Rakai Pikatan: Perbedaan antara revisi
k menambahkan Kategori:Tokoh Jawa menggunakan HotCat |
Membalikkan revisi 23913988 oleh 103.177.8.188 (bicara) Tag: Pembatalan |
||
(36 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{infobox royalty |
|||
'''Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku''' adalah raja keenam [[Kerajaan Medang]] ''periode Jawa Tengah'' (atau lazim disebut [[Kerajaan Mataram Kuno]]) yang memerintah sekitar tahun [[840]]-an – [[856]]. |
|||
|title = '''Srī Mahārāja Rakai Pikatan'''<br>(menurut Prasasti Mantyasih)<br> |
|||
'''Rakai Pikatan Dyah Saladu'''<br>(menurut Prasasti Wanua Tengah III)<br> |
|||
'''Rakai Pikatan Dyah Kamulyan Sang Prabhu Linggeswara Sakabhumandala'''<br>(menurut Naskah Wangsakerta)<br> |
|||
'''Rakai Mamrati Sang Jatiningrat'''<br>(menurut Prasasti Wantil) |
|||
|image = |
|||
|birth_name = |
|||
|father = [[Rakai Garung]] |
|||
|mother = |
|||
|succession = Raja Medang ke-7 |
|||
|reign = (6 Maret 847–27 April 855M) |
|||
|predecessor = [[Rakai Garung]] |
|||
|successor = [[Rakai Kayuwangi]] |
|||
|spouse =[[Pramodawardhani]] |
|||
|issue =[[Rakai Kayuwangi]] |
|||
|religion = [[Hindu]] |
|||
⚫ | |||
}} |
|||
'''Rakai Pikatan''' adalah Raja [[Medang]] ketujuh yang memerintah sekitar tahun 847–855.<ref name=":22">Dwiyanto, Djoko. 1986. ''Pengamatan terhadap Data Kesejarahan dari Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi''. Dalam ''PIA IV'' (IIa). Jakarta: Pulit Arkenas, hlm. 92–110.</ref><ref name=":5">{{Cite book|last=Boechari|date=2013|url=https://books.google.co.id/books?id=RidIDwAAQBAJ&pg=PA469|title=Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti|publisher=[[Kepustakaan Populer Gramedia]]|isbn=978-979-91-0520-2|language=id|url-status=live}}</ref> Dalam [[Prasasti Wanua Tengah III]] (908), ia memerintah antara 6 Maret 847 s.d. 27 April 855. Ia adalah raja setelah [[Rakai Garung]] dan sebelum [[Rakai Kayuwangi]].<ref name=":5" /> Namanya dikenal dalam [[Prasasti Wantil]], [[Prasasti Mantyasih]], dan [[Prasasti Wanua Tengah III]]. |
|||
== Nama Asli dan Gelar == |
|||
⚫ | |||
== Identifikasi Mpu Manuku == |
|||
Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun [[850]] Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun [[832]]. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi [[maharaja]]. Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah [[Kerajaan Medang]] di mana seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya [[Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung]]. |
|||
⚫ | |||
Selanjutnya menurut [[prasasti Gondosuli]], Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun [[832]]. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab [[Mpu Manuku]],{{Cn}}Pada [[Prasasti Tulang Air I]] bertahun [[850]], [[Mpu Manuku]] bergelar Rakai Patapan.<ref>{{Cite book|date=2015|url=https://repositori.kemdikbud.go.id/24363/1/Prasasti%20dan%20raja-raja%20nusantara.pdf|title=Prasasti & Raja-Raja Nusantara|location=Jakarta Pusat|publisher=Museum Nasional Indonesia|pages=40|url-status=live}}</ref> |
|||
⚫ | |||
Menurut [[Prasasti Argapura]] tahun 863 termuat nama Rakai Pikatan bernama Pu Manuko(u). Itu berarti Mpu Manuku sudah pindah jabatan dari Patapan ke Pikatan dan menjabat sebagai kepala daerah Pikatan. |
|||
⚫ | |||
Dalam Prasasti Wanua Tengah III yang diterbitkan oleh Raja Dyah Balitung, disebutkan nama aslinya Rakai Pikatan Dyah Saladu.<ref name=":5"/> |
|||
⚫ | |||
⚫ | Prasasti Wantil juga menyinggung |
||
Sementara, hasil identifikasi diatas tentang Mpu Manuku, berdasarkan urutan tahun Prasasti dan juga dibawah Pemerintahan Rakai Kayuwangi. |
|||
