Badrul Alam dari Aceh: Perbedaan antara revisi
OrophinBot (bicara | kontrib) |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
'''Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin''' (meninggal [[1702]]?) merupakan seorang sultan yang memerintah [[Kesultanan Aceh]] pada periode yang singkat antara tahun [[1699]] - [[1702]]. Pemerintahannya berlangsung dalam kondisi penuh kegelisahan di Aceh. Dia memerintah sebagai sultan yang tidak berasal dari keturunan sultan sebelumnya |
'''Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin''' (meninggal [[1702]]?) merupakan seorang sultan yang memerintah [[Kesultanan Aceh]] pada periode yang singkat antara tahun [[1699]] - [[1702]]. Pemerintahannya berlangsung dalam kondisi penuh kegelisahan di Aceh. Dia memerintah sebagai sultan yang tidak berasal dari keturunan sultan sebelumnya. Demikian singkatnya dan banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh dinasti yang baru dibentuk dia membuat pemerintahannya nyarais tidak membawa perubahan yang berarti bagi kondisi di kesultanan. |
||
== Perubahan dinasti == |
== Perubahan dinasti == |
||
Aceh diperintah oleh empat orang Ratu (sultanah) berturut-turut sejak tahun [[1641]] hingga tahun [[1699]]. Menjelang akhir abad ketujuh belas elemen moderat di antara para sastrawan membuka peluang yang lebih konservatif dalam masalah suksesi dan kepemimpinan di Aceh. Sebuah fatwa yang dianggap sesuai dengan [[Hukum Syariah]] disuarakan untuk menghentikan pemerintahan para sultanah. Menurut klaim para sastrawan sebuah surat telah dikirimkan dari [[Mekah]] pada tahun [[1699]] yang memuat aturan tentang tidak sahnya perempuan diangkat sebagai pemimpin. Berdasarkan surat tersebut sultanah [[Zainatuddin dari Aceh|Kamalat Syah]] yang sedang memerintah akhirnya digulingkan. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin diproklamirkan<ref>Crecelius and Beardow (1979), pp. 54-5.</ref> |
Aceh diperintah oleh empat orang Ratu (sultanah) berturut-turut sejak tahun [[1641]] hingga tahun [[1699]]. Menjelang akhir abad ketujuh belas elemen moderat di antara para sastrawan membuka peluang yang lebih konservatif dalam masalah suksesi dan kepemimpinan di Aceh. Sebuah fatwa yang dianggap sesuai dengan [[Hukum Syariah]] disuarakan untuk menghentikan pemerintahan para sultanah. Menurut klaim para sastrawan sebuah surat telah dikirimkan dari [[Mekah]] pada tahun [[1699]] yang memuat aturan tentang tidak sahnya perempuan diangkat sebagai pemimpin. Berdasarkan surat tersebut sultanah [[Zainatuddin dari Aceh|Kamalat Syah]] yang sedang memerintah akhirnya digulingkan. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin diproklamirkan.<ref>Crecelius and Beardow (1979), pp. 54-5.</ref> |
||
== Hari-hari pertama yang bermasalah == |
== Hari-hari pertama yang bermasalah == |
||
[[VOC]] yang telah menguasai beberapa wilayah di pantai barat [[Sumatra]] merasakan sultan yang baru sangat berpotensi mengancam kedudukan mereka di Sumatra. Kota garnisun dan pelabuhan penting [[Barus]] diperkuat pada tahun [[1700]] dengan alasan bahwa pemerintahan Aceh kini telah dipimpin oleh seorang sultan yang emosional<ref>Coolhaas (1976), p. 126.</ref> |
[[VOC]] yang telah menguasai beberapa wilayah di pantai barat [[Sumatra]] merasakan sultan yang baru sangat berpotensi mengancam kedudukan mereka di Sumatra. Kota garnisun dan pelabuhan penting [[Barus]] diperkuat pada tahun [[1700]] dengan alasan bahwa pemerintahan Aceh kini telah dipimpin oleh seorang sultan yang emosional.<ref>Coolhaas (1976), p. 126.</ref> |
||
