Lompat ke isi

Suku Lauje: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Menambahkan Web Data penelitian Ahli ligusistik
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(41 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Suku Lauje''' merupakan salah satu suku di [[Indonesia]] yang sebagian besar menetap di [[Kabupaten Donggala]], [[Sulawesi Tengah|Provinsi Sulawesi Tengah]]<ref name=":0">{{Cite book|title=Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia: Jilid L – Z.|last=Melalatoa|first=DR. M. Junus|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.|year=1 Januari 1995|isbn=|location=Jakarta|pages=}}</ref>. Dikenal juga sebagai Suku Daya dan merupakan satu dari lima suku terasing yang ada di Kabupaten Donggala<ref name=":1">{{Cite book|title=Sejarah Daerah Sulawesi Tengah|last=Suwondo|first=Bambang|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah|year=1 Januari 1984|isbn=|location=Jakarta|pages=}}</ref>
'''Suku Lauje''' merupakan salah satu suku di [[Indonesia]] yang sebagian besar menetap di [[Kabupaten Donggala]], [[Sulawesi Tengah|Provinsi Sulawesi Tengah]].<ref name=":0">{{Cite book|title=Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia: Jilid L – Z.|last=Melalatoa|first=DR. M. Junus|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.|year=1995|isbn=|location=Jakarta|pages=}}</ref> Dikenal juga sebagai Suku Daya dan merupakan satu dari lima suku terasing yang tinggal di [[Kabupaten Donggala]].<ref name=":1">{{Cite book|title=Sejarah Daerah Sulawesi Tengah|last=Suwondo|first=Bambang|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah|year=1984|isbn=|location=Jakarta|pages=}}</ref> Komunitas masyarakat Suku Lauje tidak hanya tinggal di Kabupaten Donggala saja. Mereka ada yang menetap di [[Kabupaten Tolitoli|Kabupaten Toli-toli]] ([[Dondo, Tolitoli|Kecamatan Dondo]]), [[Kabupaten Parigi Moutong|Kabupaten Parigi Moutog]] ([[Palasa, Parigi Moutong|Kecamatan Palasa]],<ref name=":3">{{Cite journal|last=Rosita|first=|last2=Rachman|first2=Imran|last3=Alam|first3=Andi Sahri|date=2017|title=Kearifan Masyarakat Lokal Suku Lauje Dalam Pengelolaan Hutan di Desa Bambasiang Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong|url=http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/WartaRimba/article/view/8705|journal=WARTA RIMBA|volume=Volume 5, Nomor 1|issue=|doi=|issn=2579-6267|pmid=|access-date=18 Maret 2019}}</ref> [[Tinombo, Parigi Moutong|Tinombo]], [[Tomini, Parigi Moutong|Tomini]], [[Ampibabo, Parigi Moutong|Ampibabo]]),<ref name=":2">{{Cite book|title=Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia|last=Hidayah|first=Dr. Zulyani|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Anggota IKAPI DKI Jakarta|year=2015|isbn=978-979-461-929-2|location=Jakarta|pages=}}</ref> [[Kabupaten Poso]] serta ada juga yang mendiami wilayah [[Kabupaten Banggai]] ([[Luwuk, Banggai|Kecamatan Luwuk]]).<ref name=":0" />

Komunitas masyarakat Suku Lauje tidak hanya tinggal di Kabupaten Donggala saja. Mereka ada yang menetap di [[Kabupaten Tolitoli|Kabupaten Toli-toli]] (Kecamatan Dondo), [[Kabupaten Parigi Moutong|Kabupaten Parigi Moutog]] (Kecamatan Palasa<ref name=":3" />, [[Tinombo, Parigi Moutong|Tinombo]], [[Tomini, Parigi Moutong|Tomini]], [[Ampibabo, Parigi Moutong|Ampibabo]])<ref name=":2">{{Cite book|title=Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia|last=Hidayah|first=Dr. Zulyani|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Anggota IKAPI DKI Jakarta|year=2015|isbn=978-979-461-929-2|location=Jakarta|pages=}}</ref>, [[Kabupaten Poso]] serta ada yang tinggal di [[Kabupaten Banggai]] (Kecamatan [[Luwuk, Banggai|Luwuk]])<ref name=":0" />.


