Lompat ke isi

Ratu (gelar): Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Membalikkan revisi 26076231 oleh Ruanganpribadiku (bicara) seharusnya menggunakan keturunan alih-alih peranakan, raja dan ratu sebaiknya tidak menggunakan r kapital kecuali nama gelar
Tag: Pembatalan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(32 revisi perantara oleh 21 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Wiktionary}}
{{about|gelar kebangsawanan|kegunaan lain|Ratu}}
{{untuk|kegunaan lain|Ratu (disambiguasi)}}
'''Ratu''' atau '''Rani''' adalah gelar kebangsawanan di Indonesia dan bisa merujuk ke dua hal, yakni wanita yang memimpin Kerajaan atau istri dari Raja. Gelar yang sepadan dengan Ratu untuk pria adalah [[Raja (gelar)|Raja]]. Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki|Penguasa Monarki]], wilayah kekuasaan Ratu disebut dengan '''Kerajaan'''.


Gelar selain Ratu yang dapat merujuk ke Penguasa Monarki wanita adalah [[Maharani]] (Kemaharajaan atau Kekaisaran) dan [[Sultanah]] (Kesultanan).
'''Ratu''' adalah gelar kebangsawanan di Indonesia dan dapat merujuk kepada dua hal, yaitu wanita yang memimpin kerajaan atau istri dari raja. Gelar yang sepadan dengan ratu untuk pria adalah '''[[Raja (gelar)|Raja]]'''. Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki]], wilayah kekuasaan ratu disebut dengan [[kerajaan|'''kerajaan''']].

Gelar selain ratu yang dapat merujuk kepada penguasa monarki wanita adalah '''[[maharani]]''' (dalam kemaharajaan atau kekaisaran) dan '''[[sultanah]]''' (dalam kesultanan).


== Makna ==
== Makna ==


Istilah ratu masih berkerabat dengan istilah Datu dan Latu (latuhalat = ratu barat). Istilah ratu sesungguhnya merupakan bahasa asli [[Nusantara]], khususnya bahasa [[Jawa Kuno]]. Ratu berarti penguasa atau pemimpin suatu kelompok dan gelar ini tidak memandang jenis kelamin. [[Prasasti Canggal]] misalnya, menyebut raja pertama [[Mataram Hindu]] sebagai "Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya". Dalam sejarah [[Kerajaan Singhasari]] terdapat nama [[Mahisa Campaka]] yang menjabat sebagai "Ratu Angabhaya". Baik [[Sanjaya]] maupun [[Mahisa Campaka]] adalah nama laki-laki. Namun keduanya masing-masing bergelar "ratu". Hal itu menunjukkan kalau "ratu"tidak harus identik dengan perempuan.
Istilah Ratu masih berkerabat dengan istilah Datu dan Latu (Latuhalat = Ratu Barat). Istilah Ratu sesungguhnya merupakan bahasa asli [[Nusantara]], khususnya bahasa [[Jawa Kuno]]. Ratu berarti penguasa atau pemimpin suatu kelompok dan gelar ini tidak memandang jenis kelamin. [[Prasasti Canggal]] misalnya, menyebut raja pertama [[Mataram Hindu]] sebagai "Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya". Dalam sejarah [[Kerajaan Singhasari]] terdapat nama [[Mahisa Campaka]] yang menjabat sebagai "Ratu Angabhaya". Entah [[Sanjaya]] ataupun [[Mahisa Campaka]] adalah nama lelaki. Namun keduanya masing-masing bergelar "Ratu". Hal itu menunjukkan kalau "Ratu" tidak harus identik dengan perempuan.


Seiring berjalannya waktu, kebudayaan [[Hindu]] semakin berkembang di bumi [[Indonesia]]. Istilah "raja" yang berasal dari [[bahasa Sanskerta]] mulai menggantikan penggunaan gelar ratu. Istilah ratu bergeser menjadi terkesan [[feminin]] dan bersinonim dengan '''rani'''.
Seiring berjalannya waktu, kebudayaan [[Hindu]] semakin berkembang di bumi [[Indonesia]]. Istilah "Raja" yang berasal dari [[bahasa Sanskerta]] mulai menggantikan pemakaian gelar Ratu. Istilah Ratu bergeser menjadi terkesan [[Feminin]] dan sinonim dengan '''Rani'''.


Tidak diketahui dengan pasti kapan istilah ratu mulai dipakai kaum perempuan. Naskah [[Babad Tanah Jawi]] yang ditulis pada abad ke-17 mulai membedakan penggunaan gelar jabatan, yaitu untuk perempuan digunakan istilah ratu, misalnya [[Ratu Kalinyamat]] atau [[Ratu Pembayun]], sedangkan untuk laki-laki digunakan istilah "sultan", "prabu", "pangeran", "panembahan", atau "sunan".
Tidak diketahui dengan pasti kapan istilah Ratu mulai dipakai untuk perempuan. Naskah [[Babad Tanah Jawi]] yang ditulis pada abad ke-17 mulai bedakan pemakaian gelar jabatan, yakni untuk perempuan dipakai istilah Ratu, misalnya [[Ratu Kalinyamat]] atau [[Ratu Pembayun]], sedangkan untuk lelaki dipakai istilah "Sultan", "Prabu", "Pangeran", "Panembahan" atau "Sunan".


