Lompat ke isi

Geriten: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Narasana (bicara | kontrib)
k Menambahkan pranala.
Kris Simbolon (bicara | kontrib)
k Membatalkan 1 suntingan oleh 125.163.210.17 (bicara) ke revisi terakhir oleh Bennylin (🗿 yoww)
Tag: Pembatalan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(23 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Karo Batak schedelhuis (geriten) en duiventil TMnr 60045349.jpg|jmpl|Geriten Karo.]]
{{wikify}}
'''Geriten''' atau '''Giriten''' adalah salah satu bangunan tradisional [[Suku Karo|Batak Karo]]. Bangunan ini berbentuk seperti rumah tradisional masyarakat Batak Karo, [[Siwaluh Jabu]], tetapi bentuk bangunannya lebih kecil. Geriten memiliki dua lantai, terdiri dari lantai atas berdinding dan lantai bawah tidak berdinding.<ref>{{Cite web|url=https://www.gobatak.com/mengenal-geriten-bangunan-tradisional-karo/|title=Geriten, Rumah Tulang Belulang pada Suku Karo|last=|first=Ganda|date=2 Desember 2010|website=www.gobatak.com|access-date=|archive-date=2023-06-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20230605172209/https://www.gobatak.com/mengenal-geriten-bangunan-tradisional-karo/|dead-url=no}}</ref>
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Karo Batak schedelhuis (geriten) en duiventil TMnr 60045349.jpg|jmpl|Giriten Karo]]
'''Geriten''' atau Giriten adalah salah satu [[bangunan]] [[Tradisi|tradisional]] [[suku Karo]]. Bangunan ini berbentuk seperti [[Rumah tradisional|rumah adat,]] tetapi lebih kecil. Geriten berdiri di atas tiang dan terdiri dari dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding, sedangkan lantai atas berdinding.<ref>{{Cite web|url=https://www.gobatak.com/mengenal-geriten-bangunan-tradisional-karo/|title=Geriten, Rumah Tulang Belulang pada Suku Karo|last=|first=Ganda|date=2 Desember 2010|website=www.gobatak.com|access-date=}}</ref>


== Definisi ==
== Definisi ==
Menurut Samaria Ginting (1994): geriten hampir sama bentuknya dengan [[jambur]], tetapi geriten lebih kecil daripada [[jambur]]. Ia berukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Dalam penjelasan lain, Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya ''[[Arsitektur]] [[Batak Karo|Tradisional Batak Karo]]'' menjelaskan bahwa geriten merupakan [[bangunan]] yang lebih kecil dari jambur. Bangunan geriten digunakan untuk tempat penyimpanan [[tengkorak]] dari [[nenek moyang]] atau tulang belulang dari orang tua yang [[cawir metua]]. Pengertian cawir metua dapat kita lihat seperti penjelasan Nelly Tobing (1991) dalam bukunya berjudul ''Upacara [[Adat]] Kampung Lingga''. Mate cawir metua memiliki arti meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Seseorang yang disebut mate cawir metua sudah mempunyai banyak turunan termasuk [[anak]], [[cucu]], [[cicit]] bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia dalam [[budaya]] [[suku Karo]].<ref>{{Cite web|url=https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/3/12/221385/geriten-bagi-masyarakat-karo/|title=Geriten Bagi Masyarakat Karo|last=M.Hum|first=Dr. Daulat Saragih|date=12 Mar 2016|website=analisadaily.com|access-date=2 Peb 2020}}</ref>
Menurut Samaria Ginting (1994), bentuk Geriten hampir mirip dengan [[Jambur]], tetapi Geriten lebih kecil daripada jambur. Bangunan ini memiliki ukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya ''Arsitektur Tradisional Batak Karo,''<ref>{{Cite book|last=Hilderia.|first=Sitanggang,|date=[1991?]|url=http://worldcat.org/oclc/26988946|title=Arsitektur tradisional Batak Karo|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|oclc=26988946}}</ref> yang menjelaskan bahwa Geriten merupakan bangunan yang lebih kecil dari jambur. Bangunan Geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang-belulang dari orang tua yang cawir metua. Nelly Tobing (1991) menjelaskan dalam bukunya berjudul ''Upacara Adat Kampung Lingga,''<ref>{{Cite book|last=Nelly.|first=Tobing,|date=[1990?]|url=http://worldcat.org/oclc/33864525|title=Upacara adat Kampung Lingga|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|oclc=33864525}}</ref> cawir metua memiliki arti meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Dalam hal ini, seseorang yang disebut mate cawir metua sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit, bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia dalam budaya [[Suku Karo|Batak Karo]].<ref>{{Cite web|url=https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/3/12/221385/geriten-bagi-masyarakat-karo/|title=Geriten Bagi Masyarakat Karo|last=M.Hum|first=Dr. Daulat Saragih|date=12 Mar 2016|website=analisadaily.com|access-date=2 Peb 2020|archive-date=2023-04-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20230419010457/https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/3/12/221385/geriten-bagi-masyarakat-karo/|dead-url=no}}</ref>


