Lompat ke isi

Eyang Djugo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menambah Kategori:Dewa-Dewi Taoisme menggunakan HotCat
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(16 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Eyang Djugo''' (wafat pada 22 Januari 1871<ref name=":0">{{Cite web|last=Kusumo|first=Rizky|title=Mbah Jugo, Sosok Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Jawa|url=https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/11/18/mbah-jugo-sosok-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-jawa|website=Good News From Indonesia|language=id-ID|access-date=2022-01-29}}</ref> atau 1879<ref name=":3">{{Cite web|last=Arif|first=Solichan|date=2021-08-14|title=Kisah Mbah Djugo, Sebelum Meninggal Lakukan Tapa Ngelowong : Okezone Nasional|url=https://nasional.okezone.com/read/2021/08/13/337/2455390/kisah-mbah-djugo-sebelum-meninggal-lakukan-tapa-ngelowong|website=Okezone|language=id-ID|access-date=2022-01-29}}</ref> di [[Kesamben, Blitar]]; dikenal juga dengan nama '''Raden Mas Soerjokoesoemo''', '''Kiai Zakaria II''', '''Mbah Djugo''', '''Mbah Kromodi Redjo''', atau '''Taw Low She 大老师''') adalah seorang guru spiritual yang lahir di [[Hindia Belanda]]. Beliau dikenal sebagai tabib yang konon menyembuhkan [[Pandemi kolera 1817–1824|pagebluk kolera di Jawa Timur]].
'''Eyang Djugo''' (wafat pada 22 Januari 1871<ref name=":0">{{Cite web|last=Kusumo|first=Rizky|title=Mbah Jugo, Sosok Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Jawa|url=https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/11/18/mbah-jugo-sosok-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-jawa|website=Good News From Indonesia|language=id-ID|access-date=2022-01-29|archive-date=2022-07-15|archive-url=https://web.archive.org/web/20220715230238/https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/11/18/mbah-jugo-sosok-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-jawa|dead-url=no}}</ref> atau 1879<ref name=":3">{{Cite news|last=Arif|first=Solichan|date=2021-08-14|title=Kisah Mbah Djugo, Sebelum Meninggal Lakukan Tapa Ngelowong|url=https://nasional.okezone.com/read/2021/08/13/337/2455390/kisah-mbah-djugo-sebelum-meninggal-lakukan-tapa-ngelowong|work=[[Okezone.com]]|language=id-ID|access-date=2022-01-29|archive-date=2022-07-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20220714082329/https://nasional.okezone.com/read/2021/08/13/337/2455390/kisah-mbah-djugo-sebelum-meninggal-lakukan-tapa-ngelowong|dead-url=no}}</ref> di [[Kesamben, Blitar]]; dikenal juga dengan nama '''R.M. Soerjokoesoemo''', '''Kiai Zakaria II''', '''Mbah Djugo''', '''Mbah Kromodi Redjo''', atau '''Taw Low She 大老师''') adalah seorang guru spiritual yang jenazahnya dimakamkan di [[Pesarean Gunung Kawi]]. Beliau dikenal sebagai guru yang konon menyembuhkan [[Pandemi kolera 1846–1860|pagebluk kolera di Jawa Timur]].


Mbah Djugo adalah sosok yang dianggap sebagai guru spiritual besar oleh masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Madura|Madura]] dan [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]]. Makamnya di [[Pesarean Gunung Kawi]] banyak dikunjungi orang dari etnis-etnis tersebut.<ref>{{Cite web|last=Hartik|first=Andi|date=2019-05-15|title=Pesarean Gunung Kawi, Jejak Perjuangan Pengawal Diponegoro serta Wujud Toleransi Etnis dan Agama|url=https://regional.kompas.com/read/2019/05/15/09540861/pesarean-gunung-kawi-jejak-perjuangan-pengawal-diponegoro-serta-wujud|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2022-01-29}}</ref> Ia juga dipuja di banyak klenteng, termasuk [[Kim Tek Ie]], klenteng tertua di [[Jakarta]].<ref>{{Cite web|last=Anugrahadi|first=Ady|date=2019-02-03|title=Menengok Persiapan Klenteng Kim Tek Le Sambut Tahun Baru Imlek|url=https://www.merdeka.com/peristiwa/menengok-persiapan-klenteng-kim-tek-le-sambut-tahun-baru-imlek.html|website=merdeka.com|language=id-ID|access-date=2022-01-29}}</ref>
Eyang Djugo adalah sosok yang dianggap sebagai guru spiritual besar oleh sebagian masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Madura|Madura]] dan [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]]. Makamnya di Pesarean Gunung Kawi banyak dikunjungi orang dari etnis-etnis tersebut.<ref>{{Cite news|last=Hartik|first=Andi|date=2019-05-15|title=Pesarean Gunung Kawi, Jejak Perjuangan Pengawal Diponegoro serta Wujud Toleransi Etnis dan Agama|url=https://regional.kompas.com/read/2019/05/15/09540861/pesarean-gunung-kawi-jejak-perjuangan-pengawal-diponegoro-serta-wujud|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2022-01-29|editor-last=Ika|editor-first=Aprillia|archive-date=2023-04-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20230401013040/https://regional.kompas.com/read/2019/05/15/09540861/pesarean-gunung-kawi-jejak-perjuangan-pengawal-diponegoro-serta-wujud|dead-url=no}}</ref> Ia juga dipuja di banyak klenteng, termasuk [[Kim Tek Ie]], klenteng tertua di [[Jakarta]].<ref>{{Cite news|last=Anugrahadi|first=Ady|date=2019-02-03|title=Menengok Persiapan Klenteng Kim Tek Le Sambut Tahun Baru Imlek|url=https://www.merdeka.com/peristiwa/menengok-persiapan-klenteng-kim-tek-le-sambut-tahun-baru-imlek.html|work=[[Merdeka.com]]|language=id|access-date=2022-01-29|editor-last=Lubabah|editor-first=Raynaldo Ghiffari|archive-date=2022-07-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20220714044343/https://www.merdeka.com/peristiwa/menengok-persiapan-klenteng-kim-tek-le-sambut-tahun-baru-imlek.html|dead-url=no}}</ref>


== Nama ==
== Nama ==
Eyang Djugo dikenal dengan banyak nama, antara lain:
Eyang Djugo dikenal dengan banyak nama, antara lain:


* '''Raden Mas Soerjokoesoemo''', nama bangsawannya
* '''R.M. Soerjokoesoemo/꧋ꦫꦣꦺꦤ꧀ꦩꦱ꧀ꦱꦺꦴꦮꦺꦂꦗꦺꦴꦏꦺꦴꦮꦺꦱꦺꦴꦮꦺꦩꦺꦴ''', nama bangsawannya
* '''Kiai Zakaria II''', mengikuti ayahnya, nama yang ia pilih setelah berganti nama dari nama bangsawan<ref name=":0" />
* '''Kiai Zakaria II/كياي زكريااِثْنَانِ''' , mengikuti ayahnya, nama yang ia pilih setelah berganti nama dari nama bangsawan<ref name=":0" />
* '''Mbah Kromodi Redjo'''<ref name=":2" />
* '''Mbah Kromodi Redjo ꧋ꦩ꧀ꦧꦃꦏꦿꦺꦴꦩꦺꦴꦣꦶꦉꦣ꧀ꦗꦺꦴ'''<ref name=":2" />
* '''Taw Low She 大老师''', dalam [[pinyin]] dibaca menjadi ''dà lǎoshī'', sebuah julukan yang secara harfiah berarti "guru besar" atau "guru agung", namun sering diartikan menjadi "guru besar pertama" dengan Raden Mas Iman Soedjono menjadi Dji Low She 二老师 atau "guru besar kedua".<ref>Im dalam Sulistyorini (2021), hlm. 53.</ref><ref name=":4">{{Cite journal|last=Sulistyorini|first=Dwi|date=2021-03-31|title=MISTISISME ISLAM-JAWA DALAM RITUAL HAUL R.M. IMAN SOEDJONO DI PASAREAN GUNUNG KAWI|url=https://journal.uny.ac.id/index.php/kejawen/article/view/40113|journal=Kejawen|volume=1|issue=1|pages=26–36|doi=10.21831/kejawen.v1i1.40113|issn=1858-294X}}</ref>
* '''Taw Low She 大老师''', dalam [[pinyin]] dibaca menjadi ''dà lǎoshī'', sebuah julukan yang secara harfiah berarti "guru besar" atau "guru agung", namun sering diartikan menjadi "guru besar pertama" dengan R.M. Iman Soedjono menjadi Dji Low She 二老师 atau "guru besar kedua".<ref>Im dalam Sulistyorini (2021), hlm. 53.</ref><ref name=":4">{{Cite journal|last=Sulistyorini|first=Dwi|date=2021-03-31|title=MISTISISME ISLAM-JAWA DALAM RITUAL HAUL R.M. IMAN SOEDJONO DI PASAREAN GUNUNG KAWI|url=https://journal.uny.ac.id/index.php/kejawen/article/view/40113|journal=Kejawen|volume=1|issue=1|pages=26–36|doi=10.21831/kejawen.v1i1.40113|issn=1858-294X|access-date=2022-01-31|archive-date=2022-07-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20220714193422/https://journal.uny.ac.id/index.php/kejawen/article/view/40113|dead-url=no}}</ref>


== Kehidupan ==
== Kehidupan ==
Hanya sedikit keterangan yang menguraikan kehidupan awal Mbah Djugo. Riwayat tertulis tentang Mbah Djugo terdapat dalam ''Riwayat Ejang Djugo, panembahan Gunung Kawi'' oleh Im Yang Tju.
Hanya sedikit keterangan yang menguraikan kehidupan awal Mbah Djugo. Riwayat tertulis tentang Mbah Djugo terdapat dalam ''Riwayat Ejang Djugo, panembahan Gunung Kawi'' oleh [[Im Yang Tju]].


=== Status sebagai bangsawan ===
=== Status sebagai bangsawan ===
Eyang Djugo dikenal oleh [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|Keraton Yogyakarta]] sebagai seorang bangsawan dengan nama Raden Mas Soerjokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo. Dalam naskah yang dikeluarkan oleh pengageng keraton, ia dinyatakan merupakan keturunan penguasa [[Kesultanan Mataram]]. Naskah itu menjelaskan bahwa [[Pakubuwana I]] memiliki putra bernama Bandoro Pangeran Harjo Diponegoro, yang kemudian memiliki putra bernama Kanjeng Kiai Zakaria. Menurut naskah tersebut, Eyang Djugo adalah anak dari kiai itu, dan ia mengubah namanya mengikuti ayahnya:<ref name=":0" /><ref>Surat Keterangan dari Pengageng Kantor Tepas Darah Daken Kraton Yogyakarta Hadiningrat nomor 55/TD/1964 yang ditandatangani oleh Kanjeng Tumenggung Danoehadiningrat, 23 Juni 1964</ref>
Eyang Djugo dikenal oleh [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|Keraton Yogyakarta]] sebagai seorang bangsawan dengan nama R.M. Soerjokoesoemo atau R.M. Soeryodiatmodjo. Dalam naskah yang dikeluarkan oleh pengageng keraton, ia dinyatakan merupakan keturunan penguasa [[Kesultanan Mataram]]. Naskah itu menjelaskan bahwa [[Pakubuwana I]] memiliki putra bernama Bandoro Pangeran Harjo Diponegoro, yang kemudian memiliki putra bernama Kanjeng Kiai Zakaria. Menurut naskah tersebut, Eyang Djugo adalah anak dari kiai itu, dan ia mengubah namanya mengikuti ayahnya:<ref name=":0" /><ref>Surat Keterangan dari Pengageng Kantor Tepas Darah Daken Kraton Yogyakarta Hadiningrat nomor 55/TD/1964 yang ditandatangani oleh Kanjeng Tumenggung Danoehadiningrat, 23 Juni 1964</ref>{{Blockquote|Maka atas perkenan Kanjeng Susuhunan Paku Buwono V, R.M. Soerjokoesoemo mengubah namanya sesuai ''Peparing Dalem Asmo'', ''nunggak semi'' dengan ayahandanya menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II.}}
{{Blockquote|Maka atas perkenan Kanjeng Susuhunan Paku Buwono V, RM Soerjokoesoemo mengubah namanya sesuai ''Peparing Dalem Asmo'', ''nunggak semi'' dengan ayahandanya menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II.}}


=== Penasihat spiritual dan pengawal ===
=== Penasihat spiritual dan pengawal ===
Terdapat dua versi tentang periode kehidupan Mbah Djugo sebelum kemunculannya di desa Jugo.
Terdapat dua versi tentang periode kehidupan Mbah Djugo sebelum kemunculannya di desa Jugo.


Eyang Djugo dikatakan pernah menjadi penasihat spiritual dan pengawal [[Pangeran Diponegoro]].<ref name=":4" /> Setelah kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro ke Manado pada tahun 1830, ia dikabarkan melepas atribut kebangsawanannya dan pergi mengembara.<ref name=":2" />
Eyang Djugo dikatakan pernah menjadi penasihat spiritual dan pengawal [[Pangeran Diponegoro]].<ref name=":4" /> Setelah kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro ke Manado pada tahun 1830, ia dikabarkan melepas atribut kebangsawanannya dan pergi mengembara.<ref name=":2" />


