Lompat ke isi

Tempat Pengasingan Boven Digoel: Perbedaan antara revisi

Koordinat: 6°5′48″S 140°17′52″E / 6.09667°S 140.29778°E / -6.09667; 140.29778
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Penderitaan tawanan: taking a picture out of context + deskripsi yang bersifat naratif
RaFaDa20631 (bicara | kontrib)
 
(34 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{tone}}
{{tone}}
[[Berkas:Huizen van geïnterneerden in het interneringskamp te Tanahmerah (Boven-Digoel), KITLV 153791.tiff|thumb|Rumah pengasingan di Boven Digoel, akhir 1920-an]]
[[Berkas:Camp-camp Bouven Digul.jpg|jmpl|250px|Kamp Pengasingan di '''Boven Digul''', Papua.]]
'''Boven Digoel''' adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah kolonial [[Hindia Belanda]] di Pulau [[Papua]].<ref name="muatanlokal">{{cite book|Author= Nino Oktorino,dkk|title=Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Di Bawah Kolonialisme Barat Sejarah Nasional Indonesia jilid 7|publisher= Lentera Abadi|page=180|location= Jakarta|year=2009|isbn= 9789793535494}}</ref><ref name="buku1">{{cite book|author=Rosihan Anwar|title=Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Terisisihkan dan Terlupakan|publisher= PT Gramedia Pustaka Utama|location=Jakarta|year=2010|page=405|isbn=9789792250091}}</ref> Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan oleh [[pemerintah]] kolonial [[Belanda]] untuk mematahkan perlawanan kaum pergerakan.<ref name="muatanlokal"/> Sumber lain menjelaskan bahwa Boven Digoel adalah tempat pembuangan/pengasingan/hukuman bagi orang-orang yang dianggap membahayakan pemerintahan kolonial [[Belanda]].<ref name="internet">{{cite web|author=Afandri Adya|title= Kisah Para Tahanan Digul|url=http://afandriadya.com/2012/07/09/kisah-dari-kamp-digul/|accessdate= 12 Mei 2014}}</ref> Kamp Boven Digul terletak di hilir tepi sungai Digul dan Kamp tersebut dipersiapkan dengan tergesa-gesa untuk mengatasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat dalam [[pemberontakan]] [[komunis]] 1926.<ref name="jurnal1">{{cite journal|author= Langgeng Sulistyo Budi|publisher=Yayasan Obor Indonesia|location=Jakarta|title= Pendidikan Bagi Dawanan di Bouven Digul 1926-1942, Volume 6, Nomor 1, dalam Jurnal Sejarah|year=2004}}</ref> Luas wilayah kawasan itu hampir 10.000 hektar, dan terkenal sangat terasing dari dunia luar.<ref name="jurnal1">{{cite journal|author= Langgeng Sulistyo Budi|publisher=Yayasan Obor Indonesia|location=Jakarta|title= Pendidikan Bagi Dawanan di Bouven Digul 1926-1942, Volume 6, Nomor 1, dalam Jurnal Sejarah|year=2004}}</ref> Sedangkan menurut buku Ensiklopedia Digul atau Digul Atas (Belanda: ''Boven Digoel'') adalah sebuah daerah hutan lebat, sebelah timur sungai Digul Hilir, Irian Jaya, tempat ini terkenal sebagai tempat pembuangan pejuang-pejuang kemerdekaan.<ref name="bukubebaskan821"/> Tempat ini terasing dari peradaban masyarakat.<ref name="bukubebaskan821"/>
'''Tempat Pengasingan Boven Digoel''' adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah kolonial [[Hindia Belanda]] di [[Kabupaten Boven Digoel]], [[Provinsi Papua Selatan]].<ref name="muatanlokal">{{cite book|Author= Nino Oktorino,dkk|title=Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Di Bawah Kolonialisme Barat Sejarah Nasional Indonesia jilid 7|publisher= Lentera Abadi|page=180|location= Jakarta|year=2009|isbn= 9789793535494}}</ref><ref name="buku1">{{cite book|author=Rosihan Anwar|title=Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Terisisihkan dan Terlupakan|publisher= PT Gramedia Pustaka Utama|location=Jakarta|year=2010|page=405|isbn=9789792250091}}</ref> Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan oleh [[pemerintah]] kolonial [[Belanda]] untuk mematahkan perlawanan kaum pergerakan.<ref name="muatanlokal"/> Sumber lain menjelaskan bahwa Boven Digoel adalah tempat pembuangan/pengasingan/hukuman bagi orang-orang yang dianggap membahayakan pemerintahan kolonial [[Belanda]].<ref name="internet">{{cite web|author=Afandri Adya|title= Kisah Para Tahanan Digul|url=http://afandriadya.com/2012/07/09/kisah-dari-kamp-digul/|accessdate= 12 Mei 2014}}</ref> Kamp Boven Digul terletak di hilir tepi sungai Digul dan Kamp tersebut dipersiapkan dengan tergesa-gesa untuk mengatasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat dalam [[Partai Komunis Indonesia#Pemberontakan 1926|pemberontakan PKI tahun 1926]] dan [[Pemberontakan Komunis di Sumatera 1927|1927]].<ref name="jurnal1">{{cite journal|author= Langgeng Sulistyo Budi|publisher=Yayasan Obor Indonesia|location=Jakarta|title= Pendidikan Bagi Dawanan di Bouven Digul 1926-1942, Volume 6, Nomor 1, dalam Jurnal Sejarah|year=2004}}</ref> Luas wilayah kawasan itu hampir 10.000 hektar, dan terkenal sangat terasing dari dunia luar.<ref name="jurnal1"/> Sedangkan menurut buku Ensiklopedia Digul atau Digul Atas (Belanda: ''Boven Digoel'') adalah sebuah daerah hutan lebat, sebelah timur sungai Digul Hilir, Irian Jaya, tempat ini terkenal sebagai tempat pembuangan pejuang-pejuang kemerdekaan.<ref name="bukubebaskan821"/> Tempat ini terasing dari peradaban masyarakat.<ref name="bukubebaskan821"/>


Gubernur Jendral [[Hindia Belanda]] memiliki senjata andal dalam membatasi ruang gerak kaum pergerakan [[nasional]].<ref name="muatanlokal"/> Gubernur Jendral berhak membuang dan memenjarakan seseorang yang dinilai membahayakan keamanan dan ketertiban tanpa melalui pengadilan.<ref name="muatanlokal"/> Selama pemerintah Gubernur Jenderal [[Bonifacius Cornelis de Jonge]], banyak tokoh nasionalis [[Indonesia]] dijerat dengan prosedur tersebut.<ref name="muatanlokal"/>
Gubernur Jendral [[Hindia Belanda]] memiliki senjata andal dalam membatasi ruang gerak kaum pergerakan [[nasional]].<ref name="muatanlokal"/> Gubernur Jendral berhak membuang dan memenjarakan seseorang yang dinilai membahayakan keamanan dan ketertiban tanpa melalui pengadilan.<ref name="muatanlokal"/> Selama pemerintah Gubernur Jenderal [[Bonifacius Cornelis de Jonge]], banyak tokoh nasionalis [[Indonesia]] dijerat dengan prosedur tersebut.<ref name="muatanlokal"/>
Baris 8: Baris 8:
Awalnya tempat pembuangan tokoh-tokoh Indonesia pada zaman Belanda ini terdapat di Luar Negeri, bebarapa tokoh-tokoh Indonesia telah dibuang dan diasingkan di Luar Indonesia, tokoh Indonesia yang terakhir dibuang di Luar Negeri adalah [[Semaun]] dan Darsono (dua orang ini adalah pemimpin pemogokan kaum buruh pada tahun 1923).<ref name="buku2">{{cite book|author= D. E. Manu Turoe|title= Cerita dari Digul|publisher= Kepustakaan Populer Gramedia|year=2001|page=XXI|location=Jakarta|ISBN=9789799023490}}</ref> Sebelas tahun sebelumnya dibuang ke Eropa tiga pemimpin partai politik pertama di Indonesia antara lain E.F.E Douwes Deker, [[Suwardi Suryaningrat]], [[Tjipto Mangunkusumo]].<ref name="buku2"/> Kemudian karena di Boven Digul diperkuat administrasinya oleh Belanda sehingga dibangunlah pengasingan oleh kekuasaan militer pada saat itu.<ref name="buku2"/> Kamp konsentrasi Boven Digoel didirikan oleh Kapten L. Th. Becking pada awal tahun 1927.<ref name="intliit">{{cite web|url=http://afandriadya.com/2012/07/09/kisah-dari-kamp-digul/|accessdate= 27 Juni 2014|title=Kisah Para Tahanan Digul|author=Afandri Adya}}</ref><ref name="ju"/> Sebelumnya Kapten ini dikenal sukses memadamkan pemberontakan komuni di Banten pada November 1926.<ref name="ju">{{cite journal|author=Langgeng Sulityo Budi|title= Pendidikan bagi Tawanan di Boven Digul 1926-42, dalam Jurnal Sejaran Volume 6, Nomor 1|publisher= Yayasan Obor Indonesia|page=84|location= Jakarta}}</ref>
Awalnya tempat pembuangan tokoh-tokoh Indonesia pada zaman Belanda ini terdapat di Luar Negeri, bebarapa tokoh-tokoh Indonesia telah dibuang dan diasingkan di Luar Indonesia, tokoh Indonesia yang terakhir dibuang di Luar Negeri adalah [[Semaun]] dan Darsono (dua orang ini adalah pemimpin pemogokan kaum buruh pada tahun 1923).<ref name="buku2">{{cite book|author= D. E. Manu Turoe|title= Cerita dari Digul|publisher= Kepustakaan Populer Gramedia|year=2001|page=XXI|location=Jakarta|ISBN=9789799023490}}</ref> Sebelas tahun sebelumnya dibuang ke Eropa tiga pemimpin partai politik pertama di Indonesia antara lain E.F.E Douwes Deker, [[Suwardi Suryaningrat]], [[Tjipto Mangunkusumo]].<ref name="buku2"/> Kemudian karena di Boven Digul diperkuat administrasinya oleh Belanda sehingga dibangunlah pengasingan oleh kekuasaan militer pada saat itu.<ref name="buku2"/> Kamp konsentrasi Boven Digoel didirikan oleh Kapten L. Th. Becking pada awal tahun 1927.<ref name="intliit">{{cite web|url=http://afandriadya.com/2012/07/09/kisah-dari-kamp-digul/|accessdate= 27 Juni 2014|title=Kisah Para Tahanan Digul|author=Afandri Adya}}</ref><ref name="ju"/> Sebelumnya Kapten ini dikenal sukses memadamkan pemberontakan komuni di Banten pada November 1926.<ref name="ju">{{cite journal|author=Langgeng Sulityo Budi|title= Pendidikan bagi Tawanan di Boven Digul 1926-42, dalam Jurnal Sejaran Volume 6, Nomor 1|publisher= Yayasan Obor Indonesia|page=84|location= Jakarta}}</ref>


