Lompat ke isi

Masjid Tuanku Pamansiangan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menambah Kategori:X Koto, Tanah Datar menggunakan HotCat
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(31 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox religious building
{{Infobox religious building
|image =
|image = Cagar budaya Masjid Tuanku Pamansiangan.jpg
|image_size = 250px
|caption = Masjid Tuanku Pamansiangan
|caption = Masjid Tuanku Pamansiangan
|building_name = Masjid Tuanku Pamansiangan
|building_name = Masjid Tuanku Pamansiangan
|location = [[Koto Laweh, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Nagari Koto Laweh]], [[Sepuluh Koto, Tanah Datar|Kecamatan X Koto]], [[Kabupaten Tanah Datar]], [[Sumatra Barat]], [[Indonesia]]
|location = [[Koto Laweh, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Nagari Koto Laweh]], [[Sepuluh Koto, Tanah Datar|Kecamatan X Koto]], [[Kabupaten Tanah Datar]], [[Sumatera Barat]], [[Indonesia]]
|religious_affiliation = [[Islam]]
|religious_affiliation = [[Islam]]
|leadership = Wakaf
|leadership = Wakaf
Baris 19: Baris 20:
}}
}}


'''Masjid Tuanku Pamansiangan''' terletak di [[Koto Laweh, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Nagari Koto Laweh]], [[Sepuluh Koto, Tanah Datar|Kecamatan X Koto]], [[Kabupaten Tanah Datar]], [[Sumatra Barat]], [[Indonesia]]. Masjid ini diperkirakan telah berdiri sejak 1800-an dan dinamakan menurut nama pendirinya, yakni Syekh Tuanku Pamansiangan.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=61-63}} Bangunannya terbuat dari kayu beratapkan ijuk. Masjid ini ditetapkan sebagai [[cagar budaya]] yang dilindungi oleh pemerintah pada 2008.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}{{sfn|Joni S. Abenk|27 November 2016}}{{sfn|Pemerintah Provinsi Sumatera Barat|2012}}{{sfn|situsbudaya.id|4 Februari 2015}}
'''Masjid Tuanku Pamansiangan''' atau '''Masjid Tuanku Mansiangan''' terletak di [[Koto Laweh, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Nagari Koto Laweh]], [[Sepuluh Koto, Tanah Datar|Kecamatan X Koto]], [[Kabupaten Tanah Datar]], [[Sumatera Barat]], [[Indonesia]]. Masjid ini diperkirakan telah berdiri sejak 1800-an dan dinamakan menurut nama pendirinya, yakni Tuanku Pamansiangan.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=61-63}} Bangunannya terbuat dari kayu beratapkan seng. Masjid ini telah ditetapkan sebagai [[cagar budaya]] yang dilindungi oleh pemerintah pada 2008.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}{{sfn|Joni S. Abenk|27 November 2016}}{{sfn|Pemerintah Provinsi Sumatera Barat|2012}}{{sfn|situsbudaya.id|4 Februari 2015}}


Kondisinya Masjid Tuanku Pamansiangan masih terawat baik sampai saat ini. Tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu masih utuh sebagaimana aslinya. Masjid ini memiliki ciri khas berupa ornamen [[ukiran Minangkabau]] yang menghiasi tiang, jendela, dan dinding masjid.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}
Kondisi Masjid Tuanku Pamansiangan masih terawat baik sampai saat ini. Tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu masih utuh sebagaimana aslinya. Masjid ini memiliki ciri khas berupa ornamen [[ukiran Minangkabau]] yang menghiasi tiang, jendela, dan dinding masjid.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=61-63}}


