Lompat ke isi

Safiatuddin dari Aceh: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Penambahan referensi
 
(17 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox Officeholder
{{Infobox Officeholder
|honorific-prefix =
|honorific-prefix = Sultanah
|name = Sultanah Safiatuddin
|name = Safiatuddin
|honorific-suffix =
|honorific-suffix =
|image =
|image = Sultanah Safiatuddin.jpg
|imagesize =
|smallimage =
|smallimage =
|caption =
|caption = Potret Sultanah Safiatuddin
|order = [[Daftar penguasa Aceh|Sultanah Aceh]]
|order = [[Daftar penguasa Aceh|Sultanah Aceh]]
|office =
|office =
|term_start = [[1641]]
|term_start = 1641
|term_end = [[1675]]
|term_end = 1675
|vicepresident =
|vicepresident =
|viceprimeminister =
|viceprimeminister =
|deputy =
|deputy =
|lieutenant =
|lieutenant =
|monarch =
|monarch = [[Kesultanan Aceh]]
|president =
|president =
|primeminister =
|primeminister =
|taoiseach =
|chancellor =
|chancellor =
|governor =
|governor =
Baris 25: Baris 23:
|succeeding =<!-- Diisi apabila baru terpilih dan belum menjabat. Apabila sudah menjabat, isi di bagian predecessor. -->
|succeeding =<!-- Diisi apabila baru terpilih dan belum menjabat. Apabila sudah menjabat, isi di bagian predecessor. -->
|predecessor = [[Sultan Iskandar Tsani]]
|predecessor = [[Sultan Iskandar Tsani]]
|successor = [[Sultana Naqiatuddin]]
|successor = [[Naqiatuddin dari Aceh]]
|constituency =
|constituency =
|majority =
|majority =
|birth_date = [[1612]]
|birth_date = 1612
|birth_place =
|birth_place =
|death_date = [[1675]]
|death_date = 23 Oktober 1675
|death_place =
|death_place =
|restingplace =
|restingplace =
|restingplacecoordinates =
|restingplacecoordinates =
|birthname =
|birthname = Putri Sri Alam
|nationality =
|nationality =[[Kesultanan Aceh]]
|party =
|party =
|otherparty = <!--For additional political affiliations -->
|otherparty = <!--For additional political affiliations -->
Baris 42: Baris 40:
|relations =
|relations =
|children =
|children =
|parents =
|parents = [[Sultan Iskandar Muda]]
|residence =
|residence =
|alma_mater =
|alma_mater =
Baris 50: Baris 48:
|signature =
|signature =
|website =
|website =
|facebook =
|facebookpage =
}}
}}
'''Sultanah Safiatuddin''' bergelar ''Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum [[Iskandar Muda dari Aceh|Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah]]''. Anak tertua dari [[Sultan Iskandar Muda]] dan dilahirkan pada tahun [[1612]]<ref name="kabari">[http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=31184 ''Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa.''] [http://www.kabarinews.com/ Kabari, 19 Maret 2008.]</ref> dengan nama '''Putri Sri Alam'''. ''Safiatud-din Tajul-’Alam'' memiliki arti “''kemurnian iman, mahkota dunia''.” Ia memerintah antara tahun [[1641]]-[[1675]]. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.<ref name="kalyana">[http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/2/1/kronik2.htm Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia]</ref> Menurut sejarawan Sher Banu A.L. Khan, kajian dan literatur Islam berkembang pesat pada masa Sultanah Safiatuddin sehingga dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini".{{sfn|Khan|2017|p=191}} Selain itu, menurut ''[[Bustan us-Salatin]]'', ekonomi dan perdagangan Aceh menggeliat pada masa Safiatuddin.{{sfn|Khan|2017|p=233}} Safiatuddin meninggal pada tanggal [[23 Oktober]] [[1675]].<ref name="kabari"/>
'''Sultanah Safiatuddin''' bergelar ''Paduka Sri Sultanah Tajul-’Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum [[Iskandar Muda dari Aceh|Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah]]''. Anak tertua dari [[Sultan Iskandar Muda]] dan dilahirkan pada tahun [[1612]]<ref name="kabari">[http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=31184 ''Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa.''] [http://www.kabarinews.com/ Kabari, 19 Maret 2008.]</ref> dengan nama '''Putri Sri Alam'''. ''Safiatuddin Tajul-’Alam'' memiliki arti “''kemurnian iman, mahkota dunia''.” Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.<ref name="kalyana">{{Cite web |url=http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/2/1/kronik2.htm |title=Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia |access-date=2007-05-31 |archive-date=2007-07-17 |archive-url=https://web.archive.org/web/20070717222120/http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/2/1/kronik2.htm |dead-url=yes }}</ref> Menurut sejarawan Sher Banu A.L. Khan, kajian dan literatur Islam berkembang pesat pada masa Sultanah Safiatuddin sehingga dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini".{{sfn|Khan|2017|p=191}} Selain itu, menurut ''[[Bustanus Salatin]]'', ekonomi dan perdagangan Aceh menggeliat pada masa Safiatuddin.{{sfn|Khan|2017|p=233}} Safiatuddin meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.<ref name="kabari"/> <ref>{{Cite web|title=Sultanah Aceh, Potret Perempuan Pemimpin Politik Abad 17|url=https://www.nu.or.id/tokoh/sultanah-aceh-potret-perempuan-pemimpin-politik-abad-17-6WVBJ|website=NU Online|language=id-id|access-date=2024-07-13}}</ref>