== Asal-Usul ==
== Asal-Usul ==
Suku ini masih satu rumpun dengan Suku Tialo. Kedua suku tersebut merupakan bagian dari [[Suku Tomini]]<ref name=":1" />. Bahasa Suku Lauje termasuk [[Rumpun bahasa Austronesia|Rumpun Bahasa Austronesia]], kelompok [[Bahasa Melayu-Polinesia Barat]]<ref name=":2" />.
Suku ini Berbahasa Tomini dialek Lauje Walapun kemiripan dialek Tialo Tomini tapi Mereka berbeda . suku tersebut merupakan bagian dari [[Rumpun Tomini - Totoli]]<ref>{{Cite web|last=Himmelman|date=2001|title=Universal Nasional Australia|url=https://openresearch-repository.anu.edu.au/bitstream/1885/146685/1/PL-511.pdf|website=Rumpun Tomini-Totoli}}</ref>.<ref name=":1" /> Bahasa Suku Lauje termasuk dalam [[Rumpun bahasa Austronesia|Rumpun Bahasa Austronesia]], kelompok [[Bahasa Melayu-Polinesia]]. [[Selebik]] <ref name=":2" />
{| class="wikitable"

|''Awal'' mulanya orang Lauje hidup dan menetap di wilayah pegunungan Desa Tinombo yang mereka namakan kampong Taipaobal. Hal ini didasarkan pada cerita mereka bahwa dahulu ada seorang pria yang bernama Sae Mandulang tinggal di wilayah Taipa Obal. Dia memperistrikan seorang wanita yang keluar dari dalam sebuah batu (polu irandu) yang bernama Yele Lumut. Wanita tersebut adalah makhluk gaib yang diutus untuk menemani Sae Mandulang agar tidak kesepian. Seiring berjalannya waktu mereka dikaruniai 7 orang anak. Ketika dewasa 6 orang anak mereka pergi mengembara ke seluruh pelosok yang bisa dijangkau. Sementara yang 1 tetap tinggal di Taipa Obal.
Orang Suku Lauje meyakini bahwa nenek moyang mereka bernama Yongko Umur yang kemudian melahirkan dua keturunan bernama Olongian Laki-laki, atau disebut juga Llah Ta’ala, dan Olongian Perempuan, atau disebut sebagai Nur Llah.
1. anak pertama yang bernama Yele Inulung pergi ke wilayah Tinombo dan Ampibabo

2. Anak ke dua yang bernama Yele Bolian pergi ke wilayah Sojol/Bou
Llah Ta’ala tinggal di “Alam Atas” (Langit), sedangkan Nur Llah  tinggal di “Alam Bawah” (Bawah Tanah). Keduanya dipercaya sebagai nenek moyang langsung Suku Lauje.
3. Anak ke tiga yang bernama Yele Fulang pergi ke wilayah Palasa dan menjadi patung batu
4. Anak ke empat yang bernama yele Mumini ke wilayah Tomini
5. Anak ke lima yang bernama Yele Magana ke wilayah seberang lautan. Masyarkat Lauje meyakini bahwa dialah yang menajdi cikal bakal suku-suku di dunia
6. Anak ke enam yang bernama Yele Fulaan ke wilayah Dondo dan Lampasio
7. Anak ke tujuh yang bernama Yele Inangku tetap tinggal di Polu Irandu bersama ibu bapaknya.
Mereka berpisah di sebuah sungai. Oleh karena itu sungai tersebut diberi nama Nogaat/ perpisahan
|}


== Agama dan Sistem Kepercayaan ==
== Agama dan Sistem Kepercayaan ==
Sebagian masyarakat Suku Lauje sudah menganut [[Kekristenan|Agama Kristen]], selebihnya adalah [[Muslim]].<ref name=":0" /> Penelitian terakhir yang dilakukan Mahasiswa [[Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin|Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanudin]] pada tahun 2009 menunjukkan bahwa suku Lauje yang mendiami pesisir [[Teluk Tomini]] hingga kaki [[Gunung Sojol]] jumlah penduduknya mencapai 3.971 jiwa atau 737 KK, Dari jumlah itu sebanyak 3.176 jiwa sudah memeluk [[Islam|Agama Islam]], sedangkan sisanya beragama Kristen.<ref>{{Cite web|url=https://nasional.kompas.com/read/2009/03/05/20541446/mahasiswa.fib-uh.buat.buku.suku.lauje|title=Mahasiswa FIB-UH Buat Buku Suku Lauje|last=|first=|date=05 Maret 2009|website=kompas online|publisher=|access-date=14 Maret 2019}}</ref>
Sebagian masyarakat Suku Lauje sudah menganut Agama Kristen, selebihnya adalah Muslim. Meski begitu, sistem kepercayaan dari nenek moyang masih mereka hormati dan pertahankan, termasuk soal asal-usul mereka seperti yang telah diterangkan di atas.