Eyang Djugo mengembara dari [[Yogyakarta]], menuju [[Sleman]], [[Kabupaten Nganjuk|Nganjuk]], [[Kabupaten Bojonegoro|Bojonegoro]], dan berujung di [[Kota Blitar|Blitar]]. Di kota Blitar, ia terkejut dengan keberadaan kadipaten Belanda dan merasa masih terlalu dekat. Ia berpindah 60 km ke desa Sonan di kecamatan Kesamben, di tepi [[Sungai Brantas]].<ref>Suwachman, dkk. (1993) dalam Drs. Tashadi, dkk. (1993), hlm. 18–19.</ref> Sumber lain mengatakan rutenya adalah [[Kabupaten Pati|Pati]], [[Bagelen, Purworejo|Begelen]], [[Kabupaten Tuban|Tuban]], kemudian berakhir di [[Kepanjen, Malang|Kepanjen]], [[Kabupaten Malang|Malang]] dan berlanjut ke [[Kesamben, Blitar]].<ref name=":1">{{Cite web|title=Pesarehan Gunung Kawi|url=http://gunungkawi.synthasite.com/sejarah.php|website=gunungkawi.synthasite.com|archive-url=https://archive.ph/keqOW|archive-date=2022-01-29|access-date=2022-01-29}}</ref> Kedua sumber bersetuju mengatakan bahwa pengembaraan Mbah Djugo berakhir di [[Kesamben, Blitar|Kesamben]].
Eyang Djugo mengembara dari [[Yogyakarta]], menuju [[Sleman]], [[Kabupaten Nganjuk|Nganjuk]], [[Kabupaten Bojonegoro|Bojonegoro]], dan berujung di [[Kota Blitar|Blitar]]. Di kota Blitar, ia terkejut dengan keberadaan kadipaten Belanda dan merasa masih terlalu dekat. Ia berpindah 60&nbsp;km ke desa Sonan di kecamatan Kesamben, di tepi [[Sungai Brantas]].<ref>Suwachman, dkk. (1993) dalam Drs. Tashadi, dkk. (1993), hlm. 18–19.</ref> Sumber lain mengatakan rutenya adalah [[Kabupaten Pati|Pati]], [[Bagelen, Purworejo|Begelen]], [[Kabupaten Tuban|Tuban]], kemudian berakhir di [[Kepanjen, Malang|Kepanjen]], [[Kabupaten Malang|Malang]] dan berlanjut ke [[Kesamben, Blitar]].<ref name=":1">{{Cite web|title=Pesarehan Gunung Kawi|url=http://gunungkawi.synthasite.com/sejarah.php|website=gunungkawi.synthasite.com|archive-url=https://archive.today/20160801153237/http://gunungkawi.synthasite.com/sejarah.php|archive-date=2016-08-01|access-date=2022-01-29|dead-url=no}}</ref> Kedua sumber bersetuju mengatakan bahwa pengembaraan Mbah Djugo berakhir di [[Kesamben, Blitar|Kesamben]].


Setelah beberapa tahun tiba di Kesamben, Eyang Djugo kemudian didatangi oleh murid dan putra angkatnya, [[Raden Mas Iman Soedjono]] (Eyang Sudjo). Eyang Sudjo juga turut mengembara setelah pembuangan Pangeran Diponegoro dan berujung di desa tempat Eyang Djugo tinggal.<ref name=":1" />
Setelah beberapa tahun tiba di Kesamben, Eyang Djugo kemudian didatangi oleh murid dan putra angkatnya, [[Raden Mas Iman Soedjono]] (Eyang Sudjo). Eyang Sudjo juga turut mengembara setelah pembuangan Pangeran Diponegoro dan berujung di desa tempat Eyang Djugo tinggal.<ref name=":1" />


Versi lain dari cerita ini mengatakan bahwa beliau merupakan punggawa [[Hong Xiuquan]] (1813–1864), pimpinan [[Pemberontakan Taiping]] di [[Dinasti Qing]]. Setelah pemberontakan berakhir, ia hidup menyepi sebagai [[Rahib|petapa]] di [[Gunung Kawi]] dan mendapatkan sejumlah murid Jawa. Pada versi ini, dikatakan bahwa Eyang Djugo wafat pada tahun 1879.<ref name=":5">{{Cite web|title=Mbah Djugo|url=http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/mbah-djugo?lang=id|website=encyclopedia.jakarta-tourism.go.id|archive-url=https://archive.ph/YS3zw|archive-date=2022-01-30|access-date=2022-01-29}}</ref>
Versi lain dari cerita ini mengatakan bahwa beliau merupakan punggawa di bawah [[Hong Xiuquan]] (1813–1864), pimpinan [[Pemberontakan Taiping]] di [[Dinasti Qing]]. Setelah pemberontakan berakhir, ia hidup menyepi sebagai [[Rahib|petapa]] di [[Gunung Kawi]] dan mendapatkan sejumlah murid Jawa. Pada versi ini, dikatakan bahwa Eyang Djugo wafat pada tahun 1879.<ref name=":5">{{Cite web|title=Mbah Djugo|url=http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/mbah-djugo?lang=id|website=encyclopedia.jakarta-tourism.go.id|archive-url=https://archive.today/20220129213119/http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/mbah-djugo?lang=id|archive-date=2022-01-29|access-date=2022-01-29|dead-url=no}}</ref>


=== Kemunculan di Desa Jugo dan asal-usul nama ''Djugo'' ===
=== Kemunculan di Desa Jugo dan asal-usul nama ''Djugo'' ===
Im Yang Tju menuliskan bahwa Eyang Djugo tiba-tiba muncul di depan sekelompok anak-anak penggembala di [[Jugo, Kesamben, Blitar|desa Jugo]]. Setelah kemunculannya itu, ia kembali lagi ke dalam hutan tempatnya datang dan baru muncul kembali beberapa hari kemudian sambil berjalan menuju kandang sapi yang sudah tidak terpakai. Di situlah ia menetap. Pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang berwibawa membuat masyarakat segan mendekatinya.<ref name=":2">{{Cite web|first=Suhandi|date=2021-09-22|title=Cerita Mbah Jugo di Pesarean Gunung Kawi - JejakPejalanKaki|url=https://jejakpejalankaki.com/cerita-makam-ulama-di-pesarean-gunung-kawi.html|website=JejakPejalanKaki|language=id-ID|access-date=2022-01-29}}</ref>
Im Yang Tju menuliskan bahwa Eyang Djugo tiba-tiba muncul di depan sekelompok anak-anak penggembala di [[Jugo, Kesamben, Blitar|desa Jugo]]. Setelah kemunculannya itu, ia kembali lagi ke dalam hutan tempatnya datang dan baru muncul kembali beberapa hari kemudian sambil berjalan menuju kandang sapi yang sudah tidak terpakai. Di situlah ia menetap. Pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang berwibawa membuat masyarakat segan mendekatinya.<ref name=":2">{{Cite web|first=Suhandi|date=2021-09-22|title=Cerita Mbah Jugo di Pesarean Gunung Kawi - JejakPejalanKaki|url=https://jejakpejalankaki.com/cerita-makam-ulama-di-pesarean-gunung-kawi.html|website=JejakPejalanKaki|language=id-ID|access-date=2022-01-29|archive-date=2023-06-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20230602015026/https://jejakpejalankaki.com/cerita-makam-ulama-di-pesarean-gunung-kawi.html|dead-url=no}}</ref>