== Riwayat ==
== Riwayat ==
=== Sebelum menjadi sultanah ===
=== Sebelum menjadi sultanah ===
Sebelum ia menjadi sultana, [[Kesultanan Aceh|Aceh]] dipimpin oleh suaminya, yaitu [[Sultan Iskandar Tsani]] ([[1637]]-[[1641]]). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, [[Nurudin Ar Raniri]], menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.<ref name="kalyana"/>
Sebelum ia menjadi sultanah, [[Kesultanan Aceh|Aceh]] dipimpin oleh suaminya, yaitu [[Sultan Iskandar Tsani]] ({{reign|1637|1641}}). Setelah Iskandar Tsani wafat sangat sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, [[Nurudin Ar Raniri|Nuruddin ar-Raniri]], menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Safiatuddin diangkat menjadi sultanah.<ref name="kalyana"/>


=== Masa pemerintahan ===
=== Masa pemerintahan ===
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam [[Perang Malaka]] tahun [[1639]]. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan. <ref>{{Cite web|title=Safiatuddin, Perempuan Cantik dari Aceh yang Gemparkan Dunia Melayu|url=https://aceh.tribunnews.com/2023/12/23/safiatuddin-perempuan-cantik-dari-aceh-yang-gemparkan-dunia-melayu|website=Serambinews.com|language=id-ID|access-date=2024-07-13}}</ref>


==== Ekonomi ====
==== Ekonomi ====
Menurut ''[[Bustan us-Salatin]]'', ekonomi dan perdagangan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin mengalami perkembangan pesat. Sumber tersebut menjelaskan bahwa pelabuhan Aceh selalu sibuk dengan datangnya berbagai kapal pedagang asing. Selain itu, ''Bustan'' menyebutkan bahwa pada masa Safiatuddin, harga makanan murah dan Kerajaan Aceh menikmati kesejahteraan.
Menurut ''[[Bustanus Salatin]]'', ekonomi dan perdagangan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin mengalami perkembangan pesat. Sumber tersebut menjelaskan bahwa pelabuhan Aceh selalu sibuk dengan datangnya berbagai kapal pedagang asing. Selain itu, ''Bustanus Salatin'' menyebutkan bahwa pada masa Safiatuddin, harga makanan murah dan rakyat Aceh sejahtera. ''[[Bustanus Salatin]]'' juga menjelaskan bahwa emas dalam jumlah yang besar telah ditemukan pada masa Safiatuddin, sehingga meningkatkan pendapatan negara.{{sfn|Khan|2017|p=233-234}}
''Bustan'' juga menjelaskan bahwa emas dalam jumlah yang besar telah ditemukan pada masa Safiatuddin, sehingga meningkatkan pendapatan negara.{{sfn|Khan|2017|p=233-234}}