Boven Digul sebenarnya tidak dirancang sebagai sebuah kamp konsentrasi karena tidak ada penyiksaan atau pembunuhan terhadap tawanan di tempat itu.<ref name="jurnal1"/> Pemerintahan kolonial hanya membiarkan tawanan sampai mati, gila atau menjadi hancur.<ref name="jurnal1"/> Dengan adanya pembangunan kamp Boven Digul ini maka pengasingan di Luar Negeri dihentikan.<ref name="buku2"/> Pembangunan Penjara Boven Digul ini dibangun untuk pengasingan orang-orang yang dianggap terlibat ataupun bersimpati dalam pemberontakan pada tahun [[1926]]-[[1927]], tanpa melalui keputusan [[pengadilan]].<ref name="buku2"/> Pemberontakan pada masa itu tercatat dalam [[sejarah]] menjadi pemberontakan [[Nasional]] pertama di Indonesia karena 2 alasan.<ref name="buku2"/> Pertama, berbagai pemberontakan terjadi di Kariseidenan-karisidenan di [[Jawa]], [[Sumatera]], [[Kalimantan]], [[Sulawesi]] dan [[Maluku]] yang digerakkan oleh tokoh-tokoh dari berbagai aliran [[politik]] dan pemeluk [[agama]].<ref name="buku2"/> Kedua, Sebelumnya tidak pernah terjadi pemberontakan besar di wilayah yang demikian luas tanpa membedakan suku maupun agama, walaupun tanpa koordinasi Nasional, dengan [[Partai Komunis Indonesia]] sebagai ujung tombak dan menjadi pemula dalam pemberontakan itu.<ref name="buku2"/> Pemberontakan ini bermuara di Digul Hulu atau Boven Digul.<ref name="buku2"/> Gubernur [[Andries Cornelis Dirk de Graeff]] berhadap dengan mengirimkan para pemberontak ke kamp Boven Digul itu mereka tidak akan mengulangi kelakuannya lagi pada masa selanjutnya.<ref name="jurnal1">{{cite journal|author= Langgeng Sulistyo Budi|publisher=Yayasan Obor Indonesia|location=Jakarta|title= Pendidikan Bagi Dawanan di Bouven Digul 1926-1942, Volume 6, Nomor 1, dalam Jurnal Sejarah|year=2004}}</ref> Sebenarnya kompleks penjara ini dibangun oleh Belanda secara bertahap-tahap dan merintis administrasi secara kuat, agar para tawanan sulit untuk melarikan diri, kemudian ketika penjara ini sudah jadi, kemudian beberapa tokoh Indonesia yang fenomenal dibuang oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1935, tokoh-tokoh tersebut adalah Mohammad Hatta (wakil Presiden 1945), Sutan Syahir, dan para tokoh perjuangan lainnya.<ref name="diiiiggg"> {{id}} {{cite web|url=http://www.jeratpapua.org/penjara-digoel-di-tanah-merah-terlupakan/|accessdate= 27 Juni 2014|title=Penjara DIGOEL di Tanah Merah, Terlupakan|author= Jaringan Kerja Cepat Papua}}</ref> Sutan Syahrir merupakan pemimpin Partai Nasional Indonesia yang pemberontakan terhadap Hindia Belanda.<ref name="mengenang">{{cite book|author= Rosihan Anwar|title= Mengenang Sjahrir: seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang terisisihkan dan terlupakan|publisher= PT Gramdeia Pustaka Utama|year= 2010|page=320|isbn=9792250093}}</ref> Pergerakan yang dipimpin oleh Sutan syahrir ini selalu dikejar-kejar dengan bantuan semua undang-undang dan peraturan yang diperlukan untuk melindungi kekuasaan dan ketentraman Pemerintah Hindia Belanda, dengan persetujuan Pemerintah dan parlemen Belanda.<ref name="mengenang"/> Pada tahun 1934 seluruh pengurus PNI baru ditangkap dan pemimimpin juga kadernya dibuang ke Boven digul.<ref name="mengenang"/> Kemudian satu tahun kemudian hatta dan sutan syahrir dipindahkan untuk waktu yang tidak ditentukan ke suatu tempat yang dianggap layak bagi seorang cendikiawan, yaitu pulau Banda Neira di [[Maluku]].<ref name="mengenang"/>
Boven Digul sebenarnya tidak dirancang sebagai sebuah kamp konsentrasi karena tidak ada penyiksaan atau pembunuhan terhadap tawanan di tempat itu.<ref name="jurnal1"/> Pemerintahan kolonial hanya membiarkan tawanan sampai mati, gila atau menjadi hancur.<ref name="jurnal1"/> Dengan adanya pembangunan kamp Boven Digul ini maka pengasingan di Luar Negeri dihentikan.<ref name="buku2"/> Pembangunan Penjara Boven Digul ini dibangun untuk pengasingan orang-orang yang dianggap terlibat ataupun bersimpati dalam pemberontakan pada tahun [[1926]]-[[1927]], tanpa melalui keputusan [[pengadilan]].<ref name="buku2"/> Pemberontakan pada masa itu tercatat dalam [[sejarah]] menjadi pemberontakan [[Nasional]] pertama di Indonesia karena 2 alasan.<ref name="buku2"/> Pertama, berbagai pemberontakan terjadi di karesidenan-karesidenan di [[Jawa]], [[Sumatra]], [[Kalimantan]], [[Sulawesi]] dan [[Maluku]] yang digerakkan oleh tokoh-tokoh dari berbagai aliran [[politik]] dan pemeluk [[agama]].<ref name="buku2"/> Kedua, Sebelumnya tidak pernah terjadi pemberontakan besar di wilayah yang demikian luas tanpa membedakan suku maupun agama, walaupun tanpa koordinasi Nasional, dengan [[Partai Komunis Indonesia]] sebagai ujung tombak dan menjadi pemula dalam pemberontakan itu.<ref name="buku2"/> Pemberontakan ini bermuara di Digul Hulu atau Boven Digul.<ref name="buku2"/> Gubernur [[Andries Cornelis Dirk de Graeff]] berhadap dengan mengirimkan para pemberontak ke kamp Boven Digul itu mereka tidak akan mengulangi kelakuannya lagi pada masa selanjutnya.<ref name="jurnal1"/> Sebenarnya kompleks penjara ini dibangun oleh Belanda secara bertahap-tahap dan merintis administrasi secara kuat, agar para tawanan sulit untuk melarikan diri, kemudian ketika penjara ini sudah jadi, kemudian beberapa tokoh Indonesia yang fenomenal dibuang oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1935, tokoh-tokoh tersebut adalah Mohammad Hatta (wakil Presiden 1945), Sutan Syahir, dan para tokoh perjuangan lainnya.<ref name="diiiiggg">{{id}} {{cite web|url=http://www.jeratpapua.org/penjara-digoel-di-tanah-merah-terlupakan/|accessdate= 27 Juni 2014|title=Penjara DIGOEL di Tanah Merah, Terlupakan|author= Jaringan Kerja Cepat Papua}}</ref> Sutan Syahrir merupakan pemimpin Partai Nasional Indonesia yang pemberontakan terhadap Hindia Belanda.<ref name="mengenang">{{cite book|author= Rosihan Anwar|title= Mengenang Sjahrir: seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang terisisihkan dan terlupakan|publisher= PT Gramdeia Pustaka Utama|year= 2010|page=320|isbn=9792250093}}</ref> Pergerakan yang dipimpin oleh Sutan syahrir ini selalu dikejar-kejar dengan bantuan semua undang-undang dan peraturan yang diperlukan untuk melindungi kekuasaan dan ketentraman Pemerintah Hindia Belanda, dengan persetujuan Pemerintah dan parlemen Belanda.<ref name="mengenang"/> Pada tahun 1934 seluruh pengurus PNI baru ditangkap dan pemimimpin juga kadernya dibuang ke Boven digul.<ref name="mengenang"/> Kemudian satu tahun kemudian hatta dan sutan syahrir dipindahkan untuk waktu yang tidak ditentukan ke suatu tempat yang dianggap layak bagi seorang cendikiawan, yaitu pulau Banda Neira di [[Maluku]].<ref name="mengenang"/>