Akan tetapi tidak sepenuhnya istilah ratu tergeser oleh raja. Meskipun raja-raja [[Jawa]] zaman sekarang menggunakan gelar [[sultan]] atau [[sunan]], namun [[bahasa Jawa]] untuk istilah [[istana]] tetap menggunakan kata [[keraton]] yang berasal dari kata "ke-ratu-an", yang berarti tempat tinggal ratu.
Tetapi tidak sepenuhnya istilah Ratu tergeser oleh Raja. Meskipun Para Raja [[Jawa]] zaman sekarang memakai gelar [[Sultan]] atau [[Sunan]], tetapi [[bahasa Jawa]] untuk istilah [[istana]] tetap memakai kata [[Keraton]] yang berasal dari kata "ke-ratu-an", yang berarti tempat tinggal Ratu.


== Penguasa monarki ==
== Penguasa monarki ==
Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki]], ratu adalah padanan dari gelar [[Raja (gelar)|raja]], dan merujuk pada wanita yang memimpin kerajaan. Sepanjang sejarah, jumlah ratu jauh lebih sedikit daripada raja. Hal ini karena banyak kebudayaan di masa lalu yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pria.
Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki|Penguasa Monarki]], Ratu adalah padanan dari gelar [[Raja (gelar)|Raja]] dan merujuk ke wanita yang memimpin Kerajaan. Sepanjang sejarah, jumlah Ratu jauh lebih sedikit daripada Raja. Hal ini karena banyak kebudayaan masa lampau yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pria.


Dalam [[hukum Sali]] yang dianut banyak monarki Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta.<ref>Cave, Roy and Coulson, Herbert. ''A Source Book for Medieval Economic History'', Biblo and Tannen, New York (1965) p.&nbsp;336</ref> Selain itu, terdapat pula prinsip yang dianut kebanyakan masyarakat bahwa kepemilikan wanita akan lebur saat menikah dengan kepemilikan suaminya, dan hal ini menjadikan wanita yang telah menikah memiliki hak kepemilikan pribadi yang sangat terbatas.<ref name="Emanuel">{{cite book|title=Property |last=Emanuel |first=Steven L. |date=2004 |publisher=Aspen Publishers, inc. |location=New York |pages=121}}</ref> Kepemilikan ini termasuk dalam masalah gelar. Saat seorang wanita naik takhta sebagai ratu dan kemudian menikah, suaminya akan menjadi raja dan memiliki wewenang untuk mengatur kerajaan, menjadikan sang suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istrinya. Prinsip ini disebut ''jure uxoris''. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengecualian dibuat. Saat [[Mary I dari Inggris|Mary I]] yang saat itu menjadi Ratu Inggris menikah dengan [[Felipe II dari Spanyol|Felipe II]], Raja Spanyol, dibuat perjanjian agar kekuasaan Felipe di Inggris tidak terlalu kuat mengungguli Mary. Saudari sekaligus penerus Mary, [[Elizabeth I dari Inggris|Elizabeth I]], menghindari polemik ini dengan tidak menikah seumur hidupnya. Saat gerakan hak asasi wanita semakin meningkat, wanita pada akhirnya memiliki kepemilikan atas namanya sendiri di masa modern ini. Terkait gelar, saat wanita menjadi ratu, suaminya akan dianugerahi gelar pangeran, dan bukan raja sebagaimana di abad pertengahan, menghindari agar kedudukan sang pria tidak lebih tinggi dari ratu itu sendiri. Di masa modern ini, hampir semua monarki Eropa telah mengubah aturan pewarisan takhtanya menjadi primogenitur mutlak, yang menyatakan bahwa takhta akan diwariskan kepada anak pertama tanpa memandang jenis kelamin.
Dalam [[hukum Sali]] yang dianut banyak Monarki di Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta.<ref>Cave, Roy and Coulson, Herbert. ''A Source Book for Medieval Economic History'', Biblo and Tannen, New York (1965) p.&nbsp;336</ref> Selain itu, terdapat pula prinsip yang dianut kebanyakan masyarakat bahwa kepemilikan wanita akan lebur saat menikah dengan kepemilikan suaminya dan hal ini menjadikan wanita yang telah menikah memiliki hak kepemilikan pribadi yang sangat terbatas.<ref name="Emanuel">{{cite book|title=Property |last=Emanuel |first=Steven L. |date=2004 |publisher=Aspen Publishers, inc. |location=New York |pages=121}}</ref> Kepemilikan ini termasuk dalam masalah gelar. Saat seorang wanita naik takhta sebagai Ratu dan kemudian menikah, suaminya akan menjadi Raja dan memiliki wewenang untuk mengatur kerajaan, menjadikan sang suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istrinya. Prinsip ini disebut ''jure uxoris''. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengecualian dibuat. Saat [[Mary I dari Inggris|Mary I]] yang saat itu menjadi Ratu Inggris menikah dengan [[Felipe II dari Spanyol|Felipe II]], Raja Spanyol, dibuat perjanjian agar kekuasaan Felipe di Inggris tidak terlalu kuat mengungguli Mary. Saudari sekaligus penerus Mary, [[Elizabeth I dari Inggris|Elizabeth I]], hindari polemik ini dengan tidak menikah seumur hidupnya. Saat gerakan hak asasi wanita semakin meningkat, akhirnya wanita memiliki kepemilikan untuk namanya sendiri masa sekarang. Terkait gelar, saat wanita menjadi Ratu, suaminya akan dianugerahi gelar Pangeran dan bukan Raja sebagaimana di abad pertengahan, hindari agar kedudukan sang pria tidak lebih tinggi dari Ratu itu sendiri. Di masa modern ini, hampir semua Monarki di Eropa telah ubah aturan pewarisan takhtanya menjadi primogenitur mutlak yang menyatakan bahwa takhta akan diwariskan ke anak kesatu tanpa memandang jenis kelamin.