[[Pramodawardhani]] adalah putri [[Samaratungga]] yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun [[824]]. Saat itu yang menjabat sebagai Rakai Patapan adalah Mpu Palar, sedangkan nama Mpu Manuku sama sekali tidak disebut. Mungkin saat itu [[Pramodawardhani]] belum menjadi istri Mpu Manuku. |
|||
Kemungkinan lebih tepat disebut bahwa Mpu Manuku berstatus sebagai Raja Daerah Patapan kemudian Pindah Jabatan menjadi Raja Daerah Pikatan Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. |
|||
Sejarawan De Casparis menganggap Rakai Patapan Mpu Palar sama dengan [[Maharaja]] [[Rakai Garung]] dan merupakan ayah dari Mpu Manuku. Keduanya merupakan anggota [[Wangsa Sanjaya]] yang berhasil menjalin hubungan perkawinan dengan [[Wangsa Sailendra]]. |
|||
Sedangkan nama ayah dari Rakai Kayuwangi, sesuai dengan yang disebut dalam Prasasti Wanua Tengah III yaitu Dyah Saladu.<ref name=":5"/> |
|||
Teori ini ditolak oleh [[Slamet Muljana]] karena menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar merupakan pendatang dari [[pulau Sumatra]] dan semua anaknya perempuan. Lagi pula, Mpu Manuku sudah lebih dulu menjabat sebagai Rakai Patapan sebelum Mpu Palar. Kemungkinan bahwa Mpu Manuku merupakan putra Mpu Palar sangat kecil. |
|||
== Isi Prasasti Wantil == |
|||
Sementara itu, Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan pada tahun [[807]], sedangkan [[Pramodawardhani]] masih menjadi gadis pada tahun [[824]]. Hal ini menunjukkan kalau perbedaan usia di antara keduanya cukup jauh. Mungkin, Rakai Pikatan Mpu Manuku berusia sebaya dengan mertuanya, yaitu [[Samaratungga]]. |
|||
=== Perpindahan ibu kota === |
|||
⚫ | |||
=== Penyerahan takhta ke Rakai Kayuwangi === |
|||
⚫ | |||
⚫ | |||
⚫ | Prasasti Wantil juga menyinggung pernikahan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah [[Pramodawardhani]] dari [[Wangsa Sailendra]] yang beragama [[Buddha]] [[Mahayana]], sementara Rakai Pikatan sendiri memeluk agama [[Hindu]] [[Siwa]]. |
||
[[Pramodawardhani]] adalah putri [[Samaratungga]] yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun [[824]]. |
|||
[[Pramodawardhani]] bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap diketahui istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Kiranya saat itu gelar [[mpu]] belum identik dengan kaum laki-laki. |
[[Pramodawardhani]] bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap diketahui istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Kiranya saat itu gelar [[mpu]] belum identik dengan kaum laki-laki. |
||
Baris 25: | Baris 51: | ||
Selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini merupakan nenek dari istri [[Dyah Balitung]], yaitu raja yang mengeluarkan [[prasasti Mantyasih]] ([[907]]). |
Selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini merupakan nenek dari istri [[Dyah Balitung]], yaitu raja yang mengeluarkan [[prasasti Mantyasih]] ([[907]]). |
||
== |
== Pendapat pakar sejarah == |
||
=== Menurut Krom === |
|||
[[Balaputradewa]] putra [[Samaragrawira]] adalah raja [[Kerajaan Sriwijaya]]. Teori populer yang dirintis oleh sejarawan Krom menyebutkan bahwa, [[Samaragrawira]] identik dengan [[Samaratungga]] sehingga secara otomatis, [[Balaputradewa]] adalah saudara [[Pramodawardhani]]. |
[[Balaputradewa]] putra [[Samaragrawira]] adalah raja [[Kerajaan Sriwijaya]]. Teori populer yang dirintis oleh sejarawan Krom menyebutkan bahwa, [[Samaragrawira]] identik dengan [[Samaratungga]] sehingga secara otomatis, [[Balaputradewa]] adalah saudara [[Pramodawardhani]]. |
||