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Cikal bakal keberadaan masjid ini berawal dari sebuah surau di lokasi yang sama yang didirikan oleh Tuanku Mansiangan, seorang [[ulama Minangkabau]] yang mendakwahkan agama Islam di Tanah Datar. Lahir pada 1771, Tuanku Pamansiangan bernama asli Abdullah. Ia merupakan murid [[Burhanuddin Ulakan|Syekh Burhanuddin]]. Setelah selesai belajar agama kepada Syekh Burhanuddin, Abdullah kembali ke Koto Laweh dan mendirikan surau untuk mendukung kegiatan dakwahnya, tepatnya pada tahun 1303 menurut [[Kalender Hijriyah|penanggalan Hijriyah]] atau 1886 menurut [[Masehi]]. Lokasi berdirinya surau merupakan tanah rawa yang banyak tumbuh [[mensiang]], yang selanjutnya melekat sebagai julukan Abdullah sehingga ia dikenal dengan nama Tuanku Mansiangan.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=61-63}}
Cikal bakal keberadaan masjid ini berawal dari sebuah [[surau]] di lokasi yang sama yang didirikan oleh Tuanku Pamansiangan, seorang [[ulama Minangkabau]] yang mendakwahkan agama Islam di Tanah Datar. Lahir pada 1771, Tuanku Pamansiangan bernama asli Abdullah.<ref>{{Cite web |url=http://repository.uinib.ac.id/436/5/BAB%20IV%20A.2.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2019-12-24 |archive-date=2018-02-05 |archive-url=https://web.archive.org/web/20180205120101/http://repository.uinib.ac.id/436/5/BAB%20IV%20A.2.pdf |dead-url=yes }}</ref> Ia awalnya belajar agama kepada Syekh Kapeh-Kapeh Paninjauan, murid dari [[Burhanuddin Ulakan|Syekh Burhanuddin]] di Ulakan. Setelah selesai belajar, Abdullah kembali ke Koto Laweh dan mendirikan surau untuk mendukung kegiatan dakwahnya. Lokasi berdirinya surau merupakan tanah rawa yang banyak tumbuh [[mensiang]], yang selanjutnya melekat sebagai julukan Abdullah sehingga ia dikenal dengan nama Tuanku Pamansiangan atau Tuanku Mansiangan.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=61-63}}


Seiring bertambahnya murid, maka Tuanku Mansiangan meluaskan suraunya menjadi masjid. Namun, tidak diketahui kapan pastinya surau Tuanku Mansiangan berganti menjadi masjid. Dalam buku berjudul ''Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia'' yang ditulis Abdul Baqir Zien, Masjid Tuanku Pamansiangan diperkirakan telah berdiri sejak 1800-an.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=62}} Adapun berdasarkan penelusuran [[Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala]] (BP3) Batusangkar, Masjid Tuanku Pamansiangan didirikan pada 1870.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}
Seiring pertambahan jumlah murid, Tuanku Pamansiangan meluaskan suraunya menjadi masjid. Namun, tidak diketahui kapan pastinya surau tersebut berganti menjadi masjid. Dalam buku berjudul ''Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia'' yang ditulis Abdul Baqir Zien, Masjid Tuanku Pamansiangan diperkirakan telah berdiri sejak 1800-an.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=62}} Adapun berdasarkan penelusuran [[Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala]] (BP3) Batusangkar, Masjid Tuanku Pamansiangan didirikan pada 1870.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}


Ketika pertama kali dibangun, bangunan Masjid Tuanku Pamansiangan terbuat dari ijuk. Abdul Baqir Zien mencatat, Masjid Tuanku Pamansiangan telah mengalami tiga kali direnovasi sejak didirikan dan saat ini bangunannya telah menggunakan kayu dengan atap dari seng.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=62}} Penggantian material bangunan diperkirakan berlangsung pada 1903 sampai 1905, merujuk pada [[kaligrafi]] Arab-Melayu yang terdapat pada bagian mihrab bertuliskan: "Mulai memahat tahun 1323 pada 14 Shafar mulai menyudah tahun 1325".{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}} Pengambilan bahan bangunan yakni kayu diperoleh dari hutan. Kayu-kayu digunakan sebagai tiang dan dinding. Sejak didirikan, tiang dan dinding Masjid Tuanku Mansiangan masih utuh dan terawat sampai saat sekarang.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=62}} Adapun pengerjaan pembangunan melibatkan tukang-tukang China.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=61}}
Ketika pertama kali dibangun, Masjid Tuanku Pamansiangan memiliki bangunan terbuat dari bambu beratapkan ijuk. Abdul Baqir Zien mencatat, Masjid Tuanku Pamansiangan telah mengalami tiga kali direnovasi sejak didirikan dan saat ini bangunannya telah menggunakan kayu dengan atap dari seng.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=62}} Penggantian material bangunan diperkirakan berlangsung pada 1903 sampai 1905, merujuk pada [[kaligrafi]] abjad Jawi yang terdapat pada bagian mihrab bertuliskan: "Mulai memahat tahun 1323 pada 14 Shafar mulai menyudah tahun 1325".{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}} Pengambilan bahan bangunan yakni kayu diperoleh dari hutan. Kayu-kayu digunakan sebagai tiang dan dinding. Sejak didirikan, tiang dan dinding Masjid Tuanku Pamansiangan masih utuh dan terawat sampai saat sekarang.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=62}} Adapun pengerjaan pembangunan melibatkan tukang-tukang China.{{sfn|Abdul Baqir Zein|1999|pp=61}}


