Lompat ke isi

Kiai Madja: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k →‎Keluarga: rapikan, replaced: diluar → di luar
Sonjo 01 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(40 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox royalty|name=Kiai Madja|title=Kiai Modjo|image=Kyai Modjo.jpg|birth_date=1792|birth_place=Surakarta|death_date=20 Desember 1849|death_place=Tondano|burial_place=[[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Kampung Jawa Tondano]]|birth_name=Muslim Mochammad Khalifah|father=Iman Abdul Ngarip|mother=R.A Mursilah|religion=Islam|module={{Infobox person|child=yes
[[Berkas:Kyai madja.jpg|thumb|Makam Kyai Madja]]
| known_for =
'''Kyai Madja''' adalah seorang [[ulama]] dari [[Jawa Tengah]] yang menentang gerakan pemurtadan di kalangan bangsawan dan [[sultan]] oleh pemerintahan kolonial [[Belanda]] pada masa penjajahan.<ref name=a /> Kyai Madja lahir pada tahun 1792 dan memiliki nama asli '''Muslim Mochammad Khalifah'''.<ref name="a">{{id}} {{cite journal
* [[Perang Jawa|Panglima perang Jawa]]
| author = Majalah Nurhidaya Solo
}}}}
| year =
| month =
| title = Kyai Modjo: Sang Ulama Kharismatik
| journal =
| volume =
| issue =
| pages =
| doi =
| id =
| url = http://majalah.nurhidayahsolo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:kyai-modjo-sang-ulama-kharismatik&catid=72:siroh&Itemid=238
| format =
| publisher =
| accessdate = 24 Mei 2014
}}
</ref>


'''Muslim Mochammad Khalifah''' atau dikenal '''Kiai Madja''', '''Kiai Modjo''' (lahir di [[Surakarta]], [[Jawa Tengah]], [[1792]]) adalah seorang [[ulama]] yang dikenal sebagai orang kepercayaan Pangeran [[Diponegoro]] sekaligus panglima selama berlangsungnya [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]].<ref name="a">{{Cite news|url=https://tirto.id/pecah-kongsi-pangeran-diponegoro-dan-kyai-mojo-cwyp|title=Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo|last=Raditya|first=Iswara N|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2020-01-25}}</ref>
== Keluarga ==
Kyai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah.<ref name=a /> Ayah Kyai Madja adalah seorang ulama di desa Baderan dan Modjo.<ref name=a /> Desa tersebut berada di daerah Pajang dan merupakan tanah pemberian Raja [[Surakarta]].<ref name=a /> Ibu Kyai Madja, R.A Mursillah, merupakan saudara perempuan [[Sri Sultan Hemangkubuwono III]].<ref name=a /> Meskipun ibunya seorang ningrat keraton, Kyai Madja dibesarkan di luar keraton.<ref name=a />


== Kehidupan ==
== Kehidupan awal ==
=== Keluarga ===
Pada 17 November 1828, terjadi penangkapan di desa Kembang Arum, [[Jawa Tengah]] oleh Belanda.<ref name=a /> Kyai Madja dibawa dan diasingkan ke Batavia kemudian diasingkan kembali ke Tondano, [[Minahasa]], [[Sulawesi Utara]].<ref name=a /> Selama masa pengasingannya, Kyai Madja mendirikan kampung Jawa Tondano di Minahasa dan menjadi awal masuknya Agama [[Islam]] di Minahasa.<ref name=a /> Di Tondano ia menyalurkan ilmu kesaktiannya yaitu ilmu [[kanugaran]] yang dipelajarinya di [[Ponorogo]], kepada pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri.<ref name=a /> Ilmu bela diri ini lah yang kemudian menjadi cikal bakal [[pencak silat]].<ref name=a /> Kyai Madja wafat di tempat pengasingan pada tanggal 20 Desember 1849 diusia 57 tahun.<ref name=a />
Kiai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah. Ayah Kiai Madja adalah ulama besar yang dikenal dengan nama Kiai Baderan.<ref name=a /> Baik ayah dan ibunya adalah keturunan bangsawan. Abdul Ngarip keturunan keluarga Kraton Surakarta yang memilih mengabdikan diri berdakwah agama [[Islam]]. Ibunya, R.A. Mursilah, merupakan saudara perempuan Sultan [[Hamengkubuwana III]]. Sejak lahir, Kiai Mojo tidak pernah berada di dalam lingkungan kraton.