Perdagangan gajah di Aceh juga menggeliat pada masa Sultanah Safiatuddin. Antara tahun 1628 hingga 1635, terdapat sekitar 62 gajah yang diekspor dari Aaceh ke [[Benggala]] dan [[Masulipatnam]]. Pada tahun 1641, jumlah gajah yang diekspor dari Aceh ke Masulipatnam, Benggala, [[Orissa]], dan [[Koromandel]] tercatat sebanyak 32 ekor. Pada tahun 1644, [[Shah Shuja]] (putra [[Maharaja Mughal]] [[Shah Jahan]]) mengirim utusan ke Aceh untuk membeli 125 ekor gajah. Walaupun jumlah gajah yang dijual ke India setiap tahunnya berubah-ubah antara 2 hingga 32 ekor pada periode 1641 hingga 1662, pada tahun 1663 jumlahnya mencapai 43 ekor. Safiatuddin sendiri sangat melindungi komoditas gajah Aceh dan berhasil melindungi perdagangan gajah Aceh dari permintaan konsesi [[VOC]].{{sfn|Khan|2017|p=229}}
Perdagangan gajah di Aceh juga menggeliat pada masa Sultanah Safiatuddin. Antara tahun 1628 hingga 1635, terdapat sekitar 62 gajah yang diekspor dari Aceh ke [[Benggala]] dan Machilipatnam. Pada tahun 1641, jumlah gajah yang diekspor dari Aceh ke Masulipatnam, Benggala, [[Orissa]], dan [[Koromandel]] tercatat sebanyak 32 ekor. Pada tahun 1644, [[Shah Shuja (Pangeran Mughal)|Shah Shuja]] (putra [[Maharaja Mughal]] [[Shah Jahan]]) mengirim utusan ke Aceh untuk membeli 125 ekor gajah. Walaupun jumlah gajah yang dijual ke India setiap tahunnya berubah-ubah antara 2 hingga 32 ekor pada periode 1641 hingga 1662, pada tahun 1663 jumlahnya mencapai 43 ekor. Safiatuddin sendiri sangat melindungi komoditas gajah Aceh dan berhasil melindungi perdagangan gajah Aceh dari permintaan konsesi [[VOC]].{{sfn|Khan|2017|p=229}}


==== Hubungan luar negeri ====
==== Hubungan luar negeri ====
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir [[Portugis]], [[Prancis]], [[Inggris]] dan [[Belanda]]. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.<ref name="kalyana"/> Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena [[Malaka]] diperebutkan antara [[VOC]] dengan [[Portugis]]. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani [[Belanda]], [[Portugis]], [[Inggris]], [[India]] dan [[Dunia Arab|Arab]].<ref name="kabari"/>
Sejarah pemerintahan Sultanah Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir [[Portugis]], [[Prancis]], [[Inggris]] dan [[Belanda]]. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.<ref name="kalyana"/> Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena [[Malaka]] diperebutkan antara [[VOC]] dengan [[Portugis]]. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani [[Belanda]], [[Portugis]], [[Inggris]], [[India]] dan [[Dunia Arab|Arab]].<ref name="kabari"/>


==== Penasihat negara ====
==== Penasihat negara ====
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, [[Nuruddin ar-Raniri]] dan [[Abdurrauf Singkil]] yang bergelar ''Teungku Syiah Kuala''. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul ''Hidayatul Imam'' yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, [[Abdurrauf Singkil]] menulis buku berjudul ''Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab'', untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.<ref>[http://www.acehforum.or.id/posisi-perempuan-dalam-t12981.html Posisi Perempuan Dalam Politik Melayu Aceh.] (A. Hasjmi. ''59 Tahun Atjeh Merdeka'', h. 110)</ref>
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, [[Nuruddin ar-Raniri]] dan [[Abdurrauf Singkil]] yang bergelar ''Teungku Syiah Kuala''. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul ''Hidayatul Imam'' yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, [[Abdurrauf Singkil]] menulis buku berjudul ''Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab'', untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.<ref>[http://www.acehforum.or.id/posisi-perempuan-dalam-t12981.html Posisi Perempuan Dalam Politik Melayu Aceh.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20081217111143/http://www.acehforum.or.id/posisi-perempuan-dalam-t12981.html |date=2008-12-17 }} (A. Hasjmi. ''59 Tahun Atjeh Merdeka'', h. 110)</ref>


