Lompat ke isi

Tuanku Rao: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Membatalkan 1 suntingan oleh 180.252.167.69 (bicara) ke revisi terakhir oleh Wagino 20100516 (TW)
Tag: Pembatalan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(13 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Tuanku Rao''' (lahir, 1790 - wafat, 1833) adalah panglima perang dan tokoh [[Paderi]] terkemuka. Dia merupakan salah seorang penyebar Islam di Tanah [[Suku Batak|Batak]].
[[Tuanku]] '''Rao''' (lahir 1790 wafat 1833) adalah [[panglima perang]] dan tokoh [[Paderi]] terkemuka. Ia merupakan salah seorang tokoh penyebar Islam di Tanah [[Suku Batak|Batak]].


== Asal usul ==
== Kehidupan pribadi ==
Tuanku Rao lahir dari pasangan [[Suku Minangkabau|Minangkabau]] yang berasal dari [[Rao, Pasaman]], [[Sumatra Barat]]. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedang ibunya dari Padang Mantinggi, Rao.<ref>Marjohan, Mempertimbangkan Kepahlawanan Tuanku Rao, Padang Today, 2-4-2009</ref>
Tuanku Rao lahir dari pasangan [[Suku Minangkabau|Minangkabau]] yang berasal dari [[Rao, Pasaman]], [[Sumatera Barat]]. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedangkan ibunya dari Padang Mantinggi, Rao.<ref>Marjohan, Mempertimbangkan Kepahlawanan Tuanku Rao, Padang Today, 2-4-2009</ref>


Pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, [[Kabupaten Agam|Agam]], dan kemudian melanjutkannya di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]]. Setelah menyelesaikan ilmu ''fiqihu al-Islam'' dengan predikat ''thayyib jiddan'' (sangat memuaskan), dia dianugerahi gelar Fakih Muhammad.
Pada masa remaja, Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau [[Tuanku Nan Tuo]], [[Koto Tuo, IV Koto, Agam|Koto Tuo]], [[Kabupaten Agam|Agam]], dan kemudian melanjutkannya di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]]. Setelah menyelesaikan ilmu ''fiqihu al-Islam'' dengan predikat ''thayyib jiddan'' (sangat memuaskan), ia dianugerahi gelar "Fakih Muhammad".


Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, puteri Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan [[Hindia Belanda]], maka pimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.<ref name="ReferenceA">Mohammad Said, Sisingamangaradja XII</ref>
Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, putri Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut [[Wahabi]], dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan [[Belanda]], maka kepemimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.<ref name="ReferenceA">Mohammad Said, Sisingamangaradja XII</ref>


== Gerakan Paderi ==
== Gerakan Paderi ==
Pada 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan [[Kerajaan Pagaruyung]], tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak kemenakan.
Pada tahun 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk mempertegas hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan [[Kerajaan Pagaruyung]], tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak dan kemenakannya.


Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, dia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke [[Rokan Hulu]], [[Riau]]. Di wilayah Rokan dia bertemu dengan teman seperguruannya, [[Tuanku Tambusai]]. Bersama Tuanku Tambusai, dia mengislamkan masyarakat [[Padang Sidempuan]], [[Kotanopan, Mandailing Natal|Kotanopan]], [[Padang Lawas]], [[Negeri Bakkara|Bakkara]], dan sejumlah perkampungan di bibir [[Danau Toba]].
Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, ia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke [[Rokan Hulu]], [[Riau]]. Di wilayah Rokan Hulu, ia bertemu dengan teman seperguruannya, [[Tuanku Tambusai]]. Bersama Tuanku Tambusai, ia mengislamkan masyarakat [[Padang Sidempuan]], [[Kotanopan, Mandailing Natal|Kotanopan]], [[Padang Lawas]], [[Lembah Bakkara|Bakkara]], dan sejumlah perkampungan di tepi [[Danau Toba]].