Di Jugo, ia bertemu dengan Tosiman yang menanyai asal-usulnya. Agar tidak dicurigai, Mbah Jugo lalu mengatakan dirinya sedang ''sajugo'' (bahasa Jawa untuk "sendirian"). Tosiman salah sangka dengan ucapan ini, mengira nama beliau adalah Sayugo, dan itulah asal-usul nama ''Djugo''.<ref>{{Cite book|last=Drs. Tashadi, dkk|first=|date=1994|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8416/1/budaya%20spiritual%20situs%20keramat%20gunung%20kawi%20jatim.pdf|title=Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|pages=18–19|url-status=live}}</ref> Nama tersebut beliau pergunakan dan masih populer hingga kini.<ref>{{Cite book|last=Soeryowidagdo|first=RS|date=1989|title=Pasarean Gunung Kawi, Tata Cara Ziarah dan Riwayat Makam Eyang Penembahan Djoego, Eyang Raden Mas Imam Sudjono|location=Gunung Kawi, Malang|url-status=live}}</ref>
Di Jugo, ia bertemu dengan Tosiman yang menanyai asal-usulnya. Agar tidak dicurigai, Mbah Jugo lalu mengatakan dirinya sedang ''sajugo'' (bahasa Jawa untuk "sendirian"). Tosiman salah sangka dengan ucapan ini, mengira nama beliau adalah Sayugo, dan itulah asal-usul nama ''Djugo''.<ref>{{Cite book|last=Drs. Tashadi, dkk|first=|date=1994|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8416/1/budaya%20spiritual%20situs%20keramat%20gunung%20kawi%20jatim.pdf|title=Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|pages=18–19|url-status=live|access-date=2022-01-31|archive-date=2022-07-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20220713101542/http://repositori.kemdikbud.go.id/8416/1/budaya%20spiritual%20situs%20keramat%20gunung%20kawi%20jatim.pdf|dead-url=no}}</ref> Nama tersebut beliau pergunakan dan masih populer hingga kini.<ref>{{Cite book|last=Soeryowidagdo|first=RS|date=1989|title=Pasarean Gunung Kawi, Tata Cara Ziarah dan Riwayat Makam Eyang Penembahan Djoego, Eyang Raden Mas Imam Sudjono|location=Gunung Kawi, Malang|url-status=live}}</ref>


Eyang Djugo diperkirakan mengganti namanya agar tidak diketahui status kebangsawanannya oleh orang lain, terutama orang Belanda. Perilaku ini juga dikenal dalam kisah [[pewayangan]]; seorang [[ksatria]] yang sedang mengembara biasanya mengganti nama.<ref>Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 18.</ref>
Eyang Djugo diperkirakan mengganti namanya agar tidak diketahui status kebangsawanannya oleh orang lain, terutama orang Belanda. Perilaku ini juga dikenal dalam kisah [[pewayangan]]; seorang [[ksatria]] yang sedang mengembara biasanya mengganti nama.<ref>Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 18.</ref>
Baris 39: Baris 38:
Di Kesamben, ia bersama dengan Eyang Sudjo tinggal dan mendakwahkan Islam, ajaran moral, cara bercocok tanam, pengobatan, serta keterampilan lain.
Di Kesamben, ia bersama dengan Eyang Sudjo tinggal dan mendakwahkan Islam, ajaran moral, cara bercocok tanam, pengobatan, serta keterampilan lain.


Dari penceritaan Im Yang Tju,<ref>{{Cite web|last=Arif|first=Solichan|date=2021-08-14|title=Cerita Mbah Djugo, Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Tanah Jawa|url=https://nasional.okezone.com/read/2021/08/13/337/2455382/cerita-mbah-djugo-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-tanah-jawa|website=Okezone Nasional|language=id-ID|archive-url=https://archive.ph/pFQxz|archive-date=2022-01-30|access-date=2022-01-30}}</ref> pada tahun 1860an, [[kolera]] kembali merebak di kawasan tinggal Eyang Djugo. Ia dikabarkan keluar dari hutan, tinggal di kandang sapi, dan meminta warga yang terkena penyakit ini untuk membawakan air. Air yang dibawa tersebut kemudian didoakan dan orang yang meminta air itu akan sembuh setelah meminumnya. Bagi yang tidak bisa bangkit dari tempat tidur, air yang telah didoakan tersebut akan dibawakan langsung kepada mereka.<ref name=":0" />
Dari penceritaan Im Yang Tju,<ref>{{Cite news|last=Okezone|first=Tim|date=2021-08-14|title=Cerita Mbah Djugo, Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Tanah Jawa|url=https://nasional.okezone.com/read/2021/08/13/337/2455382/cerita-mbah-djugo-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-tanah-jawa|work=[[Okezone.com]]|language=id-ID|archive-url=https://archive.today/20220130121319/https://nasional.okezone.com/read/2021/08/13/337/2455382/cerita-mbah-djugo-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-tanah-jawa?page=2|archive-date=2022-01-30|access-date=2022-01-30|dead-url=no}}</ref> pada tahun 1860an, [[kolera]] kembali merebak di kawasan tinggal Eyang Djugo. Ia dikabarkan keluar dari hutan, tinggal di kandang sapi, dan meminta warga yang terkena penyakit ini untuk membawakan air. Air yang dibawa tersebut kemudian didoakan dan orang yang meminta air itu akan sembuh setelah meminumnya. Bagi yang tidak bisa bangkit dari tempat tidur, air yang telah didoakan tersebut akan dibawakan langsung kepada mereka.<ref name=":0" />


Menurut penceritaan lain yaitu Drs. Tashadi yang menulis dalam ''Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur'' terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1994, penyakit yang disembuhkan adalah "wabah penyakit hewan di desa Sonan" pada tahun 1860. Tidak dituliskan secara khusus wabah penyakit yang disembuhkan.<ref name=":6">Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 19.</ref>
Menurut penceritaan lain yaitu Drs. Tashadi yang menulis dalam ''Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur'' terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1994, penyakit yang disembuhkan adalah "wabah penyakit hewan di desa Sonan" pada tahun 1860. Tidak dituliskan secara khusus wabah penyakit yang disembuhkan.<ref name=":6">Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 19.</ref>


Tan Kie Lam, seorang murid Eyang Jugo, pernah sakit. Oleh Eyang Sudjo, ia kemudian dimandikan dengan guci peninggalan Eyang Jugo. Sakitnya sembuh dan ia pun menjadi murid di padepokan Eyang Sudjo dan tinggal di Gunung Kawi. Merasa ingin mengikuti ritual Tionghoa untuk menghormati kedua guru besar tersebut, ia kemudian membangun klenteng di dekat padepokan.<ref name=":7">{{Cite web|last=Said|first=SM|date=2015-05-25|title=Gunung Kawi, Pusat Klenik Jawa-China|url=https://daerah.sindonews.com/berita/1004593/29/gunung-kawi-pusat-klenik-jawa-china|website=SINDOnews|language=id-ID|archive-url=https://archive.ph/QDekc|archive-date=2022-01-31|access-date=2022-01-31}}</ref>
Tan Kie Lam, seorang murid Eyang Djugo, pernah sakit. Oleh Eyang Sudjo, ia kemudian dimandikan dengan guci peninggalan Eyang Djugo. Sakitnya sembuh dan ia pun menjadi murid di padepokan Eyang Sudjo dan tinggal di Gunung Kawi. Merasa ingin mengikuti ritual Tionghoa untuk menghormati kedua guru besar tersebut, ia kemudian membangun klenteng di dekat padepokan.<ref name=":7">{{Cite news|last=Said|first=SM|date=2015-05-25|title=Gunung Kawi, Pusat Klenik Jawa-China|url=https://daerah.sindonews.com/berita/1004593/29/gunung-kawi-pusat-klenik-jawa-china|work=[[Sindonews.com]]|language=id-ID|archive-url=https://archive.today/20220131001144/https://daerah.sindonews.com/berita/1004593/29/gunung-kawi-pusat-klenik-jawa-china/20|archive-date=2022-01-31|access-date=2022-01-31|dead-url=no}}</ref>