Suku Lauje masih mempercayai ada beberapa Ilah (dewa) yang mengatur kehidupan manusia di dunia. Mereka adalah Raja Tongka Alah (tinggal di langit), Puang Ma Petu (berdiam di bawah tanah) dan Olongian (tinggal di mata air).
Meski sudah menganut [[Agama Abrahamik|Agama Samawi]], sistem kepercayaan dari nenek moyang masih mereka hormati dan pertahankan, termasuk soal asal-usul mereka seperti yang telah diterangkan di atas. Suku Lauje masih mempercayai bahwa ada beberapa Ilah (dewa) yang mengatur kehidupan manusia di dunia. Mereka adalah Raja Tongka Alah (tinggal di langit), Puang Ma Petu (berdiam di bawah tanah) dan Olongian (tinggal di mata air). Raja Tongka Alah merupakan perantara roh-roh orang mati dengan orang hidup. Sedangkan Lalu Puang Ma Petu dikenal sebagai Ilah Perusak, sedangkan Olongian diyakini sebagai Ilah Penyelamat.


Mereka juga mempercayai keberadaan roh-roh halus yang juga dipercaya memiliki tugas di dunia orang hidup dan membantu kehidupan orang-orang Suku Lauje. Ada Togu Petu, Togu Ompongan dan Togu Ogo. Togu Petu bertugas menjaga tanah. Jadi berhasil atau tidaknya manusia bercocok tanam ditentukan oleh roh tersebut. Lalu Togu Ompongan dipercaya sebagai penguasa hutan belantara yang mengawasi tindak tanduk manusia di hutan. Selanjutnya Togu Ogo bertugas sebagai penguasa sungai sekaligus penjaga air. Kepada roh-roh tadi Orang Lauje biasanya meminta restu sebelum melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di sekitar tempat tinggalnya.<ref name=":0" />
Raja Tongka Alah merupakan perantara roh-roh orang mati dengan orang hidup. Sedangkan Lalu Puang Ma Petu dikenal sebagai Ilah Perusak, sedangkan Olongian diyakini sebagai Ilah Penyelamat.


== Mata Pencarian Hidup ==
Mereka juga mempercayai keberadaan roh-roh halus yang juga dipercaya memiliki tugas di dunia orang hidup dan membantu kehidupan orang-orang Suku Lauje. Ada Togu Petu, Togu Ompongan dan Togu Ogo.


Mata pencaharian hidup orang Suku Lauje adalah berladang. Yang mereka tanam utamanya [[padi]] dan [[jagung]]. Mereka juga menanam [[Sayuran|sayur-mayur]], [[Cengkih|cengkeh]], [[bawang putih]], [[Ketela pohon|singkong]], [[ubi jalar]], [[pisang]], [[Pepaya|pepay]]<nowiki/>a dan [[mangga]]. Sebagai sambilan, pekerjaan mereka adalah mencari [[rotan]], [[damar]], [[kemiri]], membuat kerajinan tangan, [[Perburuan|berburu]] juga [[Peternakan|beternak]]. Jika masa paceklik tiba, Orang Suku Lauje sanggup bertahan hidup hanya dengan mengkonsumsi [[ubi jalar]] “unggayu”, atau [[gadung]] “ondot” yang tumbuh liar di hutan-hutan.<ref name=":0" />
Togu Petu bertugas menjaga tanah. Jadi berhasil atau tidaknya manusia bercocok tanam ditentukan oleh roh tersebut. Lalu Togu Ompongan dipercaya sebagai penguasa hutan belantara yang mengawasi tindak tanduk manusia di hutan. Selanjutnya Togu Ogo bertugas sebagai penguasa sungai sekaligus penjaga air. Kepada roh-roh tadi Orang Lauje biasanya meminta restu sebelum melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di sekitar tempat tinggalnya.