Di Asia Timur sendiri, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi penguasa monarki. Jepang memiliki delapan wanita yang menjadi Maharani. Namun saat Jepang mengadopsi sistem pewarisan takhta Prusia pada [[Zaman Meiji]], wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi Maharani. Saat Kerajaan Silla di bawah kepemimpinan [[Seondeok dari Silla|Ratu Seondeok]], salah satu pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak dapat memimpin negara" (女主不能善理).<ref>* [http://english.historyfoundation.or.kr/?sub_num=32 (7. Silla and Wa) - ''Bidam''] {{webarchive |url=https://web.archive.org/web/20111005152946/http://english.historyfoundation.or.kr/?sub_num=32 |date=October 5, 2011 }}</ref>
Di Asia Timur, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi Penguasa Monarki. Jepang memiliki delapan wanita yang menjadi Maharani. Namun saat Jepang adopsi sistem pewarisan takhta Prusia di [[Zaman Meiji]], wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi Maharani. Saat Kerajaan Silla bawah kepemimpinan [[Seondeok dari Silla|Ratu Seondeok]], satu dari pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak bisa memimpin negara" (女主不能善理).<ref>* [http://english.historyfoundation.or.kr/?sub_num=32 (7. Silla and Wa) - ''Bidam''] {{webarchive |url=https://web.archive.org/web/20111005152946/http://english.historyfoundation.or.kr/?sub_num=32 |date=October 5, 2011 }}</ref>


Pada abad ketiga belas, dunia Islam menyaksikan dua wanita yang menjadi penguasa monarki. Di [[Kesultanan Delhi]], Sultan Iltutmish menjadikan putrinya, Raziya, putri mahkota, suatu hal yang tidak lazim di masa itu. Para bangsawan sepeninggal Iltutmish mengabaikan pencalonan itu dan memilih Rukn ud din Firuz sebagai sultan. Namun terbukti bahwa Firuz tidak cocok untuk menjadi seorang penguasa, terlebih saat itu ibunya justru memegang kendali negara dengan tangan besi. Sepeninggal Firuz, barulah Raziya dinobatkan sebagai sultan. Di Mesir, Syajar Ad Durr yang merupakan janda Sultan Mesir terdahulu naik takhta pada 1250. Namun Khalifah Al-Mus'tashim tidak memberi restu terhadapnya, sehingga takhta selanjutnya diberikan kepada Izzuddin Aybak yang kemudian menjadi suami Syajar Ad Durr<ref>Al-Maqrizi, p.463/vol.1</ref>. Meskipun begitu, beberapa kesultanan di luar Timur Tengah cenderung lebih longgar terhadap kepemimpinan wanita. Maladewa memiliki lima sultanah, [[Kesultanan Samudera Pasai|Samudera Pasai]] memiliki satu sultanah, dan [[Kesultanan Aceh|Aceh Darussalam]] pernah diperintah empat sultanah berturut-turut.
Pada abad ketiga belas, dunia Islam menyaksikan dua wanita yang menjadi Penguasa Monarki. Di [[Kesultanan Delhi]], Sultan Iltutmish menjadikan putri dia, Raziya, Pangerani/Puteri Mahkota, suatu hal yang tidak lazim di masa itu. Para bangsawan sepeninggal Iltutmish abaikan pencalonan itu dan memilih Rukn ud din Firuz sebagai Sultan. Namun terbukti bahwa Firuz tidak cocok untuk menjadi seorang penguasa, terlebih waktu itu ibu dia justru memegang kontrol negara dengan tangan besi. Sepeninggal Firuz, barulah Raziya dinobatkan sebagai Sultan. Di Mesir, Syajar Ad Durr yang merupakan Janda Sultan Mesir terdahulu naik takhta di 1250. Namun Khalifah Al-Mus'tashim tidak beri restu ke dia, sehingga takhta selanjutnya diberikan ke Izzuddin Aybak yang kemudian menjadi suami Syajar Ad Durr.<ref>Al-Maqrizi, p.463/vol.1</ref> Meskipun begitu, beberapa Kesultanan luar Timur Tengah cenderung lebih longgar terhadap kepemimpinan wanita. Maladewa memiliki lima Sultanah, [[Kesultanan Samudera Pasai|Samudera Pasai]] memiliki satu Sultanah dan [[Kesultanan Aceh|Aceh Darussalam]] pernah diperintah empat Sultanah berturut-turut.