Dalam prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh [[Dyah Lokapala]] putra Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat istilah Walaputra, yang ditafsirkan sebagai [[Balaputradewa]]. Akibatnya, muncul teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal [[Samaratungga]] yang berakhir dengan kekalahan [[Balaputradewa]]. |
Dalam prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh [[Dyah Lokapala]] putra Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat istilah Walaputra, yang ditafsirkan sebagai [[Balaputradewa]]. Akibatnya, muncul teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal [[Samaratungga]] yang berakhir dengan kekalahan [[Balaputradewa]]. |
||
=== Menurut Slamet Muljana === |
|||
[[Slamet Muljana]] menolak anggapan bahwa [[Samaragrawira]] identik dengan [[Samaratungga]] karena menurut prasasti Kayumwungan, [[Samaratungga]] hanya memiliki seorang anak bernama [[Pramodawardhani]]. Menurutnya, [[Samaragrawira]] lebih tepat disebut sebagai ayah dari [[Samaratungga]]. Dengan demikian, [[Balaputradewa]] merupakan paman dari [[Pramodawardhani]]. |
[[Slamet Muljana]] menolak anggapan bahwa [[Samaragrawira]] identik dengan [[Samaratungga]] karena menurut prasasti Kayumwungan, [[Samaratungga]] hanya memiliki seorang anak bernama [[Pramodawardhani]]. Menurutnya, [[Samaragrawira]] lebih tepat disebut sebagai ayah dari [[Samaratungga]]. Dengan demikian, [[Balaputradewa]] merupakan paman dari [[Pramodawardhani]]. |
||
=== Menurut Boechari === |
|||
Menurut sejarawan Boechari, di bukit Ratu Baka tidak dijumpai prasasti atas nama [[Balaputradewa]], melainkan atas nama Rakai Walaing [[Mpu Kumbhayoni]]. Mungkin tokoh ini yang memberontak terhadap pemerintahan Rakai Pikatan karena ia juga mengaku sebagai keturunan asli pendiri kerajaan, yaitu [[Sanjaya]]. |
|||
Sementara itu istilah Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”. Jadi, istilah ini bukan nama lain dari [[Balaputradewa]], melainkan julukan untuk [[Dyah Lokapala]], yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai Walaing, musuh ayahnya. |
Sementara itu istilah Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”. Jadi, istilah ini bukan nama lain dari [[Balaputradewa]], melainkan julukan untuk [[Dyah Lokapala]], yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai Walaing, musuh ayahnya. |
||
Dengan demikian, teori populer bahwa telah terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu [[Balaputradewa]] mungkin keliru. Kiranya [[Balaputradewa]] meninggalkan [[pulau Jawa]] bukan karena kalah perang, tetapi karena sejak awal ia memang sudah tidak memiliki hak atas takhta [[Kerajaan Medang]], mengingat ia bukan putra [[Samaratungga]] melainkan adiknya. |
Dengan demikian, teori populer bahwa telah terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu [[Balaputradewa]] mungkin keliru. Kiranya [[Balaputradewa]] meninggalkan [[pulau Jawa]] bukan karena kalah perang, tetapi karena sejak awal ia memang sudah tidak memiliki hak atas takhta [[Kerajaan Medang]], mengingat ia bukan putra [[Samaratungga]] melainkan adiknya. |
||
[[Wangsa Sailendra]] di bawah pimpinan [[Dharanindra]] berhasil menaklukkan [[Kerajaan Sriwijaya]], bahkan sampai [[Kamboja]]. Sepeninggal [[Dharanindra]], kekuasaannya diwarisi oleh [[Samaragrawira]]. Mungkin ia tidak sekuat ayahnya karena menurut prasasti Po Ngar, [[Kamboja]] berhasil merdeka dari penjajahan [[Jawa]] pada tahun [[802]]. |
[[Wangsa Sailendra]] di bawah pimpinan [[Dharanindra]] berhasil menaklukkan [[Kerajaan Sriwijaya]], bahkan sampai [[Kamboja]]. Sepeninggal [[Dharanindra]], kekuasaannya diwarisi oleh [[Samaragrawira]]. Mungkin ia tidak sekuat ayahnya karena menurut prasasti Po Ngar, [[Kamboja]] berhasil merdeka dari penjajahan [[Jawa]] pada tahun [[802]]. |
||
