Lompat ke isi

Amangkurat IV: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Inayubhagya (bicara | kontrib)
Melengkapi dan merapikan isi artikel
k ~
 
(39 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox royalty
{{Infobox royalty
| name = Amangkurat IV<br />{{java|ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧔꧇}}
| embed =
| name = Sri Susuhunan Hamengkurat IV
| title = Sunan Jawi
| title = Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Hamengkurat Jawa
| titletext =
| titletext =
| more =
| more =
Baris 12: Baris 11:
| coronation =
| coronation =
| cor-type = Penobatan
| cor-type = Penobatan
| predecessor = [[Pakubuwana I|Susuhunan Pakubuwana I]]
| predecessor = [[Pakubuwana I]]
| successor = [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]]<br>[[Hamengkurat V|Susuhunan Hamengkurat V]]
| successor = [[Pakubuwana II]]
| suc-type =
| suc-type =
| regent =
| regent =
Baris 19: Baris 18:


| birth_name = Raden Mas Suryaputra
| birth_name = Raden Mas Suryaputra
| birth_date = ?
| birth_date = 1680
| birth_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Kartasura, Mataram]]
| birth_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Kartasura, Mataram]]
| death_date = [[20]] [[April]] [[1726]]
| death_date = 20 April 1726
| death_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Kartasura, Mataram]]
| death_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Kartasura, Mataram]]
| burial_place = [[Pemakaman Imogiri|Astana Pakubuwanan]], [[Imogiri, Bantul]], [[Yogyakarta]]
| burial_place = [[Pemakaman Imogiri|Astana Pakubuwanan]], [[Imogiri, Bantul]], [[Yogyakarta]]
Baris 34: Baris 33:
| era name =
| era name =
| era dates =
| era dates =
| regnal name = ''Ing Sajumeneng Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Hamengkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IV ing Nagari Mataram''
| regnal name = ''Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IV''
| posthumous name = Misuwuring asma Hamengkurat Jawa
| posthumous name = Sunan Jawi
| temple name =
| temple name =
| native_lang1 = [[Bahasa Jawa]]
| native_lang1_name1 = ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧔꧇
| house = [[Wangsa Mataram|Mataram]]
| house = [[Wangsa Mataram|Mataram]]
| father = [[Pakubuwana I|Susuhunan Pakubuwana I]]
| father = [[Pakubuwana I]]
| mother = Ratu Mas Balitar
| mother = Ratu Mas Balitar
| religion = [[Islam]]
| religion = [[Islam]]
Baris 47: Baris 48:
}}
}}


'''Sri Susuhunan Hamengkurat IV''' (dikenal juga sebagai ''Hamengkurat Jawa'', ''Sunan Jawi'' dan ''Sunan Prabu'') adalah raja [[Kesultanan Mataram|Mataram]] kedelapan yang memerintah pada tahun [[1719]] – [[1726]]. Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa, bapak [[wangsa Mataram]], karena menurunkan trah yang berkuasa di Surakarta dan Yogyakarta.
'''Amangkurat IV''' ({{lang-jv|ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧔꧇|amangkurat kapapat|amangkurat empat}}, dikenal juga sebagai ''Sunan Jawi'') adalah [[susuhunan]] [[Mataram II|Mataram]] kedelapan yang memerintah pada tahun [[1719]] – [[1726]]. Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa, bapak [[wangsa Mataram]], karena menurunkan trah yang berkuasa di Surakarta dan Yogyakarta.


== Silsilah ==
== Silsilah ==
Hamengkurat Jawa atau Sunan Jawi memiliki nama asli Raden Mas Suryaputra, dia adalah putra dari [[Pakubuwana I|Susuhunan Pakubuwana I]] yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Balitar (keturunan Pangeran Juminah, putra [[Panembahan Senapati]] dengan Ratna Dumilah).
Sunan Amangkurat IV atau Sunan Jawi memiliki nama asli Raden Mas Suryaputra, dia adalah putra dari [[Pakubuwana I]] yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Balitar (keturunan Pangeran Juminah, putra [[Panembahan Senapati]] dengan Ratna Dumilah).