== Makna Geriten Pada Mayarakat Karo ==
== Makna ==
=== Makna Geriten pada mayarakat Batak Karo ===
Pada masyarakat [[Karo]] dahulu, setelah orang meninggal, mereka tidak langsung dimakamkan. Upacara adat kematian akan diadakan untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan untuk sementara dan setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk mengumpulkan tulang-tulangnya. Tulang-tulang atau kerangka kemudian dibungkus dengan kain putih. Kain putih tersebut dimasukkan ke dalam geriten dan diiringi dengan [[upacara]] yang disebut '''nurun-nurun'''. Kerangka yang ditempatkan di geriten adalah kerangka penghulu (kepala kampung/kepala desa). Pada zamannya sebagai panutan (pemimpin) atau sierjabaten, misalnya: guru, ''[[Penggalian data|penggual]]'', [[Penarune|''penarune'']], dan lain sebagainya. Di samping itu orang ini harus mempunyai [[budi pekerti]], kewibawaan, dan tingkah laku yang menjadi teladan bagi masyarakat karena akan dirayakan setiap waktu tertentu untuk mengenang jasanya semasih hidup.
Dahulu dalam budaya masyarakat [[Suku Karo|Batak Karo]], jika seseorang telah meninggal, maka dia tidak langsung dimakamkan. Upacara adat kematian ini ditujukan sebagai penghormatan terhadap jenazah. Jenazah dimakamkan untuk sementara. Setelah beberapa tahun, makam digali kembali untuk mengumpulkan tulang-tulangnya. Kemudian, tulang-tulang atau tengkorak orang yang sudah meninggal dibungkus dengan kain putih. Kain putih tersebut dimasukkan ke dalam Deriten dengan diiringi upacara nurun-nurun. Tengkorak yang ditempatkan di Geriten adalah kerangka penghulu (kepala kampung atau kepala desa). Pada zamannya sebagai panutan (pemimpin) atau ''sierjabaten,'' misalnya seorang guru, ''penggual'', ''penarune'', dan lain sebagainya. Di samping itu, orang ini harus mempunyai budi pekerti, kewibawaan, dan tingkah laku yang menjadi teladan bagi masyarakat karena akan dirayakan setiap waktu tertentu untuk mengenang jasanya semasih hidup.


== Filosofi Geriten ==
== Filosofi Geriten ==
Bagian-bagian [[konstruksi]] Geriten sarat dengan nilai-nilai [[moral]], [[sosial]], [[religius]], dan [[Pedagogi|pedagogis]] yang diharapkan dapat ditiru oleh generasi sesudahnya. Penempatan geriten tidak bisa jauh dari rumah adat. Ketika sebuah [[raga binasa]], maka [[roh]] kembali ke rumah untuk mengayomi keturunannya. Tempat tulang-belulang dimasukkan dalam Geriten tidak boleh jauh dari rohnya yang tinggal di rumah. Tulang-belulang yang dinaikkan ke atas merupakan suatu simbol penghargaan. Ada [[filosofi]] yakni d''areh'' jadi ''lau'', daging jadi ''taneh'', ''kesah'' jadi angin, ''buk'' jadi ijuk, ''tulan'' jadi batu, ''tendi mulih ku dibata simada tinuang'' ([[Roh Kudus|roh]] kembali kepada Maha Pencipta). Masyarakat [[Karo]] lama (sebelum menganut agama [[Kristen]] maupun non-kristen) telah paham bahwa diri seseorang bukanlah miliknya dan bahwa suatu penghabisan adalah perubahan. Asal mula, akhir dari suatu perubahan itu dan menjadi, air kembali ke air, tanah kembali ke tanah, roh kembali kepada pemilik roh. Rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, akhir bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan awal sesuatu yang bermanfaat demi kesejahteraan [[umat]].
Bagian-bagian konstruksi Geriten sarat dengan nilai-nilai moral, sosial, religius, dan pedagogis yang diharapkan dapat ditiru oleh generasi selanjutnya. Penempatan geriten tidak bisa jauh dari rumah adat. Ketika sebuah raga binasa, maka roh akan kembali ke rumah untuk mengayomi keturunannya. Tempat tulang-belulang dimasukkan dalam Geriten tidak boleh jauh dari rohnya yang tinggal di rumah. Tulang-belulang yang dinaikkan ke atas merupakan suatu simbol penghargaan. Terdapat filosofi yaitu d''areh'' jadi ''lau'', daging jadi ''taneh'', ''kesah'' jadi angin, ''buk'' jadi ijuk, ''tulan'' jadi batu, ''tendi mulih ku dibata simada tinuang'' yang berarti roh kembali kepada Sang Maha Pencipta. Masyarakat Batak Karo lama (sebelum menganut agama [[Kekristenan|Kristen]] maupun non-Kristen) telah memahami bahwa diri seseorang bukanlah miliknya dan bahwa suatu penghabisan adalah perubahan. Asal mula, akhir dari suatu perubahan itu dan menjadi, air kembali ke air, tanah kembali ke tanah, roh kembali kepada pemilik roh, rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, akhir bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan awal sesuatu yang bermanfaat demi kesejahteraan umat.

