Lompat ke isi

Suku Osing: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Etnik
 
(123 revisi perantara oleh 66 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{More citations needed|date=Desember 2020}}
{{ethnic group|
{{ethnic group|
|group=Suku Osing<br>ꦥꦿꦶꦪꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦎꦱꦶꦁ<br>ꦭꦫꦺꦈꦱꦶꦁ
|group=Suku Using
|image=[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van drie generaties vrouwen in Blambangan Oost-Java TMnr 10026837.jpg|250px]]
|image=
|caption=Tiga generasi perempuan suku Using di Banyuwangi, Jawa Timur (foto k. 1910–1930)
|poptime=Tidak Diketahui
|poptime=302.542
|popplace=Kabupaten [[Banyuwangi]], [[Jawa Timur]]
|popplace=Kabupaten [[Banyuwangi]], [[Jawa Timur]]
|langs=[[Bahasa Osing]], [[Bahasa Jawa]], dan [[Bahasa Indonesia]]
|langs=[[bahasa Using]]
|rels=Sebagian besar [[Islam]] dan sebuah minoritas beragama [[Hindu]].
|rels='''Mayoritas'''<br>[[Berkas:Allah-green.svg|15px]] [[Islam]]<br>'''Minoritas'''<br>[[Berkas:Om.svg|15px]] [[Hindu]]
|related=[[suku Jawa]], [[suku Tengger]], [[suku Bali]]
|related=[[suku Jawa]], [[suku Tengger]], [[suku Bali]]
}}
}}


''Suku Using'' adalah penduduk asli [[Banyuwangi]]atau juga disebut sebagai "wong Blambangan" dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
'''Suku Osing''' atau biasa diucapkan '''Jawa Osing''' adalah penduduk asli [[Banyuwangi]] atau juga disebut sebagai '''''Laros''''' (akronim daripada '''''Lare Osing''''') atau '''''Wong Blambangan''''' merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Orang Osing menggunakan [[bahasa Osing]] yang masih termasuk sub dialek bahasa Jawa (bagian timur) yang masih berkerabat dengan [[Dialek Arekan|Bahasa Jawa Arekan]] dan [[Dialek Tengger|Bahasa Tengger]] tetapi banyak kosakata dari bahasa [[Jawa Kuno]] yang masih digunakan, selain itu pengaruh bahasa bali juga sedikit signifikan.

== Sejarah /Cikal bakal wong osing/Blambangan ==
Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan [[Majapahit]] sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng [[Gunung Bromo]] ([[Suku Tengger]]), [[Blambangan]] (Suku Using) dan [[Bali]]. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa [[Taman Nasional Alas Purwo]] merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.

Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan [[Suku Jawa]]. Suku Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional [[Gandrung]] yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M. [http://osingkertarajasa.wordpress.com/2010/06/29/sejarah-perang-bayu/ SEJARAH PERANG BAYU] ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.

Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Di dalam kekuasaan Mataram inilah penduduk Blambangan mulai diislamisasi, suatu perkembangan kultural yang banyak pengaruhnya di kemudian hari dalam membentuk struktur sosial dan kebudayaan. Perebutan Blambangan oleh Mataram dan Bali terus berlangsung dan saling bergantian menguasai hingga berakhir ketika VOC berhasil menduduki Blambangan pada tahun 1765.

Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.

Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali…”.

Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:

“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”.
Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Using atau sisa-sisa wong blambangan.


== Bahasa ==
== Bahasa ==
Suku Osing mempunyai [[Bahasa Osing]] yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya [[Bahasa Bali]]. Bahasa Osing berbeda dengan [[Bahasa Jawa]] sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan{{fact}}.
Suku Osing mempunyai [[bahasa Osing]] yang merupakan turunan dari bahasa [[Jawa]] kuno dengan sedikit pengaruh dari bahasa [[Bali]]. Bahasa Osing adalah salah satu varian dialek dari bahasa Jawa, dituturkan terutama di Kabupaten Banyuwangi
[http://larosriau.blogspot.com/2010/06/kamus-boso-osing.html kamus boso using]


== Kepercayaan ==
== Kepercayaan ==
Pada awal terbentuknya masyarakat Using kepercayaan utama suku Using adalah Hindu-Budha seperti halnya [[Majapahit]]. Namun berkembangnya kerajaan [[Islam]] di [[pantura]] menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Using. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Using juga dipengaruhi oleh usaha [[VOC]] dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Using mempunyai tradisi [[puputan]], seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut [[Puputan Bayu]] pada tahun 1771 M.
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Buddha seperti halnya [[Majapahit]]. Namun berkembangnya kerajaan [[Islam]] di [[Pantura]] menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha [[VOC]] dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi [[puputan]], seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut [[Perang Bayu|Puputan Bayu]] pada tahun 1771 M.


