Lompat ke isi

Kidung: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Menambahkan tag <references /> yang hilang
ObsidianAngkasa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(17 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Kidung''' adalah suatu bentuk [[Puisi|puisi lama]], terutama yang berkembang sejak era [[sastra Jawa Tengahan|sastra Jawa periode Tengahan]], yaitu dari masa [[Majapahit]] akhir. Sebagai puisi lama, bentuknya sangat terikat dengan [[metrum]] yang ketat, dalam mengatur pola [[sajak]] (rima) dalam suatu bait, jumlah [[suku kata]] (''syllable'') dalam satu baris, dan jumlah baris dalam satu bait.<ref>{{Cite book|last=Zoetmulder|first=P.J.|date=1983|url=https://archive.org/details/kalangwan-sastra-jawa-kuno-selayang-pandang-1983|title=Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang|location=Jakarta|publisher=Djambatan|isbn=|pages=|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|title=Ensiklopedia Gambelan Bali|last=Bandem|first=I Made.|date=1983|publisher=tidak tertulis|isbn=|location=Denpasar|pages=|url-status=live}}</ref> Dalam perkembangannya, khususnya di [[Bali]], pembacaan kidung juga melibatkan [[Alat musik|instrumen musik]] sehingga unsur lagu/nada berhubungan dalam suatu pola bait.<ref name=":0">{{Cite book|title=Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar).|last=Agastia|first=I.B.G.|date=1994|publisher=Yayasan Dharma Sastra.|isbn=|location=Denpasar|pages=|url-status=live}}</ref> Aturan semacam ini juga dikenal dalam bentuk puisi lama lain dalam [[sastra Jawa]], seperti [[kakawin]] dan [[macapat]]. Kidung juga dapat diartikan sebagai pola metrum.<ref>{{Cite book|last=Robson|first=S.O.|date=1971|title=Wangbang Wideya. A Javanese Pañji Romance.|location=Den Haag|publisher=Martinus Njhoff.|isbn=|pages=|url-status=live}}</ref>
'''Kidung''' merupakan kosakata bahasa Jawa tengahan dan termasuk dalam klasifikasi kata benda yang mempunyai padanan dengan ''tembang'' atau ''sekar'' 'nyanyian' dalam bahasa Jawa baru.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/48100094|title=Puisi Jawa struktur dan estetika|last=1953-|first=Saputra, Karsono H.,|date=2001|publisher=Wedatama Widya Sastra|isbn=9799653010|edition=Cet. 1|location=Jakarta|oclc=48100094}}</ref> Bentuk verba ''kidung'' dalam bahasa Jawa tengahan menjadi ''mangidung'' 'bernyanyi'. Dalam bahasa Jawa baru juga mengenal istilah ''kidung'' yang memiliki makna yang kurang lebih sama dengan ''kidung'' dalam bahasa Jawa tengahan, dan bentuk verbanya menjadi ''ngidung'' atau ''angidung''. Selain itu, terdapat perbedaan pengertian antara ''kidung'' sebagai suatu puisi yang berupa tembang dan ''sekar tengahan'' atau ''tengahan'' sebagai pola metrum<ref>Robson, S.O. (1971). Wangbang Wiideya. A Javanese Pañji Romance. The Hague: Martinus Njhoff.</ref>.


Secara [[Leksikologi|leksikal]], kata "kidung" berasal dari [[Bahasa Jawa|bahasa Jawa Pertengahan]] dan mempunyai padanan dengan ''[[tembang]]'' atau ''sekar'', bermakna 'nyanyian' dalam [[bahasa Jawa]] baru.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/48100094|title=Puisi Jawa struktur dan estetika|last=1953-|first=Saputra, Karsono H.,|date=2001|publisher=Wedatama Widya Sastra|isbn=9799653010|edition=Cet. 1|location=Jakarta|oclc=48100094}}</ref> Bentuk verba ''kidung'' dalam [[bahasa Jawa]] Tengahan menjadi ''mangidung'', 'bernyanyi'. Bahasa Jawa Baru juga mengenal istilah ''kidung'' yang memiliki makna yang kurang lebih sama dengan ''kidung'' dalam bahasa Jawa Tengahan, dan bentuk verbanya menjadi ''ngidung'' atau ''angidung''. Makna ini kemudian sering dipakai dalam penggunaan istilah "kidung" sebagai nyanyian pujian atau religius dalam bahasa Jawa moderen maupun bahasa Indonesia.
== Referensi ==

Perbedaan kidung dari kakawin yang paling jelas adalah penggunaan bahasanya. Kakawin menggunakan [[bahasa Jawa|bahasa Jawa Kuna]], sedangkan kidung menggunakan [[Bahasa Jawa|bahasa Jawa Pertengahan]]. Perbedaan lain yang juga tampak dalam absennya ''guru laghu'' (aturan nada) pada kidung, yang pada kakawin menjadi salah satu aturan yang baku.<ref>{{Cite web|url=https://sinaunjawani.blogspot.com/2016/01/pengertian-kidung_10.html?m=1|title=Pengertian Kidung|last=Yofi Sastra|first=|date=|website=Sinau Njawani (blog)|access-date=1 Mei 2020}}</ref> Perbedaan metrik tentu saja juga menjadi penciri penting dari kedua bentuk puisi tersebut.