Ide pemugaran masjid sempat mucul pada 1967, yakni mengganti bangunan masjid menjadi permanen dan mengubah bentuk yang ada sekarang. Awalnya, rencana tersebut dapat dukungan dari sebagian masyarakat, tetapi urung dikarekanan akan menghilangkan nilai sejarah yang dimiliki masjid.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}
Ide pemugaran masjid sempat mucul pada 1967, yakni mengganti bangunan masjid menjadi permanen dan mengubah bentuk yang ada sekarang. Awalnya, rencana tersebut mendapat dukungan dari sebagian masyarakat, tetapi urung dikarekanan akan menghilangkan nilai sejarah yang dimiliki masjid.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}


Sejak didirikan, masjid ini tidak mengalami perubahan berarti, kecuali perbaikan pada beberapa bagian seperti: atap yang dahulunya ijuk sudah diganti dengan atap seng dan papan lantai yang sudah lapuk diganti dengan yang baru.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}
Sejak didirikan, masjid ini tidak mengalami perubahan berarti, kecuali perbaikan pada beberapa bagian seperti: atap yang dahulunya ijuk sudah diganti dengan atap seng dan papan lantai yang sudah lapuk diganti dengan yang baru.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}


== Konsturksi ==
== Konstruksi ==
Denah bangunan Masjid Tuanku Pamansiangan berukuran 15,3 x 15,3 meter. Sebagaimana masjid ber[[arsitektur Minangkabau]] lainnya, atap masjid berupa [[tajug]], yakni berbentuk [[limas]] [[bujur sangkar]] berundak-undak dengan permukaan melengkung ke dalam. Atap ditopang oleh sembilan tiang. Tiang utama masjid memiliki berdiameter 64 cm, lebih besar daripada tiang lainnya yang berdiameter 30 cm.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}
Denah bangunan Masjid Tuanku Pamansiangan berukuran 15,3 x 15,3 meter. Sebagaimana masjid ber[[arsitektur Minangkabau]] lainnya, atap masjid ini berupa [[tajug]], yakni bentuk [[limas]] [[bujur sangkar]] berundak-undak dengan permukaan melengkung ke dalam. Atap ditopang oleh sembilan tiang. Tiang utama masjid memiliki diameter 64&nbsp;cm, lebih besar daripada tiang lainnya yang berdiameter 30&nbsp;cm.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}


Masjid ini memiliki lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah setinggi satu setengah meter dan bisa dinaiki melalui anak-anak tangga. Lantai terbuat dari papan yang sebagian besar sudah diganti dengan bahan baru.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}
Masjid ini memiliki lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah setinggi satu setengah meter dan bisa dinaiki melalui anak-anak tangga. Lantai terbuat dari papan yang sebagian besar sudah diganti dengan bahan baru.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}


Bukaan berupa jendela berjumlah enam yang masing-masing terdapat ukiran pada bagian atas lengkungannya.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}
Bukaan berupa jendela berjumlah enam yang masing-masing terdapat ukiran pada bagian atas lengkungannya.{{sfn|Masjid-masjid Kuno...|2006|pp=16-17}}