== Geografi ==
== Geografi ==
Boven Digul merupakan tempat terpencil, terletak di tengah [[hutan]] belantara dekat hulu sungai Digul, di selatan Papua.<ref name="muatanlokal"/> Di sebelah utara, timur, dan selatan, tempat ini dikelilingi hutan lebat yang sangat sulit ditembus dan tempatnya sangat jauh terisolasi, sehingga para tawanan akan kesulitan untuk melarikan diri dari penjara alam ini.<ref name="muatanlokal"/> Di sebelah barat terdapat Sungai Digul.<ref name="muatanlokal"/><ref name="ikudig">{{cite web|url=http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Boven-Digoel-Kota-Bersejarah-yang-Terlupakan|accessdate=27 Juni 2014|title=Boven Digoel, Kota Bersejarah yang Terlupakan|author=Gabriel Maniagasi|archive-date=2017-01-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20170113165404/http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Boven-Digoel-Kota-Bersejarah-yang-Terlupakan|dead-url=yes}}</ref>
[[Berkas:Kamp-digul.jpg|jmpl|kiri|200px|Kamp-kamp penjara Boven Digul yang terletak di tengah-tengah hutan belantara dan juga di tepi sungai Digul]]
Boven Digul merupakan tempat terpencil, terletak di tengah [[hutan]] belantara dekat hulu sungai Digul, di selatan Papua.<ref name="muatanlokal"/> Di sebelah utara, timur, dan selatan, tempat ini dikelilingi hutan lebat yang sangat sulit ditembus dan tempatnya sangat jauh terisolasi, sehingga para tawanan akan kesulitan untuk melarikan diri dari penjara alam ini.<ref name="muatanlokal"/> Disebelah barat terdapat Sungai Digul. <ref name="muatanlokal"/><ref name="ikudig"/> Bukan hanya karena alamnya yang demikian keras, namun juga ada beberapa siksaan kaum kolonialis, ada tangisan kesedihan dari para tawanan, dan juga kegeraman dan kertakan gigi, bahkan darah yang tertumpah untuk sebuah perjuangan membebaskan diri dari belenggu kolonialis.<ref name="ikudig">{{cite web|url=http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Boven-Digoel-Kota-Bersejarah-yang-Terlupakan|accessdate= 27 Juni 2014|title= Boven Digoel, Kota Bersejarah yang Terlupakan|author=Gabriel Maniagasi}}</ref>
[[Berkas:Digul.png|jmpl|ka|250px|Penjara Boven Digul berada di tepi Sungai Digul, Papua]]
[[Berkas:Digul.png|jmpl|ka|250px|Penjara Boven Digul berada di tepi Sungai Digul, Papua]]
Keterkucilan Digul menjadi pertimbangan utama pemerintah kolonial ketika memilih lokasi ini sebagai permukiman bagi para tawanan pada tahun [[1927]].<ref name="muatanlokal"/> Di Digul terdapat dua permukiman, yaitu Tanah Merah dan Tanah Tinggi.<ref name="muatanlokal"/> Di Tanah Merah terdapat pusat administrasi dan militer serta tempat penahan utama.<ref name="muatanlokal"/> Tanah Tinggi merupakan lokasi penampungan bagi para tawanan yang dianggap tidak dapat diatur.<ref name="muatanlokal"/> Sewaktu rombongan pertama datang, Digoel sama sekali belum merupakan daerah permukiman.<ref name="diiiiggg"/> Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang yang sebagian besar dari Banten, diberangkatkan pada Januari 1927.<ref name="diiiiggg"/> Kemudian rombongan pertama tawanan tiba di Digul pada [[Maret]] [[1927]].<ref name="muatanlokal"/> Pada akhir Maret 1927, menyusul ratusan orang lain dari Sumatera Barat.<ref name="diiiiggg"/> Mula-mula mereka ditempatkan di Tanah Merah.<ref name="diiiiggg"/> Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke Tanah Tinggi.<ref name="diiiiggg"/> Sebagian besar adalah mereka yang terlibat atau dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI 1926.<ref name="muatanlokal"/> Setelah itu, rombongan tahanan politik lainnya menyusul.<ref name="muatanlokal"/> Sekarang tempat ini sudah menjadi pemukiman penduduk papua, untuk menjangkau penjara ini yang tepatnya berada di kabupaten Boven Digul, orang bisa menggunakan penerbangan pesawat Twin Otter sekitar 90 menit dari Bandara Moppa, Merauke.<ref name="sekarang">{{cite web|url=http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Situs-Sejarah-yang-Terlupakan-td14842.html|accessdate= 27 Juni 2014|title=Penjara Boven Digoel, Situs sejarah yang terlupakan|author= Sastra Pembebasan}}</ref> Namun saat musim kemarau bisa pula ditempuh melalui jalan darat sepanjang 500 kilometer dari Kota Merauke ke Tanah Merah.<ref name="sekarang"/> Selain itu dengan kapal laut dari Marauke ke laut lepas kemudian menyusuri Sungai Digul.<ref name="sekarang"/>
Keterkucilan Digul menjadi pertimbangan utama pemerintah kolonial ketika memilih lokasi ini sebagai permukiman bagi para tawanan pada tahun [[1927]].<ref name="muatanlokal"/> Di Digul terdapat dua permukiman, yaitu Tanah Merah dan Tanah Tinggi.<ref name="muatanlokal"/> Di Tanah Merah terdapat pusat administrasi dan militer serta tempat penahan utama.<ref name="muatanlokal"/> Tanah Tinggi merupakan lokasi penampungan bagi para tawanan yang dianggap tidak dapat diatur.<ref name="muatanlokal"/> Sewaktu rombongan pertama datang, Digoel sama sekali belum merupakan daerah permukiman.<ref name="diiiiggg"/> Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang yang sebagian besar dari Banten, diberangkatkan pada Januari 1927.<ref name="diiiiggg"/> Kemudian rombongan pertama tawanan tiba di Digul pada [[Maret]] [[1927]].<ref name="muatanlokal"/> Pada akhir Maret 1927, menyusul ratusan orang lain dari Sumatera Barat.<ref name="diiiiggg"/> Mula-mula mereka ditempatkan di Tanah Merah.<ref name="diiiiggg"/> Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke Tanah Tinggi.<ref name="diiiiggg"/> Sebagian besar adalah mereka yang terlibat atau dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI 1926.<ref name="muatanlokal"/> Setelah itu, rombongan tahanan politik lainnya menyusul.<ref name="muatanlokal"/> Sekarang tempat ini sudah menjadi pemukiman penduduk papua, untuk menjangkau penjara ini yang tepatnya berada di kabupaten Boven Digul, orang bisa menggunakan penerbangan pesawat Twin Otter sekitar 90 menit dari Bandara Moppa, Merauke.<ref name="sekarang">{{cite web|url=http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Situs-Sejarah-yang-Terlupakan-td14842.html|accessdate=27 Juni 2014|title=Penjara Boven Digoel, Situs sejarah yang terlupakan|author=Sastra Pembebasan|archive-date=2016-03-04|archive-url=https://web.archive.org/web/20160304210606/http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Situs-Sejarah-yang-Terlupakan-td14842.html|dead-url=yes}}</ref> Namun saat musim kemarau bisa pula ditempuh melalui jalan darat sepanjang 500 kilometer dari Kota Merauke ke Tanah Merah.<ref name="sekarang"/> Selain itu dengan kapal laut dari Marauke ke laut lepas kemudian menyusuri Sungai Digul.<ref name="sekarang"/>


== Golongan naturalis dan golongan ''Werkwillig'' ==
== Golongan naturalis dan golongan ''Werkwillig'' ==
Ibu kota dari Boven Digoel adalah Tanah Merah.<ref name="lambang">{{cite book|author= Tarmidzy Thamrin|title= Boven Digoel: Lambang perlawanan terhadap kolonialisme|publisher= Ciscom-Cottage|year= 2001|page=112}}</ref> Pada waktu kampung Tanah merah ini terbagi menjadi dua bagian itu, yang dipisahkan oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter.<ref name="negriku">{{cite book|author= Mohammad Hatta|title= Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi|publisher= Penerbit Buku Kompas|year= 2011|page=148-149|isbn=9797095401}}</ref> Kampung ini dikategorikan dengan Kampung A dan Kampung B.<ref name="negriku"/> orang-orang buangan yang tinggal di kampung A kebanyakan orang yang tidak mau bekerja pada pemerintah.<ref name="negriku"/> Mereka disebut kaum naturalis, disebut kaum naturalis karena saban bulan mereka menerima makanan secara natura dari pemerintah setempat.<ref name="negriku"/> Ransum dalam natura itu jumlahnya setiap bulan: 18 Kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram the, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limonde minya kelapa.<ref name="negriku"/> Kebanyakan orang buangan yang tinggal di Kampung B, Ialah mereka yang disebut Werkwillig, orang-orang yang mau bekerja dengan pemerintah setempat.<ref name="negriku"/> Orang yang mau bekerja diupah 40 sen sehari.<ref name="negriku"/> Kerjanya kebanyakan mencangkul parit, menggali selokan dan pekerjaan yang seperti itu. Sebenarnya ada satu golongan yang ketiga, yaitu orang buangan yang dari semulanya menentang terus dan tidak mau mengikuti perintah, sekalipun untuk kepentingan sendiri, seperti memberishkan halaman sendiri, Mereka pada golongan ini dicap sebagai onverzlijken atau menentang terus.<ref name="negriku"/> Pada akhirnya mereka dikirim ke Tanah tinggi yaitu Boven Digoel oleh pemerintah setempat (pemerintah Belanda), kira-kira sehari lebih hulu dari Tanah merah.<ref name="negriku"/> Meraka tidak mau membuat rumah sendiri dan kampung sendiri, mereka semuanya tinggal pada satu barak yang sudah disediakan oleh pihak pemerintah Belanda-hindia.<ref name="negriku"/> Jumlahnya ada kira-kira beberapa puluh orang.<ref name="negriku"/> Mereka di tanah tinggi dijaga oleh beberapa kompi serdadu yang tinggal di tangsi sendiri dekat pada barak kaum onverzeonlijken.<ref name="negriku"/> Karena letak daerah Tanah Tinggi ini begitu mengerikan, sehingga banyak para buangan yang menderita sakit parah, kemudian banyak beberapa buangan yang menyerah kepada pihak Belanda untuk menjadi orang werkwillig dan terus bekerja di Tanah Merah.<ref name="negriku"/>
Ibu kota dari Boven Digoel adalah Tanah Merah.<ref name="lambang">{{cite book|author= Tarmidzy Thamrin|title= Boven Digoel: Lambang perlawanan terhadap kolonialisme|publisher= Ciscom-Cottage|year= 2001|page=112}}</ref> Pada waktu kampung Tanah merah ini terbagi menjadi dua bagian itu, yang dipisahkan oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter.<ref name="negriku">{{cite book|author= Mohammad Hatta|title= Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi|publisher= Penerbit Buku Kompas|year= 2011|page=148-149|isbn=9797095401}}</ref> Kampung ini dikategorikan dengan Kampung A dan Kampung B.<ref name="negriku"/> orang-orang buangan yang tinggal di kampung A kebanyakan orang yang tidak mau bekerja pada pemerintah.<ref name="negriku"/> Mereka disebut kaum naturalis, disebut kaum naturalis karena saban bulan mereka menerima makanan secara natura dari pemerintah setempat.<ref name="negriku"/> Ransum dalam natura itu jumlahnya setiap bulan: 18 Kg beras, 2&nbsp;kg ikan asin, 300 gram the, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limonde minya kelapa.<ref name="negriku"/> Kebanyakan orang buangan yang tinggal di Kampung B, Ialah mereka yang disebut Werkwillig, orang-orang yang mau bekerja dengan pemerintah setempat.<ref name="negriku"/> Orang yang mau bekerja diupah 40 sen sehari.<ref name="negriku"/> Kerjanya kebanyakan mencangkul parit, menggali selokan dan pekerjaan yang seperti itu. Sebenarnya ada satu golongan yang ketiga, yaitu orang buangan yang dari semulanya menentang terus dan tidak mau mengikuti perintah, sekalipun untuk kepentingan sendiri, seperti memberishkan halaman sendiri, Mereka pada golongan ini dicap sebagai onverzlijken atau menentang terus.<ref name="negriku"/> Pada akhirnya mereka dikirim ke Tanah tinggi yaitu Boven Digoel oleh pemerintah setempat (pemerintah Belanda), kira-kira sehari lebih hulu dari Tanah merah.<ref name="negriku"/> Meraka tidak mau membuat rumah sendiri dan kampung sendiri, mereka semuanya tinggal pada satu barak yang sudah disediakan oleh pihak pemerintah [[Hindia-Belanda]] .<ref name="negriku"/> Jumlahnya ada kira-kira beberapa puluh orang.<ref name="negriku"/> Mereka di tanah tinggi dijaga oleh beberapa kompi serdadu yang tinggal di tangsi sendiri dekat pada barak kaum onverzeonlijken.<ref name="negriku"/> Karena letak daerah Tanah Tinggi ini buruk, sehingga banyak para buangan yang menderita sakit parah, kemudian banyak beberapa buangan yang menyerah kepada pihak Belanda untuk menjadi orang werkwillig dan terus bekerja di Tanah Merah.<ref name="negriku"/>