=== Pendirian padepokan dan pesarean ===
=== Pendirian padepokan dan pesarean ===
Baris 53: Baris 52:
Sebelum wafat, beliau dikatakan melaksanakan ''tapa ngelowong'', sebuah metode pertapaan tanpa minum dan makan, hanya menghirup udara selama 36 hari. Di hari ke-37, beliau masuk ke liang lahatnya, duduk bersila, dan menghembuskan nafas terakhirnya.<ref name=":3" />
Sebelum wafat, beliau dikatakan melaksanakan ''tapa ngelowong'', sebuah metode pertapaan tanpa minum dan makan, hanya menghirup udara selama 36 hari. Di hari ke-37, beliau masuk ke liang lahatnya, duduk bersila, dan menghembuskan nafas terakhirnya.<ref name=":3" />


Eyang Djugo wafat di Gunung Kawi, pada malam Senin Pahing, 22 Januari 1871.<ref name=":6" /> Sumber lain mengatakan beliau meninggal pada tahun 1879 dan pernah menggali liang lahatnya sendiri di tahun 1872.<ref name=":3" />
Eyang Djugo wafat di Gunung Kawi, pada malam Senin Pahing, 22 Januari 1871 atau Minggu 22 Januari 1871 Masehi (dalam kalender Jawa: Ngahad Lêgi 1 Dulkangidah Dal 1799).<ref name=":6" /> Sumber lain mengatakan beliau meninggal pada tahun 1879 dan pernah menggali liang lahatnya sendiri di tahun 1872.<ref name=":3" />


Lokasi pengebumian Eyang Djugo diadakan sesuai wasiatnya, di tempat yang kini menjadi pesarean (makam) Gunung Kawi. Perjalanan dari desa padepokan Eyang Djugo ke tempat tersebut memakan waktu tiga hari. Pada malam Jumat Legi, Eyang Sudjo yang memimpin prosesi pemakaman dan upacara pengebumian pun mengadakan [[tahlilan]] akbar.<ref name=":8">{{Cite web|last=Herwiratno|first=Martinus|date=2012-08-27|title=Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Soedjono : Dua bangsawan Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa.|url=http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2299-eyang-djoego-dan-eyang-rm-iman-soedjono--dua-bangsawan-jawa-yang-dihormati-masyarakat-tionghoa|website=Budaya-Tionghoa|language=id-ID|archive-url=https://archive.ph/REtpE|archive-date=2022-01-30|access-date=2022-01-30}}</ref>
Lokasi pengebumian Eyang Djugo diadakan sesuai wasiatnya, di tempat yang kini menjadi pesarean (makam) Gunung Kawi. Perjalanan dari desa padepokan Eyang Djugo ke tempat tersebut memakan waktu tiga hari. Pada malam Jumat Legi, Eyang Sudjo yang memimpin prosesi pemakaman dan upacara pengebumian pun mengadakan [[tahlilan]] akbar.<ref name=":8">{{Cite web|last=Herwiratno|first=Martinus|date=2012-08-27|title=Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Soedjono : Dua bangsawan Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa.|url=http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2299-eyang-djoego-dan-eyang-rm-iman-soedjono--dua-bangsawan-jawa-yang-dihormati-masyarakat-tionghoa|website=Budaya-Tionghoa|language=id-ID|archive-url=https://archive.today/20220130233109/http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2299-eyang-djoego-dan-eyang-rm-iman-soedjono--dua-bangsawan-jawa-yang-dihormati-masyarakat-tionghoa|archive-date=2022-01-30|access-date=2022-01-30|dead-url=no}}</ref>


Eyang Sudjo wafat tidak lama kemudian, pada hari Rabu Kliwon tanggal 12 Suro pada tahun 1836 Masehi. Mereka dimakamkan dalam satu liang lahat di Pesarean Gunung Kawi.<ref name=":8" /><ref>Sulistyorini (2021), hlm. 29.</ref>
Eyang Sudjo wafat tidak lama kemudian, pada hari Rabu Kliwon tanggal 12 Suro pada tahun 1876 Masehi. Mereka dimakamkan dalam satu liang lahat di Pesarean Gunung Kawi.<ref name=":8" /><ref>Sulistyorini (2021), hlm. 29.</ref>


== Penghormatan oleh masyarakat ==
== Penghormatan oleh masyarakat ==


=== Kegiatan setiap malam Jumat Legi ===
=== Kegiatan setiap malam Jumat Legi ===
Tahlilan adalah sebuah kegiatan yang kerap dilakukan di pesarean setiap malam Jumat Legi, mengikuti hari prosesi pemakaman dan upacara pengebumian Eyang Djugo. Umumnya, pesarean mengalami lonjakan kunjungan pada malam itu. Selain melakukan tahlilan, peziarah juga meletakkan [[sesajen]], membakar [[dupa]], dan melakukan [[semadi]]. Kegiatan ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan keturunan Eyang Sudjo.<ref>{{Cite web|last=Rahmaniah|first=Aniek|date=2015|title=Etnografi Masyarakat Gunung Kawi Kabupaten Malang|url=http://repository.uin-malang.ac.id/692/|website=repository.uin-malang.ac.id|language=en|access-date=2022-01-30}}</ref>
Tahlilan adalah sebuah kegiatan yang kerap dilakukan di pesarean setiap malam Jumat Legi, mengikuti hari prosesi pemakaman dan upacara pengebumian Eyang Djugo. Umumnya, pesarean mengalami lonjakan kunjungan pada malam itu. Selain melakukan tahlilan, peziarah juga meletakkan [[sesajen]], membakar [[dupa]], dan melakukan [[semadi]]. Kegiatan ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan keturunan Eyang Sudjo.<ref>{{Cite web|last=Rahmaniah|first=Aniek|date=2015|title=Etnografi Masyarakat Gunung Kawi Kabupaten Malang|url=http://repository.uin-malang.ac.id/692/|website=repository.uin-malang.ac.id|language=en|access-date=2022-01-30|archive-date=2022-07-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20220713101155/http://repository.uin-malang.ac.id/692/|dead-url=no}}</ref>