== Demografi ==
== Demografi ==
Suku Using menempati beberapa kecamatan di kabupaten [[Banyuwangi]] bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi,kecamatan singonjuruh,temuguruh Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon.
Suku Jawa Osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten [[Banyuwangi]] bagian tengah dan bagian timur, mayoritas berada di Kecamatan Songgon, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Blimbingsari, Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Kabat, Kecamatan Licin, Kecamatan Giri, Kecamatan Glagah dan sebagian berada di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Kalipuro dan Kecamatan Sempu yang berbaur dengan komunitas suku yang lain seperti Suku Madura & Suku Bali. Ada juga sekelompok kecil yang berada di Kecamatan Srono, Kecamatan Cluring, Kecamatan Gambiran dan Kecamatan Genteng.{{Butuh rujukan}}

Komunitas Using atau lebih dikenal sebagai wong Using oleh beberapa kalangan dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi, sebuah wilayah di ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan. Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi yang secara administratif merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan Srono. Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk non-Using, migran berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta (wong Using menyebutnya wong Jawa-Kulon).
Suku Osing dianggap sebagai [[penduduk]] asli di wilayah Kabupaten Banyuwangi.<ref>{{Cite book|last=Sukandar, dkk.|date=Desember 2016|url=http://bpp.fpik.ub.ac.id/wp-content/uploads/2017/02/PROFIL-DESA-PESISIR-SELATAN-JAWA-TIMUR-Vol-2.pdf|title=Profil Desa Pesisir Provinsi Jawa Timur Volume 2 (Selatan Jawa Timur)|location=Surabaya|publisher=Bidang Kelautan, Pesisir, dan Pengawasan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur|pages=3|url-status=live}}</ref> Anggapan ini oleh beberapa kalangan dan hasil penelitian. Suku Osing sendiri menyebut Kabupaten Banyuwangi sebagai Tanah Blambangan, sebuah wilayah di ujung paling timur pulau Jawa. Suku ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi yang secara administratif meliputi wilayah yang berada di Kecamatan Rogojampi, Blimbingsari, Kabat, Licin, Sempu, Singojuruh, Songgon, Cluring, Srono, Banyuwangi mereka telah bercampur dengan penduduk non-Osing, yang terdiri dari migran asal Madura, Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta. Orang Osing menyebut mereka dengan sebutan "Wong Osing" dengan "Tanah Blambangan".


== Profesi ==
== Profesi ==
Profesi utama Suku Using adalah petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.
Profesi utama suku Osing adalah mayoritas petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang, nelayan, buruh dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.


== Stratifikasi Sosial ==
== Stratifikasi sosial ==
Suku Using berbeda dengan [[Suku Bali]] dalam hal stratifikasi sosial. Suku Using tidak mengenal [[kasta]] seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya.
Suku Osing berbeda dengan [[Suku Bali]] dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal [[kasta]] sama dengan [[suku Jawa]] umumnya yang juga tidak mengenal kasta, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya.


== Seni ==
== Seni ==
Kesenian Suku Using sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya [[suku bali]] dan [[suku tengger]]. Kesenian utamanya antara lain [[Gandrung]], [[Patrol]], [[Seblang]], [[Angklung]], [[Tari Barong]],Kuntulan,kendang kempul,janger,jaranan, jaran kincak,angklung caruk, dan [[Jedor]].
Kesenian suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya [[suku bali|Suku Bali]]. Kesenian utamanya antara lain [[Gandrung Banyuwangi]], [[Patrol]], [[Seblang]], [[Angklung]], [[Tari Barong]], Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan [[Jedor]].