== Ornamen ==
== Ornamen ==
Masjid Tuanku Pamansiangan memiliki ornamen berupa [[ukiran Minangkabau]]. Motif dari ukiran tebsebut di antaranya berpoa geometris dan tumbuhan-tumbuhan dengan warna terdiri dari merah, hijau, putih, dan coklat keemasan.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}
Masjid Tuanku Pamansiangan memiliki ornamen berupa [[ukiran Minangkabau]]. Motif dari ukiran tersebut di antaranya berupa pola geometris dan tumbuhan-tumbuhan dengan warna terdiri dari merah, hijau, putih, dan coklat keemasan.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018|pp=106}}


Bagian atas tiang utama memiliki motif ''pucuak rabuang,'' motif ''sikambang manih'', dan ''motif sakek tagantuang''. Adapun tiang lainnya hanya memiliki satu jenis motif, yakni ''pandan tajulai. Pucuak rabuang'' merupakan motif yang diambil dari bentuk pucuk rebung yaitu sejenis [[bambu muda]] yang masih kuncup dan belum memiliki daun. ''Sikambang manih'' berbentuk seperti bunga yang sedang mekar yang kelihatan sangat bagus. ''Pandan tajulai'' yang bentuk menyerupai dauan dauan-daun pandan.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}
Bagian atas tiang utama memiliki motif ''[[pucuak rabuang]],'' motif ''sikambang manih'', dan motif ''sakek tagantuang''. Adapun tiang lainnya hanya memiliki satu jenis motif, yakni ''pandan tajulai. Pucuak rabuang'' merupakan motif yang diambil dari bentuk pucuk rebung yaitu sejenis [[Rebung|bambu muda]] yang masih kuncup dan belum memiliki daun. ''Sikambang manih'' berbentuk seperti bunga yang sedang mekar. ''Pandan tajulai'' yakni bentuk menyerupai dauan pandan.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018|pp=103}}


Pada bidang dinding di bagian atas masjid yang mengarah ke mihrab, motifnya mengisi bidang berbentuk persegi. Di dalamnya, terdapat motif ''saik galamai'' dan ''bungo'' di bagian pinggir serta motif ''mangkuto'' dan ''kuciang lalok'' di bagian tengah. Di tengah-tengah, terdapat pula [[kaligrafi]] yang bertuliskan tahun renovasi masjid.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}
Pada bidang dinding di bagian atas masjid yang mengarah ke mihrab, motifnya mengisi bidang berbentuk persegi. Di dalamnya, terdapat motif ''saik galamai'' dan ''bungo'' di bagian pinggir serta motif ''mangkuto'' dan ''kuciang lalok'' di bagian tengah. Di tengah-tengah, terdapat pula [[kaligrafi]] yang bertuliskan tahun renovasi masjid.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018|pp=103-104}}


Motif mangkuto yakni bentuk mahkota sebagai pengaruh yang dibawa oleh bangsa [[Belanda]].{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}
Motif mangkuto yakni bentuk mahkota sebagai pengaruh yang dibawa oleh bangsa [[Belanda]].{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018|pp=106}}


Pada jendela masjid, motifnya mengisi bidang berbentuk setengah lingkaran berupa beberapa motif ''mangkuto'' dan motif ''kuciang lalok''. Di pinggir jendela, dihiasi motif ''saik saik galamai'' dan ''bungo'', sedangkan di bagian bawah dihiasi motif ''limpapeh''. Motif ''limpapeh'' memiliki berbentuk rama-rama atau kupu-kupu.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018}}
Pada jendela masjid, motifnya mengisi bidang berbentuk setengah lingkaran berupa beberapa motif ''mangkuto'' dan motif ''kuciang lalok''. Di pinggir jendela, dihiasi motif ''saik saik galamai'' dan ''bungo'', sedangkan di bagian bawah dihiasi motif ''limpapeh''. Motif ''limpapeh'' memiliki berbentuk rama-rama atau kupu-kupu.{{sfn|Fauziana Izzati, dkk|2018|pp=104-106}}