Secara garis silsilah keluarga, Kiai Modjo dan Pangeran Diponegoro memiliki ikatan kekerabatan. Diponegoro yang sempat bergelar Bendara Raden Mas Antawirya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir. Dengan demikian, Diponegoro adalah saudara sepupu Kiai Mojo. Sama seperti Kiai Madja, Diponegoro juga hidup di luar istana sejak kecil. Hubungan kekeluargaan antara keduanya semakin erat setelah Kiai Madja menikahi janda [[Hamengkubuwana II|Pangeran Mangkubumi]] yang tidak lain adalah paman Diponegoro. Pangeran Diponegoro pun memanggil Kiai Madja dengan sapaan "paman" meski keduanya adalah saudara sepupu.<ref name=a />
== Wasiat ==
Selama hidupnya Kyai Madja dikenal sebagai tokoh ulama yang giat menentang Belanda.<ref name=a /> Kyai Madja meninggalkan wasiat dalam bahasa Jawa, yaitu<ref name=b />:<br>
''"Den sira para satria nagari mentaram, nagari jawi heng dodotira sumimpen, watak wantune sayyidina ngali, sumimpen kawacaksane sayyidina ngali, sumimpen kawacaksane sayyidina kasan, sumimpen kakendale sayyidina kusen, den seksana hing wanci suro landa bakal den sira sirnaake saka tanah jawa, krana sinurung pangribawaning para satrianing muhammad yaitu ngali, kasan, kusen.<ref name=b /> Sira padha lumaksananna yudha kairing takbir lan shalawat, yen sira gugur hing bantala, cinandra, guguring sakabate sayyidina kusen hing Nainawa, sira kang wicaksana hing yudha,pinates tampa sesilih ali basya.<ref name=b /> ([[Babad Diponegoro|Babad Perang Diponegoro]],karya pujangga Yasadipura II Surakarta)"''


=== Dakwah Islam ===
Arti dalam bahasa Indonesia:
Dasar pengetahuan agama Kiai Madja berasal dari ayahnya yang seorang ulama besar. Setelah menunaikan ibadah [[haji]], Kiai Madja sempat bermukim di [[Mekkah]]. Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut. Bersama para santrinya, Kiai Madja menggalang gerakan anti-pemurtadan yang marak di kalangan bangsawan kraton. Kiai Madja juga punya cita-cita suatu hari nanti tanah [[Jawa]] akan dikelola dengan pemerintahan berdasarkan [[syariat Islam]]. Dan itulah yang dijanjikan oleh Pangeran Diponegoro sehingga Kiai Mojo beserta para pengikutnya bersedia bergabung untuk menghadapi Belanda dalam [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]].<ref name=a />
<br>

''Wahai kalian Satria Mataram, negara jawa tersimpan dalam pemahaman kalian.<ref name=b /> Pada kalian tersimpan Watak prilaku, kebijaksanaan Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan.<ref name=b /> Tersimpan keberanian Al Husain, perhatikanlah pada waktu suro belanda akan kalian hilangkan dari tanah jawa, karena terdorong kekuatan para satria muhammad yaitu ali,hasan dan husain.<ref name=b /> Berperanglah teriring takbir dan shalawat, jika kalian syahid maka akan tercatat spt syahid nya para sahabat al husain di nainawa.<ref name="b">{{id}} {{cite journal
== Perang Jawa ==
| author = Muhsin Labib
[[File:Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo.jpg|thumb|300px|Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo di [[Kampung Jawa Tondano]], [[Minahasa]]]]
| year =

| month =
=== Bergabung dengan Diponegoro ===
| title = Wasiat Kyai Maja tentang Ahlulbait
Kyai Mojo bergabung sejak hari pertama pasukan Diponegoro tiba di [[Gua Selarong]] (terletak di Pajangan, [[Bantul]], Yogyakarta) untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda. Ia juga menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di [[Klaten]]. Dalam upaya diplomasinya, Kyai Madja dengan tegas mengajukan sejumlah tuntutan. Ia juga berhasil mengubah paradigma perlawanan terhadap penjajah Belanda dari label "pemberontak" menjadi "perang sabil" atau [[Perang agama|Perang Suci]] melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam. Sejak bergabung dengan Diponegoro, Kiai Madja berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain), 15 orang guru mengaji, juga puluhan orang ulama dari [[Bagelen, Purworejo|Bagelen]], [[Keresidenan Kedu|Kedu]], Mataram, [[Pajang, Laweyan, Surakarta|Pajang]], [[Madiun]], [[Ponorogo]], dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan.<ref name=a />
| journal =