=== Perayaan Satu Suro ===
=== Perayaan Satu Suro ===
Perayaan setiap tanggal 1 Suro (dalam [[kalender Jawa]]) dilakukan oleh masyarakat Wonosari. Kegiatan ini terpusat di Pesarean Gunung Kawi. Pada malam sebelumnya, masyarakat melakukan pengajian, pertunjukan [[wayang kulit]] semalam suntuk, serta membagikan [[angpau]] kepada [[barongsai]]. Di tanggal yang bersangkutan, masyarakat melakukan [[kirab]] dan arak-arakan sejauh 3 km, semuanya terpusat di pesarean. Puncak ritual ini adalah pembakaran sebuah patung raksasa yang menyimbolkan angkara murka sifat manusia di dunia.<ref>Rahmaniah (2015), hlm. 47–49.</ref>
Perayaan setiap tanggal 1 Suro (dalam [[kalender Jawa]]) dilakukan oleh masyarakat Wonosari. Kegiatan ini terpusat di Pesarean Gunung Kawi. Pada malam sebelumnya, masyarakat melakukan pengajian, pertunjukan [[wayang kulit]] semalam suntuk, serta membagikan [[angpau]] kepada [[barongsai]]. Di tanggal yang bersangkutan, masyarakat melakukan [[kirab]] dan arak-arakan sejauh 3&nbsp;km, semuanya terpusat di pesarean. Puncak ritual ini adalah pembakaran sebuah patung raksasa yang menyimbolkan angkara murka sifat manusia di dunia.<ref>Rahmaniah (2015), hlm. 47–49.</ref>


=== Pemujaan oleh masyarakat Tionghoa ===
=== Pemujaan oleh masyarakat Tionghoa ===
Masyarakat Tionghoa dikenal memuja Eyang Djugo, selain di pesarean dan klenteng yang dibangun di dekatnya, juga di klenteng-klenteng di luar Gunung Kawi. Misalnya, beliau merupakan salah satu obyek pemujaan di [[Kim Tek Ie]], klenteng tertua di Jakarta, serta di Vihara Dharma Jaya ([[Pasar Baru]]), Vihara Tunggal Dharma, Vihara Sapto Ranggo, dan Vihara Mahabrahma di [[Bogor]].<ref name=":5" />
Masyarakat Tionghoa dikenal memuja Eyang Djugo, selain di pesarean dan klenteng yang dibangun di dekatnya, juga di klenteng-klenteng di luar Gunung Kawi. Misalnya, beliau merupakan salah satu obyek pemujaan di [[Kim Tek Ie]], klenteng tertua di Jakarta, serta di Vihara Dharma Jaya ([[Pasar Baru]]), Vihara Tunggal Dharma, Vihara Sapto Ranggo, dan Vihara Mahabrahma di [[Bogor]].<ref name=":5" />


Pada hari-hari tertentu, seperti [[Imlek]] dan [[Tahun Baru Islam]], jumlah masyarakat Tionghoa yang berziarah ke Pesarean Gunung Kawi lebih banyak dibandingkan masyarakat Jawa.<ref name=":8" /><ref>Rahmaniah (2015), hlm. 49.</ref>
Pada hari-hari tertentu, seperti [[Imlek]] dan [[Tahun Baru Islam]], jumlah masyarakat Tionghoa yang berziarah ke Pesarean Gunung Kawi lebih banyak dibandingkan masyarakat Jawa.<ref name=":8" /><ref>Rahmaniah (2015), hlm. 49.</ref>
Baris 81: Baris 80:
== Lihat pula ==
== Lihat pula ==


* [[Chen Fu Zhen Ren]]
* [[Chen Fu Zhen Ren|Chen Fu Zhen Ren]]
* [[Chen De Xiu]]
* [[Chen De Xiu|Chen De Xiu]]
* [[Ze Hai Zhen Ren]]
* [[Ze Hai Zhen Ren|Ze Hai Zhen Ren]]


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 90: Baris 89:
== Bacaan lebih lanjut ==
== Bacaan lebih lanjut ==


* ''Cerita-cerita pesugihan di Jawa: pola kekerabatan sastra dan paradoks teks-konteks'' oleh Mashuri di [http://repositori.kemdikbud.go.id/10112/ Repositori Kemdikbud]
* ''Cerita-cerita pesugihan di Jawa: pola kekerabatan sastra dan paradoks teks-konteks'' oleh Mashuri di [http://repositori.kemdikbud.go.id/10112/ Repositori Kemdikbud] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230602143303/https://repositori.kemdikbud.go.id/10112/ |date=2023-06-02 }}


[[Kategori:Tokoh spiritual dari Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh spiritual dari Jawa Timur]]

Revisi terkini sejak 26 Mei 2024 15.49

Eyang Djugo (wafat pada 22 Januari 1871[1] atau 1879[2] di Kesamben, Blitar; dikenal juga dengan nama R.M. Soerjokoesoemo, Kiai Zakaria II, Mbah Djugo, Mbah Kromodi Redjo, atau Taw Low She 大老师) adalah seorang guru spiritual yang jenazahnya dimakamkan di Pesarean Gunung Kawi. Beliau dikenal sebagai guru yang konon menyembuhkan pagebluk kolera di Jawa Timur.

Eyang Djugo adalah sosok yang dianggap sebagai guru spiritual besar oleh sebagian masyarakat Jawa, Madura dan Tionghoa. Makamnya di Pesarean Gunung Kawi banyak dikunjungi orang dari etnis-etnis tersebut.[3] Ia juga dipuja di banyak klenteng, termasuk Kim Tek Ie, klenteng tertua di Jakarta.[4]

Nama[sunting | sunting sumber]

Eyang Djugo dikenal dengan banyak nama, antara lain:

  • R.M. Soerjokoesoemo/꧋ꦫꦣꦺꦤ꧀ꦩꦱ꧀ꦱꦺꦴꦮꦺꦂꦗꦺꦴꦏꦺꦴꦮꦺꦱꦺꦴꦮꦺꦩꦺꦴ, nama bangsawannya
  • Kiai Zakaria II/كياي زكريااِثْنَانِ , mengikuti ayahnya, nama yang ia pilih setelah berganti nama dari nama bangsawan[1]
  • Mbah Kromodi Redjo ꧋ꦩ꧀ꦧꦃꦏꦿꦺꦴꦩꦺꦴꦣꦶꦉꦣ꧀ꦗꦺꦴ[5]
  • Taw Low She 大老师, dalam pinyin dibaca menjadi dà lǎoshī, sebuah julukan yang secara harfiah berarti "guru besar" atau "guru agung", namun sering diartikan menjadi "guru besar pertama" dengan R.M. Iman Soedjono menjadi Dji Low She 二老师 atau "guru besar kedua".[6][7]

Kehidupan[sunting | sunting sumber]

Hanya sedikit keterangan yang menguraikan kehidupan awal Mbah Djugo. Riwayat tertulis tentang Mbah Djugo terdapat dalam Riwayat Ejang Djugo, panembahan Gunung Kawi oleh Im Yang Tju.

Status sebagai bangsawan[sunting | sunting sumber]

Eyang Djugo dikenal oleh Keraton Yogyakarta sebagai seorang bangsawan dengan nama R.M. Soerjokoesoemo atau R.M. Soeryodiatmodjo. Dalam naskah yang dikeluarkan oleh pengageng keraton, ia dinyatakan merupakan keturunan penguasa Kesultanan Mataram. Naskah itu menjelaskan bahwa Pakubuwana I memiliki putra bernama Bandoro Pangeran Harjo Diponegoro, yang kemudian memiliki putra bernama Kanjeng Kiai Zakaria. Menurut naskah tersebut, Eyang Djugo adalah anak dari kiai itu, dan ia mengubah namanya mengikuti ayahnya:[1][8]

Maka atas perkenan Kanjeng Susuhunan Paku Buwono V, R.M. Soerjokoesoemo mengubah namanya sesuai Peparing Dalem Asmo, nunggak semi dengan ayahandanya menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II.