== Galeri ==
<gallery>
Berkas:Streets in Berastagi, Karo 01.jpg|Geriten di jalan raya di [[Berastagi, Karo|Berastagi]].
</gallery>
{{clear}}


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
* [[Jambur]], bangunan serbaguna masyarakat [[Suku Karo|Batak Karo]].
* [[Jambur]]
* [[Siwaluh Jabu]], rumah tradisional masyarakat [[Suku Karo|Batak Karo]].


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 20: Baris 27:
{{Arsitektur Indonesia}}
{{Arsitektur Indonesia}}


[[Kategori:Kuburan]]
[[Kategori:Monumen dan bangunan pemakaman]]
[[Kategori:Batak Karo]]
[[Kategori:Batak Karo]]
[[Kategori:Arsitektur Batak]]
[[Kategori:Kuburan]]
[[Kategori:Monumen]]

Revisi terkini sejak 20 April 2024 17.22

Geriten Karo.

Geriten atau Giriten adalah salah satu bangunan tradisional Batak Karo. Bangunan ini berbentuk seperti rumah tradisional masyarakat Batak Karo, Siwaluh Jabu, tetapi bentuk bangunannya lebih kecil. Geriten memiliki dua lantai, terdiri dari lantai atas berdinding dan lantai bawah tidak berdinding.[1]

Menurut Samaria Ginting (1994), bentuk Geriten hampir mirip dengan Jambur, tetapi Geriten lebih kecil daripada jambur. Bangunan ini memiliki ukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya Arsitektur Tradisional Batak Karo,[2] yang menjelaskan bahwa Geriten merupakan bangunan yang lebih kecil dari jambur. Bangunan Geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang-belulang dari orang tua yang cawir metua. Nelly Tobing (1991) menjelaskan dalam bukunya berjudul Upacara Adat Kampung Lingga,[3] cawir metua memiliki arti meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Dalam hal ini, seseorang yang disebut mate cawir metua sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit, bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia dalam budaya Batak Karo.[4]

Makna Geriten pada mayarakat Batak Karo

[sunting | sunting sumber]

Dahulu dalam budaya masyarakat Batak Karo, jika seseorang telah meninggal, maka dia tidak langsung dimakamkan. Upacara adat kematian ini ditujukan sebagai penghormatan terhadap jenazah. Jenazah dimakamkan untuk sementara. Setelah beberapa tahun, makam digali kembali untuk mengumpulkan tulang-tulangnya. Kemudian, tulang-tulang atau tengkorak orang yang sudah meninggal dibungkus dengan kain putih. Kain putih tersebut dimasukkan ke dalam Deriten dengan diiringi upacara nurun-nurun. Tengkorak yang ditempatkan di Geriten adalah kerangka penghulu (kepala kampung atau kepala desa). Pada zamannya sebagai panutan (pemimpin) atau sierjabaten, misalnya seorang guru, penggual, penarune, dan lain sebagainya. Di samping itu, orang ini harus mempunyai budi pekerti, kewibawaan, dan tingkah laku yang menjadi teladan bagi masyarakat karena akan dirayakan setiap waktu tertentu untuk mengenang jasanya semasih hidup.

Filosofi Geriten

[sunting | sunting sumber]

Bagian-bagian konstruksi Geriten sarat dengan nilai-nilai moral, sosial, religius, dan pedagogis yang diharapkan dapat ditiru oleh generasi selanjutnya. Penempatan geriten tidak bisa jauh dari rumah adat. Ketika sebuah raga binasa, maka roh akan kembali ke rumah untuk mengayomi keturunannya. Tempat tulang-belulang dimasukkan dalam Geriten tidak boleh jauh dari rohnya yang tinggal di rumah. Tulang-belulang yang dinaikkan ke atas merupakan suatu simbol penghargaan. Terdapat filosofi yaitu dareh jadi lau, daging jadi taneh, kesah jadi angin, buk jadi ijuk, tulan jadi batu, tendi mulih ku dibata simada tinuang yang berarti roh kembali kepada Sang Maha Pencipta. Masyarakat Batak Karo lama (sebelum menganut agama Kristen maupun non-Kristen) telah memahami bahwa diri seseorang bukanlah miliknya dan bahwa suatu penghabisan adalah perubahan. Asal mula, akhir dari suatu perubahan itu dan menjadi, air kembali ke air, tanah kembali ke tanah, roh kembali kepada pemilik roh, rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, akhir bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan awal sesuatu yang bermanfaat demi kesejahteraan umat.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Geriten, Rumah Tulang Belulang pada Suku Karo". www.gobatak.com. 2 Desember 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-05. 
  2. ^ Hilderia., Sitanggang, ([1991?]). Arsitektur tradisional Batak Karo. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 26988946. 
  3. ^ Nelly., Tobing, ([1990?]). Upacara adat Kampung Lingga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 33864525. 
  4. ^ M.Hum, Dr. Daulat Saragih (12 Mar 2016). "Geriten Bagi Masyarakat Karo". analisadaily.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-19. Diakses tanggal 2 Peb 2020.