| volume =
Sang Pangeran telah mengetahui Kiai Mojo bahkan sebelum Perang Jawa meletus, beliau telah membahas dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, saat mereka tiba di Selarong mengenai siapa ulama yang paling cocok untuk dipanggil ke Selarong guna memberi saran tentang cara mengangkat Al-Quran sebagai landasan utnuk perang sabil melawan [[kafir]] Belanda. [[Mangkubumi]] menyarankan agar memilih seorang di antara para ulama di [[Yogyakarta]], tetapi sang Pangeran menolak, sebab dia kurang percaya kepada kapasitas mereka untuk memberi petunjuk berbasis [[Al-Quran]]. Alih-alih memanggil ulama dari Yogyakarta, Diponegoro memilih memanggil dua ulama yang dia kenal sebagai orang yang betul-betul "''ajrih'' kepada tuhan" dan sangat hati-hati untuk bertindak atas perintah Al-Quran, yaitu Kiai Kuweron dari Pesantren Kuweron di Kedu Selatan, yang sudah lanjut usia, dan Kiai Mojo dari Pesantren Mojo dekat [[Delanggu, Klaten|Delanggu]], yang jauh lebih muda (sekitar 33 tahun saat Perang Jawa meletus).<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan Dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia|pages=73|url-status=live}}</ref>
| issue =

| pages =
=== Perpecahan dengan Diponegoro ===
| doi =
[[File:Makam Kiai Mojo.jpg|thumb|300px|Makam Kiai Mojo]]
| id =

| url = http://www.muhsinlabib.com/sejarah/wasiat-kyai-maja-ttg-ahlulbait
Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, Kiai Madja mulai tidak sepaham ketika Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya. Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep [[Ratu Adil]] atau [[juru selamat]] dalam kampanye merekrut pasukan. Salah satu gejalanya adalah ketika Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari [[Tuhan]] yang didapatnya saat [[samadhi|bersemedi]]. Diponegoro juga mengklaim telah diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar ''Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah'' di tanah Jawa. Pangeran Diponegoro, secara tersirat, menyamakan pengalaman spiritual yang diklaimnya dengan pengalaman Nabi [[Muhammad]] ketika diangkat menjadi Rasul. Diponegoro juga mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus Rasullah terkait statusnya itu, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari malaikat [[Gabriel|Jibril]]. Hasilnya, Pangeran Diponegoro dilayani pengikutnya seperti seorang [[raja]]. Meskipun sering memakai jubah putih, namun ia juga punya koleksi pribadi berupa barang-barang mewah seperti [[pusaka]], [[keris]], [[kuda]], dan lain-lain. Diponegoro juga sering menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, termasuk dipayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas dalam setiap kemunculannya.
| format =

| publisher =
Kiai Madja tidak sepaham dengan ekpresi yang dimunculkan sepupunya itu. Ia menilai Diponegoro telah mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan justru berambisi ingin mendirikan kerajaan tandingan di tanah Jawa. Hingga akhirnya, Diponegoro menyarankan agar Kiai Madja berhenti berperang. Kiai Madja akhirnya berinisiatif menemui Belanda untuk mengadakan perundingan demi berakhirnya perang. Dalam pertemuan pada 25 Oktober 1828 itu, Belanda bertanya kepada Kiai Madja tentang bagaimana jika Diponegoro diberi wilayah kekuasaan, dengan kata lain, Diponegoro akan mendapatkan jatah sebagai raja baru di Jawa. Kiai Madja lalu berkata jika itu yang terjadi, maka akan disambut dengan senang hati oleh Diponegoro dan perang pun akan usai. Pernyataan tersebut menyiratkan persepsi bahwa Kiai Madja memang menilai Diponegoro sedang mengincar gelar raja Jawa dan ingin memimpin kerajaan baru meskipun tidak dengan sistem pemerintahan Islam.<ref name=a />
| accessdate = 24 Mei 2014