Suku Lauje yang bermukim di [[Kabupaten Parigi Moutong]] bisa memiliki pendapatan rata-rata sampai Rp. 10 juta per bulan dari memanen [[Kakao|coklat]] dan cengkih, tentu saja jika harga keduanya sedang tinggi. Untuk diketahui kabupaten ini merupakan pemasok coklat terbesar di Indonesia.<ref name=":4">{{Cite web|url=http://sinarharapan.net/2018/10/suku-lauje-penabung-uang-di-atas-pohon/|title=Suku Lauje, Penabung Uang di Atas Pohon|last=Jemabut|first=Inno|date=23 October 2018|website=sinarharapan|publisher=|access-date=13 Maret 2018|archive-date=2019-07-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20190712060011/http://sinarharapan.net/2018/10/suku-lauje-penabung-uang-di-atas-pohon/|dead-url=yes}}</ref>
== Mata Pencarian Hidup ==
Mata pencaharian hidup orang Suku Lauje adalah berladang. Yang mereka tanam utamanya padi dan jagung. Mereka juga menanam sayur-mayur, cengkeh, bawang putih, singkong, ubi jalar, pisang, pepaya dan mangga.


Awalnya Suku Lauje (khususnya di Parigi Moutong) menggunakan konsep berladang tak menetap. Namun sejak era 1980-an pola seperti itu perlahan-lahan berubah. Mereka mulai mengenal tanaman jangka menengah dan panjang, seperti cengkih, kakao dan kelapa. Orang Suku Lauje mempercayai mimpi. Jika sebelum menanam jagung dan padi secara bersamaan lalu mereka bermimpi melihat bintang, mereka yakin isi mimpi itu pertanda bagus buat mereka: ladang akan aman dari gangguan hama dan hasilnya akan melimpah.<ref name=":3" />
Sebagai sambilan, pekerjaan mereka adalah mencari rotan, damar, kemiri, membuat kerajinan tangan, berburu juga beternak. Jika masa paceklik tiba, orang Suku Lauje sanggup bertahan hidup hanya dengan mengkonsumsi ubi jalar “unggayu”, atau gadung “ondot” yang tumbuh liar di hutan-hutan<ref name=":0" />.


== Sistem Adat ==
Suku Lauje yang bermukim di [[Kabupaten Parigi Moutong]] bisa memiliki pendapatan rata-rata sampai Rp. 10 juta per bulan dari memanen coklat dan cengkeh, jika harga keduanya tinggi. Untuk diketahui kabupaten ini merupakan pemasok coklat terbesar di Indonesia<ref>{{Cite web|url=http://sinarharapan.net/2018/10/suku-lauje-penabung-uang-di-atas-pohon/|title=Suku Lauje, Penabung Uang di Atas Pohon|last=Jemabut|first=Inno|date=23 October 2018|website=sinarharapan|publisher=|access-date=13 Maret 2018}}</ref>.


=== Sistem Kekerabatan ===
Awalnya Suku Lauje (khususnya di Parigi Moutong) menggunakan konsep berladang tak menetap. Namun sejak era 80-an pola seperti itu perlahan-lahan berubah. Mereka mulai mengenal tanaman jangka menengah, dan panjang, seperti cengkeh, kakao dan kelapa<ref name=":3" />.
Suku Lauje mengenal juga sistem kelompok kekerabatan luas. Mereka hidup berkelompok. Satu kelompok, atau beberapa keluarga inti, tinggal di rumah yang sama. Meskipun demikian, setiap keluarga inti memiliki dapurnya masing-masing. Seperti kebanyakan suku di Indonesia, Suku Lauje menganut sistem [[patrilineal]]. Sistem perkawinan mereka termasuk dalam sistem eksogami kelompok. Anak-anak mereka bisa memilih jodoh mereka sendiri, bahkan menikah dengan pasangan di luar kelompoknya. Namun jika tidak mendapatkan persetujuan dari orang tuanya, mereka bisa memilih mekanisme adat lainnya: [[kawin lari]].<ref name=":0" />


