Lompat ke isi

Tawan Karang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Prabb (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi 'Tawan karang (''taban karang'') merupakan salah satu hukum tradisi/adat yang berlaku di Bali pada masa lalu. Hukum ini memperbolehkan seorang raja atau masyarakat pesi...'
Tag: tanpa kategori [ * ]
 
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.2
 
(26 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
Tawan karang (''taban karang'') merupakan salah satu hukum tradisi/adat yang berlaku di Bali pada masa lalu. Hukum ini memperbolehkan seorang raja atau masyarakat pesisir menyita kapal yang terdampar di wilayah mereka beserta muatannya dan menjadikan penumpangnya sebagai budak atau kadang-kadang dibunuh.
'''Tawan karang''' (''taban karang'') adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja [[Bali]] pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.


Hak tawan karang diperbolehkan jika ada kapal yang terdampar di karang-karang muka laut atau pesisir termasuk penumpang dan muatannya, hanya masyarakat setempat yang dapat menolong atau menyelamatkannya. Tujuan hak tawan karang adalah menjaga dan melindungi territorial atau wilayah kekuasaan dari musuh-musuh asing sehingga dianggap sebagai ''local genius'' dan menjadi embrio hukum adat antarbangsa dan melahirkan faham wawasan yaitu wawasan nusantara.


== Masa Bali Kuno ==
Penyebutan tawan karang sudah ada sejak abad X Masehi pada masa Bali Kuno seperti tertulis dalam ''prasasti Sembiran'' (923 M) yang terbuat dari tembaga.
Istilah Tawan Karang sudah dikenal sejak masa Bali Kuno dengan ditemukannya dua [[prasasti]] berikut:


* ''[[Prasasti Bebetin|Prasasti Bebetin AI]]'' (818 [[Kalender Saka|Saka]] atau [[896]] M): <ref name="arkeologiwebid"/>
IIIb. 3. ''"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma''
IIIb. 4. ''katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"''


:''"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"''
Terjemahan:
IIIb. 3. ''"dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah''
IIIb. 4. ''diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"''


:Terjemahan:
Senada dengan hal tersebut, dalam sebuah prasasti yang lebih tua yaitu prasasti Bebetin A.I (818 Saka atau 896 M) menyebutkan penyitaan langsung terhadap perahu yang rusak:


:''"jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"''
IIb. 3. ''"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"''


Terjemahan:
II.b 3. ''"jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"''


* ''Prasasti Sembiran'' ([[923]] M) terbuat dari tembaga:<ref name="arkeologiwebid"/>
Hak tawan karang ini bahkan berlanjut hingga kedatangan pelaut-pelaut Eropa. Penguasaan Pulau Bali oleh pasukan Belanda juga diawali oleh respon tawan karang masyarakat Sanur terhadap kapal dagang belanda yang terdampar di daerah tersebut, walaupun sebenarnya masyarakat Sanur tidak melakukan penyitaan terhadap kapal tersebut. Hal tersebut sengaja dilontarkan atau propaganda oleh pihak Belanda agar dapat menjadi alasan menyerang Pulau Bali.


:''"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"''
Hak tawan karang tersebut akhirnya hilang semenjak Belanda menguasai Pulau Bali dan menerapkan aturan yang dibuat Belanda dan cenderung menguntungkan pihaknya.


:Terjemahan:


:''"dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"''
== Sumber Penulisan ==



http://arkeologi.web.id/articles/epigrafi-a-manuskrip/12-tawan-karang-suatu-aturan-transportasi-laut-di-bali-pada-masa-lalu
== Penghapusan Tawan Karang (I) ==

Walaupun Tawan Karang dianggap sebagai hal yang wajar oleh raja-raja Bali, Belanda menganggap hal ini mengancam kepentingannya. Oleh karena itu dibuatlah penjanjian penghapusan Tawan Karang dengan beberapa kerajaan di Bali pada waktu itu:<ref name="abelpetrus"/>
* Kerajaan [[Badung]], [[28 November]] [[1842]]
* Kerajaan [[Karangasem]],[[1 Mei]] [[1843]]
* [[Kerajaan Klungkung]], [[24 Mei]] [[1843]]
* Kerajaan [[Tabanan]], [[22 Juni]] [[1843]]
* Ada sumber yang menyebutkan bahwa pada tahun [[1843]] [[Kerajaan Buleleng]] juga ikut menandatangani perjanjian penghapusan Tawan Karang.<ref name="sejarahnasional"/>


== Insiden dan Serbuan Belanda ==

Walaupun penjanjian sudah dibuat dan ditandatangani, pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh raja-raja di Bali. Pada tahun [[1844]], terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Perancak dan Sangsit.<ref name="sejarahnasional"/>

Pada tahun [[1845]], Raja [[Kerajaan Buleleng|Buleleng]] menolak pengesahan perjanjian penghapusan Tawan Karang.<ref name="sejarahnasional"/> Hal ini membuat Belanda menggunakan isu Tawan Karang untuk menyerang Bali pada [[Perang Bali I]] ([[1846]]), [[Perang Bali II]] ([[1848]]) dan [[Perang Bali III]] ([[1849]]).