== Penderitaan tawanan ==
== Penderitaan tawanan ==
Meski berstatus sebagai tahanan politik, para tawanan diperlakukan layaknya penjahat biasa.<ref name="muatanlokal3">{{cite book|Author= Nino Oktorino,dkk|title=Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Di Bawah Kolonialisme Barat Sejarah Nasional Indonesia jilid 7|page=180-181|publisher= Lentera Abadi|location= Jakarta|year=2009|isbn= 9789793535494}}</ref> Setiba di lokasi pengasingan, para tawanan digeledah dan surat pribadi mereka disita.<ref name="muatanlokal3"/> Setiap pagi mereka harus berkumpul, kemudian digiring ke hutan atau rawa-rawa untuk melakukan kerja paksa.<ref name="muatanlokal3"/> Kondisi ini mendorong aksi protes para tawanan.<ref name="muatanlokal3"/> Sebagaian besar tawanan adalah bekas pegawai pemerintah atau pekerja [[swasta]] yang tidak terbiasa dengan pekerjaan kasar.<ref name="muatanlokal3"/> Mempertimbangkan protes tersebut, kebijakan ini akhirnya dihapus.<ref name="muatanlokal"/>
Meski berstatus sebagai tahanan politik, para tawanan diperlakukan layaknya penjahat biasa.<ref name="muatanlokal3">{{cite book|Author= Nino Oktorino,dkk|title=Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Di Bawah Kolonialisme Barat Sejarah Nasional Indonesia jilid 7|page=180-181|publisher= Lentera Abadi|location= Jakarta|year=2009|isbn= 9789793535494}}</ref> Setiba di lokasi pengasingan, para tawanan digeledah dan surat pribadi mereka disita.<ref name="muatanlokal3"/> Setiap pagi mereka harus berkumpul, kemudian digiring ke hutan atau rawa-rawa untuk melakukan kerja paksa.<ref name="muatanlokal3"/> Kondisi ini mendorong aksi protes para tawanan.<ref name="muatanlokal3"/> Sebagaian besar tawanan adalah bekas pegawai pemerintah atau pekerja [[swasta]] yang tidak terbiasa dengan pekerjaan kasar.<ref name="muatanlokal3"/> Mempertimbangkan protes tersebut, kebijakan ini akhirnya dihapus.<ref name="muatanlokal"/>


Dalam perkembangannya, para tawanan terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu golongan yang bersikap kooperatif, golongan non-kooperatif tetapi tidak memerlihatkan sikap menentang.<ref name="muatanlokal"/>Kelompok terakhir ini kemudian diasingkan ke Tanah Tinggi.<ref name="muatanlokal"/>
Dalam perkembangannya, para tawanan terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu golongan yang bersikap kooperatif, golongan non-kooperatif tetapi tidak memerlihatkan sikap menentang.<ref name="muatanlokal"/> Kelompok terakhir ini kemudian diasingkan ke Tanah Tinggi.<ref name="muatanlokal"/>


Para tawanan di Digul sebenarnya tidak mengalami penyiksaan fisik.<ref name="muatanlokal"/> Namun, Digul merupakan neraka alam.<ref name="muatanlokal"/> Di daerah ini terdapat beragam perangkat alami penyiksaan yang menghancurkan [[kesehatan]] jasmani dan [[rohani]] para tawanan, diantaranya adalah iklim yang buruk, serangan nyamuk penjangkit malaria, keterasingan dari peradaban manusia, juga diserang demam yang tinggi hingga kencing hitam yang diderita oleh para tawanan ini dan juga rasa rindu kepada keluarga.<ref name="muatanlokal"/> Selain itu, masih ada ancaman serangan dari suku-suku liar yang menghuni kawasan itu.<ref name="muatanlokal"/>Sehingga penjara di Boven Digul ini merupakan penjara alam yang dapat mematikan manusia, ibarat penjara tanpa bilik yang menggambarkan kondisi Boven Digoel pada saat itu yang sepi dan memberikan cekaman kebosanan bagi mereka para tawanan yang dibuang ke daerah ini.<ref name="internet1">{{cite web|url=http://travel.kompas.com/read/2013/11/20/1016313/Boven.Digoel.Kota.Sejarah.yang.Terabaikan|accessdate= 23 Juni 2014|title=Boven Digul kota sejarah yang terlupakan, yang merupakan tempat penjara tua di papua|author= Kompas.com}}</ref>
Para tawanan di Digul sebenarnya tidak mengalami penyiksaan fisik.<ref name="muatanlokal"/> Namun, kondisi alam di Digul terbilang keras.<ref name="muatanlokal"/> Beberapa hal yang mempersulit kehidupan para tawanan meliputi iklim yang buruk, serangan nyamuk penjangkit malaria, keterasingan dari peradaban manusia, juga diserang demam yang tinggi hingga kencing hitam yang diderita oleh para tawanan ini dan juga rasa rindu kepada keluarga.<ref name="muatanlokal"/> Selain itu, masih ada ancaman serangan dari suku-suku liar yang menghuni kawasan itu.<ref name="muatanlokal"/> Maka dari itu, penjara di Boven Digul merupakan penjara alam yang dapat mematikan manusia, ibarat penjara tanpa bilik yang menggambarkan kondisi Boven Digoel pada saat itu yang sepi dan memberikan cekaman kebosanan bagi mereka para tawanan yang dibuang ke daerah ini.<ref name="internet1">{{cite web|url=http://travel.kompas.com/read/2013/11/20/1016313/Boven.Digoel.Kota.Sejarah.yang.Terabaikan|accessdate= 23 Juni 2014|title=Boven Digul kota sejarah yang terlupakan, yang merupakan tempat penjara tua di papua|author= Kompas.com}}</ref>
Akibat [[stres]] yang berkepanjangan, sejumlah tawanan menderita gangguan [[jiwa]].<ref name="muatanlokal"/> Bahkan, ada beberapa kasus bunuh diri di antara para tawanan tersebut.<ref name="muatanlokal"/> Lingkungan yang seperti itu telah memakan korban jiwa.<ref name="bukubebaskan821">{{cite book|title= Ensiklopedia Indonesia, Jilid 7|publisher=Ichtiar Baru|author= Van Hoeve|location= Jakarta|coauthor=Hassan Shadily|page=821}}</ref> Kondisi di penjara ini juga terbilang sangat mengerikan, karena antar tawanan dengan tawanan sering bertengkar, bermusuhan, hingga saling membunuh, sehingga terlihat seperti hukuman mati dalam jangka panjang.<ref name="bukubebaskan821"/> Di luar suku Irian yang masih primitif tersebut itulah yang membuat mereka para suku Irian tidak mempunyai rasa bersahabat dengan para tawanan, dan pada akhirnya para tawanan yang bermaksud untuk lari dari penjara yang dibuat oleh Belanda ini tidak akan berhasil melewati para suku lokal yang tidak bersahabat ini.<ref name="bukubebaskan821"/>
Akibat [[stres]] yang berkepanjangan, sejumlah tawanan menderita gangguan [[jiwa]].<ref name="muatanlokal"/> Bahkan, ada beberapa kasus bunuh diri di antara para tawanan tersebut.<ref name="muatanlokal"/> Lingkungan yang seperti itu telah memakan korban jiwa.<ref name="bukubebaskan821">{{cite book|title= Ensiklopedia Indonesia, Jilid 7|publisher=Ichtiar Baru|author= Van Hoeve|location= Jakarta|coauthor=Hassan Shadily|page=821}}</ref> Kondisi di penjara ini juga terbilang buruk, karena antar tawanan dengan tawanan sering bertengkar, bermusuhan, hingga saling membunuh, sehingga terlihat seperti hukuman mati dalam jangka panjang.<ref name="bukubebaskan821"/> Di luar suku Irian yang masih primitif tersebut itulah yang membuat mereka para suku Irian tidak mempunyai rasa bersahabat dengan para tawanan,{{dubious}} dan pada akhirnya para tawanan yang bermaksud untuk lari dari penjara yang dibuat oleh Belanda ini tidak akan berhasil melewati para suku lokal yang tidak bersahabat ini.<ref name="bukubebaskan821"/>