Kesenian lain yang masih dipelihara adalah tembang dolanan, khususnya oleh kalangan anak usia sekolah. Contohnya adalah Jamuran dan Ojo Rame-Rame. Sesuai dengan sebutannya, tembang-tembang yang pada umumnya bersyair pendek ini digunakan mengiringi permainan anak-anak. Selain menambah keceriaan anak saat bermain berkelompok, tembang dolanan dapat berfungsi mengajarkan nilai-nilai positif sejak dini. Tembang Jamuran, misalnya, mengajarkan tentang gotong-royong dan Ojo Rame-Rame mengajarkan patriotisme.<ref>Nurhidayatullah, MT, Sukatman, Wuryaningrum, R. 2013. Tembang Dolanan Dalam Masyarakat Osing Kabupaten Banyuwangi (Kajian Etnografi). Skripsi. Universitas Jember. [http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/62990/Moch%20Tsalis.pdf?sequence=1]</ref>
== Desa Adat Kemiren ==
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Using yang cukup besar dengan menetapkan desa kemiren di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Suku Using. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini.


== Lihat pula ==
== Galeri ==
<gallery>
* [[Suku-suku di Indonesia]]
Berkas:Interior rumah tradisional Osing.jpg|Interior rumah tradisional Osing
* [[Seni Budaya Banyuwangi]]
Berkas:Motif gajah oling di rumah tradisional Osing.jpg|Motif gajah oling di rumah tradisional Osing

Berkas:Angklung Paglak.jpg|Kesenian [[angklung paglak]]
<!--
Berkas:Batik Banyuwangi with Gajah Oling motif.jpg|Batik Osing Banyuwangi
{{rapikan}}
</gallery>
{{takakurat}}

'''Using''' atau '''sing''', berdasarkan ejaan Bahasa Using, berarti "tidak". Kata "tidak" awalnya untuk menyebut sekolompok orang asli Banyuwangi yang tidak mau diajak kerja sama dengan Belanda. Sebagai bentuk kekuatan integritas orang Banyuwangi terhadap prinsip kedaerahnya, orang Banyuwangi selalu mengatakan "tidak" apabila diajak orang lain atau orang asing untuk melakukan sesuatu.

Menurut sejarahwan dari Belanda Pegeot (dalam Bukunya Runtuhnya Kerajaan Islam [[Mataram]]), orang [[Blambangan]], cikal bakal [[Banyuwangi]], sangat kuat istrigatsnya kepada wilayah dan pimpinannya. Sehingga, meski Mataram berhasil menguasai Blambangan dan Kerajaan Mengwi mundur, namun tidak serta-merta orang Blambangan ini tunduk terhadap Mataram sebagai penguasa baru di Tlatah Blambangan. Sebaliknya, mereka justru lari atau mengungsi dalam kelompok-kelompok kecil ke daerah pedalaman. Ini terbukti, dialek Bahasa Using sangat banyak. Lain kampung, maka lain dialeknya, meski hanya dibatasi sungai atau jalan. Maka orang Banyuwangi asli (Using) akan mudah dikenali asal daerah mereka, dengan mengenali cara mereka berbicara dan menggunakan Bahasa Using, baik intonasi maupun kosakatanya. Misalnya antara orang Mangir dengan Melik atau Gambor, atau juga dengan orang Penataban.

Sementara ketika Mengwi kembali menguasai Blambangan, maka orang asli Banyuwangi ini lebih condong ke Bali yang mengaku masih satu keturunan. Maka pada kesimpulannya, Pigeud akhirnya mengatakan, "Suatu ketika pengaruh Mataram kuat, baik secara budaya maupun dalam kehidupan sehari. Namun suatu saat juga melemah, ketika Mengwi berhasil menguasai lagi sebagian wilayah Blambangan". Tidak heran, dalam kesenian Banyuwangi banyak percampuran antara Bali dan Jawa.