== Tradisi Moganoi ==
=== Lembaga Adat ===
Lembaga adat orang Suku Lauje dinamakan Yelelumut. Institusi adat ini ada untuk mengatur bagaimana masyarakat bertindak dan berperilaku sesuai aturan adat istiadat yang diajarkan turun-tumurun dari nenek moyang mereka. Lembaga ini masih dihormati oleh orang-orang Suku Lauje. Contoh nyata dalam pengelolaan hutan. Campur tangan Yelemut masih dibutuhkan agar tidak terjadi penyimpangan yang bisa saja berujung konflik antar warganya.
Komunitas Suku Lauje terkenal hidup dari alam oleh karena itu mereka sangat menghormati alam. Rasa cinta mereka terhadap alam salah satunya bisa dilihat dari Tradisi Moganoi yang masih berlangsung, seperti di Desa Bambasiang, Kecamatan Palasa<ref name=":3">{{Cite journal|last=Rosita|first=|last2=Rachman|first2=Imran|last3=Alam|first3=Andi Sahri|date=Maret 2017|title=Kearifan Masyarakat Lokal Suku Lauje Dalam Pengelolaan Hutan di Desa Bambasiang Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong|url=|journal=WARTA RIMBA ISSN: 2579-6267|volume=Volume 5, Nomor 1 Hal: 80-86|issue=|doi=|pmid=|access-date=}}</ref>.


Lembaga adat ini juga bisa memberikan sanksi adat bagi para pelanggar aturan adat. Pelanggar akan diadili secara adat di balai adat. Pengadilan adat ini bersifat kekeluargaan. Sanksi yang diberikan pun disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan, kemampuan ekonomi dan usia si pelanggar. Contoh soal [[Beringin|pohon beringin]] (nunu). Pohon ini bagi Suku Lauje adalah pohon keramat dan warganya dilarang keras untuk menebangnya, meskipun pohon tersebut tumbuh atau berada di tanah milik sendiri. Pelanggaran untuk menebang pohon beringin akan diberikan sanksi berupa denda uang dan piring tua (salamate).<ref name=":3" />
Moganoi merupakan tradisi memberikan sesajen dalam rangka meminta restu kepada penguasa gaib yang dipercaya hidup dan menguasai lingkungan tersebut. Biasanya dilakukan sebelum mereka membuka hutan.


=== Tradisi Moganoi ===
Sesajen berupa buah pinang (mandulang), kapur (tilong), daun sirih tembako (taba’o), uang logam (do’i mo’oat) harus disiapkan terlebih dahulu yang lalu harus diletakkan di atas kain putih, ditata sedemikan rupa hingga terlihat rapih. Selanjutnya dibiarkan saja selama dua malam.
Komunitas Suku Lauje terkenal hidup dari alam, oleh karena itu mereka sangat menghormati alam. Rasa cinta mereka terhadap alam salah satunya bisa dilihat dari Tradisi Moganoi yang masih berlangsung, seperti misalnya di [[Bamba Siang, Palasa, Parigi Moutong|Desa Bamba Siang]], Kecamatan Palasa. Moganoi merupakan tradisi memberikan [[sesajen]] dalam rangka meminta restu kepada penguasa gaib yang dipercaya hidup dan menguasai lingkungan tersebut. Biasanya dilakukan sebelum seseorang membuka hutan. Didampingi olongian (pemimpin adat) warga yang hendak membuka lahan di hutan terlebih dahulu mempersiapkan isi sesajen.


Setelah didiamkan, orang yang hendak membuka hutan harus mengecek kembali sesajen itu. Jika tidak rapi lagi berarti tanda bahwa yang bersangkutan tidak diperbolehkan membuka lahan. Namun jika sebaliknya, tetap rapih, maka orang tersebut boleh membuka hutan (menebang phon) untuk ditanami.
Sesajen harus berupa [[Pinang|buah pinang]] (mandulang), [[kapur]] (tilong), daun sirih tembako (taba’o), uang logam (do’i mo’oat). Setelah siap, lalu sesajen harus diletakkan di atas kain putih, ditata sedemikan rupa sehingga terlihat rapih. Selanjutnya ditinggalkan saja selama dua malam. Setelah didiamkan, orang yang hendak membuka hutan harus mengecek kembali sesajen itu. Jika tidak rapi lagi berarti tanda bahwa yang bersangkutan tidak diperbolehkan membuka lahan di wilayah yang diinginkannya. Namun jika sebaliknya, tetap rapih, maka orang tersebut boleh membuka hutan (menebang pohon) untuk ditanami.<ref name=":3" />