== Pelarian diri oleh tawanan ==
== Melarikan diri oleh tawanan ==
Kehidupan keras di Boven Digul mendorong sejumlah tawanan berusaha melarikan diri.<ref name="muatanlokal"/> Umumnya, upaya ini menemui kegagalan akibat medan yang sulit, serangan penduduk lokal, dan ancaman [[binatang]] buas yang banyak menghuni [[wilayah]] tersebut.<ref name="muatanlokal"/>Beberapa orang berhasil melarikan diri dan mencapai wilayah [[Papua]] yang dikuasai [[Australia]]. Mereka ditangkap oleh pihak Australia dan dikembalikan lagi ke tangan [[Belanda]].<ref name="muatanlokal"/> Kehidupan keras di Boven Digul berlangsung hingga pecahnya [[Perang Pasifik]].<ref name="muatanlokal"/> Ketika tentara [[Jepang]] menyerbu Papua, Belanda mengirim para tawanan ke [[Australia]].<ref name="muatanlokal"/>
Kehidupan keras di Boven Digoel mendorong sejumlah tawanan berusaha melarikan diri.<ref name="muatanlokal"/> Umumnya, upaya ini menemui kegagalan akibat medan yang sulit, serangan penduduk lokal, dan ancaman [[binatang]] buas yang banyak menghuni [[wilayah]] tersebut.<ref name="muatanlokal"/> Beberapa orang berhasil melarikan diri dan mencapai wilayah [[Papua]] yang dikuasai [[Australia]]. Mereka ditangkap oleh pihak Australia dan dikembalikan lagi ke tangan [[Belanda]].<ref name="muatanlokal"/> Kehidupan keras di Boven Digul berlangsung hingga pecahnya [[Perang Pasifik]].<ref name="muatanlokal"/> Ketika tentara [[Jepang]] menyerbu Papua, Belanda mengirim para tawanan ke [[Australia]].<ref name="muatanlokal"/>


== Pecahnya perang Pasifik ==
== Pecahnya perang Pasifik ==
[[Berkas:SBD-3 Dauntless bombers of VS-8 over the burning Japanese cruiser Mikuma on 6 June 1942.jpg|jmpl|kiri|200px|Perang Pasifik, bagian dari Perang Dunia II]]
[[Berkas:SBD-3 Dauntless bombers of VS-8 over the burning Japanese cruiser Mikuma on 6 June 1942.jpg|jmpl|kiri|200px|Perang Pasifik, bagian dari Perang Dunia II]]
Pada saat [[Jepang]] meduduki [[Indonesia]] dan juga pecahnya [[Perang Pasifik]], para tawanan Boven Digoel dipindahkan atau dialihkan oleh Belanda ke [[Australia]].<ref name="i">{{cite web|author= Uniqpost.com|url=http://uniqpost.com/75030/boven-digoel/|accessdate= 27 Juni 2014|title=Boven Digoel}}</ref> Pemindahan itu dikarenakan pihak Belanda kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap berada di Boven Digul.<ref name="i"/> Bagian dari kamp itu tidak dibebaskan lebih awal dari pertengahan [[1943]], akan tetapi ketika dalam menghadapi pendudukan Jepang, pada akhirnya [[Belanda]] menutup kamp Digoel tersebut dan mengirim seluruh penduduk ataupun tawanan Boven Digoel ke Australia.<ref name="ing">{{nl}}{{cite web|title=Schoonheyt and Boven-Digoel|url=http://www.kitlv.nl/home/Spotlight?subpage_id=424|accessdate= 27 Juni 2014|author=KITLV}}</ref> Belanda berharap orang-orang [[Indonesia]] yang menjadi tawanannya dan kemudian dibawa ke Australia akan membantu Belanda.<ref name="i"/> Akan tetapi keadaan malah berbalik, tahanan [[politik]] itu dapat mempengaruhi serikat [[buruh]] Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru.<ref name="i"/><ref name="intliit"/> Akhirnya setelah Sekutu berhasil memperoleh kemenangan dari pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di Indonesia.<ref name="i"/> Pada akhirnya sekutu menduduki Indonesia.<ref name="i"/> Sehingga beralih tangan, dari tangan Belanda ke tangan Jepang.<ref name="i"/> Indonesia masih berada dalam kekuasaan negara lain.<ref name="i"/> Hingga akhirnya Indonesia merdeka tahun [[1945]].<ref name="i"/>
Pada saat [[Jepang]] meduduki [[Indonesia]] dan juga pecahnya [[Perang Pasifik]], para tawanan Boven Digoel dipindahkan atau dialihkan oleh Belanda ke [[Australia]].<ref name="i">{{cite web|author= Uniqpost.com|url= http://uniqpost.com/75030/boven-digoel/|accessdate= 27 Juni 2014|title= Boven Digoel|archive-date= 2014-06-27|archive-url= https://web.archive.org/web/20140627042630/http://uniqpost.com/75030/boven-digoel|dead-url= yes}}</ref> Pemindahan itu dikarenakan pihak Belanda kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap berada di Boven Digul.<ref name="i"/> Bagian dari kamp itu tidak dibebaskan lebih awal dari pertengahan [[1943]], akan tetapi ketika dalam menghadapi pendudukan Jepang, pada akhirnya [[Belanda]] menutup kamp Digoel tersebut dan mengirim seluruh penduduk ataupun tawanan Boven Digoel ke Australia.<ref name="ing">{{nl}}{{cite web|title=Schoonheyt and Boven-Digoel|url=http://www.kitlv.nl/home/Spotlight?subpage_id=424|accessdate=27 Juni 2014|author=KITLV|archive-date=2014-07-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20140702022235/http://www.kitlv.nl/home/Spotlight?subpage_id=424|dead-url=yes}}</ref> Belanda berharap orang-orang [[Indonesia]] yang menjadi tawanannya dan kemudian dibawa ke Australia akan membantu Belanda.<ref name="i"/> Akan tetapi keadaan malah berbalik, tahanan [[politik]] itu dapat mempengaruhi serikat [[buruh]] Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru.<ref name="intliit"/><ref name="i"/> Akhirnya setelah Sekutu berhasil memperoleh kemenangan dari pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di Indonesia.<ref name="i"/> Pada akhirnya sekutu menduduki Indonesia.<ref name="i"/> Sehingga beralih tangan, dari tangan Belanda ke tangan Jepang.<ref name="i"/> Indonesia masih berada dalam kekuasaan negara lain.<ref name="i"/> Hingga akhirnya Indonesia merdeka tahun [[1945]].<ref name="i"/>


== Kisah para tawanan ==
== Kisah para tawanan ==
[[Berkas:Jalan kepengasingan.jpg|thmub|kiri|200px|Buku karya John Ingleson, yang menceritakan perjalanannya menjadi seorang tahanan atau tawanan di Boven Digoel]]
Penghuni Kamp Digul ini hampir semuanya adalah para [[aktivis]] [[politik]] yang melakukan pemberontakan kepada kolonial Belanda, Banyak tokoh-tokoh terkenal yang dibuang ke kamp ini, ada juga banyak cerita para penghuni kamp, yang merupakan
Penghuni Kamp Digul ini hampir semuanya adalah para [[aktivis]] [[politik]] yang melakukan pemberontakan kepada kolonial Belanda, Banyak tokoh-tokoh terkenal yang dibuang ke kamp ini, ada juga banyak cerita para penghuni kamp, yang merupakan
sejarah kecil untuk menuju ke kemerdekaan [[Indonesia]].<ref name="internet"/>
sejarah kecil untuk menuju ke kemerdekaan [[Indonesia]].<ref name="internet"/>
Baris 42: Baris 40:


Cerita lainnya datang dari Mohammad Bondan, aktivis PNI kelahiran Cirebon tahun [[1910]].<ref name="internet"/> Kisahnya ini diceritakan dalam karya dengan judul “Spanning a Revolution” yang menceritakan adalah Istrinya, Molly Bondan menceritakan pengalaman suaminya selama berada di kamp konsentrasi Digul. Dalam buku itu dikisahkan perjalanan Bondan ketika di Digul, Ia merupakan rombongan dari Hatta, Syahrir, dan para aktivis lainnya.<ref name="internet"/> Bondan ini menceritakan tentang perlakuan yang Ia dapatkan dari [[pemerintah]] kolonial Belanda, yang sering membuat permusuhan antara para tawanan, yang membuat tawanan saling bertengkar karena perbuatan mereka yang mengadu domba para tawanan kamp Digul.<ref name="internet"/>
Cerita lainnya datang dari Mohammad Bondan, aktivis PNI kelahiran Cirebon tahun [[1910]].<ref name="internet"/> Kisahnya ini diceritakan dalam karya dengan judul “Spanning a Revolution” yang menceritakan adalah Istrinya, Molly Bondan menceritakan pengalaman suaminya selama berada di kamp konsentrasi Digul. Dalam buku itu dikisahkan perjalanan Bondan ketika di Digul, Ia merupakan rombongan dari Hatta, Syahrir, dan para aktivis lainnya.<ref name="internet"/> Bondan ini menceritakan tentang perlakuan yang Ia dapatkan dari [[pemerintah]] kolonial Belanda, yang sering membuat permusuhan antara para tawanan, yang membuat tawanan saling bertengkar karena perbuatan mereka yang mengadu domba para tawanan kamp Digul.<ref name="internet"/>
[[Berkas:Cerita dari digul (1).jpg|jmpl|ka|200px|[[Cerita dari Digul]], Kumpulan cerita pendek yang disunting oleh [[Pramoedya Ananta Toer]]. Mengisahkan kehidupan tawanan Boven Digul]]
Kisah lain adalah tentang Ayun Sabiran, yang ditangkap pemerintah kolonial Belanda ketika hendak menyelundupkan bahan-bahan [[kimia]] ke Padang Panjang.<ref name="internet"/> Bahan Kimia yang Ia kirimkan ini digunakan sebagai bahan peledak untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.<ref name="internet"/> Sebenarnya Sabiran hanyalah pesuruh dalam pergerakan kaum muda di Sumatera Barat.<ref name="internet"/> Akan tetapi keberaniannya dalam menyelundupkan da menyamar sebagai seorang Katolik membuat para pemerintah Hindia Belanda juga memasukan Ia kedalam daftar pemberontakan yang harus di kirim ke Kamp Digul.<ref name="internet"/> cerita tentang Ayun Sabiran ini diceritakan oleh putra pertamanya Misbach Yusa Biran, dalam bukunya “Kenang-kenangan Orang Bandel.”<ref name="internet"/>