== Penghapusan Tawan Karang (II) ==

Setelah penyerbuan Belanda, penandatanganan perjanjian penghapusan Tawan Karang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan sebagai berikut:<ref name="abelpetrus"/>
* Kerajaan [[Bangli]], [[25 Juni]] [[1849]]
* Kerajaan [[Jembrana]], [[30 Juni]] [[1849]]
* Kerajaan [[Gianyar]], [[13 Juli]] [[1849]]

Dalam bulan yang sama (13-15 Juli 1849) ditandatanganilah perjanjian perdamaian di Kuta untuk menghentikan pertempuran antara raja-raja Bali dengan Belanda. Pada perdamaian ini, raja-raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan menghapuskan adat Tawan Karang.


== Insiden dan Serbuan Lanjutan ==

Pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah kapal bernama Sri Kumala kandas di [[Pantai Sanur]] - bagian Selatan Kerajaan Badung. Beberapa minggu setelah itu, pemilik kapal menuduh bahwa barang berharga yang ada di dalam kapar tersebut dirampas oleh penduduk sekitar Sanur. Insiden ini dipakai sebagai alasan Belanda untuk menyerbu Kerajaan Badung. Terjadilah peristiwa Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.


== Rujukan ==

<references>
<ref name="arkeologiwebid">{{Cite web |url=http://arkeologi.web.id/articles/epigrafi-a-manuskrip/12-tawan-karang-suatu-aturan-transportasi-laut-di-bali-pada-masa-lalu |title=Tawan Karang, suatu aturan transportasi laut di Bali pada masa lalu |access-date=2013-11-04 |archive-date=2015-01-28 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150128135319/http://arkeologi.web.id/articles/epigrafi-a-manuskrip/12-tawan-karang-suatu-aturan-transportasi-laut-di-bali-pada-masa-lalu |dead-url=yes }}</ref>
<ref name="sejarahnasional">[http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
<ref name="abelpetrus">[http://abelpetrus.wordpress.com/history/adat-tawan-karang/ Petrus Haryo Sabtono, Praktik Adat Tawan Karang Sebagai Dalih Ekspedisi Militer Belanda Melakukan Ekspansi ke Kerajaan Badung, 1904-1906]</ref>
</references>

[[Kategori:Sejarah Bali]]

Revisi terkini sejak 28 November 2022 13.57

Tawan karang (taban karang) adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.


Masa Bali Kuno

[sunting | sunting sumber]

Istilah Tawan Karang sudah dikenal sejak masa Bali Kuno dengan ditemukannya dua prasasti berikut:

"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"
Terjemahan:
"jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"


  • Prasasti Sembiran (923 M) terbuat dari tembaga:[1]
"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"
Terjemahan:
"dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"


Penghapusan Tawan Karang (I)

[sunting | sunting sumber]

Walaupun Tawan Karang dianggap sebagai hal yang wajar oleh raja-raja Bali, Belanda menganggap hal ini mengancam kepentingannya. Oleh karena itu dibuatlah penjanjian penghapusan Tawan Karang dengan beberapa kerajaan di Bali pada waktu itu:[2]


Insiden dan Serbuan Belanda

[sunting | sunting sumber]

Walaupun penjanjian sudah dibuat dan ditandatangani, pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh raja-raja di Bali. Pada tahun 1844, terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Perancak dan Sangsit.[3]

Pada tahun 1845, Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan Tawan Karang.[3] Hal ini membuat Belanda menggunakan isu Tawan Karang untuk menyerang Bali pada Perang Bali I (1846), Perang Bali II (1848) dan Perang Bali III (1849).

Penghapusan Tawan Karang (II)

[sunting | sunting sumber]

Setelah penyerbuan Belanda, penandatanganan perjanjian penghapusan Tawan Karang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan sebagai berikut:[2]

Dalam bulan yang sama (13-15 Juli 1849) ditandatanganilah perjanjian perdamaian di Kuta untuk menghentikan pertempuran antara raja-raja Bali dengan Belanda. Pada perdamaian ini, raja-raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan menghapuskan adat Tawan Karang.


Insiden dan Serbuan Lanjutan

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah kapal bernama Sri Kumala kandas di Pantai Sanur - bagian Selatan Kerajaan Badung. Beberapa minggu setelah itu, pemilik kapal menuduh bahwa barang berharga yang ada di dalam kapar tersebut dirampas oleh penduduk sekitar Sanur. Insiden ini dipakai sebagai alasan Belanda untuk menyerbu Kerajaan Badung. Terjadilah peristiwa Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.


  1. ^ a b "Tawan Karang, suatu aturan transportasi laut di Bali pada masa lalu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-28. Diakses tanggal 2013-11-04. 
  2. ^ a b Petrus Haryo Sabtono, Praktik Adat Tawan Karang Sebagai Dalih Ekspedisi Militer Belanda Melakukan Ekspansi ke Kerajaan Badung, 1904-1906
  3. ^ a b c Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19[pranala nonaktif permanen]