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 72: Baris 73:
}}
}}
* {{cite book
* {{cite book
|title = Masjid-masjid Kuno di Sumatra Barat, Riau, dan Kepulauan Riau
|title = Masjid-masjid Kuno di Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau
|year = 2006
|year = 2006
|publisher = Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar
|publisher = Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar
Baris 129: Baris 130:


* [https://www.youtube.com/watch?v=CoH576UdjDI Video] di Youtube.
* [https://www.youtube.com/watch?v=CoH576UdjDI Video] di Youtube.
* http://repository.uinib.ac.id/4362/7/FULL.pdf{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}


{{Portal|Islam}}
{{Portal|Islam}}
{{Masjid di Indonesia}}
{{Masjid di Indonesia}}


[[Kategori:Masjid di Sumatra Barat|Menara]]
[[Kategori:Masjid di Sumatera Barat|Menara]]
[[Kategori:Kabupaten Tanah Datar]]
[[Kategori:Kabupaten Tanah Datar]]
[[Kategori:Cagar budaya Indonesia di Sumatra Barat‎]]
[[Kategori:Cagar budaya Indonesia di Sumatera Barat]]
[[Kategori:X Koto, Tanah Datar]]

Revisi terkini sejak 25 Februari 2024 10.48

Masjid Tuanku Pamansiangan
Masjid Tuanku Pamansiangan
Agama
AfiliasiIslam
KepemimpinanWakaf
Lokasi
LokasiNagari Koto Laweh, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Indonesia
Arsitektur
TipeSurau
Gaya arsitekturMinangkabau
Peletakan batu pertama1800-an
Spesifikasi
Panjang15,3 meter
Lebar15,3 meter

Masjid Tuanku Pamansiangan atau Masjid Tuanku Mansiangan terletak di Nagari Koto Laweh, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Indonesia. Masjid ini diperkirakan telah berdiri sejak 1800-an dan dinamakan menurut nama pendirinya, yakni Tuanku Pamansiangan.[1] Bangunannya terbuat dari kayu beratapkan seng. Masjid ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah pada 2008.[2][3][4][5]

Kondisi Masjid Tuanku Pamansiangan masih terawat baik sampai saat ini. Tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu masih utuh sebagaimana aslinya. Masjid ini memiliki ciri khas berupa ornamen ukiran Minangkabau yang menghiasi tiang, jendela, dan dinding masjid.[6][1]

Cikal bakal keberadaan masjid ini berawal dari sebuah surau di lokasi yang sama yang didirikan oleh Tuanku Pamansiangan, seorang ulama Minangkabau yang mendakwahkan agama Islam di Tanah Datar. Lahir pada 1771, Tuanku Pamansiangan bernama asli Abdullah.[7] Ia awalnya belajar agama kepada Syekh Kapeh-Kapeh Paninjauan, murid dari Syekh Burhanuddin di Ulakan. Setelah selesai belajar, Abdullah kembali ke Koto Laweh dan mendirikan surau untuk mendukung kegiatan dakwahnya. Lokasi berdirinya surau merupakan tanah rawa yang banyak tumbuh mensiang, yang selanjutnya melekat sebagai julukan Abdullah sehingga ia dikenal dengan nama Tuanku Pamansiangan atau Tuanku Mansiangan.[1]

Seiring pertambahan jumlah murid, Tuanku Pamansiangan meluaskan suraunya menjadi masjid. Namun, tidak diketahui kapan pastinya surau tersebut berganti menjadi masjid. Dalam buku berjudul Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia yang ditulis Abdul Baqir Zien, Masjid Tuanku Pamansiangan diperkirakan telah berdiri sejak 1800-an.[8] Adapun berdasarkan penelusuran Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Masjid Tuanku Pamansiangan didirikan pada 1870.[2]