Seperti raja-raja Mataram lainnya, Susuhunan Hamengkurat IV memiliki beberapa orang putra yang kemudian menjadi tokoh penting, diantaranya:
Seperti raja-raja Mataram lainnya, Amangkurat IV memiliki beberapa orang putra yang kemudian menjadi tokoh penting, diantaranya:
* Dari garwa padmi (permaisuri) GKR. Kencana (Ratu Mas Kadipaten) lahir [[Pakubuwana II]], pendiri [[Kasunanan Surakarta]]
* Dari garwa padmi (permaisuri) GKR. Kencana (Ratu Mas Kadipaten) lahir [[Pakubuwana II]], pendiri [[Kesunanan Surakarta]]
* Dari garwa ampeyan (selir) Mas Ayu Tejawati lahir Pangeran Mangkubumi alias [[Hamengkubuwana I]], pendiri [[Kasultanan Yogyakarta|Kasultanan Ngayogyakarta]]
* Dari garwa ampil (selir) Mas Ayu Tejawati lahir Pangeran Mangkubumi alias [[Hamengkubuwana I]], pendiri [[Kesultanan Yogyakarta]]
* Dari garwa ampeyan (selir) Mas Ayu Karoh lahir [[Mangkunegara_dari_Kartasura|Pangeran Mangkunagara]], ayah dari [[Mangkunagara I]], pendiri [[Kadipaten Mangkunagaran]]
* Dari garwa ampil (selir) Mas Ayu Karoh lahir [[Pangeran Mangkunagara]], ayah dari [[Mangkunagara I]], pendiri [[Kadipaten Mangkunagaran]]
* Dari garwa ampeyan (selir) RA. Ratna Susilawati (putri [[Untung Surapati]]) lahir [[Nur Iman Mlangi|Kiai Nur Iman Mlangi]], tokoh agama atau ulama di [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]]
* Dari garwa ampil (selir) RA. Ratna Susilawati (putri [[Untung Surapati]]) lahir [[Nur Iman Mlangi|Kiai Nur Iman Mlangi]], tokoh agama atau ulama di [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]]


== Pemerintahan ==
== Pemerintahan ==
=== Suksesi di Kartasura ===
=== Suksesi di Kartasura ===
Pada tahun [[1703]] [[Hamengkurat II|Susuhunan Hamengkurat II]] mangkat, digantikan putranya bernama Raden Mas Sutikna bergelar [[Hamengkurat III|Susuhunan Hamengkurat III]].
Pada tahun 1703 [[Amangkurat II]] mangkat, digantikan putranya bernama Raden Mas Sutikna bergelar [[Amangkurat III]].


Dampak serius dari serangan Trunajaya di Plered, menjadikan Susuhunan Hamengkurat III memindahkan istana menuju desa Wanakarta, kemudian mendirikan istana baru yang diberi nama Kartasura pada tahun [[1680]]. [[Kartasura, Mataram|Karaton Kartasura]] merupakan pusat istana Mataram setelah [[Plered, Mataram|Karaton Plered]]. Namun, [[Pangeran Puger]] (adik Hamengkurat II) bertahan di Plered untuk menolak bergabung dengan Hamengkurat II. Perseteruan terjadi, akhirnya di tahun [[1681]], Pangeran Puger menyerah dan mengakui kedaulatan kakaknya.
Dampak serius dari serangan Trunajaya di Plered, menjadikan Amangkurat II memindahkan istana menuju desa Wanakarta, kemudian mendirikan istana baru yang diberi nama Kartasura pada tahun [[1680]]. [[Kartasura, Mataram|Karaton Kartasura]] merupakan pusat istana Mataram setelah [[Plered, Mataram|Karaton Plered]]. Namun, [[Pangeran Puger]] (adik Amangkurat II) bertahan di Plered untuk menolak bergabung dengan Amangkurat II. Perseteruan terjadi, akhirnya di tahun [[1681]], Pangeran Puger menyerah dan mengakui kedaulatan kakaknya.