==== Sastra dan budaya ====
==== Sastra dan budaya ====
Kajian dan literatur Islam mengalami perkembangan pesat pada masa Sultanah Safiatuddin. Terdapat berbagai karya sastra penting yang ditulis pada masa kekuasaannya. [[Syekh al-Islam]] Aceh [[Nuruddin ar-Raniri]] menulis setidaknya tujuh buku mengenai agama, sejarah, literatur, dan hukum, seperti ''[[Shiratul Mustaqim]]'' (Jalan Lurus), ''[[Syaiful-Qutub]]'' (Obat untuk Hati), dan ''[[Bustanul Salathin fi Dzikrilawwalin wal-Akhirin]]'' (Kebun Sultan mengenai Biografi Tokoh Masa Lalu dan Depan). Safiatuddin juga menugaskan [[Abdul Rauf al-Singkel]] untuk menulis sebuah buku mengenai [[fikih]], yang kini dikenal dengan sebutan ''[[Mir’at al Tullab]]''. Buku yang diselesaikan pada tahun 1663 ini merupakan buku pertama mengenai hukum agama ynag ditulis dalam [[bahasa Melayu]]. Dengan perkembangan berbagai karya ini, sejarawan Sher Banu A.L. Khan berkomentar bahwa masa Sultanah Safiatuddin dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini".{{sfn|Khan|2017|p=191}}
Kajian dan literatur Islam mengalami perkembangan pesat pada masa Sultanah Safiatuddin. Terdapat berbagai karya sastra penting yang ditulis pada masa kekuasaannya. [[Syekhul Islam]] Aceh [[Nuruddin ar-Raniri]] menulis setidaknya tujuh buku mengenai agama, sejarah, literatur, dan hukum, seperti ''[[Shiratal Mustaqim|Shiratul Mustaqim]]'' (Jalan Lurus), ''[[Syaiful-Qutub]]'' (Obat untuk Hati), dan ''Bustanus Salathin fi Dzikrilawwalin wal-Akhirin'' (Kebun Sultan mengenai Biografi Tokoh Masa Lalu dan Depan). Safiatuddin juga menugaskan [[Abdurrauf as-Singkili|Abdul Rauf al-Singkel]] untuk menulis sebuah buku mengenai [[fikih]], yang kini dikenal dengan sebutan ''[[Mir’at al Tullab]]''. Buku yang diselesaikan pada tahun 1663 ini merupakan buku pertama mengenai hukum agama yang ditulis dalam [[bahasa Melayu]]. Dengan perkembangan berbagai karya ini, sejarawan Sher Banu A.L. Khan berkomentar bahwa masa Sultanah Safiatuddin dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini".{{sfn|Khan|2017|p=191}}

== Lihat pula ==
* [[Kesultanan Aceh]]
* [[Daftar penguasa Aceh]]
* [[Perang Aceh]]


== Catatan kaki ==
== Catatan kaki ==
<references />
{{reflist}}


== Daftar pustaka ==
== Daftar pustaka ==
Baris 85: Baris 85:
== Pranala luar ==
== Pranala luar ==


* {{id}}[http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=64 M. Adli Abdullah. '''''Ada Apa Ratu Safiatuddin.'''''] Serambi Indonesia, [[28 Agustus]] [[2004]].
* {{id}}[http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=64 M. Adli Abdullah. '''''Ada Apa Ratu Safiatuddin.''''']{{Pranala mati|date=Juli 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }} Serambi Indonesia, [[28 Agustus]] [[2004]].
* {{id}}[http://modusaceh-news.com/html/print/1421/VI/tarikh-nanggroe/sultanah-tajul-alam-safiatuddin-syah.html '''''Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah'''''] Modus Aceh, [[2 April]] [[2009]].
* {{id}}[http://modusaceh-news.com/html/print/1421/VI/tarikh-nanggroe/sultanah-tajul-alam-safiatuddin-syah.html '''''Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah''''']{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }} Modus Aceh, [[2 April]] [[2009]].


