Lompat ke isi

Idealisme: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh Arymuslichudin (bicara) ke revisi terakhir oleh Illchy
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Reno-Sifana (bicara | kontrib)
k Perbaikan Tata Bahasa
 
Baris 1:
[[Berkas:Crystal Clear app ktip.png|jmpl|200px|Lampu pijar yang sering dikaitkan atau dijadikan simbol dari ide]]
'''Idealisme''' adalah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia [[filsafat]] oleh [[Leibniz]] pada awal abad 18.<ref name="Bagus">{{id}}Lorens Bagus., ''Kamus Filsafat'' Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005</ref> ia menerapkan istilah ini pada pemikiran [[Plato]], seraya memperlawankan dengan [[materialisme]] [[Epikuros]].<ref name="Bagus"/> Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas.<ref name="Bagus"/> Dari abad 17 sampai permulaan abad 20 istilah ini banyak dipakai dalam pengklarifikasian filsafat.<ref name="Bagus"/> Idealisme memberikan doktrin bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (roh). Istilah ini diambil dari "idea", yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pada filsafat modern, pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753) yang menyatakan bahwa hakikat objek-objek fisik adalah idea-idea. Leibniz menggunakan istilah ini pada permulaan abad ke-18, menamakan pemikiran Plato sebagai lawan materialisme Epicurus (Reese: 243). Idealisme memiliki argumen epistemologi sendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi tangyang digunakan oleh idealisme. Mereka menggunakan argumen yang mengatakan bahwa ''objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan Tuhan;'' argumen orang-orang idealis mengatakan bahwa ''objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.''<ref>Ahmad Tafsir, ''Filsafat Umum: Hati dan Akal dari Thales Sampai Capra,'' Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, 144.</ref>
 
== Epistemologi ==

Revisi terkini sejak 29 Juni 2024 16.40

Lampu pijar yang sering dikaitkan atau dijadikan simbol dari ide

Idealisme adalah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18.[1] ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme Epikuros.[1] Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas.[1] Dari abad 17 sampai permulaan abad 20 istilah ini banyak dipakai dalam pengklarifikasian filsafat.[1] Idealisme memberikan doktrin bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (roh). Istilah ini diambil dari "idea", yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pada filsafat modern, pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753) yang menyatakan bahwa hakikat objek-objek fisik adalah idea-idea. Leibniz menggunakan istilah ini pada permulaan abad ke-18, menamakan pemikiran Plato sebagai lawan materialisme Epicurus (Reese: 243). Idealisme memiliki argumen epistemologi sendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme. Mereka menggunakan argumen yang mengatakan bahwa objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan Tuhan; argumen orang-orang idealis mengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.[2]

Epistemologi

[sunting | sunting sumber]

Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik.[1] Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, budi, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi.[1]

Pandangan beberapa filsuf

[sunting | sunting sumber]
  • Fichte memakai nama idealisme subyektif, jadi pandangan-pandangan berasal dari subyek-subyek tertentu, dia menyandarkan keunggulan moral untuk sebuah etika manusia yang ideal.[1] Dia diduga sebagai pendiri idealisme di Jerman.[1]
  • Hegel mengangkat idealisme subyektif dan obyektif untuk menggambarkan tesis dan antitesis secara berturut-turut.[1] Hegel sendiri mengemukakan pandangannya sendiri yang disebut idealisme absolut sebagai sintesis yang lebih tinggi dibanding unsur yang membentuknya (tesis dan antitesis).[1]
  • Kant menyebut pandangannya dengan istilah idealisme transendental atau idealisme kritis.[1] Dalam alternatif ini isi pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, dan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri.[1] Schelling telah menggunakan istilah idealisme transendental sebagai pengganti idealisme subyektif.[1]

Tokoh-tokoh lain cukup banyak ; Barkeley, Jonathan Edwards, Howison, Edmund Husserl, Messer dan sebagainya.[1]

Dalam dunia sastra, terdapat aliran idealisme juga, misalnya sebuah cerita, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.[3] Berdasarkan pesan-pesan itu, seseorang dapat menganalisis tentang pandangan penulis.[3] Idealisme yang dikemukakan terkait dengan tema cerita, misalnya tema yang berhubungan dengan cinta, perjuangan, dan pembangunan masa depan.[3] Ada dua bentuk idealisme: yaitu idealisme aktif, yaitu idealisme yang melahirkan insipirasi-inspirasi baru yang bisa dilakukan dalam realitas, sedangkan idealisme pasif adalah idealisme yang hanya semu, tidak pernah bisa diwujudkan, bersifat utopis saja.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n (Indonesia)Lorens Bagus., Kamus Filsafat Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
  2. ^ Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Hati dan Akal dari Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, 144.
  3. ^ a b c d (Indonesia)Korie Layun Rampan., Aliran-alira Cerita Pendek, Jakarta: Balai Pustaka, 1999