Meskipun demikian, tidak setiap monarki di masa lampau membatasi kepemimpinan wanita. Di Majapahit, [[Tribhuwana Wijayatunggadewi|Tribhuwana Tunggadewi]] dapat mewarisi takhta menjadi maharani saat saudaranya mangkat tanpa memiliki keturunan.
Meskipun demikian, tidak setiap Monarki masa lampau batasi kepemimpinan wanita. Di Majapahit, [[Tribhuwana Wijayatunggadewi|Tribhuwana Tunggadewi]] bisa mewarisi takhta menjadi Maharani saat saudaranya mangkat tanpa memiliki keturunan.


== Gelar ratu dalam berbagai bahasa ==
== Gelar ratu dalam berbagai bahasa ==
Ini adalah beberapa gelar asing yang dapat disepadankan dengan gelar ratu dalam konteknya sebagai penguasa monarki dalam bahasa Indonesia.
Ini adalah beberapa gelar asing yang bisa disepadankan dengan gelar Ratu dalam konteksnya sebagai Penguasa Monarki dalam bahasa Indonesia.


=== Eropa ===
=== Eropa ===
Sebagaimana gelar kebangsawanan Eropa yang lain untuk wanita, gelar untuk ratu di sini juga dapat digunakan untuk permaisuri raja.
Sebagaimana gelar kebangsawanan Eropa yang lain untuk wanita, gelar untuk Ratu juga bisa dipakai untuk Permaisuri Raja.
* ''Regina'', ratu dalam [[bahasa Latin]]. Gelar ini kemudian diturunkan ke dalam beberapa bahasa, di antaranya:
* ''Regina'', Ratu dalam [[bahasa Latin]]. Gelar ini lalu diturunkan ke beberapa bahasa, seperti:
** ''Reina'' dalam [[bahasa Spanyol]]
** ''Reina'' dalam [[bahasa Spanyol]]
** ''Reine'' dalam [[Bahasa Perancis|bahasa Prancis]]
** ''Reine'' dalam [[bahasa Prancis]]
* ''Queen'', Ratu dalam [[bahasa Inggris]] dan secara spesifik, gelar ''Queen'' dibagi menjadi dua yaitu Ratu yang punya kekuasaan dan kedaulatan untuk negara ataupun politik yang disebut ''Queen Regnant'', sedangkan gelar Ratu yang hanya sebatas istri Raja dan tidak punya kedaulatan disebut ''Queen Consort'' ([[permaisuri|Ratu Permaisuri]]). Gelar ini diturunkan dari bahasa Jerman ''*kwoeniz'' atau ''*kwenon'' yang bermakna "istri". Awalnya gelar ini dipakai oleh Permaisuri Raja, lalu dipakai oleh Ratu. Gelar untuk Raja di beberapa [[rumpun bahasa Jermanik]] yang lain, seperti:

* ''Queen'', ratu dalam [[bahasa Inggris]]. Gelar ini diturunkan dari bahasa Jerman ''*kwoeniz'' atau ''*kwenon'' yang bermakna "istri". Awalnya gelar ini digunakan oleh permaisuri raja, tetapi kemudian juga digunakan oleh ratu. Gelar untuk raja dalam beberapa [[rumpun bahasa Jermanik]] yang lain di antaranya:
** ''Dronning'' dalam [[bahasa Norwegia]] dan [[bahasa Denmark]]
** ''Dronning'' dalam [[bahasa Norwegia]] dan [[bahasa Denmark]]
** ''Drottning'' dalam [[bahasa Swedia]]
** ''Drottning'' dalam [[bahasa Swedia]]
** ''Koningin'' dalam [[bahasa Belanda]]
** ''Koningin'' dalam [[bahasa Belanda]]
* [[Tsarina]] ([[Aksara sirilik|aksara Sirilik]]: цари́ца) dalam [[bahasa Rusia]] (dan bermacam ejaannya dalam [[rumpun bahasa Slavia]] yang lain), bentuk wanita dari [[tsar]]
* [[Tsarina]] ([[Aksara kiril|aksara Kiril]]: цари́ца) dalam [[bahasa Rusia]] (dan bermacam ejaannya dalam [[rumpun bahasa Slavia]] yang lain), bentuk wanita dari [[Tsar]].
* ''[[Basileus|Basillissa]]'' ([[Alfabet Yunani|aksara Yunani]]: Βασίλισσα), gelar [[bahasa Yunani]] yang merupakan bentuk wanita dari gelar ''basileus'' (βασιλεύς)
* ''[[Basileus|Basillissa]]'' ([[Alfabet Yunani|aksara Yunani]]: Βασίλισσα), gelar [[bahasa Yunani]] yang merupakan bentuk wanita dari gelar ''basileus'' (βασιλεύς).