}}
Di sisi lain Pangeran Diponegoro juga jengkel dengan sikap Kiai Mojo yang takabur bahwa pangeran-pangeran Surakarta terdahulu belajar dibawah asuhan ayahnya dan dilanjutkan sekarang anak-anak mereka yang diasuh olehnya, dalam [[babad]] karyanya Pangeran Diponegoro merasa dikecilkan martabatnya karena Kiai Mojo mengatakan bahwa dikarenakan pengaruh dialah mereka mendapatkan dukungan dari keraton sunan takala perang makin lanjut. Dikarenakan kejengkelan ini, beberapa minggu penting lewat begitu saja, sehingga pada 15 Oktober 1826 tentara sang Pangeran yang berkekuatan 5000 prajurit mulai menyerang Surakarta, dia menderita kekalahan besar di [[Guwokajen, Sawit, Boyolali|Gawok]] tepat di sebelah barat kota itu. Saling menyalahkan yang sengit penyebab kekalahan tersebut. Secara khusu, Kiai Mojo dan keluarganya dituduh telah dengan nekat mendesak untuk menyerang ibu kota kesunanan demi kepentingan mereka sendiri. Apa yang sebelumnya hanya merupakan persaingan yang mengganggu, sekarang menjadi perselisihan terbuka.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=79|url-status=live}}</ref>
</ref>

== Penangkapan dan Pengasingan ==
[[Berkas:Makam_Kyai_Mojo.jpg|jmpl|300px|Makam Kiai Madja di [[Tondano]], [[Sulawesi Utara]]]]
[[Berkas:Makam-kyai-modjo-1_Djoko_Sanudin.jpg|jmpl|300px|Makam Kiai Modjo di [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Kampung Jawa Tondano]]]]

Kiai Mojo berangkat lagi yang kedua kalinya ke Melangi pada 5-9 November 1928 dengan tujuan melakukan perundingan sendiri dan sepihak tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang pada negosiasi pertamanya pada 31 Okotober 1828 juga terjadi di Melangi, di sebuah ''pathok nagari'' (pusat untuk ulama ahli hukum [[fikih]]). Namun, perundingan tidak terjadi. Nyatanya, Pasukan Gerak Cepat Ketiga yang dikomandoi Letnan-Kolonel Joseph Le Bron de Vexela sudah ditugaskan untuk memastikan Kiai Mojo dan pasukannya tidak bisa lolos. Karenanya, ketika perundingan gagal pada 10 November dan diketahui bahwa bahwa sang Kiai sedang berusaha balik menuju ke [[Pajangan, Bantul|Pajang]] melalui jalan pintas di lereng-lereng [[Gunung Merapi]], dia dicegat di dekat bekas perkebunan Bawon Bouwens van der Boyen di [[Babadan, Ponorogo|Babadan]] pada 12 November. Dia diberi waktu 2 menit untuk memutuskan apakan menyerah tanpa syarat atau langsung bertempur dalam keadaan sulit (Le Bron sudah mengepung pasukan Mojo), Kiai Mojo memilih menyerah dengan 400 pasukannya.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Grameda|pages=56-57|url-status=live}}</ref> Belanda sangat tegas kepada Kiai Mojo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang membelot ke pihak Belanda, dikarenakan Belanda menggangap Kiai Mojo sangat berbahaya dan paling bertanggung jawab karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya.

Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Mojo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, [[Sleman]], dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke [[Salatiga]]. Dalam penahanannya, Kiai Madja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Madja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.<ref name="a" /> Belanda sangat tegas kepada Kiai Mojo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang menyerah dikarenakan Belanda menggangap Kiai Mojo yang sangat berbahaya karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya. Baru pada tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke [[Tondano]], [[Minahasa]], [[Sulawesi Utara]].<ref name="a" /><ref name="b">{{Cite news|url=https://historia.id/kuno/articles/si-bantheng-pengiring-diponegoro-yang-paling-setia-P7x4Q|title=Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia|last=A. Nugroho|first=Yudi|newspaper=historia.id|language=id-ID|access-date=2020-01-25}}</ref> Di tanah pembuangan, Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kiai Mojo dari pasukan Diponegoro.<ref name="a" />