Tuanku Rao merupakan salah satu panglima [[Perang Padri]] yang tangguh, dengan gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial [[Hindia Belanda]] di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan. Setelah pasukan Belanda menaklukan [[Matur, Agam|Matur]] dan Lubuk Sikaping, pada bulan Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan. Letnan [[Henricus Johannes IJsbrand Engelbert van Bevervoorden|Bevervoorden]], seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah. Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.<ref>Muhammad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Balai Pustaka, 1964</ref>
== Menentang Belanda ==
Tuanku Rao merupakan salah satu panglima [[Perang Padri]] yang tangguh, dengan gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial [[Hindia Belanda]] di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan. Setelah pasukan Belanda menaklukan [[Matur, Agam|Matur]] dan Lubuk Sikaping, pada bulan Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan. [[Henricus Johannes IJsbrand Engelbert van Bevervoorden|Letnan Bevervoorden]], seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah. Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.<ref>Muhammad Radjab, Perang Paderi di Sumatra Barat (1803-1838), Balai Pusataka, 1964</ref>


Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari [[Mekkah]], menyemangatinya untuk terus berjuang melawan Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis. Pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, dan dia menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh tentara Belanda.<ref name="ReferenceA"/>
Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari [[Mekkah]], menyemangatinya untuk terus berjuang melawan Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis. Pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang oleh pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, ia menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh pasukan Belanda.<ref name="ReferenceA"/>


== Kontroversi ==
== Kontroversi ==
Baris 27: Baris 26:


{{DEFAULTSORT:Rao, Tuanku}}
{{DEFAULTSORT:Rao, Tuanku}}

[[Kategori:Kelahiran 1790]]
[[Kategori:Kelahiran 1790]]
[[Kategori:Kematian 1833]]
[[Kategori:Kematian 1833]]
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Ulama Minangkabau]]
[[Kategori:Ulama Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh pejuang Minangkabau]]

{{Indo-bio-stub}}

Revisi terkini sejak 14 Agustus 2024 10.00

Tuanku Rao (lahir 1790 – wafat 1833) adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka. Ia merupakan salah seorang tokoh penyebar Islam di Tanah Batak.

Kehidupan pribadi

[sunting | sunting sumber]

Tuanku Rao lahir dari pasangan Minangkabau yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedangkan ibunya dari Padang Mantinggi, Rao.[1]

Pada masa remaja, Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), ia dianugerahi gelar "Fakih Muhammad".

Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, putri Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Belanda, maka kepemimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.[2]

Gerakan Paderi

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk mempertegas hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak dan kemenakannya.

Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, ia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan Hulu, Riau. Di wilayah Rokan Hulu, ia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, ia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di tepi Danau Toba.

Tuanku Rao merupakan salah satu panglima Perang Padri yang tangguh, dengan gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan. Setelah pasukan Belanda menaklukan Matur dan Lubuk Sikaping, pada bulan Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan. Letnan Bevervoorden, seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah. Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.[3]

Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari Mekkah, menyemangatinya untuk terus berjuang melawan Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis. Pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang oleh pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, ia menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh pasukan Belanda.[2]

Kontroversi

[sunting | sunting sumber]

Dalam buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833, Mangaradja Onggang Parlindungan menulis riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Paderi.[4] Namun di dalam buku itu, banyak terdapat kejanggalan serta fakta-fakta yang tak dapat diterima oleh sejarawan. Di antara pernyataan Parlindungan yang dinilai sesat adalah asal usul Tuanku Rao yang disebutnya berasal dari etnis Batak bermarga Sinambela, dan merupakan seorang kemenakan Sisingamangaraja X. Ketidakakuratan lainnya adalah mengenai tahun kematian Tuanku Rao yang disebutkannya pada tahun 1921.

Namun buku tersebut telah dibantah oleh banyak ahli sejarah dan agama Islam. Antara lain Hamka, melalui bukunya Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta. Dalam buku ini Hamka berusaha meluruskan fakta mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi.[5]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Marjohan, Mempertimbangkan Kepahlawanan Tuanku Rao, Padang Today, 2-4-2009
  2. ^ a b Mohammad Said, Sisingamangaradja XII
  3. ^ Muhammad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Balai Pustaka, 1964
  4. ^ Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: terror agama Islam mazhab Hambali di tanah Batak, 1816-1833, Tandjung Pengharapan, 1964
  5. ^ Hamka, Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta, Bulan Bintang, 1974