=== Timur Tengah ===
=== Timur Tengah ===
* [[Firaun]], gelar yang umumnya merujuk kepada pemimpin [[Mesir Kuno]] dari zaman [[Dinasti pertama Mesir|Dinasti Pertama]] (sekitar 3150 SM) sampai pendudukan Makedonia pada tahun 350 SM<ref>{{cite book|title=World History: Patterns of Interaction|last2=Black|first2=Linda|last3=Krieger|first3=Larry S.|last4=Naylor|first4=Phillip C.|last5=Shabaka|first5=Dahia Ibo|publisher=[[McDougal Littell]]|year=1999|isbn=0-395-87274-X|location=Evanston, IL|last1=Beck|first1=Roger B.}}</ref>. Dapat disandang oleh pria (raja) maupun wanita (ratu).
* [[Firaun]], gelar yang umumnya merujuk kepada pemimpin [[Mesir Kuno]] dari zaman [[Dinasti pertama Mesir|Dinasti Pertama]] (sekitar 3150 SM) sampai penghunian Makedonia di 350 SM.<ref>{{cite book|title=World History: Patterns of Interaction|url=https://archive.org/details/mcdougallittellw00beck|last2=Black|first2=Linda|last3=Krieger|first3=Larry S.|last4=Naylor|first4=Phillip C.|last5=Shabaka|first5=Dahia Ibo|publisher=[[McDougal Littell]]|year=1999|isbn=0-395-87274-X|location=Evanston, IL|last1=Beck|first1=Roger B.}}</ref> Bisa disandang oleh pria (Raja) ataupun wanita (Ratu).
* ''Malikah'' ([[abjad Arab]]: ملكة), Ratu dalam [[bahasa Arab]]. Gelar ini pernah dipakai saat Syajar Ad Durr memerintah Mesir di 1250. Gelar ini juga dipakai oleh Permaisuri Raja.

** ''Malkat'' ([[abjad Ibrani]]: מלכת), Ratu dalam [[bahasa Ibrani]].
* ''Malikah'' ([[Abjad Arab|abjad Arab:]] ملكة‎‎), ratu dalam [[bahasa Arab]]. Gelar ini pernah digunakan saat Syajar Ad Durr memerintah Mesir pada tahun 1250. Gelar ini juga digunakan oleh permaisuri raja.
** ''Malkat'' ([[abjad Ibrani]]: מלכת), ratu dalam [[bahasa Ibrani]].


=== Asia Timur ===
=== Asia Timur ===
Berbeda dengan gelar di Eropa, di Asia Timur, penguasa wanita dan istri penguasa pria memiliki gelar yang berbeda. Gelar penguasa wanita cenderung sama dengan penguasa pria.
Beda dengan gelar di Eropa, Asia Timur, penguasa wanita dan istri penguasa pria memiliki gelar yang berbeda. Gelar penguasa wanita cenderung sama dengan penguasa pria.
* ''Yeowang'' ([[hanja]]: 女王, [[hangeul]]: 여왕), ratu dalam [[bahasa Korea]]. Di Korea, pernah terdapat tiga orang ratu yang memerintah. Ratu juga bisa menggunakan gelar ''wang'', gelar yang digunakan raja.
* ''Yeowang'' ([[hanja]]: 女王, [[hangeul]]: 여왕), Ratu dalam [[bahasa Korea]]. Di Korea, pernah terdapat tiga orang Ratu yang memerintah. Ratu juga bisa memakai gelar ''Wang'', gelar yang dipakai raja.
* ''Joō'' ([[kanji]]: 女王), ratu dalam [[bahasa Jepang]]. Di Jepang, gelar ini juga digunakan secara resmi untuk merujuk pada putri yang merupakan kerabat jauh Kaisar Jepang.
* ''Joō'' ([[kanji]]: 女王), Ratu dalam [[bahasa Jepang]]. Di Jepang, gelar ini juga dipakai secara resmi untuk merujuk ke putri yang merupakan kerabat jauh Kaisar Jepang.