== Kampung Jawa Tondano ==
Semua pengikut Kiai Madja yang dibuang ke Tondano adalah laki-laki. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat, dan dari dua kebudayaan inilah lahir [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Kampung Jawa]]. Mereka mendirikan Masjid Al-Falah dan mengislamkan beberapa perempuan Minahasa dan menyisakan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga kini. Penerus keturunan Kiai Madja biasa memakai nama Kiay Modjo. Salah satunya adalah dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi, Julaiha Kiay Modjo. Ia berkata tak tahu lagi di mana orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo tinggal di Kampung Jawa Tondano. Banyak juga marga Kiay Modjo yang tinggal di [[Gorontalo]].<ref name="c">{{Cite news|url=https://tirto.id/dari-pengikut-kyai-mojo-lahirlah-kampung-muslim-jawa-tondano-cK6T|title=Dari Pengikut Kyai Mojo, Lahirlah Kampung Muslim Jawa Tondano|last=Matanasi|first=Petrik|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2020-01-25}}</ref>

== Etnis Jaton (Jawa Tondano) ==
Dalam Fakta Sejarah Kepahlawanan Kyai Modjo (2017: 97) dijelaskan: <blockquote>''“Dari segi etnis, komunitas Jaton menjadi salah satu subetnis Minahasa sebagai hasil asimilasi melalui perkawinan antara pengikut Kyai Mojo dengan keke’ (gadis) anak para Walak sejak Januari 1831.”'' </blockquote>Minahasaraad (dewan Minahasa) mengakui Jaton sebagai subetnis pada 1919 dan Jaton tunduk pada hukum adat Minahasa. Menurut Profesor Ishak Pulukadang, Jaton sebagai etnis maupun komunitas termasuk kawasan strategis provinsi dan sudah jadi Desa Budaya. Kampung Jaton kerap dikunjungi pejabat keturunan Jawa. Menurut warga setempat, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X juga pernah berkunjung ke sana.<ref>{{Cite web|last=Matanasi|first=Petrik|title=Dari Pengikut Kyai Mojo, Lahirlah Kampung Muslim Jawa Tondano|url=https://tirto.id/dari-pengikut-kyai-mojo-lahirlah-kampung-muslim-jawa-tondano-cK6T|website=tirto.id|language=id|access-date=2022-04-26}}</ref>


== Referensi ==
== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist}}


== Bacaan terkait ==
[[Kategori:Kyai]]
* ''Perang Sabil versus Perang Salib'' oleh Abdul Qadir Djaelani, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah (Jakarta), 1999 ({{ISBN|39015043636599}})
* ''Dakwah Dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo, & Perang Sabil Sentot Ali Basah'' oleh Heru Basuki, Samodra Ilmu (Yogyakarta) 2007 ({{ISBN|9786028014014}})
* ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855'' oleh Peter Carey, Kompas Gramedia, 2007 ({{ISBN|9789797097998}})
* ''Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830'' oleh Saleh As’ad Djamhari, Komunitas Bambu (Depok), 2014 ({{ISBN|9786029402421}})
* ''Percakapan Dengan Diponegoro'' oleh Peter Carey, KPG Kepustakaan Populer Gramedia (Jakarta), 2022 ({{ISBN|9786024819019}})

== Pranala luar ==
* [https://www.nu.or.id/post/read/80553/kiai-maja-ahli-strategi-dan-perang-gerilya-dari-pesantren Kiai Maja, Ahli Strategi dan Perang Gerilya dari Pesantren], NU Online (diakses 25 Januari 2020)
* [https://www.antarafoto.com/olahraga/v1573652401/ziarah-makam-pahlawan-kyai-mojo Ziarah Makam Pahlawan Kyai Mojo], Antara Foto (diakses 25 Januari 2020)

[[Kategori:Kiai]]
[[Kategori:Ulama]]
[[Kategori:Ulama]]
[[Kategori:Islam]]
[[Kategori:Islam]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tanggal kematian 20 Desember]]
[[Kategori:Tahun kematian 1849]]

Revisi terkini sejak 22 September 2023 14.51

Kiai Madja
Kiai Modjo
KelahiranMuslim Mochammad Khalifah
1792
Surakarta
Kematian20 Desember 1849
Tondano
Pemakaman
AyahIman Abdul Ngarip
IbuR.A Mursilah
AgamaIslam
Dikenal atas