Ketika pertama kali dibangun, Masjid Tuanku Pamansiangan memiliki bangunan terbuat dari bambu beratapkan ijuk. Abdul Baqir Zien mencatat, Masjid Tuanku Pamansiangan telah mengalami tiga kali direnovasi sejak didirikan dan saat ini bangunannya telah menggunakan kayu dengan atap dari seng.[8] Penggantian material bangunan diperkirakan berlangsung pada 1903 sampai 1905, merujuk pada kaligrafi abjad Jawi yang terdapat pada bagian mihrab bertuliskan: "Mulai memahat tahun 1323 pada 14 Shafar mulai menyudah tahun 1325".[2] Pengambilan bahan bangunan yakni kayu diperoleh dari hutan. Kayu-kayu digunakan sebagai tiang dan dinding. Sejak didirikan, tiang dan dinding Masjid Tuanku Pamansiangan masih utuh dan terawat sampai saat sekarang.[8] Adapun pengerjaan pembangunan melibatkan tukang-tukang China.[9]

Ide pemugaran masjid sempat mucul pada 1967, yakni mengganti bangunan masjid menjadi permanen dan mengubah bentuk yang ada sekarang. Awalnya, rencana tersebut mendapat dukungan dari sebagian masyarakat, tetapi urung dikarekanan akan menghilangkan nilai sejarah yang dimiliki masjid.[6]

Sejak didirikan, masjid ini tidak mengalami perubahan berarti, kecuali perbaikan pada beberapa bagian seperti: atap yang dahulunya ijuk sudah diganti dengan atap seng dan papan lantai yang sudah lapuk diganti dengan yang baru.[6]

Konstruksi

[sunting | sunting sumber]

Denah bangunan Masjid Tuanku Pamansiangan berukuran 15,3 x 15,3 meter. Sebagaimana masjid berarsitektur Minangkabau lainnya, atap masjid ini berupa tajug, yakni bentuk limas bujur sangkar berundak-undak dengan permukaan melengkung ke dalam. Atap ditopang oleh sembilan tiang. Tiang utama masjid memiliki diameter 64 cm, lebih besar daripada tiang lainnya yang berdiameter 30 cm.[2]

Masjid ini memiliki lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah setinggi satu setengah meter dan bisa dinaiki melalui anak-anak tangga. Lantai terbuat dari papan yang sebagian besar sudah diganti dengan bahan baru.[2]

Bukaan berupa jendela berjumlah enam yang masing-masing terdapat ukiran pada bagian atas lengkungannya.[2]

Masjid Tuanku Pamansiangan memiliki ornamen berupa ukiran Minangkabau. Motif dari ukiran tersebut di antaranya berupa pola geometris dan tumbuhan-tumbuhan dengan warna terdiri dari merah, hijau, putih, dan coklat keemasan.[10]

Bagian atas tiang utama memiliki motif pucuak rabuang, motif sikambang manih, dan motif sakek tagantuang. Adapun tiang lainnya hanya memiliki satu jenis motif, yakni pandan tajulai. Pucuak rabuang merupakan motif yang diambil dari bentuk pucuk rebung yaitu sejenis bambu muda yang masih kuncup dan belum memiliki daun. Sikambang manih berbentuk seperti bunga yang sedang mekar. Pandan tajulai yakni bentuk menyerupai dauan pandan.[11]

Pada bidang dinding di bagian atas masjid yang mengarah ke mihrab, motifnya mengisi bidang berbentuk persegi. Di dalamnya, terdapat motif saik galamai dan bungo di bagian pinggir serta motif mangkuto dan kuciang lalok di bagian tengah. Di tengah-tengah, terdapat pula kaligrafi yang bertuliskan tahun renovasi masjid.[12]

Motif mangkuto yakni bentuk mahkota sebagai pengaruh yang dibawa oleh bangsa Belanda.[10]

Pada jendela masjid, motifnya mengisi bidang berbentuk setengah lingkaran berupa beberapa motif mangkuto dan motif kuciang lalok. Di pinggir jendela, dihiasi motif saik saik galamai dan bungo, sedangkan di bagian bawah dihiasi motif limpapeh. Motif limpapeh memiliki berbentuk rama-rama atau kupu-kupu.[13]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]