== Daftar ratu sekarang ==
== Daftar ratu sekarang ==
Tidak ada
Saat ini, hanya ada dua wanita yang berkedudukan sebagai ratu dalam konteksnya sebagai penguasa monarki.
{| class="wikitable sortable" width=75%
|+
|-
! Ratu !! Negara !! Sejak Tanggal
|-
| rowspan="16" align=center | '''[[Elizabeth II]]'''<br />[[Berkas:Elizabeth II, Buckingham Palace, 07 Mar 2006 crop.jpeg|135px]] || {{flag|Inggris Raya}} || rowspan="4" | 6 Februari 1952
|-
| {{flag|Kanada}}
|-
| {{flag|Australia}}
|-
| {{flag|Selandia Baru}}
|-
| {{flag|Jamaika}} || 6 Agustus 1962
|-
| {{flag|Barbados}} || 30 November 1966
|-
| {{flag|Bahama}} || 10 Juli 1973
|-
| {{flag|Grenada}} || 7 Februari 1974
|-
| {{flag|Papua Nugini}} || 16 September 1975
|-
| {{flag|Kepulauan Solomon}} || 7 Juli 1978
|-
| {{flag|Tuvalu}} || 1 Oktober 1978
|-
| {{flag|Saint Lucia}} || 22 Februari 1979
|-
| {{flag|Saint Vincent dan Grenadine}} || 27 Oktober 1979
|-
| {{flag|Belize}} || 21 September 1981
|-
| {{flag|Antigua dan Barbuda}} || 1 November 1981
|-
| {{flag|Saint Kitts dan Nevis}} || 19 September 1983
|-
| align=center | '''[[Margrethe II of Denmark|Margrethe II]]'''<br />[[Berkas:Drottning Margrethe av Danmark.jpg|125px]] || {{flag|Denmark}} || 14 Januari 1972
|}


== Permaisuri ==
== Permaisuri ==
Baris 100: Baris 59:


== Gelar kebangsawanan ==
== Gelar kebangsawanan ==
Di [[Banten]], keturunan [[bangsawan]] perempuan yang masih memiliki jalur keturunan dari [[Kesultanan Banten]] menggunakan gelar ratu. Di [[daerah Banjar]], anak-anak perempuan raja yang berkuasa menyandang gelar ratu, misalnya [[Ratu Intan]], [[Ratu Zaleha]] dan sebagainya, dan untuk anak lelaki raja bergelar pangeran. Gelar ratu juga pernah dipakai sebagai nama lain untuk sultan, misalnya Ratu Lama, [[Ratu Anum]], tetapi belakangan lebih populer dipakai [[Sultan]] atau [[Panembahan]]. Di [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kasunanan Surakarta]], selain digunakan untuk permaisuri atau istri utama raja atau sultan, ratu juga digunakan untuk putri raja dengan permaisuri tatkala sudah dewasa.
Di [[Cirebon]] dan [[Banten]], keturunan [[bangsawan]] perempuan yang masih memiliki jalur keturunan dari [[Sultan]] menggunakan gelar ratu. Di [[daerah Banjar]], anak-anak perempuan raja yang berkuasa menyandang gelar ratu, misalnya [[Ratu Intan]], [[Ratu Zaleha]] dan sebagainya, dan untuk anak lelaki raja bergelar pangeran. Gelar ratu juga pernah dipakai sebagai nama lain untuk sultan, misalnya Ratu Lama, [[Ratu Anum]], tetapi belakangan lebih populer dipakai [[Sultan]] atau [[Panembahan]]. Di [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kasunanan Surakarta]], selain digunakan untuk permaisuri atau istri utama raja atau sultan, ratu juga digunakan untuk putri raja dengan permaisuri tatkala sudah dewasa.


== Catatan kaki ==
== Catatan kaki ==
Baris 115: Baris 74:
* [[Maharani]]
* [[Maharani]]
* [[Raja (gelar)|Raja]]
* [[Raja (gelar)|Raja]]
* [[Raja (gelar dari Maluku)|Raja]]
* [[Permaisuri]]
* [[Permaisuri]]
* [[Ibu suri]]
* [[Ibu suri]]

Revisi terkini sejak 23 Juli 2024 04.34

Ratu atau Rani adalah gelar kebangsawanan di Indonesia dan bisa merujuk ke dua hal, yakni wanita yang memimpin Kerajaan atau istri dari Raja. Gelar yang sepadan dengan Ratu untuk pria adalah Raja. Dalam konteksnya sebagai Penguasa Monarki, wilayah kekuasaan Ratu disebut dengan Kerajaan.

Gelar selain Ratu yang dapat merujuk ke Penguasa Monarki wanita adalah Maharani (Kemaharajaan atau Kekaisaran) dan Sultanah (Kesultanan).