Muslim Mochammad Khalifah atau dikenal Kiai Madja, Kiai Modjo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1792) adalah seorang ulama yang dikenal sebagai orang kepercayaan Pangeran Diponegoro sekaligus panglima selama berlangsungnya Perang Jawa.[1]

Kehidupan awal

[sunting | sunting sumber]

Kiai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah. Ayah Kiai Madja adalah ulama besar yang dikenal dengan nama Kiai Baderan.[1] Baik ayah dan ibunya adalah keturunan bangsawan. Abdul Ngarip keturunan keluarga Kraton Surakarta yang memilih mengabdikan diri berdakwah agama Islam. Ibunya, R.A. Mursilah, merupakan saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana III. Sejak lahir, Kiai Mojo tidak pernah berada di dalam lingkungan kraton.

Secara garis silsilah keluarga, Kiai Modjo dan Pangeran Diponegoro memiliki ikatan kekerabatan. Diponegoro yang sempat bergelar Bendara Raden Mas Antawirya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir. Dengan demikian, Diponegoro adalah saudara sepupu Kiai Mojo. Sama seperti Kiai Madja, Diponegoro juga hidup di luar istana sejak kecil. Hubungan kekeluargaan antara keduanya semakin erat setelah Kiai Madja menikahi janda Pangeran Mangkubumi yang tidak lain adalah paman Diponegoro. Pangeran Diponegoro pun memanggil Kiai Madja dengan sapaan "paman" meski keduanya adalah saudara sepupu.[1]

Dakwah Islam

[sunting | sunting sumber]

Dasar pengetahuan agama Kiai Madja berasal dari ayahnya yang seorang ulama besar. Setelah menunaikan ibadah haji, Kiai Madja sempat bermukim di Mekkah. Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut. Bersama para santrinya, Kiai Madja menggalang gerakan anti-pemurtadan yang marak di kalangan bangsawan kraton. Kiai Madja juga punya cita-cita suatu hari nanti tanah Jawa akan dikelola dengan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dan itulah yang dijanjikan oleh Pangeran Diponegoro sehingga Kiai Mojo beserta para pengikutnya bersedia bergabung untuk menghadapi Belanda dalam Perang Jawa.[1]

Perang Jawa

[sunting | sunting sumber]
Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo di Kampung Jawa Tondano, Minahasa

Bergabung dengan Diponegoro

[sunting | sunting sumber]

Kyai Mojo bergabung sejak hari pertama pasukan Diponegoro tiba di Gua Selarong (terletak di Pajangan, Bantul, Yogyakarta) untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda. Ia juga menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten. Dalam upaya diplomasinya, Kyai Madja dengan tegas mengajukan sejumlah tuntutan. Ia juga berhasil mengubah paradigma perlawanan terhadap penjajah Belanda dari label "pemberontak" menjadi "perang sabil" atau Perang Suci melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam. Sejak bergabung dengan Diponegoro, Kiai Madja berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain), 15 orang guru mengaji, juga puluhan orang ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, Ponorogo, dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan.[1]

Sang Pangeran telah mengetahui Kiai Mojo bahkan sebelum Perang Jawa meletus, beliau telah membahas dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, saat mereka tiba di Selarong mengenai siapa ulama yang paling cocok untuk dipanggil ke Selarong guna memberi saran tentang cara mengangkat Al-Quran sebagai landasan utnuk perang sabil melawan kafir Belanda. Mangkubumi menyarankan agar memilih seorang di antara para ulama di Yogyakarta, tetapi sang Pangeran menolak, sebab dia kurang percaya kepada kapasitas mereka untuk memberi petunjuk berbasis Al-Quran. Alih-alih memanggil ulama dari Yogyakarta, Diponegoro memilih memanggil dua ulama yang dia kenal sebagai orang yang betul-betul "ajrih kepada tuhan" dan sangat hati-hati untuk bertindak atas perintah Al-Quran, yaitu Kiai Kuweron dari Pesantren Kuweron di Kedu Selatan, yang sudah lanjut usia, dan Kiai Mojo dari Pesantren Mojo dekat Delanggu, yang jauh lebih muda (sekitar 33 tahun saat Perang Jawa meletus).[2]