Kisah lain adalah tentang [[Ayun Sabiran]], yang ditangkap pemerintah kolonial Belanda ketika hendak menyelundupkan bahan-bahan [[kimia]] ke Padang Panjang.<ref name="internet"/> Bahan Kimia yang Ia kirimkan ini digunakan sebagai bahan peledak untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.<ref name="internet"/> Sebenarnya Sabiran hanyalah pesuruh dalam pergerakan kaum muda di Sumatera Barat.<ref name="internet"/> Akan tetapi keberaniannya dalam menyelundupkan da menyamar sebagai seorang Katolik membuat para pemerintah Hindia Belanda juga memasukan Ia kedalam daftar pemberontakan yang harus di kirim ke Kamp Digul.<ref name="internet"/> cerita tentang Ayun Sabiran ini diceritakan oleh putra pertamanya Misbach Yusa Biran, dalam bukunya “Kenang-kenangan Orang Bandel.”<ref name="internet"/>
Kemudian cerita lagi dari Chalid Salim, yang merupakan salah seorang yang paling lama berada di barak Boven Digul ini, Ia berada di kamp Digul terhitung lama, sampai tahun [[1943]] dari rombongan pertama, Chalid ditangkap dalam kapasitasnya sebagai wartawan. Tulisan-tulisan tentang pemerintahan Belanda kerap kali membuat para kolonial Belanda Marah, sehingga Ia masuk dalamj juga dalam daftar tawanan yang harus dibuang ke kamp Digul.<ref name="internet"/> Beberapa tulisannya yang membuat kolonial Belanda naik pitam, ketika tulisannya terbit dalam sebuah harian Medan, Ia mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, akan tetapi karena kritikannya tersebut, Ia dipenjara selama satu tahun, sebelum pada akhirnya Ia di kirim ke Boven Digul, Kisahnya ini diceritakannya dalam buku yang bertajuk “Vijftien Jaar Boven-Digoel Concentratiekamp op Nieuw-Guinea Bakermat van de Indonesische Onafhankelijkheid (terjemahan: Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia).”<ref name="internet"/>


Kemudian cerita lagi dari [[Chalid Salim]], yang merupakan salah seorang yang paling lama berada di barak Boven Digul ini, Ia berada di kamp Digul terhitung lama, sampai tahun [[1943]] dari rombongan pertama, Chalid ditangkap dalam kapasitasnya sebagai wartawan. Tulisan-tulisan tentang pemerintahan Belanda kerap kali membuat para kolonial Belanda Marah, sehingga Ia masuk dalamj juga dalam daftar tawanan yang harus dibuang ke kamp Digul.<ref name="internet"/> Beberapa tulisannya yang membuat kolonial Belanda naik pitam, ketika tulisannya terbit dalam sebuah harian Medan, Ia mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, akan tetapi karena kritikannya tersebut, Ia dipenjara selama satu tahun, sebelum pada akhirnya Ia di kirim ke Boven Digul, Kisahnya ini diceritakannya dalam buku yang bertajuk “Vijftien Jaar Boven-Digoel Concentratiekamp op Nieuw-Guinea Bakermat van de Indonesische Onafhankelijkheid (terjemahan: Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia).”<ref name="internet"/>
Satu lagi cerita dari seorang wartawan yang terkenal kisahnya dalam beberapa buku, yaitu kisah Marco Kartodikromo, Ia merupakan wartawan kiri, yang menulis di media massa hingga karena tulisannya, Ia keluar masuk Penjara.<ref name="internet"/> Ia juga merupakan anggota dari organisasi serikat Islam dan turut dalam pemberontakan Banten [[1926]].<ref name="internet"/> setahun kemudian, Ia di buang ke Kamp Digul oleh kolonial Belanda, dan Ia meninggal di Barak pengasingan tersebut karena menderita TBC, dan jasadnya dikebumikan di daerah kampung B.<ref name="internet"/> Ceritanya ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dalam buku berjudul Cerita dari Digul.<ref name="sekarang"/>


Satu lagi cerita dari seorang wartawan yang terkenal kisahnya dalam beberapa buku, yaitu kisah [[Marco Kartodikromo]], Ia merupakan wartawan kiri, yang menulis di media massa hingga karena tulisannya, Ia keluar masuk Penjara.<ref name="internet"/> Ia juga merupakan anggota dari organisasi serikat Islam dan turut dalam pemberontakan Banten [[1926]].<ref name="internet"/> setahun kemudian, Ia di buang ke Kamp Digul oleh kolonial Belanda, dan Ia meninggal di Barak pengasingan tersebut karena menderita TBC, dan jasadnya dikebumikan di daerah kampung B.<ref name="internet"/> Ceritanya ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dalam buku berjudul Cerita dari Digul.<ref name="sekarang"/>
== Galeri ==
<gallery>
Berkas:Suasana Penjara digul.jpg|Suasana Penjara Digul saat tawanan diperintah
Berkas:Pagar Digul.jpg|pagar-pagar pembatas penjara Digul
Berkas:Kamar-kamar penjara digul.jpg|Ruang Tidur para tawanan di penjara Boven Digoel
Berkas:Lokasi Pembuangan bung Hatta.jpg|Tempat pembuangan Bung Hatta di Boven Digoel
Berkas:Penjara Bouven Digul terlihat dari atas.jpg|Penjara Boven Digul terlihat dari atas
Berkas:Tanah merah Bouven Digul.jpg|tanah merah bouven digoel
Berkas:Sarang nyamuk Malaria Di bouven Digul.jpg|Sarang nyamuk malaria di daerah Boven Digoel
Berkas:Boven-digul-22.jpg|kamp-kamp Boven Digoel dekat sungai Digul
Berkas:Kamp-kamp digoel.gif|pemukiman para tawanan Boven Digoel
Berkas:Suku papua di digoel.jpg|Suku lokal yang kurang bersahabat dengan para tawanan Digoel
Berkas:Dukungan pendirian digoel.jpg|Dukungan dari kelompok KNIL untuk persiapan sebuah kamp penjara di Boven Digoel
</gallery>


== Daftar tokoh perintis kemerdekaan ==
== Referensi ==
{{CSS image crop
{{reflist|2}}
|Image = Daftar Nama TMP Kabupaten Boven Digoel.jpg
|bSize = 500
|cWidth = 485
|cHeight = 275
|oTop = 30
|oLeft = 0
|Location = center
|Description =
}}
{{columns-list|colwidth=10em|
* Mangoendjojo
* Koesman
* Mardjoen
* H. Sjukur
* Surwirdjo
* Gunawan
* Sumitro
* Sutikno
* Hartudjo
* Marsum
* Suleman
* Subono
* Hartono
* Datuk Gani
* Prawirodinoto
* K.H. Bosur
* Koesnogoenopo
* Saleh Arif
* Matsaleh
* Ali Archam
* R. Soebekti
* Karto
* Moekandar
* Moch Tojib
* Darman
* Karni
* Murat
* Samsuri
* Hardjowijono
* Sjarifudin
* [[Thomas Najoan]]
* Mustajab
* Naning
* Datuk Leman
* Nana
* Nji Bakri
* Nji Amin
* Nji Saring
* Safiuddin
* Nji Kasan
* M. Kasan
* Joseph Imko
}}


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
Baris 71: Baris 107:
* [[Perang Pasifik]]
* [[Perang Pasifik]]


== Referensi ==
[[Kategori:Sejarah Papua]]
{{reflist|2}}

{{coord|6|5|48|S|140|17|52|E|display=title}}

{{Kamp konsentrasi tapol PKI di Indonesia}}

[[Kategori:Kamp konsentrasi]]
[[Kategori:Kabupaten Boven Digoel]]
[[Kategori:Kabupaten Boven Digoel]]
[[Kategori:Papua]]
[[Kategori:Nugini Belanda]]
[[Kategori:Penjara]]
[[Kategori:Sejarah Papua]]
[[Kategori:Hindia Belanda]]
[[Kategori:Penjara di Indonesia|B]]
[[Kategori:Represi politik di Indonesia]]
[[Kategori:Tahanan politik Hindia Belanda]]

Revisi terkini sejak 13 September 2024 03.11

Rumah pengasingan di Boven Digoel, akhir 1920-an

Tempat Pengasingan Boven Digoel adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.[1][2] Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mematahkan perlawanan kaum pergerakan.[1] Sumber lain menjelaskan bahwa Boven Digoel adalah tempat pembuangan/pengasingan/hukuman bagi orang-orang yang dianggap membahayakan pemerintahan kolonial Belanda.[3] Kamp Boven Digul terletak di hilir tepi sungai Digul dan Kamp tersebut dipersiapkan dengan tergesa-gesa untuk mengatasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1926 dan 1927.[4] Luas wilayah kawasan itu hampir 10.000 hektar, dan terkenal sangat terasing dari dunia luar.[4] Sedangkan menurut buku Ensiklopedia Digul atau Digul Atas (Belanda: Boven Digoel) adalah sebuah daerah hutan lebat, sebelah timur sungai Digul Hilir, Irian Jaya, tempat ini terkenal sebagai tempat pembuangan pejuang-pejuang kemerdekaan.[5] Tempat ini terasing dari peradaban masyarakat.[5]

Gubernur Jendral Hindia Belanda memiliki senjata andal dalam membatasi ruang gerak kaum pergerakan nasional.[1] Gubernur Jendral berhak membuang dan memenjarakan seseorang yang dinilai membahayakan keamanan dan ketertiban tanpa melalui pengadilan.[1] Selama pemerintah Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge, banyak tokoh nasionalis Indonesia dijerat dengan prosedur tersebut.[1]

Awalnya tempat pembuangan tokoh-tokoh Indonesia pada zaman Belanda ini terdapat di Luar Negeri, bebarapa tokoh-tokoh Indonesia telah dibuang dan diasingkan di Luar Indonesia, tokoh Indonesia yang terakhir dibuang di Luar Negeri adalah Semaun dan Darsono (dua orang ini adalah pemimpin pemogokan kaum buruh pada tahun 1923).[6] Sebelas tahun sebelumnya dibuang ke Eropa tiga pemimpin partai politik pertama di Indonesia antara lain E.F.E Douwes Deker, Suwardi Suryaningrat, Tjipto Mangunkusumo.[6] Kemudian karena di Boven Digul diperkuat administrasinya oleh Belanda sehingga dibangunlah pengasingan oleh kekuasaan militer pada saat itu.[6] Kamp konsentrasi Boven Digoel didirikan oleh Kapten L. Th. Becking pada awal tahun 1927.[7][8] Sebelumnya Kapten ini dikenal sukses memadamkan pemberontakan komuni di Banten pada November 1926.[8]