Kidung dipakai untuk menyajikan cerita maupun bacaan ritual, khususnya dalam tradisi [[Agama Hindu Bali|Hindu Bali]]. Cerita-cerita rakyat warisan dari periode Jawa pra-Islam banyak diabadikan dalam bentuk kidung, seperti [[Cerita Panji|cerita-cerita Panji]] (misalnya dalam ''Kidung Malat'', ''Kidung Wangbang Wideya'', dan ''Kidung Waseng'') atau cerita-cerita lain sezaman, seperti ''Kidung Harsawijaya'', ''[[Kidung Sunda]]'', ''Kidung Sorandaka'', dan ''Kidung Ranggalawe'', Ada pula kidung yang mengolah cerita binatang sebagaimana tertuang dalam ''Tantri Kamandaka'' (misalnya dalam ''Kidung Tantri Pisacaharana'' dan ''Kidung Tantri Manduka Prakarana'').<ref name=":0" /> [[Petrus Josephus Zoetmulder|Zoetmulder]] pernah menuliskan'', d''alam tradisi sastra Jawa periode Tengahan, bentuk sastra kakawin tidak pernah dipakai untuk menyajikan cerita-cerita lokal; sebaliknya kidung dipakai untuk cerita-cerita lokal, meskipun ada kidung yang dipakai untuk menceritakan kisah-kisah sempalan/kembangan/carangan dari ''Mahabharata'', seperti ''Kidung Dewaruci'', ''Kidung Korawasrama'', [[Kakawin Sudamala|''Kidung Sudamala'']], dan [[Sri Tanjung|''Kidung Sri Tanjung'']].<ref name=":0" />

== Daftar sumber kutipan ==
{{reflist}}
{{reflist}}

[[Kategori:Puisi]]
[[Kategori:Sastra Jawa]]

Revisi terkini sejak 19 Mei 2022 09.20

Kidung adalah suatu bentuk puisi lama, terutama yang berkembang sejak era sastra Jawa periode Tengahan, yaitu dari masa Majapahit akhir. Sebagai puisi lama, bentuknya sangat terikat dengan metrum yang ketat, dalam mengatur pola sajak (rima) dalam suatu bait, jumlah suku kata (syllable) dalam satu baris, dan jumlah baris dalam satu bait.[1][2] Dalam perkembangannya, khususnya di Bali, pembacaan kidung juga melibatkan instrumen musik sehingga unsur lagu/nada berhubungan dalam suatu pola bait.[3] Aturan semacam ini juga dikenal dalam bentuk puisi lama lain dalam sastra Jawa, seperti kakawin dan macapat. Kidung juga dapat diartikan sebagai pola metrum.[4]

Secara leksikal, kata "kidung" berasal dari bahasa Jawa Pertengahan dan mempunyai padanan dengan tembang atau sekar, bermakna 'nyanyian' dalam bahasa Jawa baru.[5] Bentuk verba kidung dalam bahasa Jawa Tengahan menjadi mangidung, 'bernyanyi'. Bahasa Jawa Baru juga mengenal istilah kidung yang memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kidung dalam bahasa Jawa Tengahan, dan bentuk verbanya menjadi ngidung atau angidung. Makna ini kemudian sering dipakai dalam penggunaan istilah "kidung" sebagai nyanyian pujian atau religius dalam bahasa Jawa moderen maupun bahasa Indonesia.

Perbedaan kidung dari kakawin yang paling jelas adalah penggunaan bahasanya. Kakawin menggunakan bahasa Jawa Kuna, sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Perbedaan lain yang juga tampak dalam absennya guru laghu (aturan nada) pada kidung, yang pada kakawin menjadi salah satu aturan yang baku.[6] Perbedaan metrik tentu saja juga menjadi penciri penting dari kedua bentuk puisi tersebut.

Kidung dipakai untuk menyajikan cerita maupun bacaan ritual, khususnya dalam tradisi Hindu Bali. Cerita-cerita rakyat warisan dari periode Jawa pra-Islam banyak diabadikan dalam bentuk kidung, seperti cerita-cerita Panji (misalnya dalam Kidung Malat, Kidung Wangbang Wideya, dan Kidung Waseng) atau cerita-cerita lain sezaman, seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Sunda, Kidung Sorandaka, dan Kidung Ranggalawe, Ada pula kidung yang mengolah cerita binatang sebagaimana tertuang dalam Tantri Kamandaka (misalnya dalam Kidung Tantri Pisacaharana dan Kidung Tantri Manduka Prakarana).[3] Zoetmulder pernah menuliskan, dalam tradisi sastra Jawa periode Tengahan, bentuk sastra kakawin tidak pernah dipakai untuk menyajikan cerita-cerita lokal; sebaliknya kidung dipakai untuk cerita-cerita lokal, meskipun ada kidung yang dipakai untuk menceritakan kisah-kisah sempalan/kembangan/carangan dari Mahabharata, seperti Kidung Dewaruci, Kidung Korawasrama, Kidung Sudamala, dan Kidung Sri Tanjung.[3]

Daftar sumber kutipan

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. 
  2. ^ Bandem, I Made. (1983). Ensiklopedia Gambelan Bali. Denpasar: tidak tertulis. 
  3. ^ a b c Agastia, I.B.G. (1994). Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. 
  4. ^ Robson, S.O. (1971). Wangbang Wideya. A Javanese Pañji Romance. Den Haag: Martinus Njhoff. 
  5. ^ 1953-, Saputra, Karsono H., (2001). Puisi Jawa struktur dan estetika (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. ISBN 9799653010. OCLC 48100094. 
  6. ^ Yofi Sastra. "Pengertian Kidung". Sinau Njawani (blog). Diakses tanggal 1 Mei 2020.