== Pendidikan ==
<br />
Karena masih banyak yang memakai konsep hidup berpindah-pindah dan tinggal di tempat terpencil, atau di tengah hutan, orang-orang Suku Lauje (setidaknya yang tinggal di Parigi Moutoung) kebanyakan hanya merasakan pendidikan sampai tingkat sekolah dasar saja. Selain berpindah-pindah, faktor pemahaman orang tua terhadap pendidikan juga turut menentukan. Pemahamannya, jika bersekolah tujuannya adalah mencari uang, lebih baik anak-anak mereka bekerja sekarang membantu mereka menanam coklat dan cengkih. Pemahaman ini juga yang akhirnya membuat anak-anak Suku Lauje berhenti bersekolah di tengah jalan.<ref name=":4" />


== Referensi ==
== Referensi ==
<references />


[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia|Lauje]]

[[Kategori:Sulawesi Tengah]]
{{sedang ditulis}}

Revisi terkini sejak 6 September 2024 04.38

Suku Lauje merupakan salah satu suku di Indonesia yang sebagian besar menetap di Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.[1] Dikenal juga sebagai Suku Daya dan merupakan satu dari lima suku terasing yang tinggal di Kabupaten Donggala.[2] Komunitas masyarakat Suku Lauje tidak hanya tinggal di Kabupaten Donggala saja. Mereka ada yang menetap di Kabupaten Toli-toli (Kecamatan Dondo), Kabupaten Parigi Moutog (Kecamatan Palasa,[3] Tinombo, Tomini, Ampibabo),[4] Kabupaten Poso serta ada juga yang mendiami wilayah Kabupaten Banggai (Kecamatan Luwuk).[1]

Asal-Usul

Suku ini Berbahasa Tomini dialek Lauje Walapun kemiripan dialek Tialo Tomini tapi Mereka berbeda . suku tersebut merupakan bagian dari Rumpun Tomini - Totoli[5].[2] Bahasa Suku Lauje termasuk dalam Rumpun Bahasa Austronesia, kelompok Bahasa Melayu-Polinesia. Selebik [4]

Awal mulanya orang Lauje hidup dan menetap di wilayah pegunungan Desa Tinombo yang mereka namakan kampong Taipaobal. Hal ini didasarkan pada cerita mereka bahwa dahulu ada seorang pria yang bernama Sae Mandulang tinggal di wilayah Taipa Obal. Dia memperistrikan seorang wanita yang keluar dari dalam sebuah batu (polu irandu) yang bernama Yele Lumut. Wanita tersebut adalah makhluk gaib yang diutus untuk menemani Sae Mandulang agar tidak kesepian. Seiring berjalannya waktu mereka dikaruniai 7 orang anak. Ketika dewasa 6 orang anak mereka pergi mengembara ke seluruh pelosok yang bisa dijangkau. Sementara yang 1 tetap tinggal di Taipa Obal.

1. anak pertama yang bernama Yele Inulung pergi ke wilayah Tinombo dan Ampibabo 2. Anak ke dua yang bernama Yele Bolian pergi ke wilayah Sojol/Bou 3. Anak ke tiga yang bernama Yele Fulang pergi ke wilayah Palasa dan menjadi patung batu 4. Anak ke empat yang bernama yele Mumini ke wilayah Tomini 5. Anak ke lima yang bernama Yele Magana ke wilayah seberang lautan. Masyarkat Lauje meyakini bahwa dialah yang menajdi cikal bakal suku-suku di dunia 6. Anak ke enam yang bernama Yele Fulaan ke wilayah Dondo dan Lampasio 7. Anak ke tujuh yang bernama Yele Inangku tetap tinggal di Polu Irandu bersama ibu bapaknya. Mereka berpisah di sebuah sungai. Oleh karena itu sungai tersebut diberi nama Nogaat/ perpisahan

Agama dan Sistem Kepercayaan

Sebagian masyarakat Suku Lauje sudah menganut Agama Kristen, selebihnya adalah Muslim.[1] Penelitian terakhir yang dilakukan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanudin pada tahun 2009 menunjukkan bahwa suku Lauje yang mendiami pesisir Teluk Tomini hingga kaki Gunung Sojol jumlah penduduknya mencapai 3.971 jiwa atau 737 KK, Dari jumlah itu sebanyak 3.176 jiwa sudah memeluk Agama Islam, sedangkan sisanya beragama Kristen.[6]

Meski sudah menganut Agama Samawi, sistem kepercayaan dari nenek moyang masih mereka hormati dan pertahankan, termasuk soal asal-usul mereka seperti yang telah diterangkan di atas. Suku Lauje masih mempercayai bahwa ada beberapa Ilah (dewa) yang mengatur kehidupan manusia di dunia. Mereka adalah Raja Tongka Alah (tinggal di langit), Puang Ma Petu (berdiam di bawah tanah) dan Olongian (tinggal di mata air). Raja Tongka Alah merupakan perantara roh-roh orang mati dengan orang hidup. Sedangkan Lalu Puang Ma Petu dikenal sebagai Ilah Perusak, sedangkan Olongian diyakini sebagai Ilah Penyelamat.

Mereka juga mempercayai keberadaan roh-roh halus yang juga dipercaya memiliki tugas di dunia orang hidup dan membantu kehidupan orang-orang Suku Lauje. Ada Togu Petu, Togu Ompongan dan Togu Ogo. Togu Petu bertugas menjaga tanah. Jadi berhasil atau tidaknya manusia bercocok tanam ditentukan oleh roh tersebut. Lalu Togu Ompongan dipercaya sebagai penguasa hutan belantara yang mengawasi tindak tanduk manusia di hutan. Selanjutnya Togu Ogo bertugas sebagai penguasa sungai sekaligus penjaga air. Kepada roh-roh tadi Orang Lauje biasanya meminta restu sebelum melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di sekitar tempat tinggalnya.[1]

Mata Pencarian Hidup

Mata pencaharian hidup orang Suku Lauje adalah berladang. Yang mereka tanam utamanya padi dan jagung. Mereka juga menanam sayur-mayur, cengkeh, bawang putih, singkong, ubi jalar, pisang, pepaya dan mangga. Sebagai sambilan, pekerjaan mereka adalah mencari rotan, damar, kemiri, membuat kerajinan tangan, berburu juga beternak. Jika masa paceklik tiba, Orang Suku Lauje sanggup bertahan hidup hanya dengan mengkonsumsi ubi jalar “unggayu”, atau gadung “ondot” yang tumbuh liar di hutan-hutan.[1]

Suku Lauje yang bermukim di Kabupaten Parigi Moutong bisa memiliki pendapatan rata-rata sampai Rp. 10 juta per bulan dari memanen coklat dan cengkih, tentu saja jika harga keduanya sedang tinggi. Untuk diketahui kabupaten ini merupakan pemasok coklat terbesar di Indonesia.[7]

Awalnya Suku Lauje (khususnya di Parigi Moutong) menggunakan konsep berladang tak menetap. Namun sejak era 1980-an pola seperti itu perlahan-lahan berubah. Mereka mulai mengenal tanaman jangka menengah dan panjang, seperti cengkih, kakao dan kelapa. Orang Suku Lauje mempercayai mimpi. Jika sebelum menanam jagung dan padi secara bersamaan lalu mereka bermimpi melihat bintang, mereka yakin isi mimpi itu pertanda bagus buat mereka: ladang akan aman dari gangguan hama dan hasilnya akan melimpah.[3]

Sistem Adat

Sistem Kekerabatan

Suku Lauje mengenal juga sistem kelompok kekerabatan luas. Mereka hidup berkelompok. Satu kelompok, atau beberapa keluarga inti, tinggal di rumah yang sama. Meskipun demikian, setiap keluarga inti memiliki dapurnya masing-masing. Seperti kebanyakan suku di Indonesia, Suku Lauje menganut sistem patrilineal. Sistem perkawinan mereka termasuk dalam sistem eksogami kelompok. Anak-anak mereka bisa memilih jodoh mereka sendiri, bahkan menikah dengan pasangan di luar kelompoknya. Namun jika tidak mendapatkan persetujuan dari orang tuanya, mereka bisa memilih mekanisme adat lainnya: kawin lari.[1]

Lembaga Adat

Lembaga adat orang Suku Lauje dinamakan Yelelumut. Institusi adat ini ada untuk mengatur bagaimana masyarakat bertindak dan berperilaku sesuai aturan adat istiadat yang diajarkan turun-tumurun dari nenek moyang mereka. Lembaga ini masih dihormati oleh orang-orang Suku Lauje. Contoh nyata dalam pengelolaan hutan. Campur tangan Yelemut masih dibutuhkan agar tidak terjadi penyimpangan yang bisa saja berujung konflik antar warganya.

