Lompat ke isi

Tobat nasuhah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Huzaeni (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Soufiyouns (bicara | kontrib)
+ {{Authority control}}
 
(21 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Nasuha Taubatan''' atau dikenal juga dengan nama '''Taubatan Nasuha''' dalam bahasa Indonesia berarti tobat yang semurni-murninya, dan merupakan salah satu bentuk [[tobat]] yang dianjurkan untuk penganut agama [[Islam]].<ref name="AK">[http://www.alkhoirot.net/2012/09/taubat-nasuha.html Alkhoirot.net: Taubat Nasuha]</ref>
{{kembangkan}}
[[Nasuha tobat]] atau [[tobat nasuha]], [[tobat]] yang sebenar-benarnya tobat dengan janji yang ditepati tidak pernah akan mengulangi lagi perbuatan yang salah atau dosa tersebut.


Dalil dari bentuk tobat ini adalah Surat At-Tahrim (66) ayat ke-8 <ref name="AK"/><ref name="Q">{{en}} [http://www.dar-us-salam.com/TheNobleQuran/surah66.html The Noble Qur'an: 66. Surah At-Tahrim (The Prohibition)]</ref> dan didefinisikan sebagai tobat dari dosa yang diperbuat saat ini, menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya pada masa lalu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi pada masa mendatang.<ref name="AK"/> Tobat nasuha diperuntukkan untuk dua macam dosa, yaitu menyangkut hak [[Allah]] dan menyangkut hak manusia.<ref name="AK"/>
==Syarat Sah==
* Sebelum matahri terbit dari barat
* Sebelum nafas sampai di tenggorokan
==Rukun==
* Nadam/menyesal
* Berhenti dari perbuatan yang di tobati
* Tidak berniat untuk mengulangi
===Rukun Tambahan===
Jika perbuatan dosa itu berupa tinggal ibadah wajib atau berhubungan dengan hak manusia maka bertamabah satu rukun lagi, yaitu :
* Mengqadho ibadah wajib yang di tinggal
* Mengembalikan hak manusia (jika hutang maka di bayar, jika salah maka minta maaf)


Menurut Imam Nawawi ada tiga syarat yang harus dilakukan dalam pelaksanaannya apabila maksiat yang dilakukan adalah urusan antara manusia dan Allah yaitu 1) '''Meninggalkan''' perilaku dosa tersebut; 2) '''Menyesali''' perbuatan yang telah dilakukan; 3) '''Berniat''' tidak melakukannya lagi selamanya.<ref name="AK"/>
{{islam-stub}}

Sementara apabila maksiat yang dilakukan terkait hak sesama manusia (''Haqqul Adami'') setelah ketiga syarat sebelumnya ditambah dengan membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi, apabila menyangkut harta adalah dengan mengembalikan harta tersebut; dan apabila menyangkut non-materi seperti [[fitnah]], [[ghibah]], dan yang lainnya maka agar meminta maaf kepada yang bersangkutan.<ref name="AK"/>

Saran lain sebagai pengiring termasuk amal perbuatan yang baik sebagai penebus dosa seperti memperbanyak [[infaq]] dan [[sedekah]] kepada [[fakir]] [[miskin]], [[yatim piatu]] atau yayasan sosial serta amal ibadah sunah lainnya.<ref name="AK"/>

== Rujukan ==
{{reflist}}

{{Authority control}}


[[Kategori:Islam]]
[[Kategori:Islam]]

{{islam-stub}}

Revisi terkini sejak 11 Juli 2024 14.27

Nasuha Taubatan atau dikenal juga dengan nama Taubatan Nasuha dalam bahasa Indonesia berarti tobat yang semurni-murninya, dan merupakan salah satu bentuk tobat yang dianjurkan untuk penganut agama Islam.[1]

Dalil dari bentuk tobat ini adalah Surat At-Tahrim (66) ayat ke-8 [1][2] dan didefinisikan sebagai tobat dari dosa yang diperbuat saat ini, menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya pada masa lalu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi pada masa mendatang.[1] Tobat nasuha diperuntukkan untuk dua macam dosa, yaitu menyangkut hak Allah dan menyangkut hak manusia.[1]

Menurut Imam Nawawi ada tiga syarat yang harus dilakukan dalam pelaksanaannya apabila maksiat yang dilakukan adalah urusan antara manusia dan Allah yaitu 1) Meninggalkan perilaku dosa tersebut; 2) Menyesali perbuatan yang telah dilakukan; 3) Berniat tidak melakukannya lagi selamanya.[1]

Sementara apabila maksiat yang dilakukan terkait hak sesama manusia (Haqqul Adami) setelah ketiga syarat sebelumnya ditambah dengan membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi, apabila menyangkut harta adalah dengan mengembalikan harta tersebut; dan apabila menyangkut non-materi seperti fitnah, ghibah, dan yang lainnya maka agar meminta maaf kepada yang bersangkutan.[1]

Saran lain sebagai pengiring termasuk amal perbuatan yang baik sebagai penebus dosa seperti memperbanyak infaq dan sedekah kepada fakir miskin, yatim piatu atau yayasan sosial serta amal ibadah sunah lainnya.[1]