Perpecahan dengan Diponegoro

[sunting | sunting sumber]
Makam Kiai Mojo

Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, Kiai Madja mulai tidak sepaham ketika Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya. Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan. Salah satu gejalanya adalah ketika Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari Tuhan yang didapatnya saat bersemedi. Diponegoro juga mengklaim telah diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah di tanah Jawa. Pangeran Diponegoro, secara tersirat, menyamakan pengalaman spiritual yang diklaimnya dengan pengalaman Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi Rasul. Diponegoro juga mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus Rasullah terkait statusnya itu, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari malaikat Jibril. Hasilnya, Pangeran Diponegoro dilayani pengikutnya seperti seorang raja. Meskipun sering memakai jubah putih, namun ia juga punya koleksi pribadi berupa barang-barang mewah seperti pusaka, keris, kuda, dan lain-lain. Diponegoro juga sering menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, termasuk dipayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas dalam setiap kemunculannya.

Kiai Madja tidak sepaham dengan ekpresi yang dimunculkan sepupunya itu. Ia menilai Diponegoro telah mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan justru berambisi ingin mendirikan kerajaan tandingan di tanah Jawa. Hingga akhirnya, Diponegoro menyarankan agar Kiai Madja berhenti berperang. Kiai Madja akhirnya berinisiatif menemui Belanda untuk mengadakan perundingan demi berakhirnya perang. Dalam pertemuan pada 25 Oktober 1828 itu, Belanda bertanya kepada Kiai Madja tentang bagaimana jika Diponegoro diberi wilayah kekuasaan, dengan kata lain, Diponegoro akan mendapatkan jatah sebagai raja baru di Jawa. Kiai Madja lalu berkata jika itu yang terjadi, maka akan disambut dengan senang hati oleh Diponegoro dan perang pun akan usai. Pernyataan tersebut menyiratkan persepsi bahwa Kiai Madja memang menilai Diponegoro sedang mengincar gelar raja Jawa dan ingin memimpin kerajaan baru meskipun tidak dengan sistem pemerintahan Islam.[1]

Di sisi lain Pangeran Diponegoro juga jengkel dengan sikap Kiai Mojo yang takabur bahwa pangeran-pangeran Surakarta terdahulu belajar dibawah asuhan ayahnya dan dilanjutkan sekarang anak-anak mereka yang diasuh olehnya, dalam babad karyanya Pangeran Diponegoro merasa dikecilkan martabatnya karena Kiai Mojo mengatakan bahwa dikarenakan pengaruh dialah mereka mendapatkan dukungan dari keraton sunan takala perang makin lanjut. Dikarenakan kejengkelan ini, beberapa minggu penting lewat begitu saja, sehingga pada 15 Oktober 1826 tentara sang Pangeran yang berkekuatan 5000 prajurit mulai menyerang Surakarta, dia menderita kekalahan besar di Gawok tepat di sebelah barat kota itu. Saling menyalahkan yang sengit penyebab kekalahan tersebut. Secara khusu, Kiai Mojo dan keluarganya dituduh telah dengan nekat mendesak untuk menyerang ibu kota kesunanan demi kepentingan mereka sendiri. Apa yang sebelumnya hanya merupakan persaingan yang mengganggu, sekarang menjadi perselisihan terbuka.[3]

Penangkapan dan Pengasingan

[sunting | sunting sumber]
Makam Kiai Madja di Tondano, Sulawesi Utara
Makam Kiai Modjo di Kampung Jawa Tondano

Kiai Mojo berangkat lagi yang kedua kalinya ke Melangi pada 5-9 November 1928 dengan tujuan melakukan perundingan sendiri dan sepihak tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang pada negosiasi pertamanya pada 31 Okotober 1828 juga terjadi di Melangi, di sebuah pathok nagari (pusat untuk ulama ahli hukum fikih). Namun, perundingan tidak terjadi. Nyatanya, Pasukan Gerak Cepat Ketiga yang dikomandoi Letnan-Kolonel Joseph Le Bron de Vexela sudah ditugaskan untuk memastikan Kiai Mojo dan pasukannya tidak bisa lolos. Karenanya, ketika perundingan gagal pada 10 November dan diketahui bahwa bahwa sang Kiai sedang berusaha balik menuju ke Pajang melalui jalan pintas di lereng-lereng Gunung Merapi, dia dicegat di dekat bekas perkebunan Bawon Bouwens van der Boyen di Babadan pada 12 November. Dia diberi waktu 2 menit untuk memutuskan apakan menyerah tanpa syarat atau langsung bertempur dalam keadaan sulit (Le Bron sudah mengepung pasukan Mojo), Kiai Mojo memilih menyerah dengan 400 pasukannya.[4] Belanda sangat tegas kepada Kiai Mojo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang membelot ke pihak Belanda, dikarenakan Belanda menggangap Kiai Mojo sangat berbahaya dan paling bertanggung jawab karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya.

Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Mojo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga. Dalam penahanannya, Kiai Madja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Madja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.[1] Belanda sangat tegas kepada Kiai Mojo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang menyerah dikarenakan Belanda menggangap Kiai Mojo yang sangat berbahaya karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya. Baru pada tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.[1][5] Di tanah pembuangan, Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kiai Mojo dari pasukan Diponegoro.[1]

Kampung Jawa Tondano

[sunting | sunting sumber]

Semua pengikut Kiai Madja yang dibuang ke Tondano adalah laki-laki. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat, dan dari dua kebudayaan inilah lahir Kampung Jawa. Mereka mendirikan Masjid Al-Falah dan mengislamkan beberapa perempuan Minahasa dan menyisakan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga kini. Penerus keturunan Kiai Madja biasa memakai nama Kiay Modjo. Salah satunya adalah dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi, Julaiha Kiay Modjo. Ia berkata tak tahu lagi di mana orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo tinggal di Kampung Jawa Tondano. Banyak juga marga Kiay Modjo yang tinggal di Gorontalo.[6]

Etnis Jaton (Jawa Tondano)

[sunting | sunting sumber]

Dalam Fakta Sejarah Kepahlawanan Kyai Modjo (2017: 97) dijelaskan:

“Dari segi etnis, komunitas Jaton menjadi salah satu subetnis Minahasa sebagai hasil asimilasi melalui perkawinan antara pengikut Kyai Mojo dengan keke’ (gadis) anak para Walak sejak Januari 1831.”

Minahasaraad (dewan Minahasa) mengakui Jaton sebagai subetnis pada 1919 dan Jaton tunduk pada hukum adat Minahasa. Menurut Profesor Ishak Pulukadang, Jaton sebagai etnis maupun komunitas termasuk kawasan strategis provinsi dan sudah jadi Desa Budaya. Kampung Jaton kerap dikunjungi pejabat keturunan Jawa. Menurut warga setempat, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X juga pernah berkunjung ke sana.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i Raditya, Iswara N. "Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo". tirto.id. Diakses tanggal 2020-01-25. 
  2. ^ Carey, Peter (2022). Percakapan Dengan Diponegoro. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 73. 
  3. ^ Carey, Peter (2022). Percakapan dengan Diponegoro. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). hlm. 79. ISBN 978-602-481-900-2. 
  4. ^ Carey, Peter (2022). Percakapan dengan Diponegoro. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Grameda. hlm. 56–57. 
  5. ^ A. Nugroho, Yudi. "Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia". historia.id. Diakses tanggal 2020-01-25. 
  6. ^ Matanasi, Petrik. "Dari Pengikut Kyai Mojo, Lahirlah Kampung Muslim Jawa Tondano". tirto.id. Diakses tanggal 2020-01-25. 
  7. ^ Matanasi, Petrik. "Dari Pengikut Kyai Mojo, Lahirlah Kampung Muslim Jawa Tondano". tirto.id. Diakses tanggal 2022-04-26. 

Bacaan terkait

[sunting | sunting sumber]
  • Perang Sabil versus Perang Salib oleh Abdul Qadir Djaelani, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah (Jakarta), 1999 (ISBN 39015043636599 Invalid ISBN)
  • Dakwah Dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo, & Perang Sabil Sentot Ali Basah oleh Heru Basuki, Samodra Ilmu (Yogyakarta) 2007 (ISBN 9786028014014)
  • Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 oleh Peter Carey, Kompas Gramedia, 2007 (ISBN 9789797097998)
  • Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830 oleh Saleh As’ad Djamhari, Komunitas Bambu (Depok), 2014 (ISBN 9786029402421)
  • Percakapan Dengan Diponegoro oleh Peter Carey, KPG Kepustakaan Populer Gramedia (Jakarta), 2022 (ISBN 9786024819019)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]