Penasihat spiritual dan pengawal[sunting | sunting sumber]

Terdapat dua versi tentang periode kehidupan Mbah Djugo sebelum kemunculannya di desa Jugo.

Eyang Djugo dikatakan pernah menjadi penasihat spiritual dan pengawal Pangeran Diponegoro.[7] Setelah kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro ke Manado pada tahun 1830, ia dikabarkan melepas atribut kebangsawanannya dan pergi mengembara.[5]

Eyang Djugo mengembara dari Yogyakarta, menuju Sleman, Nganjuk, Bojonegoro, dan berujung di Blitar. Di kota Blitar, ia terkejut dengan keberadaan kadipaten Belanda dan merasa masih terlalu dekat. Ia berpindah 60 km ke desa Sonan di kecamatan Kesamben, di tepi Sungai Brantas.[9] Sumber lain mengatakan rutenya adalah Pati, Begelen, Tuban, kemudian berakhir di Kepanjen, Malang dan berlanjut ke Kesamben, Blitar.[10] Kedua sumber bersetuju mengatakan bahwa pengembaraan Mbah Djugo berakhir di Kesamben.

Setelah beberapa tahun tiba di Kesamben, Eyang Djugo kemudian didatangi oleh murid dan putra angkatnya, Raden Mas Iman Soedjono (Eyang Sudjo). Eyang Sudjo juga turut mengembara setelah pembuangan Pangeran Diponegoro dan berujung di desa tempat Eyang Djugo tinggal.[10]

Versi lain dari cerita ini mengatakan bahwa beliau merupakan punggawa di bawah Hong Xiuquan (1813–1864), pimpinan Pemberontakan Taiping di Dinasti Qing. Setelah pemberontakan berakhir, ia hidup menyepi sebagai petapa di Gunung Kawi dan mendapatkan sejumlah murid Jawa. Pada versi ini, dikatakan bahwa Eyang Djugo wafat pada tahun 1879.[11]

Kemunculan di Desa Jugo dan asal-usul nama Djugo[sunting | sunting sumber]

Im Yang Tju menuliskan bahwa Eyang Djugo tiba-tiba muncul di depan sekelompok anak-anak penggembala di desa Jugo. Setelah kemunculannya itu, ia kembali lagi ke dalam hutan tempatnya datang dan baru muncul kembali beberapa hari kemudian sambil berjalan menuju kandang sapi yang sudah tidak terpakai. Di situlah ia menetap. Pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang berwibawa membuat masyarakat segan mendekatinya.[5]

Di Jugo, ia bertemu dengan Tosiman yang menanyai asal-usulnya. Agar tidak dicurigai, Mbah Jugo lalu mengatakan dirinya sedang sajugo (bahasa Jawa untuk "sendirian"). Tosiman salah sangka dengan ucapan ini, mengira nama beliau adalah Sayugo, dan itulah asal-usul nama Djugo.[12] Nama tersebut beliau pergunakan dan masih populer hingga kini.[13]

Eyang Djugo diperkirakan mengganti namanya agar tidak diketahui status kebangsawanannya oleh orang lain, terutama orang Belanda. Perilaku ini juga dikenal dalam kisah pewayangan; seorang ksatria yang sedang mengembara biasanya mengganti nama.[14]

Kemampuan mengobati penyakit[sunting | sunting sumber]

Di Kesamben, ia bersama dengan Eyang Sudjo tinggal dan mendakwahkan Islam, ajaran moral, cara bercocok tanam, pengobatan, serta keterampilan lain.

Dari penceritaan Im Yang Tju,[15] pada tahun 1860an, kolera kembali merebak di kawasan tinggal Eyang Djugo. Ia dikabarkan keluar dari hutan, tinggal di kandang sapi, dan meminta warga yang terkena penyakit ini untuk membawakan air. Air yang dibawa tersebut kemudian didoakan dan orang yang meminta air itu akan sembuh setelah meminumnya. Bagi yang tidak bisa bangkit dari tempat tidur, air yang telah didoakan tersebut akan dibawakan langsung kepada mereka.[1]

Menurut penceritaan lain yaitu Drs. Tashadi yang menulis dalam Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1994, penyakit yang disembuhkan adalah "wabah penyakit hewan di desa Sonan" pada tahun 1860. Tidak dituliskan secara khusus wabah penyakit yang disembuhkan.[16]

Tan Kie Lam, seorang murid Eyang Djugo, pernah sakit. Oleh Eyang Sudjo, ia kemudian dimandikan dengan guci peninggalan Eyang Djugo. Sakitnya sembuh dan ia pun menjadi murid di padepokan Eyang Sudjo dan tinggal di Gunung Kawi. Merasa ingin mengikuti ritual Tionghoa untuk menghormati kedua guru besar tersebut, ia kemudian membangun klenteng di dekat padepokan.[17]

Pendirian padepokan dan pesarean[sunting | sunting sumber]

Setelah berhasil menyembuhkan penyakit, Eyang Djugo dikabarkan mendapatkan undangan dari regent Blitar, yang kala itu dijabat oleh Kanjeng Pangeran Warsokoesoemo. Warsokoesoemo meminta Eyang Djugo untuk turut menyembuhkan penyakit di daerah Blitar yang lain. Sebagai gantinya, ia diberikan hadiah tanah seluas 7 hektare. Tanah seluas 7 hektare ini kemudian dibuka oleh Eyang Sudjo menjadi sebuah padepokan. Ia tinggal di Kesamben sampai akhir hayatnya.[1][16]

Sebelum wafat, Eyang Djugo mewasiatkan agar jenazahnya dimakamkan di lereng Gunung Kawi. Akhirnya, Eyang Sudjo dengan Ki Moeridun dan beberapa orang murid lainnya pergi ke lereng selatan Gunung Kawi untuk mencari tempat yang cocok untuk menjadi pesarean. Dalam perjalanan, Eyang Sudjo dan murid-murid Eyang Djugo mendirikan beberapa tempat singgah di beberapa tempat. Kini tempat-tempat tersebut telah menjadi perkampungan. Di tempat Eyang Sudjo tinggal, berdirilah tempat yang kini menjadi Pesarean Gunung Kawi.[10]

Wafat[sunting | sunting sumber]

Sebelum wafat, beliau dikatakan melaksanakan tapa ngelowong, sebuah metode pertapaan tanpa minum dan makan, hanya menghirup udara selama 36 hari. Di hari ke-37, beliau masuk ke liang lahatnya, duduk bersila, dan menghembuskan nafas terakhirnya.[2]

Eyang Djugo wafat di Gunung Kawi, pada malam Senin Pahing, 22 Januari 1871 atau Minggu 22 Januari 1871 Masehi (dalam kalender Jawa: Ngahad Lêgi 1 Dulkangidah Dal 1799).[16] Sumber lain mengatakan beliau meninggal pada tahun 1879 dan pernah menggali liang lahatnya sendiri di tahun 1872.[2]

