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 ditetapkan bahwa penyelenggaraan ibadah haji dilakukan oleh Departemen Agama.[8]
Zonasi
[sunting | sunting sumber]Manajemen jemaah haji Indonesia oleh Pemerintah Indonesia dilakukan dengan menerapkan sistem zonasi. Sistem ini diberlakukan sejak kedatangan jemaah haji Indonesia di Makkah. Zonasi iti terbagi menjadi tujuh. Nama-nama zonasinya secara berurut adalah Zonasi Azizah, Zonasi Raudhah, Zonasi Misfalah, Zonasi Jarwal, Zonasi Mahbas Jin, Zonasi Rei Bakhsy dan Zonasi Syisyah. Zonazi Azizah ditempati oleh Embarkasi Lombok. Zonasi Raudhah ditempati Embarkasi Palembang dan Embarkasi Jakarta. Zonasi Misfalah ditempati Embarkasi Jakarta-Bekasi. Zonasi Jarwal ditempati Embarkasi Solo. Zonasi Mahbas Jin ditempati Embarkasi Surabaya. Zonasi Rei Bakhsy ditempati Embarkasi Banjarmasin dan Embarkasi Balikpapan. Zonasi Syisyah ditempati Embarkasi Aceh, Embarkasi Medan, Embarkasi Padang, Embarkasi Batam, serta Embarkasi Makassar.[9]
Keberangkatan
[sunting | sunting sumber]Jemaah haji Indonesia mulai memasuk asrama haji 33 hari sebelum tanggal pelaksanaan wukuf di Arafah. Keesokan harinya barulah jemaah haji gelombang pertama diberangkatkan ke Madinah atau Jeddah. Jemaah haji Indonesia gelombang pertama kemudian diantar dari Madinah ke mekkah pada 21 hari sebelum wukuf di Arafah. 15 hari sebelum pelaksanaan wukuf di Arafah, jemaah haji Indonesia gelombang pertama kembali ke Madinah atau Jeddah. Sementara itu, jemaah haji Indonesia gelombang kedua diberangkatkan ke Jeddah 14 hari sebelum 21 hari sebelum wukuf di Arafah. Enam hari sebelum wukuf di Arafah, jemaah haji Indonesia gelombang pertama telah diantarkan ke Makkah. Sementara gelombang kedua dari Indonesia ke Jeddah berakhir pada lima hari sebelum pelaksanaan wukuf di Arafah. Bersamaan dengan hari itu, Bandar Udara Internasional King Abdul Aziz di Jeddah ditutup tepat tengah malam.[10]
Kuota
[sunting | sunting sumber]Jumlah jemaah haji Indonesia selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Sejak tahun 2008, kuota untuk jemaah Indonesia selalu melebihi 200 ribu orang. Jumlahnya merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya.[11]
Permasalahan
[sunting | sunting sumber]Badal haji
[sunting | sunting sumber]Badal haji diberlakukan kepada jemaah haji Indonesia yang sudah berangkat atau sudah berada ke Arab Saudi dalam beberapa kondisi. Kondisi-kondisi ini yaitu sakit berat atau wafat sebelum wukuf. Ada tiga kriteria lain untuk pembadalan haji bagi jemaah haji. Pertama, jemaah haji yang meninggal dunia di asrama haji embarkasi ataupun di perjalanan menuju ke Arab Saudi. Kriteria ini juga berlaku bagi jemaah haji di Arab Saudi yang meninggal sebelum melaksanakan wukuf. Kedua, jemaah yang sakit dan tidak dapat disafariwukufkan. Pertimbangan pembadalan hajinya adalah keselamatan jemaah ataupun ketergantungan yang tinggi terhadap peralatan medis. Kriteria ketiga adalah jemaah haji mengalami gangguan jiwa.[12]
Badal haji dilakukan oleh petugas haji yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Biayanya badal haji tidak ditanggung oleh jemaah ataupun keluarganya, melainkan sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia akan memberikan bukti badal haji kepada keluarga jemaah haji berupa sertifikat badal haji. Sertifikat ini diterbitkan oleh Kepala Daerah Kerja Makkah.[12]
Kasus kematian
[sunting | sunting sumber]Jemaah haji Indonesia diketahui memiliki rata-rata kasus kematian lebih tinggi dibandingkan dengan jemaah haji dari negara lain. Rata-rata kematian jemaah haji Indonesia sebanyak 200–330 orang tiap 100 ribu jemaah.[13]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Haris, Syamsuddin (2013). Menikmati Naik Haji: Catatan Perjalanan Seorang Peneliti. Penerbit Buku Kompas. hlm. 5. ISBN 979-709-715-3.
- ^ Hamid 2020, hlm. 11-12.
- ^ Hamid 2020, hlm. 12.
- ^ Farida, A., dkk (2020). Tabroni, Roni, ed. Dinamika Pelayanan Ibadah Haji di Indonesia. Jakarta: Litbangdiklat Press. hlm. 6. ISBN 978-623-6925-19-5.
- ^ Prabowo, M. Shidqon (2014). Perlindungan Hukum Jama’ah Haji Indonesia (PDF). Yogyakarta: Penerbit Buku Rangkang-education. hlm. 1. ISBN 978-602-95662-3-9.
- ^ Latif, B. Syarifuddin (2016). Bienardi, Syarif Nur, ed. Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan bagi Jamaah Haji Indonesia di PT. Garuda Indonesia (PDF). Jakarta Selatan: Lembaga Penerbitan Universitas-Universitas Nasional. hlm. 95. ISBN 978-602-0819-19-8.
- ^ Mariani (2020). Hafidzi, Anwar, ed. Regulasi dan Kriteria Calon Jemaah Haji Waiting List Di Indonesia (PDF). Banjarmasin: Antasari Press. hlm. 93. ISBN 978-623-7665-39-7.
- ^ Nahrawi, M. N., dkk. (2009). Syaukani, Imam, ed. Manajemen Pelayanan Haji di Indonesia. Jakarta: Penerbit Puslitbang Kehidupan Keagamaan. hlm. 2. ISBN 978-979-797-217-2.
- ^ Sarji, dkk. (2021). Firman, ed. Manajemen Penyelenggaraan Ibadah Haji Menju Kemandirian (PDF). Bogor: Zenawa Media Gidtama. hlm. 19. ISBN 978-623-7306-99-3.
- ^ Arifin, Gus (2021). Arwati, S. T., dan Bestari, D., ed. Peta Perjalanan Haji dan Umrah: Panduan Lengkap dan Praktis Menjalankan Ibadah Haji dan Umrah Sejak dari Rumah hingga Kembali Lagi. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 2. ISBN 978-623-00-1340-9.
- ^ Muthalib, A., dan Sarbini, A. (2020). Rohman, Cecep Abdu, ed. Pengelolaan Lembaga Haji Satu Atap Dalam Meningkatkan Pelayanan Jamaah Di Kementerian Agama Kantor Kota Bandung (PDF). Bandung: Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 1. ISBN 978-623-93114-2-1.
- ^ a b Tuntunan Manasik Haji dan Umrah (PDF). Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. 2020. hlm. 120.
- ^ Handayani, Dwi (2016). "Indeks Prediksi Risiko Kematian Jemaah Haji di Provinsi Jawa Timur" (PDF). Jurnal Wiyata. 3 (2): 134.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Hamid, Noor (2020). Hasyim, Wahid, ed. Manajemen Haji dan umrah: Mengelola Perjalanan Tamu Allah ke Tanah Suci (PDF). Bantul: Semesta Aksara. ISBN 978-623-7108-66-5.