Boven Digul sebenarnya tidak dirancang sebagai sebuah kamp konsentrasi karena tidak ada penyiksaan atau pembunuhan terhadap tawanan di tempat itu.[4] Pemerintahan kolonial hanya membiarkan tawanan sampai mati, gila atau menjadi hancur.[4] Dengan adanya pembangunan kamp Boven Digul ini maka pengasingan di Luar Negeri dihentikan.[6] Pembangunan Penjara Boven Digul ini dibangun untuk pengasingan orang-orang yang dianggap terlibat ataupun bersimpati dalam pemberontakan pada tahun 1926-1927, tanpa melalui keputusan pengadilan.[6] Pemberontakan pada masa itu tercatat dalam sejarah menjadi pemberontakan Nasional pertama di Indonesia karena 2 alasan.[6] Pertama, berbagai pemberontakan terjadi di karesidenan-karesidenan di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang digerakkan oleh tokoh-tokoh dari berbagai aliran politik dan pemeluk agama.[6] Kedua, Sebelumnya tidak pernah terjadi pemberontakan besar di wilayah yang demikian luas tanpa membedakan suku maupun agama, walaupun tanpa koordinasi Nasional, dengan Partai Komunis Indonesia sebagai ujung tombak dan menjadi pemula dalam pemberontakan itu.[6] Pemberontakan ini bermuara di Digul Hulu atau Boven Digul.[6] Gubernur Andries Cornelis Dirk de Graeff berhadap dengan mengirimkan para pemberontak ke kamp Boven Digul itu mereka tidak akan mengulangi kelakuannya lagi pada masa selanjutnya.[4] Sebenarnya kompleks penjara ini dibangun oleh Belanda secara bertahap-tahap dan merintis administrasi secara kuat, agar para tawanan sulit untuk melarikan diri, kemudian ketika penjara ini sudah jadi, kemudian beberapa tokoh Indonesia yang fenomenal dibuang oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1935, tokoh-tokoh tersebut adalah Mohammad Hatta (wakil Presiden 1945), Sutan Syahir, dan para tokoh perjuangan lainnya.[9] Sutan Syahrir merupakan pemimpin Partai Nasional Indonesia yang pemberontakan terhadap Hindia Belanda.[10] Pergerakan yang dipimpin oleh Sutan syahrir ini selalu dikejar-kejar dengan bantuan semua undang-undang dan peraturan yang diperlukan untuk melindungi kekuasaan dan ketentraman Pemerintah Hindia Belanda, dengan persetujuan Pemerintah dan parlemen Belanda.[10] Pada tahun 1934 seluruh pengurus PNI baru ditangkap dan pemimimpin juga kadernya dibuang ke Boven digul.[10] Kemudian satu tahun kemudian hatta dan sutan syahrir dipindahkan untuk waktu yang tidak ditentukan ke suatu tempat yang dianggap layak bagi seorang cendikiawan, yaitu pulau Banda Neira di Maluku.[10]

Boven Digul merupakan tempat terpencil, terletak di tengah hutan belantara dekat hulu sungai Digul, di selatan Papua.[1] Di sebelah utara, timur, dan selatan, tempat ini dikelilingi hutan lebat yang sangat sulit ditembus dan tempatnya sangat jauh terisolasi, sehingga para tawanan akan kesulitan untuk melarikan diri dari penjara alam ini.[1] Di sebelah barat terdapat Sungai Digul.[1][11]

Penjara Boven Digul berada di tepi Sungai Digul, Papua

Keterkucilan Digul menjadi pertimbangan utama pemerintah kolonial ketika memilih lokasi ini sebagai permukiman bagi para tawanan pada tahun 1927.[1] Di Digul terdapat dua permukiman, yaitu Tanah Merah dan Tanah Tinggi.[1] Di Tanah Merah terdapat pusat administrasi dan militer serta tempat penahan utama.[1] Tanah Tinggi merupakan lokasi penampungan bagi para tawanan yang dianggap tidak dapat diatur.[1] Sewaktu rombongan pertama datang, Digoel sama sekali belum merupakan daerah permukiman.[9] Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang yang sebagian besar dari Banten, diberangkatkan pada Januari 1927.[9] Kemudian rombongan pertama tawanan tiba di Digul pada Maret 1927.[1] Pada akhir Maret 1927, menyusul ratusan orang lain dari Sumatera Barat.[9] Mula-mula mereka ditempatkan di Tanah Merah.[9] Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke Tanah Tinggi.[9] Sebagian besar adalah mereka yang terlibat atau dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI 1926.[1] Setelah itu, rombongan tahanan politik lainnya menyusul.[1] Sekarang tempat ini sudah menjadi pemukiman penduduk papua, untuk menjangkau penjara ini yang tepatnya berada di kabupaten Boven Digul, orang bisa menggunakan penerbangan pesawat Twin Otter sekitar 90 menit dari Bandara Moppa, Merauke.[12] Namun saat musim kemarau bisa pula ditempuh melalui jalan darat sepanjang 500 kilometer dari Kota Merauke ke Tanah Merah.[12] Selain itu dengan kapal laut dari Marauke ke laut lepas kemudian menyusuri Sungai Digul.[12]

Golongan naturalis dan golongan Werkwillig

[sunting | sunting sumber]

Ibu kota dari Boven Digoel adalah Tanah Merah.[13] Pada waktu kampung Tanah merah ini terbagi menjadi dua bagian itu, yang dipisahkan oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter.[14] Kampung ini dikategorikan dengan Kampung A dan Kampung B.[14] orang-orang buangan yang tinggal di kampung A kebanyakan orang yang tidak mau bekerja pada pemerintah.[14] Mereka disebut kaum naturalis, disebut kaum naturalis karena saban bulan mereka menerima makanan secara natura dari pemerintah setempat.[14] Ransum dalam natura itu jumlahnya setiap bulan: 18 Kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram the, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limonde minya kelapa.[14] Kebanyakan orang buangan yang tinggal di Kampung B, Ialah mereka yang disebut Werkwillig, orang-orang yang mau bekerja dengan pemerintah setempat.[14] Orang yang mau bekerja diupah 40 sen sehari.[14] Kerjanya kebanyakan mencangkul parit, menggali selokan dan pekerjaan yang seperti itu. Sebenarnya ada satu golongan yang ketiga, yaitu orang buangan yang dari semulanya menentang terus dan tidak mau mengikuti perintah, sekalipun untuk kepentingan sendiri, seperti memberishkan halaman sendiri, Mereka pada golongan ini dicap sebagai onverzlijken atau menentang terus.[14] Pada akhirnya mereka dikirim ke Tanah tinggi yaitu Boven Digoel oleh pemerintah setempat (pemerintah Belanda), kira-kira sehari lebih hulu dari Tanah merah.[14] Meraka tidak mau membuat rumah sendiri dan kampung sendiri, mereka semuanya tinggal pada satu barak yang sudah disediakan oleh pihak pemerintah Hindia-Belanda .[14] Jumlahnya ada kira-kira beberapa puluh orang.[14] Mereka di tanah tinggi dijaga oleh beberapa kompi serdadu yang tinggal di tangsi sendiri dekat pada barak kaum onverzeonlijken.[14] Karena letak daerah Tanah Tinggi ini buruk, sehingga banyak para buangan yang menderita sakit parah, kemudian banyak beberapa buangan yang menyerah kepada pihak Belanda untuk menjadi orang werkwillig dan terus bekerja di Tanah Merah.[14]

Penderitaan tawanan

[sunting | sunting sumber]

Meski berstatus sebagai tahanan politik, para tawanan diperlakukan layaknya penjahat biasa.[15] Setiba di lokasi pengasingan, para tawanan digeledah dan surat pribadi mereka disita.[15] Setiap pagi mereka harus berkumpul, kemudian digiring ke hutan atau rawa-rawa untuk melakukan kerja paksa.[15] Kondisi ini mendorong aksi protes para tawanan.[15] Sebagaian besar tawanan adalah bekas pegawai pemerintah atau pekerja swasta yang tidak terbiasa dengan pekerjaan kasar.[15] Mempertimbangkan protes tersebut, kebijakan ini akhirnya dihapus.[1]

Dalam perkembangannya, para tawanan terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu golongan yang bersikap kooperatif, golongan non-kooperatif tetapi tidak memerlihatkan sikap menentang.[1] Kelompok terakhir ini kemudian diasingkan ke Tanah Tinggi.[1]

Para tawanan di Digul sebenarnya tidak mengalami penyiksaan fisik.[1] Namun, kondisi alam di Digul terbilang keras.[1] Beberapa hal yang mempersulit kehidupan para tawanan meliputi iklim yang buruk, serangan nyamuk penjangkit malaria, keterasingan dari peradaban manusia, juga diserang demam yang tinggi hingga kencing hitam yang diderita oleh para tawanan ini dan juga rasa rindu kepada keluarga.[1] Selain itu, masih ada ancaman serangan dari suku-suku liar yang menghuni kawasan itu.[1] Maka dari itu, penjara di Boven Digul merupakan penjara alam yang dapat mematikan manusia, ibarat penjara tanpa bilik yang menggambarkan kondisi Boven Digoel pada saat itu yang sepi dan memberikan cekaman kebosanan bagi mereka para tawanan yang dibuang ke daerah ini.[16] Akibat stres yang berkepanjangan, sejumlah tawanan menderita gangguan jiwa.[1] Bahkan, ada beberapa kasus bunuh diri di antara para tawanan tersebut.[1] Lingkungan yang seperti itu telah memakan korban jiwa.[5] Kondisi di penjara ini juga terbilang buruk, karena antar tawanan dengan tawanan sering bertengkar, bermusuhan, hingga saling membunuh, sehingga terlihat seperti hukuman mati dalam jangka panjang.[5] Di luar suku Irian yang masih primitif tersebut itulah yang membuat mereka para suku Irian tidak mempunyai rasa bersahabat dengan para tawanan,[diragukan] dan pada akhirnya para tawanan yang bermaksud untuk lari dari penjara yang dibuat oleh Belanda ini tidak akan berhasil melewati para suku lokal yang tidak bersahabat ini.[5]

Melarikan diri oleh tawanan

[sunting | sunting sumber]