Istilah Ratu masih berkerabat dengan istilah Datu dan Latu (Latuhalat = Ratu Barat). Istilah Ratu sesungguhnya merupakan bahasa asli Nusantara, khususnya bahasa Jawa Kuno. Ratu berarti penguasa atau pemimpin suatu kelompok dan gelar ini tidak memandang jenis kelamin. Prasasti Canggal misalnya, menyebut raja pertama Mataram Hindu sebagai "Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya". Dalam sejarah Kerajaan Singhasari terdapat nama Mahisa Campaka yang menjabat sebagai "Ratu Angabhaya". Entah Sanjaya ataupun Mahisa Campaka adalah nama lelaki. Namun keduanya masing-masing bergelar "Ratu". Hal itu menunjukkan kalau "Ratu" tidak harus identik dengan perempuan.

Seiring berjalannya waktu, kebudayaan Hindu semakin berkembang di bumi Indonesia. Istilah "Raja" yang berasal dari bahasa Sanskerta mulai menggantikan pemakaian gelar Ratu. Istilah Ratu bergeser menjadi terkesan Feminin dan sinonim dengan Rani.

Tidak diketahui dengan pasti kapan istilah Ratu mulai dipakai untuk perempuan. Naskah Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-17 mulai bedakan pemakaian gelar jabatan, yakni untuk perempuan dipakai istilah Ratu, misalnya Ratu Kalinyamat atau Ratu Pembayun, sedangkan untuk lelaki dipakai istilah "Sultan", "Prabu", "Pangeran", "Panembahan" atau "Sunan".

Tetapi tidak sepenuhnya istilah Ratu tergeser oleh Raja. Meskipun Para Raja Jawa zaman sekarang memakai gelar Sultan atau Sunan, tetapi bahasa Jawa untuk istilah istana tetap memakai kata Keraton yang berasal dari kata "ke-ratu-an", yang berarti tempat tinggal Ratu.

Penguasa monarki

[sunting | sunting sumber]

Dalam konteksnya sebagai Penguasa Monarki, Ratu adalah padanan dari gelar Raja dan merujuk ke wanita yang memimpin Kerajaan. Sepanjang sejarah, jumlah Ratu jauh lebih sedikit daripada Raja. Hal ini karena banyak kebudayaan masa lampau yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pria.

Dalam hukum Sali yang dianut banyak Monarki di Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta.[1] Selain itu, terdapat pula prinsip yang dianut kebanyakan masyarakat bahwa kepemilikan wanita akan lebur saat menikah dengan kepemilikan suaminya dan hal ini menjadikan wanita yang telah menikah memiliki hak kepemilikan pribadi yang sangat terbatas.[2] Kepemilikan ini termasuk dalam masalah gelar. Saat seorang wanita naik takhta sebagai Ratu dan kemudian menikah, suaminya akan menjadi Raja dan memiliki wewenang untuk mengatur kerajaan, menjadikan sang suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istrinya. Prinsip ini disebut jure uxoris. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengecualian dibuat. Saat Mary I yang saat itu menjadi Ratu Inggris menikah dengan Felipe II, Raja Spanyol, dibuat perjanjian agar kekuasaan Felipe di Inggris tidak terlalu kuat mengungguli Mary. Saudari sekaligus penerus Mary, Elizabeth I, hindari polemik ini dengan tidak menikah seumur hidupnya. Saat gerakan hak asasi wanita semakin meningkat, akhirnya wanita memiliki kepemilikan untuk namanya sendiri masa sekarang. Terkait gelar, saat wanita menjadi Ratu, suaminya akan dianugerahi gelar Pangeran dan bukan Raja sebagaimana di abad pertengahan, hindari agar kedudukan sang pria tidak lebih tinggi dari Ratu itu sendiri. Di masa modern ini, hampir semua Monarki di Eropa telah ubah aturan pewarisan takhtanya menjadi primogenitur mutlak yang menyatakan bahwa takhta akan diwariskan ke anak kesatu tanpa memandang jenis kelamin.

Di Asia Timur, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi Penguasa Monarki. Jepang memiliki delapan wanita yang menjadi Maharani. Namun saat Jepang adopsi sistem pewarisan takhta Prusia di Zaman Meiji, wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi Maharani. Saat Kerajaan Silla bawah kepemimpinan Ratu Seondeok, satu dari pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak bisa memimpin negara" (女主不能善理).[3]