Alexander Hamilton seorang pelaut [[Kerajaan Britania Raya|Inggris]] mengunjungi Aceh pada bulan mei tahun [[1702]]. Hamilton mencatat bahwa sesuatu yang asing dan tidak pernah dibayangkan oleh Inggris telah berlangsung di Aceh, di mana Aceh pada saat itu sedang dikelola dengan tata kelola yang terkesan buruk bagi kesultanan. Ketidak lihaian Sultan Badrul Alam dalam pengelolaan negara membuat munculnya permusuhan dari para orangkaya dan [[uleebalang]]. Sementara sultan memberlakukan pungutan bea pelabuhan bagi kapal-kapal Inggris yang masuk ke pelabuhan Aceh membuat dia tidak disukai oleh [[Perusahaan Hindia Timur Britania]]. Dalam catatan itu juga disebutkan adanya demonstrasi berkepanjangan di luar istana di mana orang-orang Aceh menuntut pengembalian hak istimewa yang sebelumnya diberikan kepada para pedagang Inggris. Para pengunjukrasa mengancam jika tuntutan mereka tidak dikabulkan maka sultan akan digulingkan dan dikembalikan kepada dinasti sebelumnya. Bahkan para orangkaya dan uleebalang mencoba menghubungi kerabat Kamalat Syah yang setelah tidak bertahta telah pindah ke [[Pidie]]. Namun catatan Hamilton itu tidak disebutkan mengenai sambutan pihak Kamalat Syah terhadap ajakan uleebalang<ref>Djajadiningrat (1911), p. 195.</ref> |
Alexander Hamilton seorang pelaut [[Kerajaan Britania Raya|Inggris]] mengunjungi Aceh pada bulan mei tahun [[1702]]. Hamilton mencatat bahwa sesuatu yang asing dan tidak pernah dibayangkan oleh Inggris telah berlangsung di Aceh, di mana Aceh pada saat itu sedang dikelola dengan tata kelola yang terkesan buruk bagi kesultanan. Ketidak lihaian Sultan Badrul Alam dalam pengelolaan negara membuat munculnya permusuhan dari para orangkaya dan [[uleebalang]]. Sementara sultan memberlakukan pungutan bea pelabuhan bagi kapal-kapal Inggris yang masuk ke pelabuhan Aceh membuat dia tidak disukai oleh [[Perusahaan Hindia Timur Britania]]. Dalam catatan itu juga disebutkan adanya demonstrasi berkepanjangan di luar istana di mana orang-orang Aceh menuntut pengembalian hak istimewa yang sebelumnya diberikan kepada para pedagang Inggris. Para pengunjukrasa mengancam jika tuntutan mereka tidak dikabulkan maka sultan akan digulingkan dan dikembalikan kepada dinasti sebelumnya. Bahkan para orangkaya dan uleebalang mencoba menghubungi kerabat Kamalat Syah yang setelah tidak bertahta telah pindah ke [[Pidie]]. Namun catatan Hamilton itu tidak disebutkan mengenai sambutan pihak Kamalat Syah terhadap ajakan uleebalang.<ref>Djajadiningrat (1911), p. 195.</ref> |
||
Menurut salah satu kisah tentang Badrul Alam, dia diceritakan menderita suatu penyakit semacam [[Poliomielitis|Polio]]. Penyakit tersebut mengakibatkan dia sulit untuk mengerjakan [[shalat]] dengan sempurna. Karena penyakitnya itu dia akhirnya memilih mengundurkan diri secara sukarela pada tahun [[1702]]. Dia kemudian pindah ke Tanjong, sebuah perkampungan dekat ibu kota dan meninggal disana beberapa waktu kemudian<ref>Djajadiningrat (1911), p. 194.</ref> |
Menurut salah satu kisah tentang Badrul Alam, dia diceritakan menderita suatu penyakit semacam [[Poliomielitis|Polio]]. Penyakit tersebut mengakibatkan dia sulit untuk mengerjakan [[shalat]] dengan sempurna. Karena penyakitnya itu dia akhirnya memilih mengundurkan diri secara sukarela pada tahun [[1702]]. Dia kemudian pindah ke Tanjong, sebuah perkampungan dekat ibu kota dan meninggal disana beberapa waktu kemudian.<ref>Djajadiningrat (1911), p. 194.</ref> Beberapa sumber menyebutkan tahun dia mengakhiri tahtanya adalah tahun [[1709]].<ref>Zainuddin (1961), p. 409; Crecelius and Beardow (1979).</ref> Dia digantikan oleh saudaranya Penggantinya adalah saudara, [[Perkasa Alam dari Aceh|Perkasa Alam Syarif Lamtui]]. Namun ada kemungkinan lain tentang rincian sejarah kematian dia. Sebuah catatan Belanda pada tahun [[1717]] menyebutkan tentang adanya seorang mantan sultan Aceh bernama Sayyid Hasyim Darussalam meninggal dunia dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji ke [[Mekah]].<ref>Coolhaas (1979), p. 312.</ref> |
||
== Referensi == |
== Referensi == |
Revisi terkini sejak 21 Februari 2023 16.02
Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (meninggal 1702?) merupakan seorang sultan yang memerintah Kesultanan Aceh pada periode yang singkat antara tahun 1699 - 1702. Pemerintahannya berlangsung dalam kondisi penuh kegelisahan di Aceh. Dia memerintah sebagai sultan yang tidak berasal dari keturunan sultan sebelumnya. Demikian singkatnya dan banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh dinasti yang baru dibentuk dia membuat pemerintahannya nyarais tidak membawa perubahan yang berarti bagi kondisi di kesultanan.