Lembaga adat ini juga bisa memberikan sanksi adat bagi para pelanggar aturan adat. Pelanggar akan diadili secara adat di balai adat. Pengadilan adat ini bersifat kekeluargaan. Sanksi yang diberikan pun disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan, kemampuan ekonomi dan usia si pelanggar. Contoh soal pohon beringin (nunu). Pohon ini bagi Suku Lauje adalah pohon keramat dan warganya dilarang keras untuk menebangnya, meskipun pohon tersebut tumbuh atau berada di tanah milik sendiri. Pelanggaran untuk menebang pohon beringin akan diberikan sanksi berupa denda uang dan piring tua (salamate).[3]

Tradisi Moganoi

Komunitas Suku Lauje terkenal hidup dari alam, oleh karena itu mereka sangat menghormati alam. Rasa cinta mereka terhadap alam salah satunya bisa dilihat dari Tradisi Moganoi yang masih berlangsung, seperti misalnya di Desa Bamba Siang, Kecamatan Palasa. Moganoi merupakan tradisi memberikan sesajen dalam rangka meminta restu kepada penguasa gaib yang dipercaya hidup dan menguasai lingkungan tersebut. Biasanya dilakukan sebelum seseorang membuka hutan. Didampingi olongian (pemimpin adat) warga yang hendak membuka lahan di hutan terlebih dahulu mempersiapkan isi sesajen.

Sesajen harus berupa buah pinang (mandulang), kapur (tilong), daun sirih tembako (taba’o), uang logam (do’i mo’oat). Setelah siap, lalu sesajen harus diletakkan di atas kain putih, ditata sedemikan rupa sehingga terlihat rapih. Selanjutnya ditinggalkan saja selama dua malam. Setelah didiamkan, orang yang hendak membuka hutan harus mengecek kembali sesajen itu. Jika tidak rapi lagi berarti tanda bahwa yang bersangkutan tidak diperbolehkan membuka lahan di wilayah yang diinginkannya. Namun jika sebaliknya, tetap rapih, maka orang tersebut boleh membuka hutan (menebang pohon) untuk ditanami.[3]

Pendidikan

Karena masih banyak yang memakai konsep hidup berpindah-pindah dan tinggal di tempat terpencil, atau di tengah hutan, orang-orang Suku Lauje (setidaknya yang tinggal di Parigi Moutoung) kebanyakan hanya merasakan pendidikan sampai tingkat sekolah dasar saja. Selain berpindah-pindah, faktor pemahaman orang tua terhadap pendidikan juga turut menentukan. Pemahamannya, jika bersekolah tujuannya adalah mencari uang, lebih baik anak-anak mereka bekerja sekarang membantu mereka menanam coklat dan cengkih. Pemahaman ini juga yang akhirnya membuat anak-anak Suku Lauje berhenti bersekolah di tengah jalan.[7]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Melalatoa, DR. M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia: Jilid L – Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  2. ^ a b Suwondo, Bambang (1984). Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 
  3. ^ a b c d Rosita; Rachman, Imran; Alam, Andi Sahri (2017). "Kearifan Masyarakat Lokal Suku Lauje Dalam Pengelolaan Hutan di Desa Bambasiang Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong". WARTA RIMBA. Volume 5, Nomor 1. ISSN 2579-6267. Diakses tanggal 18 Maret 2019. 
  4. ^ a b Hidayah, Dr. Zulyani (2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Anggota IKAPI DKI Jakarta. ISBN 978-979-461-929-2. 
  5. ^ Himmelman (2001). "Universal Nasional Australia" (PDF). Rumpun Tomini-Totoli. 
  6. ^ "Mahasiswa FIB-UH Buat Buku Suku Lauje". kompas online. 05 Maret 2009. Diakses tanggal 14 Maret 2019. 
  7. ^ a b Jemabut, Inno (23 October 2018). "Suku Lauje, Penabung Uang di Atas Pohon". sinarharapan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-12. Diakses tanggal 13 Maret 2018.