Pada abad ketiga belas, dunia Islam menyaksikan dua wanita yang menjadi Penguasa Monarki. Di Kesultanan Delhi, Sultan Iltutmish menjadikan putri dia, Raziya, Pangerani/Puteri Mahkota, suatu hal yang tidak lazim di masa itu. Para bangsawan sepeninggal Iltutmish abaikan pencalonan itu dan memilih Rukn ud din Firuz sebagai Sultan. Namun terbukti bahwa Firuz tidak cocok untuk menjadi seorang penguasa, terlebih waktu itu ibu dia justru memegang kontrol negara dengan tangan besi. Sepeninggal Firuz, barulah Raziya dinobatkan sebagai Sultan. Di Mesir, Syajar Ad Durr yang merupakan Janda Sultan Mesir terdahulu naik takhta di 1250. Namun Khalifah Al-Mus'tashim tidak beri restu ke dia, sehingga takhta selanjutnya diberikan ke Izzuddin Aybak yang kemudian menjadi suami Syajar Ad Durr.[4] Meskipun begitu, beberapa Kesultanan luar Timur Tengah cenderung lebih longgar terhadap kepemimpinan wanita. Maladewa memiliki lima Sultanah, Samudera Pasai memiliki satu Sultanah dan Aceh Darussalam pernah diperintah empat Sultanah berturut-turut.

Meskipun demikian, tidak setiap Monarki masa lampau batasi kepemimpinan wanita. Di Majapahit, Tribhuwana Tunggadewi bisa mewarisi takhta menjadi Maharani saat saudaranya mangkat tanpa memiliki keturunan.

Gelar ratu dalam berbagai bahasa

[sunting | sunting sumber]

Ini adalah beberapa gelar asing yang bisa disepadankan dengan gelar Ratu dalam konteksnya sebagai Penguasa Monarki dalam bahasa Indonesia.

Sebagaimana gelar kebangsawanan Eropa yang lain untuk wanita, gelar untuk Ratu juga bisa dipakai untuk Permaisuri Raja.

Timur Tengah

[sunting | sunting sumber]
  • Firaun, gelar yang umumnya merujuk kepada pemimpin Mesir Kuno dari zaman Dinasti Pertama (sekitar 3150 SM) sampai penghunian Makedonia di 350 SM.[5] Bisa disandang oleh pria (Raja) ataupun wanita (Ratu).
  • Malikah (abjad Arab: ملكة), Ratu dalam bahasa Arab. Gelar ini pernah dipakai saat Syajar Ad Durr memerintah Mesir di 1250. Gelar ini juga dipakai oleh Permaisuri Raja.

Asia Timur

[sunting | sunting sumber]

Beda dengan gelar di Eropa, Asia Timur, penguasa wanita dan istri penguasa pria memiliki gelar yang berbeda. Gelar penguasa wanita cenderung sama dengan penguasa pria.

  • Yeowang (hanja: 女王, hangeul: 여왕), Ratu dalam bahasa Korea. Di Korea, pernah terdapat tiga orang Ratu yang memerintah. Ratu juga bisa memakai gelar Wang, gelar yang dipakai raja.
  • Joō (kanji: 女王), Ratu dalam bahasa Jepang. Di Jepang, gelar ini juga dipakai secara resmi untuk merujuk ke putri yang merupakan kerabat jauh Kaisar Jepang.

Daftar ratu sekarang

[sunting | sunting sumber]

Tidak ada

Permaisuri

[sunting | sunting sumber]

Ratu juga dapat bermakna istri dari raja. Dalam konteks ini, pengertian ratu sejajar dengan permaisuri.

Gelar kebangsawanan

[sunting | sunting sumber]

Di Cirebon dan Banten, keturunan bangsawan perempuan yang masih memiliki jalur keturunan dari Sultan menggunakan gelar ratu. Di daerah Banjar, anak-anak perempuan raja yang berkuasa menyandang gelar ratu, misalnya Ratu Intan, Ratu Zaleha dan sebagainya, dan untuk anak lelaki raja bergelar pangeran. Gelar ratu juga pernah dipakai sebagai nama lain untuk sultan, misalnya Ratu Lama, Ratu Anum, tetapi belakangan lebih populer dipakai Sultan atau Panembahan. Di Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, selain digunakan untuk permaisuri atau istri utama raja atau sultan, ratu juga digunakan untuk putri raja dengan permaisuri tatkala sudah dewasa.

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Cave, Roy and Coulson, Herbert. A Source Book for Medieval Economic History, Biblo and Tannen, New York (1965) p. 336
  2. ^ Emanuel, Steven L. (2004). Property. New York: Aspen Publishers, inc. hlm. 121. 
  3. ^ * (7. Silla and Wa) - Bidam Diarsipkan October 5, 2011, di Wayback Machine.
  4. ^ Al-Maqrizi, p.463/vol.1
  5. ^ Beck, Roger B.; Black, Linda; Krieger, Larry S.; Naylor, Phillip C.; Shabaka, Dahia Ibo (1999). World History: Patterns of Interaction. Evanston, IL: McDougal Littell. ISBN 0-395-87274-X. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Al-Maqrizi, al-Mawaiz wa al-'i'tibar bi dhikr al-khitat wa al-'athar,Matabat aladab,Cairo 1996, ISBN 977-241-175-X.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]