Kehidupan keras di Boven Digoel mendorong sejumlah tawanan berusaha melarikan diri.[1] Umumnya, upaya ini menemui kegagalan akibat medan yang sulit, serangan penduduk lokal, dan ancaman binatang buas yang banyak menghuni wilayah tersebut.[1] Beberapa orang berhasil melarikan diri dan mencapai wilayah Papua yang dikuasai Australia. Mereka ditangkap oleh pihak Australia dan dikembalikan lagi ke tangan Belanda.[1] Kehidupan keras di Boven Digul berlangsung hingga pecahnya Perang Pasifik.[1] Ketika tentara Jepang menyerbu Papua, Belanda mengirim para tawanan ke Australia.[1]

Pecahnya perang Pasifik

[sunting | sunting sumber]
Perang Pasifik, bagian dari Perang Dunia II

Pada saat Jepang meduduki Indonesia dan juga pecahnya Perang Pasifik, para tawanan Boven Digoel dipindahkan atau dialihkan oleh Belanda ke Australia.[17] Pemindahan itu dikarenakan pihak Belanda kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap berada di Boven Digul.[17] Bagian dari kamp itu tidak dibebaskan lebih awal dari pertengahan 1943, akan tetapi ketika dalam menghadapi pendudukan Jepang, pada akhirnya Belanda menutup kamp Digoel tersebut dan mengirim seluruh penduduk ataupun tawanan Boven Digoel ke Australia.[18] Belanda berharap orang-orang Indonesia yang menjadi tawanannya dan kemudian dibawa ke Australia akan membantu Belanda.[17] Akan tetapi keadaan malah berbalik, tahanan politik itu dapat mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru.[7][17] Akhirnya setelah Sekutu berhasil memperoleh kemenangan dari pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di Indonesia.[17] Pada akhirnya sekutu menduduki Indonesia.[17] Sehingga beralih tangan, dari tangan Belanda ke tangan Jepang.[17] Indonesia masih berada dalam kekuasaan negara lain.[17] Hingga akhirnya Indonesia merdeka tahun 1945.[17]

Kisah para tawanan

[sunting | sunting sumber]

Penghuni Kamp Digul ini hampir semuanya adalah para aktivis politik yang melakukan pemberontakan kepada kolonial Belanda, Banyak tokoh-tokoh terkenal yang dibuang ke kamp ini, ada juga banyak cerita para penghuni kamp, yang merupakan sejarah kecil untuk menuju ke kemerdekaan Indonesia.[3]

Thomas Nayoan adalah seorang Minahasa yang berusaha untuk melarikan diri dari kamp tersebut.[3] Semuanya tertulis dalam buku “Jalan ke Pengasingan” karya John Ingleson, dalam buku ini diceritakan bahwa Thomas Nayoan ini adalah tawanan yang gigih untuk melarikan diri, walaupaun pelariannya gagal dan sempat menyasar di Australia, Ia melarikan diri lewat sungai dengan menggunakan perahu, akan tetapi malah tibanya di Australia, karena memang sebelumnya Australia sudah memiliki perjanjian ektradisi dengan Belanda, maka Ia digelandang kembali ke kamp digul, Ia merupakan salah satu tokoh dalam pemberontakan PKI di Banten.[3]

Cerita lainnya datang dari Mohammad Bondan, aktivis PNI kelahiran Cirebon tahun 1910.[3] Kisahnya ini diceritakan dalam karya dengan judul “Spanning a Revolution” yang menceritakan adalah Istrinya, Molly Bondan menceritakan pengalaman suaminya selama berada di kamp konsentrasi Digul. Dalam buku itu dikisahkan perjalanan Bondan ketika di Digul, Ia merupakan rombongan dari Hatta, Syahrir, dan para aktivis lainnya.[3] Bondan ini menceritakan tentang perlakuan yang Ia dapatkan dari pemerintah kolonial Belanda, yang sering membuat permusuhan antara para tawanan, yang membuat tawanan saling bertengkar karena perbuatan mereka yang mengadu domba para tawanan kamp Digul.[3]

Kisah lain adalah tentang Ayun Sabiran, yang ditangkap pemerintah kolonial Belanda ketika hendak menyelundupkan bahan-bahan kimia ke Padang Panjang.[3] Bahan Kimia yang Ia kirimkan ini digunakan sebagai bahan peledak untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.[3] Sebenarnya Sabiran hanyalah pesuruh dalam pergerakan kaum muda di Sumatera Barat.[3] Akan tetapi keberaniannya dalam menyelundupkan da menyamar sebagai seorang Katolik membuat para pemerintah Hindia Belanda juga memasukan Ia kedalam daftar pemberontakan yang harus di kirim ke Kamp Digul.[3] cerita tentang Ayun Sabiran ini diceritakan oleh putra pertamanya Misbach Yusa Biran, dalam bukunya “Kenang-kenangan Orang Bandel.”[3]

Kemudian cerita lagi dari Chalid Salim, yang merupakan salah seorang yang paling lama berada di barak Boven Digul ini, Ia berada di kamp Digul terhitung lama, sampai tahun 1943 dari rombongan pertama, Chalid ditangkap dalam kapasitasnya sebagai wartawan. Tulisan-tulisan tentang pemerintahan Belanda kerap kali membuat para kolonial Belanda Marah, sehingga Ia masuk dalamj juga dalam daftar tawanan yang harus dibuang ke kamp Digul.[3] Beberapa tulisannya yang membuat kolonial Belanda naik pitam, ketika tulisannya terbit dalam sebuah harian Medan, Ia mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, akan tetapi karena kritikannya tersebut, Ia dipenjara selama satu tahun, sebelum pada akhirnya Ia di kirim ke Boven Digul, Kisahnya ini diceritakannya dalam buku yang bertajuk “Vijftien Jaar Boven-Digoel Concentratiekamp op Nieuw-Guinea Bakermat van de Indonesische Onafhankelijkheid (terjemahan: Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia).”[3]

Satu lagi cerita dari seorang wartawan yang terkenal kisahnya dalam beberapa buku, yaitu kisah Marco Kartodikromo, Ia merupakan wartawan kiri, yang menulis di media massa hingga karena tulisannya, Ia keluar masuk Penjara.[3] Ia juga merupakan anggota dari organisasi serikat Islam dan turut dalam pemberontakan Banten 1926.[3] setahun kemudian, Ia di buang ke Kamp Digul oleh kolonial Belanda, dan Ia meninggal di Barak pengasingan tersebut karena menderita TBC, dan jasadnya dikebumikan di daerah kampung B.[3] Ceritanya ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dalam buku berjudul Cerita dari Digul.[12]

Daftar tokoh perintis kemerdekaan

[sunting | sunting sumber]

  • Mangoendjojo
  • Koesman
  • Mardjoen
  • H. Sjukur
  • Surwirdjo
  • Gunawan
  • Sumitro
  • Sutikno
  • Hartudjo
  • Marsum
  • Suleman
  • Subono
  • Hartono
  • Datuk Gani
  • Prawirodinoto
  • K.H. Bosur
  • Koesnogoenopo
  • Saleh Arif
  • Matsaleh
  • Ali Archam
  • R. Soebekti
  • Karto
  • Moekandar
  • Moch Tojib
  • Darman
  • Karni
  • Murat
  • Samsuri
  • Hardjowijono
  • Sjarifudin
  • Thomas Najoan
  • Mustajab
  • Naning
  • Datuk Leman
  • Nana
  • Nji Bakri
  • Nji Amin
  • Nji Saring
  • Safiuddin
  • Nji Kasan
  • M. Kasan
  • Joseph Imko

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Di Bawah Kolonialisme Barat Sejarah Nasional Indonesia jilid 7. Jakarta: Lentera Abadi. 2009. hlm. 180. ISBN 9789793535494. 
  2. ^ Rosihan Anwar (2010). Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Terisisihkan dan Terlupakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 405. ISBN 9789792250091. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Afandri Adya. "Kisah Para Tahanan Digul". Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  4. ^ a b c d e Langgeng Sulistyo Budi (2004). "Pendidikan Bagi Dawanan di Bouven Digul 1926-1942, Volume 6, Nomor 1, dalam Jurnal Sejarah". Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 
  5. ^ a b c d e Van Hoeve. Ensiklopedia Indonesia, Jilid 7. Jakarta: Ichtiar Baru. hlm. 821. 
  6. ^ a b c d e f g h i D. E. Manu Turoe (2001). Cerita dari Digul. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. XXI. ISBN 9789799023490. 
  7. ^ a b Afandri Adya. "Kisah Para Tahanan Digul". Diakses tanggal 27 Juni 2014. 
  8. ^ a b Langgeng Sulityo Budi. "Pendidikan bagi Tawanan di Boven Digul 1926-42, dalam Jurnal Sejaran Volume 6, Nomor 1". Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 84. 
  9. ^ a b c d e f (Indonesia) Jaringan Kerja Cepat Papua. "Penjara DIGOEL di Tanah Merah, Terlupakan". Diakses tanggal 27 Juni 2014. 
  10. ^ a b c d Rosihan Anwar (2010). Mengenang Sjahrir: seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang terisisihkan dan terlupakan. PT Gramdeia Pustaka Utama. hlm. 320. ISBN 9792250093. 
  11. ^ Gabriel Maniagasi. "Boven Digoel, Kota Bersejarah yang Terlupakan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-13. Diakses tanggal 27 Juni 2014. 
  12. ^ a b c d Sastra Pembebasan. "Penjara Boven Digoel, Situs sejarah yang terlupakan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 27 Juni 2014. 
  13. ^ Tarmidzy Thamrin (2001). Boven Digoel: Lambang perlawanan terhadap kolonialisme. Ciscom-Cottage. hlm. 112. 
  14. ^ a b c d e f g h i j k l m Mohammad Hatta (2011). Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi. Penerbit Buku Kompas. hlm. 148-149. ISBN 9797095401. 
  15. ^ a b c d e Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Di Bawah Kolonialisme Barat Sejarah Nasional Indonesia jilid 7. Jakarta: Lentera Abadi. 2009. hlm. 180-181. ISBN 9789793535494. 
  16. ^ Kompas.com. "Boven Digul kota sejarah yang terlupakan, yang merupakan tempat penjara tua di papua". Diakses tanggal 23 Juni 2014. 
  17. ^ a b c d e f g h i Uniqpost.com. "Boven Digoel". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-06-27. Diakses tanggal 27 Juni 2014. 
  18. ^ (Belanda)KITLV. "Schoonheyt and Boven-Digoel". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-02. Diakses tanggal 27 Juni 2014. 

6°5′48″S 140°17′52″E / 6.09667°S 140.29778°E / -6.09667; 140.29778