Atas dasar tersebut, sepeninggal [[Samaragrawira]] mungkin kekuasaan [[Wangsa Sailendra]] dibagi menjadi dua, dengan tujuan agar pengawasannya bisa lebih mudah. Kekuasaan atas [[pulau Jawa]] diberikan kepada [[Samaratungga]], sedangkan kekuasaan atas [[pulau Sumatra]] diberikan kepada [[Balaputradewa]]. |
Atas dasar tersebut, sepeninggal [[Samaragrawira]] mungkin kekuasaan [[Wangsa Sailendra]] dibagi menjadi dua, dengan tujuan agar pengawasannya bisa lebih mudah. Kekuasaan atas [[pulau Jawa]] diberikan kepada [[Samaratungga]], sedangkan kekuasaan atas [[pulau Sumatra]] diberikan kepada [[Balaputradewa]]. |
||
== Pendirian Candi Prambanan == |
== Pendirian Candi Prambanan == |
||
Prasasti Wantil disebut juga [[Prasasti Siwagrha]] yang dikeluarkan pada tanggal [[12 November]] [[856]]. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. |
Prasasti Wantil disebut juga [[Prasasti Siwagrha]] yang dikeluarkan pada tanggal [[12 November]] [[856]]. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. |
||
Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek [[Candi Prambanan]]. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya. |
Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek [[Candi Prambanan]]. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya. |
||
== Akhir Pemerintahan == |
== Akhir Pemerintahan == |
||
Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun takhta menjadi [[brahmana]] bergelar Sang Jatiningrat pada tahun [[856]]. Takhta [[Kerajaan Medang]] kemudian dipegang oleh putra bungsunya, yaitu [[Dyah Lokapala]] alias [[Rakai Kayuwangi]]. |
[[Prasasti Wantil]] juga menyebutkan bahwa Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun takhta menjadi [[brahmana]] bergelar Sang Jatiningrat pada tahun [[856]]. Takhta [[Kerajaan Medang]] kemudian dipegang oleh putra bungsunya, yaitu [[Dyah Lokapala]] alias [[Rakai Kayuwangi]]. |
||
Penunjukan putra bungsu sebagai [[maharaja]] ini kiranya berdasarkan atas jasa mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni sang pemberontak. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi. Nama ini tidak terdapat dalam daftar raja [[prasasti Mantyasih]], sehingga dapat diperkirakan pada akhir pemerintahan [[Rakai Kayuwangi]] telah terjadi perpecahan kerajaan. |
Penunjukan putra bungsu sebagai [[maharaja]] ini kiranya berdasarkan atas jasa mengalahkan Rakai Walaing [[Mpu Kumbhayoni]] sang pemberontak. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul [[prasasti Munggu Antan]] atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi. Nama ini tidak terdapat dalam daftar raja [[prasasti Mantyasih]], sehingga dapat diperkirakan pada akhir pemerintahan [[Rakai Kayuwangi]] telah terjadi perpecahan kerajaan. |
||
Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu ditemukan dalam prasasti Plaosan setelah Rakai Pikatan. Mungkin mereka adalah anak Rakai Pikatan. Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah suami istri. |
Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu ditemukan dalam prasasti Plaosan setelah Rakai Pikatan. Mungkin mereka adalah anak Rakai Pikatan. Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah suami istri. |
||
== Kutipan == |
|||
Pada tahun [[807]] Mpu Manuku sudah menjadi pejabat, yaitu sebagai Rakai Patapan. Ia turun takhta menjadi [[brahmana]] pada tahun [[856]]. Mungkin saat itu usianya sudah di atas 70 tahun. Setelah meninggal dunia, Sang Jatiningrat dimakamkan atau didharmakan di desa Pastika. |
|||
{{reflist|2}} |
|||
== |
== Referensi == |
||
* Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya |
|||
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka |
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka |
||
* [[Slamet Muljana]]. 2006. ''Sriwijaya'' (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS |
* [[Slamet Muljana]]. 2006. ''Sriwijaya'' (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS |
||
{{s-start}} |
|||
{{Succession box|jabatan=Raja Medang{{br}}'''<small>{{nowrap|Menurut Wanua Tengah III}}</small><br>([[Wangsa Syailendra]])|tahun=847—855|pendahulu=[[Rakai Garung]]|pengganti=[[Rakai Kayuwangi]]}} |
|||
{{End}} |
|||
⚫ | |||
[[Kategori:Raja Medang]] |
|||
{{kotak mulai}} |
|||
{{kotak suksesi|jabatan=Raja Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah)|tahun=840? – 856 |pendahulu=[[Samaratungga]]|pengganti=[[Rakai Kayuwangi]]}} |
|||
{{kotak selesai}} |
|||
⚫ | |||
[[Kategori:Kerajaan Medang]] |
[[Kategori:Kerajaan Medang]] |
||
⚫ |
Revisi terkini sejak 11 September 2024 09.16
Rakai Pikatan | |
---|---|
Srī Mahārāja Rakai Pikatan (menurut Prasasti Mantyasih) Rakai Pikatan Dyah Saladu (menurut Prasasti Wantil) | |
Raja Medang ke-7 | |
Berkuasa | (6 Maret 847–27 April 855M) |
Pendahulu | Rakai Garung |
Penerus | Rakai Kayuwangi |
Pasangan | Pramodawardhani |
Keturunan | Rakai Kayuwangi |
Wangsa | Sanjaya |
Ayah | Rakai Garung |
Agama | Hindu |
Rakai Pikatan adalah Raja Medang ketujuh yang memerintah sekitar tahun 847–855.[1][2] Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), ia memerintah antara 6 Maret 847 s.d. 27 April 855. Ia adalah raja setelah Rakai Garung dan sebelum Rakai Kayuwangi.[2] Namanya dikenal dalam Prasasti Wantil, Prasasti Mantyasih, dan Prasasti Wanua Tengah III.
Identifikasi Mpu Manuku
[sunting | sunting sumber]Pada Prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan.[butuh rujukan] Kemudian pada Prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai di daerah lain.[butuh rujukan]
Selanjutnya menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku,[butuh rujukan]Pada Prasasti Tulang Air I bertahun 850, Mpu Manuku bergelar Rakai Patapan.[3]
Menurut Prasasti Argapura tahun 863 termuat nama Rakai Pikatan bernama Pu Manuko(u). Itu berarti Mpu Manuku sudah pindah jabatan dari Patapan ke Pikatan dan menjabat sebagai kepala daerah Pikatan.
Dalam Prasasti Wanua Tengah III yang diterbitkan oleh Raja Dyah Balitung, disebutkan nama aslinya Rakai Pikatan Dyah Saladu.[2]
Sementara, hasil identifikasi diatas tentang Mpu Manuku, berdasarkan urutan tahun Prasasti dan juga dibawah Pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Kemungkinan lebih tepat disebut bahwa Mpu Manuku berstatus sebagai Raja Daerah Patapan kemudian Pindah Jabatan menjadi Raja Daerah Pikatan Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Sedangkan nama ayah dari Rakai Kayuwangi, sesuai dengan yang disebut dalam Prasasti Wanua Tengah III yaitu Dyah Saladu.[2]
Isi Prasasti Wantil
[sunting | sunting sumber]Perpindahan ibu kota
[sunting | sunting sumber]Menurut prasasti Wantil, Rakai Pikatan membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.
Penyerahan takhta ke Rakai Kayuwangi
[sunting | sunting sumber]Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi brahmana bergelar Rake Mamrati Sang Jatiningrat pada tahun 856.
Pernikahan dengan Pramodawardhani
[sunting | sunting sumber]Prasasti Wantil juga menyinggung pernikahan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana, sementara Rakai Pikatan sendiri memeluk agama Hindu Siwa.
Pramodawardhani adalah putri Samaratungga yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun 824.
Pramodawardhani bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap diketahui istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Kiranya saat itu gelar mpu belum identik dengan kaum laki-laki.
Selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini merupakan nenek dari istri Dyah Balitung, yaitu raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907).
Pendapat pakar sejarah
[sunting | sunting sumber]Menurut Krom
[sunting | sunting sumber]Balaputradewa putra Samaragrawira adalah raja Kerajaan Sriwijaya. Teori populer yang dirintis oleh sejarawan Krom menyebutkan bahwa, Samaragrawira identik dengan Samaratungga sehingga secara otomatis, Balaputradewa adalah saudara Pramodawardhani.
Dalam prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh Dyah Lokapala putra Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat istilah Walaputra, yang ditafsirkan sebagai Balaputradewa. Akibatnya, muncul teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga yang berakhir dengan kekalahan Balaputradewa.
Menurut Slamet Muljana
[sunting | sunting sumber]Slamet Muljana menolak anggapan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga karena menurut prasasti Kayumwungan, Samaratungga hanya memiliki seorang anak bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Samaragrawira lebih tepat disebut sebagai ayah dari Samaratungga. Dengan demikian, Balaputradewa merupakan paman dari Pramodawardhani.
Menurut Boechari
[sunting | sunting sumber]Menurut sejarawan Boechari, di bukit Ratu Baka tidak dijumpai prasasti atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Mungkin tokoh ini yang memberontak terhadap pemerintahan Rakai Pikatan karena ia juga mengaku sebagai keturunan asli pendiri kerajaan, yaitu Sanjaya.
Sementara itu istilah Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”. Jadi, istilah ini bukan nama lain dari Balaputradewa, melainkan julukan untuk Dyah Lokapala, yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai Walaing, musuh ayahnya.
Dengan demikian, teori populer bahwa telah terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu Balaputradewa mungkin keliru. Kiranya Balaputradewa meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah perang, tetapi karena sejak awal ia memang sudah tidak memiliki hak atas takhta Kerajaan Medang, mengingat ia bukan putra Samaratungga melainkan adiknya.
Wangsa Sailendra di bawah pimpinan Dharanindra berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, bahkan sampai Kamboja. Sepeninggal Dharanindra, kekuasaannya diwarisi oleh Samaragrawira. Mungkin ia tidak sekuat ayahnya karena menurut prasasti Po Ngar, Kamboja berhasil merdeka dari penjajahan Jawa pada tahun 802.
Atas dasar tersebut, sepeninggal Samaragrawira mungkin kekuasaan Wangsa Sailendra dibagi menjadi dua, dengan tujuan agar pengawasannya bisa lebih mudah. Kekuasaan atas pulau Jawa diberikan kepada Samaratungga, sedangkan kekuasaan atas pulau Sumatra diberikan kepada Balaputradewa.
Pendirian Candi Prambanan
[sunting | sunting sumber]Prasasti Wantil disebut juga Prasasti Siwagrha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 856. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.
Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya.
Akhir Pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun takhta menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856. Takhta Kerajaan Medang kemudian dipegang oleh putra bungsunya, yaitu Dyah Lokapala alias Rakai Kayuwangi.
Penunjukan putra bungsu sebagai maharaja ini kiranya berdasarkan atas jasa mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni sang pemberontak. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi. Nama ini tidak terdapat dalam daftar raja prasasti Mantyasih, sehingga dapat diperkirakan pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi telah terjadi perpecahan kerajaan.
Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu ditemukan dalam prasasti Plaosan setelah Rakai Pikatan. Mungkin mereka adalah anak Rakai Pikatan. Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah suami istri.
Kutipan
[sunting | sunting sumber]- ^ Dwiyanto, Djoko. 1986. Pengamatan terhadap Data Kesejarahan dari Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi. Dalam PIA IV (IIa). Jakarta: Pulit Arkenas, hlm. 92–110.
- ^ a b c d Boechari (2013). Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-91-0520-2.
- ^ Prasasti & Raja-Raja Nusantara (PDF). Jakarta Pusat: Museum Nasional Indonesia. 2015. hlm. 40.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh: Rakai Garung |
Raja Medang Menurut Wanua Tengah III (Wangsa Syailendra) 847—855 |
Diteruskan oleh: Rakai Kayuwangi |