{{kotak mulai}}
{{kotak mulai}}
{{kotak suksesi|jabatan=[[Sultan Aceh|Sultan]] [[Kesultanan Aceh|Aceh]]|tahun=[[1641]]—[[1675]]|pendahulu=[[Sultan Iskandar Tsani]]|pengganti=[[Sultana Naqiatuddin]]}}
{{kotak suksesi|jabatan=[[Sultan Aceh|Sultanah]] [[Kesultanan Aceh|Aceh]]|tahun=1641—1675|pendahulu=[[Sultan Iskandar Tsani]]|pengganti=[[Sultana Naqiatuddin|Sultanah Naqiatuddin]]}}
{{kotak selesai}}
{{kotak selesai}}



{{Sultan-bio-stub}}
{{lifetime|1612|1675|}}
{{lifetime|1612|1675|}}
<!--anda dapat berkontribusi di wikipedia dalam menambahkan templat ini pada halaman tokoh muslim yang belum terhimpun di dalam --Kategori:Semua artikel biografi tokoh muslim -- Lihat Templat:Lifetime-Tokoh-Mus
<!--anda dapat berkontribusi di wikipedia dalam menambahkan templat ini pada halaman tokoh muslim yang belum terhimpun di dalam --Kategori:Semua artikel biografi tokoh muslim -- Lihat Templat:Lifetime-Tokoh-Mus
lim -->
lim -->
{{Lifetime-Tokoh-Muslim
{{Lifetime-Tokoh-Muslim
|sort = {{PAGENAME}}
|sort = Safiatuddin dari Aceh
|hari_lahir =
|hari_lahir =
|tgl_lahir_h =
|tgl_lahir_h =
Baris 122: Baris 120:
[[Kategori:Sultanah Aceh|Safiatuddin]]
[[Kategori:Sultanah Aceh|Safiatuddin]]
[[Kategori:Sultan Iskandar Muda]]
[[Kategori:Sultan Iskandar Muda]]
[[Kategori:Wanita Indonesia abad ke-17]]
[[Kategori:Wanita pemimpin]]

Revisi terkini sejak 13 Juli 2024 07.13

Sultanah
Safiatuddin
Potret Sultanah Safiatuddin
Sultanah Aceh
Masa jabatan
1641–1675
Penguasa monarkiKesultanan Aceh
Informasi pribadi
Lahir
Putri Sri Alam

1612
Meninggal23 Oktober 1675
KebangsaanKesultanan Aceh
Suami/istriSultan Iskandar Tsani
Orang tuaSultan Iskandar Muda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultanah Tajul-’Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Anak tertua dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan pada tahun 1612[1] dengan nama Putri Sri Alam. Safiatuddin Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.” Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.[2] Menurut sejarawan Sher Banu A.L. Khan, kajian dan literatur Islam berkembang pesat pada masa Sultanah Safiatuddin sehingga dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini".[3] Selain itu, menurut Bustanus Salatin, ekonomi dan perdagangan Aceh menggeliat pada masa Safiatuddin.[4] Safiatuddin meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.[1] [5]

Sebelum menjadi sultanah

[sunting | sunting sumber]

Sebelum ia menjadi sultanah, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (m. 1637–1641). Setelah Iskandar Tsani wafat sangat sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nuruddin ar-Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Safiatuddin diangkat menjadi sultanah.[2]

Masa pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan. [6]