Konon kesenian "Janger" yang berkembang di Banyuwangi hingga saat ini, itu hasl rekayasa Mataram untuk menarik orang-orang Using. Mereka meski sudah dikuasai, namun masih sulit menerima perintah dan pengaruh budaya Mataram. Sehingga penguasa Mataram perlu mengadaptasi kesenian "Langendrian" yang sudah ada di Mataram. Dalam perkembangannya, kesenian ini seperti Ketroprak. Namun Janger di Banyuwangi pada waktu itu hanya menampilkan lakon Damarwulan dengan ''setting'' daerah Majapahi dan Blambangan. Tujuan idologisnya, agar orang Using tidak menghargai pemimpinannya atau rajanya, yaitu Menakjinggo yang digambarkan buruk muka dan tidak punya tatakrama.

Namun untuk menarik minat orang Using mendatangi pertunjukan "Janger Langendrian" ini, sengaja musik pengiring bukan gemelan jawa dan kostum pelakunya seperti layaknya raja-raja Jawa, melainkan menggunakan gemaelan dan kostum Bali. Sehingga kesenian yang selalu dibuka dengan tari Legong ini seakan membius orang Using, bahwa mereka sedang menikmati kesenian dari saudara tuanya, yaitu Bali. Namun setelah memasuki cerita, baru penguasa Mataram memasukkan unsur-unsur Jawa-Mataram dan bahasa dialog dan "ontowacononya". Cara ini sangat efektif, karena orang Using akhirnya tidak memedulikan siapa pemimpinnya, bahkan keranjingan menggunakan bahasa Jawa untuk dialog sehari-hari. Ada semacam gengsi tersendiri di kalangan orang Using, apabila bila berbicara menggunakan bahasa Jawa.

Setelah masa penjajahan Belanda, sikap orang Using terhadap penjajah tidak jauh berbeda ketika ditujukan kepada Mataram. Bahkan mereka tidak mau mengikuti perintah keras Belanda untuk kerja paksa. Akibat sulitnya Belnada menundukan orang-orang Using ini, akhirnya muncul julukan orang Banyuwangi asli sebagai orang "Using", karena "sing" atau "tidak" mau diajak kompromi dalam berbagai hal untuk mendukung penjajah. Bahkan dalam perang habis-habisan, atau "Puputan Bayu" ribuan orang Using dibantai Belanda hingga kepalanya dipajang di sepanjang Lincing Rogojampi, untuk membuat jera yang lain agar mau bekerja sama dengan Belanda.

Namun secara sosiolinguistik, bahasa Using bukan dari Bahasa Jawa, melainkan dari Bahasa Jawa Kuno. Terbukti dalam bahasa Jawa Kuno dan Using itu tidak ada strata bahasa, atau unggah-ungah seperti halnya Bahasa Jawa. Jadi antara Bahasa Using dan Bahasa Jawa sama satu induk, buka sebagai subordinat. Namun akibat letak geografi Banyuwangi (sebelum ada jalan penghubung dengan Jember dan Situbondo) bahasa Using cenderung statis dibanding bahasa Jawa yang diawali dari bahasa Kraton yang ada unggah-ungguhnya. Bahkan budayawan Banyuwangi Hasan Ali berani menyatakan, kosa-kata Bahasa Using banyak digunakan dalam kosa kata Bahasa Bali. Karena sebelum menyusun Kamus Bali-Belanda, Lackercker puluhan tahun tinggal di Banyuwangi. Disinyalir, saat itu sudah menyusun kata-kata yang ditemukan diBanyuwangi dan digunakan dalam Bahasa Bali. Sehingga kata "sing" Bahsa Bali dan Bahasa Using sama artinya, yaitu "tidak.


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
* [[Bahasa Osing]]
* [[Pegon|Aksara Pegon]]
* [[Suku Jawa]]
* [[Suku Bali]]


== Referensi ==
* [[Basa Using]]
{{reflist}}

[[de:Using (Ethnie)]]
[[en:Using]]
[[ms:Suku Using]]
-->


== Pranala luar ==
[[Kategori:Jawa|Using]]
{{Commonscat|Osing people}}
[[Kategori:Suku bangsa di Indonesia|Using]]


[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia|Osing]]
[[de:Osing (Ethnie)]]
[[Kategori:Suku bangsa di Jawa Timur|Osing]]
[[en:Osing people]]
[[fr:Osing]]
[[jv:Osing]]
[[ms:Suku Osing]]

Revisi terkini sejak 12 Juli 2024 11.10

Suku Osing
ꦥꦿꦶꦪꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦎꦱꦶꦁ
ꦭꦫꦺꦈꦱꦶꦁ
Tiga generasi perempuan suku Using di Banyuwangi, Jawa Timur (foto k. 1910–1930)
Daerah dengan populasi signifikan
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur
Bahasa
Bahasa Osing, Bahasa Jawa, dan Bahasa Indonesia
Agama
Mayoritas
Islam
Minoritas
Hindu
Kelompok etnik terkait
suku Jawa, suku Tengger, suku Bali

Suku Osing atau biasa diucapkan Jawa Osing adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai Laros (akronim daripada Lare Osing) atau Wong Blambangan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Orang Osing menggunakan bahasa Osing yang masih termasuk sub dialek bahasa Jawa (bagian timur) yang masih berkerabat dengan Bahasa Jawa Arekan dan Bahasa Tengger tetapi banyak kosakata dari bahasa Jawa Kuno yang masih digunakan, selain itu pengaruh bahasa bali juga sedikit signifikan.

Bahasa

Suku Osing mempunyai bahasa Osing yang merupakan turunan dari bahasa Jawa kuno dengan sedikit pengaruh dari bahasa Bali. Bahasa Osing adalah salah satu varian dialek dari bahasa Jawa, dituturkan terutama di Kabupaten Banyuwangi

Kepercayaan

Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Buddha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.

Demografi

Suku Jawa Osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian timur, mayoritas berada di Kecamatan Songgon, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Blimbingsari, Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Kabat, Kecamatan Licin, Kecamatan Giri, Kecamatan Glagah dan sebagian berada di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Kalipuro dan Kecamatan Sempu yang berbaur dengan komunitas suku yang lain seperti Suku Madura & Suku Bali. Ada juga sekelompok kecil yang berada di Kecamatan Srono, Kecamatan Cluring, Kecamatan Gambiran dan Kecamatan Genteng.[butuh rujukan]

Suku Osing dianggap sebagai penduduk asli di wilayah Kabupaten Banyuwangi.[1] Anggapan ini oleh beberapa kalangan dan hasil penelitian. Suku Osing sendiri menyebut Kabupaten Banyuwangi sebagai Tanah Blambangan, sebuah wilayah di ujung paling timur pulau Jawa. Suku ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi yang secara administratif meliputi wilayah yang berada di Kecamatan Rogojampi, Blimbingsari, Kabat, Licin, Sempu, Singojuruh, Songgon, Cluring, Srono, Banyuwangi mereka telah bercampur dengan penduduk non-Osing, yang terdiri dari migran asal Madura, Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta. Orang Osing menyebut mereka dengan sebutan "Wong Osing" dengan "Tanah Blambangan".

Profesi

Profesi utama suku Osing adalah mayoritas petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang, nelayan, buruh dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.

Stratifikasi sosial

Suku Osing berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta sama dengan suku Jawa umumnya yang juga tidak mengenal kasta, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya.

Seni

Kesenian suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya Suku Bali. Kesenian utamanya antara lain Gandrung Banyuwangi, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor.

Kesenian lain yang masih dipelihara adalah tembang dolanan, khususnya oleh kalangan anak usia sekolah. Contohnya adalah Jamuran dan Ojo Rame-Rame. Sesuai dengan sebutannya, tembang-tembang yang pada umumnya bersyair pendek ini digunakan mengiringi permainan anak-anak. Selain menambah keceriaan anak saat bermain berkelompok, tembang dolanan dapat berfungsi mengajarkan nilai-nilai positif sejak dini. Tembang Jamuran, misalnya, mengajarkan tentang gotong-royong dan Ojo Rame-Rame mengajarkan patriotisme.[2]

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Sukandar, dkk. (Desember 2016). Profil Desa Pesisir Provinsi Jawa Timur Volume 2 (Selatan Jawa Timur) (PDF). Surabaya: Bidang Kelautan, Pesisir, dan Pengawasan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. hlm. 3. 
  2. ^ Nurhidayatullah, MT, Sukatman, Wuryaningrum, R. 2013. Tembang Dolanan Dalam Masyarakat Osing Kabupaten Banyuwangi (Kajian Etnografi). Skripsi. Universitas Jember. [1]

Pranala luar