Walau demikian, Pangeran Puger tampaknya mendapat banyak dukungan dari keluarga karaton. Akhirnya pada [[1704]], Hamengkurat III mengirim pasukan untuk memburu Pangeran Puger. Tetapi, dibantu Cakrajaya (Danureja) sebagai mata-mata yang menyamar menjadi tukang sapu rumput. Mengetahui berita penangkapan tersebut Pangeran Puger bergegas melarikan diri menuju [[Semarang]], untuk meminta bantuan kepada Belanda. Oleh mereka, permintaan itu disetujui dan tentu dengan bermacam syarat. Satu tahun kemudian (1705), gabungan pasukan Belanda, Semarang, Madura Barat dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura.
Walau demikian, Pangeran Puger tampaknya mendapat banyak dukungan dari keluarga karaton. Akhirnya pada [[1704]], Amangkurat III mengirim pasukan untuk memburu Pangeran Puger. Tetapi, dibantu Cakrajaya (Danureja) sebagai mata-mata yang menyamar menjadi tukang sapu rumput. Mengetahui berita penangkapan tersebut Pangeran Puger bergegas melarikan diri menuju [[Semarang]], untuk meminta bantuan kepada Belanda. Oleh mereka, permintaan itu disetujui dan tentu dengan bermacam syarat. Satu tahun kemudian (1705), gabungan pasukan Belanda, Semarang, Madura Barat dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura.


Namun, atas saran Arya Mataram, Susuhunan Hamengkurat III akhirnya terpaksa mengungsi ke [[Ponorogo]] dengan membawa pusaka-pusaka. Pangeran Puger bersama koalisinya akhirnya berhasil menduduki Kartasura, dan kemudian naik takhta dengan gelar [[Pakubuwana I|Susuhunan Pakubuwana I]]. Sebagai balas jasa kepada Belanda, Susuhunan Pakubuwana I harus merugi karena wilayah pesisir Semarang dan sekitarnya harus diserahkan dalam kuasa Belanda dengan status gadai.<ref name ="babadkarta1"></ref>
Namun, atas saran Arya Mataram, Amangkurat III akhirnya terpaksa mengungsi ke [[Ponorogo]] dengan membawa pusaka-pusaka. Pangeran Puger bersama koalisinya akhirnya berhasil menduduki Kartasura, dan kemudian naik takhta dengan gelar [[Pakubuwana I]]. Sebagai balas jasa kepada Belanda, Pakubuwana I harus merugi karena wilayah pesisir Semarang dan sekitarnya harus diserahkan dalam kuasa Belanda dengan status gadai.<ref name ="babadkarta1" />


=== Kenaikan takhta ===
=== Kenaikan takhta ===
Pada tahun [[1719]] Susuhunan Pakubuwana I mangkat, selanjutnya Raden Mas Suryaputra, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Mataram. Namun, ia tidak mengambil gelar Pakubuwana tetapi bergelar Hamengkurat IV, meneruskan gelar saudara sepupuya yaitu Susuhunan Hamengkurat III.
Pada tahun 1719 Pakubuwana I mangkat, selanjutnya Raden Mas Suryaputra, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Mataram. Namun, ia tidak mengambil gelar Pakubuwana tetapi bergelar Amangkurat IV, meneruskan gelar saudara sepupuya yaitu Amangkurat III.


Di tengah-tengah era kepemimpinan Susuhunan Hamengkurat IV, suksesi takhta Jawa kembali terjadi. Perebutan pucuk penguasa Mataram tak bisa dihindari, berdampak besar bagi Mataram, juga wilayah-wilayahnya di mancanagara. Dan karena kurang berkenannya banyak keluarga karaton atas penobatan Susuhunan Hamengurat IV, rakyat Jawa kemudian terpecah kepercayaannya, menjadi lima kubu, yaitu pihak Hamengkurat IV kemudian ketiga saudaranya, yaitu; Pangeran Purbaya, Pangeran Balitar, Arya Dipanagara, dan juga Arya Mataram (paman Hamengkurat IV).
Di tengah-tengah era kepemimpinan Amangkurat IV, suksesi takhta Jawa kembali terjadi. Perebutan pucuk penguasa Mataram tak bisa dihindari, berdampak besar bagi Mataram, juga wilayah-wilayahnya di mancanagara. Dan karena kurang berkenannya banyak keluarga karaton atas penobatan Amangkurat IV, rakyat Jawa kemudian terpecah kepercayaannya, menjadi lima kubu, yaitu pihak Amangkurat IV kemudian ketiga saudaranya, yaitu; Pangeran Purbaya, Pangeran Balitar, [[Panembahan Heru Cokro Madhiun|Arya Dipanagara]], dan juga Pangeran Arya Mataram (paman Amangkurat IV).


Sementara itu Pangeran Balitar mencoba mendirikan kembali bekas istana [[Sultan Agung]], yang diberi nama Kartasekar dan mengkuhkan diri sebagai Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana. Disusul Arya Dipanagara mengukuhkan diri bergelar Panembahan Herucakra, beristana di [[Madiun]]. Sementara itu, Arya Mataram memilih mengungsi dari Kartasura menuju pesisir utara. Setelah sampai di Santenan (Cengkal Sewu), pasukan Arya Mataram bergerak dan menyerang wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela.<ref name ="babadkarta1">{{cite book | author= R. Ng. Yasadipura I | year = 1729-1803 | title= Babad Kartasura | location = Jakarta }}</ref>
Sementara itu Pangeran Balitar mencoba mendirikan kembali bekas istana [[Sultan Agung]], yang diberi nama Kartasekar dan mengkuhkan diri sebagai Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana. Disusul Arya Dipanagara mengukuhkan diri bergelar [[Panembahan Heru Cokro Madhiun|Panembahan Herucakra]], beristana di [[Madiun]]. Sementara itu, Arya Mataram memilih mengungsi dari Kartasura menuju pesisir utara. Setelah sampai di Santenan (Cengkal Sewu), pasukan Arya Mataram bergerak dan menyerang wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela.<ref name ="babadkarta1">{{cite book | author= R. Ng. Yasadipura I | year = 1729-1803 | title= Babad Kartasura | location = Jakarta }}</ref>


=== Meredamkan pemberontakan ===
=== Meredamkan pemberontakan ===
Perang saudara memperebutkan takhta [[Kesultanan Mataram|Mataram]] yang oleh para sejarawan disebut perang suksesi Jawa jilid II ini menyebabkan rakyat [[Jawa]] terpecah belah. Sebagian memihak Hamengkurat IV, sebagian memihak Pangeran Balitar, sebagian memihak Arya Dipanagara, dan sebagian lagi memihak Arya Mataram.
Perang saudara memperebutkan takhta [[Kesultanan Mataram|Mataram]] yang oleh para sejarawan disebut perang suksesi Jawa jilid II ini menyebabkan rakyat [[Jawa]] terpecah belah. Sebagian memihak Amangkurat IV, sebagian memihak Pangeran Balitar, sebagian memihak Arya Dipanagara, dan sebagian lagi memihak Arya Mataram.


Pangeran Balitar berhasil membuat Jayapuspita (sekutu Arya Dipanagara) memihak kepadanya dan menggunakan kekuatan [[Mojokerto]] itu untuk menggempur [[Madiun]]. Arya Dipanagara kalah dan menyingkir ke Baturrana. Di sana ia ganti dikejar oleh pasukan Mataram dari Kartasura. Akhirnya, Arya Dipanagara pun menyerah pada Pangeran Balitar dan bergabung bersamanya di Kartasekar.
Pangeran Balitar berhasil membuat Jayapuspita (sekutu Arya Dipanagara) memihak kepadanya dan menggunakan kekuatan [[Mojokerto]] itu untuk menggempur [[Madiun]]. Arya Dipanagara kalah dan menyingkir ke Baturrana. Di sana ia ganti dikejar oleh pasukan Mataram dari Kartasura. Akhirnya, Arya Dipanagara pun menyerah pada Pangeran Balitar dan bergabung bersamanya di Kartasekar.
Baris 89: Baris 90:


== Akhir pemerintahan ==
== Akhir pemerintahan ==
Susuhunan Hamengkurat IV berselisih dengan [[Cakraningrat IV]] bupati Madura Barat. Cakraningrat IV ini ikut berjasa memerangi pemberontakan Jayapuspita di [[Surabaya]] tahun [[1718]] silam. Ia pernah memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan [[VOC]] daripada [[Kesultanan Mataram|Mataram]].
Amangkurat IV berselisih dengan [[Cakraningrat IV]] bupati Madura Barat. Cakraningrat IV ini ikut berjasa memerangi pemberontakan Jayapuspita di [[Surabaya]] tahun [[1718]] silam. Ia pernah memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan [[VOC]] daripada [[Kesultanan Mataram|Mataram]].


Hubungan dengan [[Cakraningrat IV]] kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Hamengkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini berselisih terhadap Raden Mas Prabasuyasa, putra Hamengkurat IV.
Hubungan dengan [[Cakraningrat IV]] kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini berselisih terhadap Raden Mas Prabasuyasa, putra Amangkurat IV.


Hamengkurat IV sendiri jatuh sakit bulan [[Maret]] [[1726]] akibat diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya, ia lebih dulu meninggal dunia pada tanggal [[20]] [[April]] [[1726]].<ref name ="rick1">{{cite book | author= M.C. Ricklefs | year = 1993 | title= A History of Modern Indonesia Since c. 1300 }}</ref>
Amangkurat IV sendiri jatuh sakit bulan [[Maret]] [[1726]] akibat diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya, ia lebih dulu meninggal dunia pada tanggal [[20]] [[April]] [[1726]].<ref name ="rick1">{{cite book | author= M.C. Ricklefs | year = 1993 | title= A History of Modern Indonesia Since c. 1300 }}</ref>


Hamengkurat IV digantikan Raden Mas Prabasuyasa, putranya yang baru berusia 15 tahun bergelar [[Pakubuwana II]] sebagai raja selanjutnya. Kelak Pakubuwana II juga berselisih dengan [[Raden Mas Garendi]] (cucu [[Hamengkurat III]]), [[Pangeran Mangkubumi]] (paman) dan [[Raden Mas Said]] (keponakan). Hal tersebut berdampak terhadap kedaulatan Mataram, serta campur tangan Belanda dalam [[Perjanjian Giyanti]] disusul [[Perjanjian Salatiga]].
Amangkurat IV digantikan Raden Mas Prabasuyasa, putranya yang baru berusia 15 tahun bergelar [[Pakubuwana II]] sebagai raja selanjutnya. Kelak Pakubuwana II juga berselisih dengan [[Sunan Kuning]] (cucu [[Amangkurat III]]), [[Pangeran Mangkubumi]] (adik) dan [[Pangeran Sambernyawa]] (keponakan). Hal tersebut berdampak terhadap kedaulatan Mataram, serta campur tangan Belanda dalam [[Perjanjian Giyanti]] disusul [[Perjanjian Salatiga]].

== Lihat pula ==
* [[Kesultanan Mataram]]
* [[Wangsa Mataram]]
* [[Kesunanan Surakarta]]
* [[Kesultanan Yogyakarta]]


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 108: Baris 115:
* Purwadi. 2007. ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu
* Purwadi. 2007. ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu


{{s-start}}
== Lihat pula ==
* [[Kesultanan Mataram]]
{{s-hou|[[Wangsa Mataram]]||Tidak diketahui||1726}}
{{s-reg|}}
* [[Wangsa Mataram]]
{{s-bef|before=[[Pakubuwana I]]}}
* [[Kasunanan Surakarta]]
{{s-ttl|title=[[Kesultanan Mataram|Susuhunan Mataram]]|years=1719 ‒ 1726}}
* [[Kesultanan Yogyakarta]]
{{s-aft|after=[[Pakubuwana II]]}}

{{s-end}}

{{kotak mulai}}
{{s-reg}}
{{kotak suksesi|jabatan = [[Susuhunan Mataram]]|tahun = 1719 – 1726|pendahulu = [[Pakubuwana I]]|pengganti = [[Pakubuwana II]]<br />[[Hamengkurat V]]}}
{{kotak selesai}}


{{DEFAULTSORT:Hamengkurat 04}}
{{DEFAULTSORT:Amangkurat 04}}
[[Kategori:Kesultanan Mataram]]
[[Kategori:Kesultanan Mataram]]
[[Kategori:Susuhunan Mataram]]
[[Kategori:Susuhunan Mataram]]

Revisi terkini sejak 23 Mei 2024 15.10

Amangkurat IV
ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧔꧇
Sunan Jawi
Susuhunan Mataram
ke-8
Bertakhta17191726
PendahuluPakubuwana I
PenerusPakubuwana II
KelahiranRaden Mas Suryaputra
1680
Kesultanan Mataram Kartasura, Mataram
Kematian20 April 1726
Kesultanan Mataram Kartasura, Mataram
Pemakaman
Nama takhta
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IV
Nama anumerta
Sunan Jawi
Bahasa Jawaꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧔꧇
WangsaMataram
AyahPakubuwana I
IbuRatu Mas Balitar
AgamaIslam

Amangkurat IV (bahasa Jawa: ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧔꧇, translit. amangkurat kapapat, har. 'amangkurat empat', dikenal juga sebagai Sunan Jawi) adalah susuhunan Mataram kedelapan yang memerintah pada tahun 17191726. Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa, bapak wangsa Mataram, karena menurunkan trah yang berkuasa di Surakarta dan Yogyakarta.

Sunan Amangkurat IV atau Sunan Jawi memiliki nama asli Raden Mas Suryaputra, dia adalah putra dari Pakubuwana I yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Balitar (keturunan Pangeran Juminah, putra Panembahan Senapati dengan Ratna Dumilah).

Seperti raja-raja Mataram lainnya, Amangkurat IV memiliki beberapa orang putra yang kemudian menjadi tokoh penting, diantaranya:

Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Suksesi di Kartasura

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1703 Amangkurat II mangkat, digantikan putranya bernama Raden Mas Sutikna bergelar Amangkurat III.

Dampak serius dari serangan Trunajaya di Plered, menjadikan Amangkurat II memindahkan istana menuju desa Wanakarta, kemudian mendirikan istana baru yang diberi nama Kartasura pada tahun 1680. Karaton Kartasura merupakan pusat istana Mataram setelah Karaton Plered. Namun, Pangeran Puger (adik Amangkurat II) bertahan di Plered untuk menolak bergabung dengan Amangkurat II. Perseteruan terjadi, akhirnya di tahun 1681, Pangeran Puger menyerah dan mengakui kedaulatan kakaknya.

Walau demikian, Pangeran Puger tampaknya mendapat banyak dukungan dari keluarga karaton. Akhirnya pada 1704, Amangkurat III mengirim pasukan untuk memburu Pangeran Puger. Tetapi, dibantu Cakrajaya (Danureja) sebagai mata-mata yang menyamar menjadi tukang sapu rumput. Mengetahui berita penangkapan tersebut Pangeran Puger bergegas melarikan diri menuju Semarang, untuk meminta bantuan kepada Belanda. Oleh mereka, permintaan itu disetujui dan tentu dengan bermacam syarat. Satu tahun kemudian (1705), gabungan pasukan Belanda, Semarang, Madura Barat dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura.

Namun, atas saran Arya Mataram, Amangkurat III akhirnya terpaksa mengungsi ke Ponorogo dengan membawa pusaka-pusaka. Pangeran Puger bersama koalisinya akhirnya berhasil menduduki Kartasura, dan kemudian naik takhta dengan gelar Pakubuwana I. Sebagai balas jasa kepada Belanda, Pakubuwana I harus merugi karena wilayah pesisir Semarang dan sekitarnya harus diserahkan dalam kuasa Belanda dengan status gadai.[1]

Kenaikan takhta

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1719 Pakubuwana I mangkat, selanjutnya Raden Mas Suryaputra, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Mataram. Namun, ia tidak mengambil gelar Pakubuwana tetapi bergelar Amangkurat IV, meneruskan gelar saudara sepupuya yaitu Amangkurat III.

Di tengah-tengah era kepemimpinan Amangkurat IV, suksesi takhta Jawa kembali terjadi. Perebutan pucuk penguasa Mataram tak bisa dihindari, berdampak besar bagi Mataram, juga wilayah-wilayahnya di mancanagara. Dan karena kurang berkenannya banyak keluarga karaton atas penobatan Amangkurat IV, rakyat Jawa kemudian terpecah kepercayaannya, menjadi lima kubu, yaitu pihak Amangkurat IV kemudian ketiga saudaranya, yaitu; Pangeran Purbaya, Pangeran Balitar, Arya Dipanagara, dan juga Pangeran Arya Mataram (paman Amangkurat IV).

Sementara itu Pangeran Balitar mencoba mendirikan kembali bekas istana Sultan Agung, yang diberi nama Kartasekar dan mengkuhkan diri sebagai Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana. Disusul Arya Dipanagara mengukuhkan diri bergelar Panembahan Herucakra, beristana di Madiun. Sementara itu, Arya Mataram memilih mengungsi dari Kartasura menuju pesisir utara. Setelah sampai di Santenan (Cengkal Sewu), pasukan Arya Mataram bergerak dan menyerang wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela.[1]

Meredamkan pemberontakan

[sunting | sunting sumber]

Perang saudara memperebutkan takhta Mataram yang oleh para sejarawan disebut perang suksesi Jawa jilid II ini menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah. Sebagian memihak Amangkurat IV, sebagian memihak Pangeran Balitar, sebagian memihak Arya Dipanagara, dan sebagian lagi memihak Arya Mataram.

Pangeran Balitar berhasil membuat Jayapuspita (sekutu Arya Dipanagara) memihak kepadanya dan menggunakan kekuatan Mojokerto itu untuk menggempur Madiun. Arya Dipanagara kalah dan menyingkir ke Baturrana. Di sana ia ganti dikejar oleh pasukan Mataram dari Kartasura. Akhirnya, Arya Dipanagara pun menyerah pada Pangeran Balitar dan bergabung bersamanya di Kartasekar.

Pada bulan Oktober 1719 pihak Mataram dibantu VOC menumpas Arya Mataram lebih dahulu, yang memberontak di Pati. Kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara.

Pada bulan November 1720 gabungan pasukan Mataram dan VOC menyerang Kartasekar. Kemudian Kartasekar berhasil dihancurkan sehingga kelompok Pangeran Balitar menyingkir ke timur.

Satu persatu kekuatan pemberontak berkurang. Jayapuspita meninggal karena sakit tahun 1720 sebelum jatuhnya Kartasekar. Pangeran Balitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat dirinya berada di Malang.

Perang akhirnya berhasil dihentikan pada tahun 1723. Kelompok pemberontak ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Arya Dipanagara (Panembahan Herucakra) dibuang ke Tanjung Harapan, sedangkan Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dibuang ke Sri Langka.

Akhir pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Amangkurat IV berselisih dengan Cakraningrat IV bupati Madura Barat. Cakraningrat IV ini ikut berjasa memerangi pemberontakan Jayapuspita di Surabaya tahun 1718 silam. Ia pernah memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Mataram.

Hubungan dengan Cakraningrat IV kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini berselisih terhadap Raden Mas Prabasuyasa, putra Amangkurat IV.

Amangkurat IV sendiri jatuh sakit bulan Maret 1726 akibat diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya, ia lebih dulu meninggal dunia pada tanggal 20 April 1726.[2]

Amangkurat IV digantikan Raden Mas Prabasuyasa, putranya yang baru berusia 15 tahun bergelar Pakubuwana II sebagai raja selanjutnya. Kelak Pakubuwana II juga berselisih dengan Sunan Kuning (cucu Amangkurat III), Pangeran Mangkubumi (adik) dan Pangeran Sambernyawa (keponakan). Hal tersebut berdampak terhadap kedaulatan Mataram, serta campur tangan Belanda dalam Perjanjian Giyanti disusul Perjanjian Salatiga.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b R. Ng. Yasadipura I (1729–1803). Babad Kartasura. Jakarta. 
  2. ^ M.C. Ricklefs (1993). A History of Modern Indonesia Since c. 1300. 

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]
  • Miksic, John (general ed.), et al. (2006) Karaton Surakarta. A look into the court of Surakarta Hadiningrat, central Java (First published: 'By the will of His Serene Highness Paku Buwono XII'. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004) Marshall Cavendish Editions Singapore ISBN 981-261-226-2
  • Ricklefs, M.C. (1998) The seen and unseen worlds in Java, 1726–49: History, literature and Islam in the court of Pakubuwana II. St. Leonards NSW: The Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwin; Honolulu : The University of Hawai'i Press.
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Amangkurat IV
Lahir: Tidak diketahui Meninggal: 1726
Gelar
Didahului oleh:
Pakubuwana I
Susuhunan Mataram
1719 ‒ 1726
Diteruskan oleh:
Pakubuwana II