Menurut Bustanus Salatin, ekonomi dan perdagangan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin mengalami perkembangan pesat. Sumber tersebut menjelaskan bahwa pelabuhan Aceh selalu sibuk dengan datangnya berbagai kapal pedagang asing. Selain itu, Bustanus Salatin menyebutkan bahwa pada masa Safiatuddin, harga makanan murah dan rakyat Aceh sejahtera. Bustanus Salatin juga menjelaskan bahwa emas dalam jumlah yang besar telah ditemukan pada masa Safiatuddin, sehingga meningkatkan pendapatan negara.[7]

Perdagangan gajah di Aceh juga menggeliat pada masa Sultanah Safiatuddin. Antara tahun 1628 hingga 1635, terdapat sekitar 62 gajah yang diekspor dari Aceh ke Benggala dan Machilipatnam. Pada tahun 1641, jumlah gajah yang diekspor dari Aceh ke Masulipatnam, Benggala, Orissa, dan Koromandel tercatat sebanyak 32 ekor. Pada tahun 1644, Shah Shuja (putra Maharaja Mughal Shah Jahan) mengirim utusan ke Aceh untuk membeli 125 ekor gajah. Walaupun jumlah gajah yang dijual ke India setiap tahunnya berubah-ubah antara 2 hingga 32 ekor pada periode 1641 hingga 1662, pada tahun 1663 jumlahnya mencapai 43 ekor. Safiatuddin sendiri sangat melindungi komoditas gajah Aceh dan berhasil melindungi perdagangan gajah Aceh dari permintaan konsesi VOC.[8]

Hubungan luar negeri

[sunting | sunting sumber]

Sejarah pemerintahan Sultanah Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Prancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab.[1]

Penasihat negara

[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.[9]

Sastra dan budaya

[sunting | sunting sumber]

Kajian dan literatur Islam mengalami perkembangan pesat pada masa Sultanah Safiatuddin. Terdapat berbagai karya sastra penting yang ditulis pada masa kekuasaannya. Syekhul Islam Aceh Nuruddin ar-Raniri menulis setidaknya tujuh buku mengenai agama, sejarah, literatur, dan hukum, seperti Shiratul Mustaqim (Jalan Lurus), Syaiful-Qutub (Obat untuk Hati), dan Bustanus Salathin fi Dzikrilawwalin wal-Akhirin (Kebun Sultan mengenai Biografi Tokoh Masa Lalu dan Depan). Safiatuddin juga menugaskan Abdul Rauf al-Singkel untuk menulis sebuah buku mengenai fikih, yang kini dikenal dengan sebutan Mir’at al Tullab. Buku yang diselesaikan pada tahun 1663 ini merupakan buku pertama mengenai hukum agama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Dengan perkembangan berbagai karya ini, sejarawan Sher Banu A.L. Khan berkomentar bahwa masa Sultanah Safiatuddin dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini".[3]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa. Kabari, 19 Maret 2008.
  2. ^ a b c "Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-17. Diakses tanggal 2007-05-31. 
  3. ^ a b Khan 2017, hlm. 191.
  4. ^ Khan 2017, hlm. 233.
  5. ^ "Sultanah Aceh, Potret Perempuan Pemimpin Politik Abad 17". NU Online. Diakses tanggal 2024-07-13. 
  6. ^ "Safiatuddin, Perempuan Cantik dari Aceh yang Gemparkan Dunia Melayu". Serambinews.com. Diakses tanggal 2024-07-13. 
  7. ^ Khan 2017, hlm. 233-234.
  8. ^ Khan 2017, hlm. 229.
  9. ^ Posisi Perempuan Dalam Politik Melayu Aceh. Diarsipkan 2008-12-17 di Wayback Machine. (A. Hasjmi. 59 Tahun Atjeh Merdeka, h. 110)

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Khan, Sher Banu A.L. (2017). Sovereign Women in a Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641-1699. Singapore: NUS Press. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
Didahului oleh:
Sultan Iskandar Tsani
Sultanah Aceh
1641—1675
Diteruskan oleh:
Sultanah Naqiatuddin