Lokasi pengebumian Eyang Djugo diadakan sesuai wasiatnya, di tempat yang kini menjadi pesarean (makam) Gunung Kawi. Perjalanan dari desa padepokan Eyang Djugo ke tempat tersebut memakan waktu tiga hari. Pada malam Jumat Legi, Eyang Sudjo yang memimpin prosesi pemakaman dan upacara pengebumian pun mengadakan tahlilan akbar.[18]

Eyang Sudjo wafat tidak lama kemudian, pada hari Rabu Kliwon tanggal 12 Suro pada tahun 1876 Masehi. Mereka dimakamkan dalam satu liang lahat di Pesarean Gunung Kawi.[18][19]

Penghormatan oleh masyarakat[sunting | sunting sumber]

Kegiatan setiap malam Jumat Legi[sunting | sunting sumber]

Tahlilan adalah sebuah kegiatan yang kerap dilakukan di pesarean setiap malam Jumat Legi, mengikuti hari prosesi pemakaman dan upacara pengebumian Eyang Djugo. Umumnya, pesarean mengalami lonjakan kunjungan pada malam itu. Selain melakukan tahlilan, peziarah juga meletakkan sesajen, membakar dupa, dan melakukan semadi. Kegiatan ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan keturunan Eyang Sudjo.[20]

Perayaan Satu Suro[sunting | sunting sumber]

Perayaan setiap tanggal 1 Suro (dalam kalender Jawa) dilakukan oleh masyarakat Wonosari. Kegiatan ini terpusat di Pesarean Gunung Kawi. Pada malam sebelumnya, masyarakat melakukan pengajian, pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, serta membagikan angpau kepada barongsai. Di tanggal yang bersangkutan, masyarakat melakukan kirab dan arak-arakan sejauh 3 km, semuanya terpusat di pesarean. Puncak ritual ini adalah pembakaran sebuah patung raksasa yang menyimbolkan angkara murka sifat manusia di dunia.[21]

Pemujaan oleh masyarakat Tionghoa[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Tionghoa dikenal memuja Eyang Djugo, selain di pesarean dan klenteng yang dibangun di dekatnya, juga di klenteng-klenteng di luar Gunung Kawi. Misalnya, beliau merupakan salah satu obyek pemujaan di Kim Tek Ie, klenteng tertua di Jakarta, serta di Vihara Dharma Jaya (Pasar Baru), Vihara Tunggal Dharma, Vihara Sapto Ranggo, dan Vihara Mahabrahma di Bogor.[11]

Pada hari-hari tertentu, seperti Imlek dan Tahun Baru Islam, jumlah masyarakat Tionghoa yang berziarah ke Pesarean Gunung Kawi lebih banyak dibandingkan masyarakat Jawa.[18][22]

Eyang Djugo memiliki banyak murid Tionghoa yang bertemu langsung dengannya, juga hubungan yang erat dengan masyarakat Tionghoa. Terdapat beberapa murid Tionghoa yang turut pergi dengan Eyang Sudjo untuk membangun daerah untuk pesarean.[10] Tan Kie Lam adalah salah satu murid yang sembuh di pesarean. Selain itu, Ong Hok Liong, pendiri perusahaan multinasional Bentoel Group, mendapatkan anjuran untuk menamakan perusahaannya dari juru kunci pesarean ini.[17]

Peninggalan[sunting | sunting sumber]

Eyang Djugo meninggalkan putra angkatnya, Eyang Sudjo. Selain itu, ia tidak beristri dan berkeluarga.[23]

Peninggalan yang ada antara lain rumah padepokan di Kesamben berikut masjid dan halamannya; pusaka berbentuk tombak, topi, alat-alat pertanian dan tiga buah guci tempat air minum yang dilengkapi dengan filter dari batu. Guci ini dinamakan "janjam" dan dibawa ke Gunung Kawi oleh Eyang Sudjo.[24]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Kusumo, Rizky. "Mbah Jugo, Sosok Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Jawa". Good News From Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-15. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  2. ^ a b c Arif, Solichan (2021-08-14). "Kisah Mbah Djugo, Sebelum Meninggal Lakukan Tapa Ngelowong". Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-14. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  3. ^ Hartik, Andi (2019-05-15). Ika, Aprillia, ed. "Pesarean Gunung Kawi, Jejak Perjuangan Pengawal Diponegoro serta Wujud Toleransi Etnis dan Agama". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-01. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  4. ^ Anugrahadi, Ady (2019-02-03). Lubabah, Raynaldo Ghiffari, ed. "Menengok Persiapan Klenteng Kim Tek Le Sambut Tahun Baru Imlek". Merdeka.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-14. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  5. ^ a b c "Cerita Mbah Jugo di Pesarean Gunung Kawi - JejakPejalanKaki". JejakPejalanKaki. 2021-09-22. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-02. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  6. ^ Im dalam Sulistyorini (2021), hlm. 53.
  7. ^ a b Sulistyorini, Dwi (2021-03-31). "MISTISISME ISLAM-JAWA DALAM RITUAL HAUL R.M. IMAN SOEDJONO DI PASAREAN GUNUNG KAWI". Kejawen. 1 (1): 26–36. doi:10.21831/kejawen.v1i1.40113. ISSN 1858-294X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-14. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  8. ^ Surat Keterangan dari Pengageng Kantor Tepas Darah Daken Kraton Yogyakarta Hadiningrat nomor 55/TD/1964 yang ditandatangani oleh Kanjeng Tumenggung Danoehadiningrat, 23 Juni 1964
  9. ^ Suwachman, dkk. (1993) dalam Drs. Tashadi, dkk. (1993), hlm. 18–19.
  10. ^ a b c d "Pesarehan Gunung Kawi". gunungkawi.synthasite.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-01. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  11. ^ a b "Mbah Djugo". encyclopedia.jakarta-tourism.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-29. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  12. ^ Drs. Tashadi, dkk (1994). Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 18–19. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-07-13. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  13. ^ Soeryowidagdo, RS (1989). Pasarean Gunung Kawi, Tata Cara Ziarah dan Riwayat Makam Eyang Penembahan Djoego, Eyang Raden Mas Imam Sudjono. Gunung Kawi, Malang. 
  14. ^ Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 18.
  15. ^ Okezone, Tim (2021-08-14). "Cerita Mbah Djugo, Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Tanah Jawa". Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-30. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  16. ^ a b c Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 19.
  17. ^ a b Said, SM (2015-05-25). "Gunung Kawi, Pusat Klenik Jawa-China". Sindonews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-31. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  18. ^ a b c Herwiratno, Martinus (2012-08-27). "Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Soedjono : Dua bangsawan Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa". Budaya-Tionghoa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-30. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  19. ^ Sulistyorini (2021), hlm. 29.
  20. ^ Rahmaniah, Aniek (2015). "Etnografi Masyarakat Gunung Kawi Kabupaten Malang". repository.uin-malang.ac.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-13. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  21. ^ Rahmaniah (2015), hlm. 47–49.
  22. ^ Rahmaniah (2015), hlm. 49.
  23. ^ Drs. Tashadi, dkk (1993), hlm. 21.
  24. ^ Drs. Tashadi, dkk. (1993) hlm. 19–20.

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]