Perubahan dinasti
[sunting | sunting sumber]Aceh diperintah oleh empat orang Ratu (sultanah) berturut-turut sejak tahun 1641 hingga tahun 1699. Menjelang akhir abad ketujuh belas elemen moderat di antara para sastrawan membuka peluang yang lebih konservatif dalam masalah suksesi dan kepemimpinan di Aceh. Sebuah fatwa yang dianggap sesuai dengan Hukum Syariah disuarakan untuk menghentikan pemerintahan para sultanah. Menurut klaim para sastrawan sebuah surat telah dikirimkan dari Mekah pada tahun 1699 yang memuat aturan tentang tidak sahnya perempuan diangkat sebagai pemimpin. Berdasarkan surat tersebut sultanah Kamalat Syah yang sedang memerintah akhirnya digulingkan. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin diproklamirkan.[1]
Hari-hari pertama yang bermasalah
[sunting | sunting sumber]VOC yang telah menguasai beberapa wilayah di pantai barat Sumatra merasakan sultan yang baru sangat berpotensi mengancam kedudukan mereka di Sumatra. Kota garnisun dan pelabuhan penting Barus diperkuat pada tahun 1700 dengan alasan bahwa pemerintahan Aceh kini telah dipimpin oleh seorang sultan yang emosional.[2] Alexander Hamilton seorang pelaut Inggris mengunjungi Aceh pada bulan mei tahun 1702. Hamilton mencatat bahwa sesuatu yang asing dan tidak pernah dibayangkan oleh Inggris telah berlangsung di Aceh, di mana Aceh pada saat itu sedang dikelola dengan tata kelola yang terkesan buruk bagi kesultanan. Ketidak lihaian Sultan Badrul Alam dalam pengelolaan negara membuat munculnya permusuhan dari para orangkaya dan uleebalang. Sementara sultan memberlakukan pungutan bea pelabuhan bagi kapal-kapal Inggris yang masuk ke pelabuhan Aceh membuat dia tidak disukai oleh Perusahaan Hindia Timur Britania. Dalam catatan itu juga disebutkan adanya demonstrasi berkepanjangan di luar istana di mana orang-orang Aceh menuntut pengembalian hak istimewa yang sebelumnya diberikan kepada para pedagang Inggris. Para pengunjukrasa mengancam jika tuntutan mereka tidak dikabulkan maka sultan akan digulingkan dan dikembalikan kepada dinasti sebelumnya. Bahkan para orangkaya dan uleebalang mencoba menghubungi kerabat Kamalat Syah yang setelah tidak bertahta telah pindah ke Pidie. Namun catatan Hamilton itu tidak disebutkan mengenai sambutan pihak Kamalat Syah terhadap ajakan uleebalang.[3]
Menurut salah satu kisah tentang Badrul Alam, dia diceritakan menderita suatu penyakit semacam Polio. Penyakit tersebut mengakibatkan dia sulit untuk mengerjakan shalat dengan sempurna. Karena penyakitnya itu dia akhirnya memilih mengundurkan diri secara sukarela pada tahun 1702. Dia kemudian pindah ke Tanjong, sebuah perkampungan dekat ibu kota dan meninggal disana beberapa waktu kemudian.[4] Beberapa sumber menyebutkan tahun dia mengakhiri tahtanya adalah tahun 1709.[5] Dia digantikan oleh saudaranya Penggantinya adalah saudara, Perkasa Alam Syarif Lamtui. Namun ada kemungkinan lain tentang rincian sejarah kematian dia. Sebuah catatan Belanda pada tahun 1717 menyebutkan tentang adanya seorang mantan sultan Aceh bernama Sayyid Hasyim Darussalam meninggal dunia dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji ke Mekah.[6]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Coolhaas, W.P., ed. (1976) Generale missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Deel VI: 1698-1713. 's-Gravenhage: M. Nijhoff.
- Coolhaas, W.P., ed. (1979) Generale missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Deel VII: 1713-1725. 's-Gravenhage: M. Nijhoff.
- Crecelius, D. and Beardow, E.A. (1979) 'A Reputed Acehese Sarakata of the Jamal al-La'il Dynasty', Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 52, pp. 51–66.
- Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
- Zainuddin, H.M. (1961) Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Didahului oleh: Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah |
Sultan Aceh 1699—1702? |
Diteruskan oleh: Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui |