Lompat ke isi

Chen Huang Er Xian Sheng: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-di tahun +pada tahun)
k ~cat
 
(33 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Kongco-pribumi-R-Panji-Margono.-Foto.Chris -230x300.jpg|jmpl|Rupang Raden Panji Margono di altar klenteng Gie Yong Bio]]
'''Chen Huang Er Xian Sheng''' ([[Hokkien]]: Tan Oei Ji Sian Seng) atau '''Yi Yong Gong''' ([[Hokkien]]: Gi Yong Kong) adalah kedua orang pejuang yang dipuja di Kota Juana, [[Rembang, Rembang|Rembang]], dan [[Lasem, Rembang|Lasem]]. Mereka ikut serta dalam perjuangan pada tahun 1741-1742 yang dikenal sebagai ''[[Geger Pecinan]]''.<ref name="sam">Yayasan Kelenteng Sam Po Kong. "Dewa-Dewi Kelenteng". Semarang.</ref>
'''Chen Huang Er Xian Sheng''' ([[Hanzi]]: 陈黄二先生; [[Hokkien]]: Tan Oei Ji Sian Seng) atau '''Yi Yong Gong''' ([[Hokkien]]: Gi Yong Kong) adalah dua orang pejuang yang dipuja di [[Juwana, Pati|Juwana]], [[Rembang, Rembang|Rembang]], dan [[Lasem, Rembang|Lasem]]. Bersama dengan [[Panji Margono|Raden Panji Margono]], ketiganya menjadi pemimpin pemberontakan melawan [[VOC]] pada tahun 1741-1742 dan 1750 yang dikenal sebagai [[Perang Kuning]].<ref name="sam">Yayasan Kelenteng Sam Po Kong. "Dewa-Dewi Kelenteng". Semarang.</ref> Penduduk Tionghoa di Lasem menghormati keduanya sebagai pahlawan dan membangun Klenteng [[Gie Yong Bio]] pada tahun 1780 sebagai monumen pengingat keberanian mereka.<ref name=yon>Yon, 2009, "Membedah Cina Lasem". Dalam "''Sejarah Perkembangan Klenteng Gie Yong Bio di Lasem dan Pengaruhnya Masyarakat 1967-1998''" oleh Nurul Hidayati Septyana, 2012.</ref>


==Nama dan etimologi==
== Nama dan etimologi ==
'''Chen''' dan '''Huang''' merupakan nama [[Marga]]. '''Er''' memiliki arti ''Dua''; '''Xian Sheng''' memiliki arti ''Tuan''. Secara keseluruhan, gelar '''Chen Huang Er Xian Sheng''' ([[Hokkien]]: Tan Oei Ji Sian Seng) memiliki arti "Dua Tuan Terhormat dari Keluarga Chen dan Sheng''.<ref name="sam"/>
Gelar ''Chen Huang Er Xian Sheng'' memiliki arti "Dua Tuan Terhormat dari Keluarga Chen dan Huang". ''Chen'' dan ''Huang'' merupakan [[marga]]; ''Er'' memiliki arti ''dua''; ''Xian Sheng'' memiliki arti ''tuan''. Dalam logat [[Hokkien]], gelar itu disebut ''Tan Oei Ji Sian Seng''.<ref name="sam"/> Keduanya memilik nama asli Tan Kee Wie dan Oei Ing kiat. Tan Kee Wie dikenal sebagai juragan bata yang dermawan.<ref name="unjiya">Unjiya, 2008, "Lasem Negeri Dampo Awang yang Terlupakan. Dalam "''Sejarah Perkembangan Klenteng Gie Yong Bio di Lasem dan Pengaruhnya Masyarakat 1967-1998''" oleh Nurul Hidayati Septyana, 2012.</ref> Selain sebagai pengusaha, ia juga dikenal sebagai pendekar atau guru kungfu.<ref name="yon" />


Oei Ing Kiat (Oey Ing Kiat) adalah seorang Tionghoa beragama [[Islam]] yang sangat kaya, keturunan [[Bi Nang Oen]] yang merupakan salah seorang juru mudi armada Laksamana [[Ceng Ho]] yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen adalah seorang pujangga dari [[Campa]] yang menjadi penyebar [[agama Islam]] di Lasem pada awal abad XV. Oei Ing Kiat sendiri merupakan pengusaha dan syahbandar yang memiliki banyak kapal junk dan perahu antar pulau.<ref name="unjiya" />
Masyarakat setempat mengenal nama mereka sebagai '''Tan Pan Ciang''' dan '''Oei Ing Kiat'''. Dalam [[Babad Tanah Jawi]], mereka disebut sebagai '''Encik Macan''' dan '''Muda Tik'''.


Bersama dengan Raden Panji Margono, ketiganya saling mengangkat sumpah persaudaraan. Dalam "''Kitab Carita Sajarah Lasem''" karangan R. Panji Kamzah, setelah mengetahui kematian Panji Margono, Oei Ing Kiat menjadi marah dan berteriak, "Aku ingin mati menyusul saudaraku Den Panji dan saudaraku Tan Kee Wie".
==Sejarah==
===Latar belakang===
[[Babad Tanah Jawi]] menyebutkan bahwa keduanya adalah pengusaha [[Atap|genting]] dari Desa [[Klotok, Plumpang, Tuban|Klotok]]. Pada saat terjadi [[Geger Pacinan]] di [[Batavia]] pada Tahun 1741, banyak warga China di [[Jawa]] yang mengangkat senjata dan bergabung di Batavia melawan [[VOC]].<ref name="sam"/>


== Sejarah ==
Oei Ing Kiat diberi gelar Tumenggung Widyaningrat oleh Pakubowono II dan menjadi administrator di Lasem pada tahun 1727.<ref name="ss">Sam Setyautama. [http://books.google.co.id/books?id=lEGrOWWEvswC&pg=PA262&lpg=PA262&dq=%22oei+ing+kiat%22&source=bl&ots=J9pBS2ikUr&sig=6OpREoDNdmE2033oLMuFkJ-VHVA&hl=en&sa=X&ei=r_6OUd6UPIXBrAf01YFY&redir_esc=y#v=onepage&q=%22oei%20ing%20kiat%22&f=false Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia].</ref> Menurut kitab '''Sabda Badra Santi''', Raden Panji Margono adalah putra sulung Adipati Lasem Pangeran Tejokusumo V. Ia dan ayahnya tidak senang kepada Sunan Pakubuwono I yang berpihak kepada Belanda. Oleh karena itu, ketika ayahnya wafat, Margono tidak mau menjadi adipati Lasem, tetapi lebih memilih menjadi petani dan berdagang dengan orang-orang Cina di Lasem dan sekitarnya.<ref name="kin"/>
[[Babad Tanah Jawi]] menyebut kedua pemimpin pemberontak Lasem bernama ''Encik Macan'' dan ''Muda Tik'', yaitu Tan Pan Ciang (bukan Khe Pan Jiang) dan Oei Ing Kiat. Nama Tan Kee Wie tidak disebutkan, sementara Tan Pan Ciang merupakan nama samaran Raden Panji Margono yang menyamar sebagai seorang babah (keturunan campuran Tionghoa-Jawa). [[Babad Tanah Jawi]] mencatat keduanya sebagai pengusaha [[Atap|genting]] dari Desa [[Klotok, Plumpang, Tuban|Klotok]].<ref name="sam"/>


Oei Ing Kiat menjabat sebagai bupati di Lasem (1727-1743?) menggantikan ayah Raden Panji Margono, yaitu Tejakusuma V (1714-1727). Sebagai Bupati Lasem, ia diberi gelar Tumenggung Widyaningrat oleh [[Pakubuwana II]]. Tejakusuma V memiliki sikap anti-VOC sehingga ia tidak menyukai kedekatan Susuhunan Pakubuwana II dengan pihak Belanda. Sementara itu, [[Panji Margono]] sendiri lebih menyukai kehidupan sebagai pedagang.<ref name="ss">Sam Setyautama. [http://books.google.co.id/books?id=lEGrOWWEvswC&pg=PA262&lpg=PA262&dq=%22oei+ing+kiat%22&source=bl&ots=J9pBS2ikUr&sig=6OpREoDNdmE2033oLMuFkJ-VHVA&hl=en&sa=X&ei=r_6OUd6UPIXBrAf01YFY&redir_esc=y#v=onepage&q=%22oei%20ing%20kiat%22&f=false Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia].</ref><ref name=benny>Benny G. Setiono. 2003. "Tionghoa dalam Pusaran Politik". TransMedia.</ref>
===Pengungsian warga China dari Batavia===
Ketika terjadi pengungsian besar-besaran warga Cina ke Lasem, Raden Panji Margono membantu pemimpin orang Cina di Lasem yang bernama Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) untuk membantu para pengungsi. Keduanya mengorganisir rencana untuk melakukan perlawanan terhadap Kompeni bersama orang-orang Cina di Lasem dengan dibantu seorang juragan kaya bernama Tan Ki Wie. Raden Panji Margono bahkan menyamar sebagai orang Cina bernama Tan Pan Ciang.<ref name="kin">Mas Kin. 29 September 2012. [http://rembangpost.blogspot.com/2012/09/obyek-wisata-utama-di-lasem-3-kompleks.html OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (3) KOMPLEKS MAKAM RADEN PANJI MARGONO].</ref>


=== Latar belakang ===
Temenggung Martopura memanggil Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat yang menjadi pemimpin Laskar Cina. Ia menasihati bahwa jika Laskar Cina bermaksud akan perang, mereka diharapkan jangan melawan [[Kasunanan Kartasura|Pemerintah Kartosuro]], karena pemerintahan [[Kasunanan Kartasura|Susuhunan Kartosuro]] ada milik negara. Kalau sampai Laskar Cina berniat akan merebut kekuasaan dari [[Kasunanan Kartasura|Susuhunan Kartosuro]], maka terpaksa pemerintah [[Kasunanan Kartasura|Susuhunan Kartosuro]] akan menumpas mereka hingga ke akar-akarnya. Ia kemudian mengutus Cik Macan dan Muda Tik untuk menemui pimpinan di Tanjung Welahan yang bernama Sing She secara rahasia untuk menanyakan apakah ia sanggup melawan Kompeni Belanda dan menjadi komandan mereka. Jika Sing She siap melawan kompeni di Semarang, Temenggung Martopuro tidak segan lagi untuk mengumumkan bahwa dirinya akan melawan kompeni. Cik Macan dan Muda Tik menyanggupi dengan senang hati dan berpesan dengan Temenggung Martopuro, jika mereka kalah dalam peperangan, maka Laskar Cina dengan rela mewariskan harta benda dan keluarga mereka hanya kepada orang jawa.<ref name="titd"/>
{{lihat pula|Geger Pacinan}}
Pada saat terjadi [[Geger Pacinan]] pada Tahun 1740, banyak warga Tinghoa dari [[Batavia]] yang mengungsi ke berbagai daerah pesisir yang relatif lebih aman, salah satunya adalah Lasem. Mengetahui peristiwa tersebut, Oei Ing Kiat dan penduduk Lasem baik [[Pribumi-Nusantara|pribumi]] maupun [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]] menjadi semakin benci terhadap [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Kompeni Belanda]]. Ia mengizinkan para pengungsi untuk membangun perkampungan-perkampungan baru di tepi Sungai Kemandung Karangturi, [[Pereng, Mojogedang, Karanganyar|Pereng]], dan [[Soditan, Lasem, Rembang|Soditan]].<ref name=sanyoto>Sanyoto. November 2009. "''Sebuah Epos Puputan Cina Lasem''", ''Mimbar Rakyat'', Edisi XV, pp. 6-7.</ref><ref name=aziz>Munawir Aziz. 23 Oktober 2012. ''Kompas'', "Perang Kuning dalam Imaji Tionghoa-Jawa".</ref> Sebagai dampaknya, warga Lasem berniat melakukan pemberontakan terhadap Belanda dan mengangkat tiga pemimpin pemberontakan, yaitu Raden Panji Margono, Raden Ngabehi Widyaningrat (Oei Ing Kiat), dan Tan Kee Wie. Raden Panji Margono menyamar sebagai seorang babah (keturunan Jawa-Tionghoa) bernama Tan Pan Ciang.<ref name=unjiya/><ref>{{cite book|language=Indonesia|title=Tionghoa dalam Pusaran Politik|trans_title=|last1=Setiono|first1=Benny G.|year=2008|publisher=TransMedia Pustaka|location=Jakarta|isbn=979-799-052-4|url=http://books.google.com/books?id=CH0p3zHladEC|ref=harv|accessdate=}}</ref>


=== Perang Jawa ===
Atas perantaraan Tumenggung Martopuro yang memerintah wilayah [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]] dan restu dari [[Raden Mas Garendi|Sri Susuhunan Kertasura]], '''Tan Pan Ciang''' dan '''Oei Ing Kiat''' membentuk pasukan di Kota Lasem. Mereka bermarkas di Desa Puwun kemudian bergerak menuju [[Welahan, Jepara|Welahan]] untuk bergabung dengan pemimpin perlawanan pasukan China. Pasukan berjumlah sekitar 200 orang tersebut menyerang [[Kota Semarang|Semarang]], dikenal sebagai '''Perang Kuning'''.<ref name="sam"/>
{{lihat pula|Perang Jawa (1741–1743)}}
Ketiga bersaudara memimpin para pejuang Jawa-Tionghoa untuk menyerang kompi-kompi pasukan Belanda di Rembang pada tahun [[1741]]. Kerjasama laskar Tionghoa dengan pribumi berhasil menghancurkan tangsi Kompeni di [[Kabupaten Rembang|Rembang]] pada tanggal [[21 Juli]] 1741. Setelah berhasil menguasai Rembang, pada November [[1742]] mereka menggunakan [[Kapal jung|kapal-kapal model jung]] untuk melancarkan serangan ke markas VOC di [[Juwana, Pati|Juwana]] dan [[Kabupaten Jepara|Jepara]]. Namun, pasukan Belanda memperoleh bantuan tentara dan persenjataan dari [[Kota Semarang|Semarang]] sehingga pasukan ketiganya terdesak hingga Tanjung Mandalika ([[Welahan, Jepara|Welahan]]). Pada pertempuran itu, kapal Tan Kee Wie terkena serangan meriam dari kapal-kapal VOC saat berada di selat antara [[Pulau Mandalika]] dan [[Ujungwatu, Donorojo, Jepara|Ujungwatu]] pada [[5 November]] 1742. Sisa pasukan Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Panji Margono dan Oei Ing Kiat menjadi kacau-balau dan mundur ke Lasem.<ref name="sam"/>


Raden Panji Margono dan pengawalnya, [[Ki Galiyo|Galiyo]], yang pada saat itu mengenakan pakaian khas Tionghoa, mengganti pakaian mereka dengan pakaian [[Suku Jawa|Jawa]] di [[Raci, Batangan, Pati|Desa Raci]] agar dapat dengan selamat kembali ke Lasem. Selain itu, mereka membeli berbagai pekakas dapur bekas dan menyamar sebagai tukang loak barang [[tembaga]]. Oei Ing Kiat melepas pakaian hitamnya dan menyamar menjadi orang Jawa. Sesampainya di [[Kartasura, Sukoharjo|Kartasura]], ia melapor ke [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwono II]] bahwa ia lari dari Lasem karena hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. Meskipun demikian, Oei Ing Kiat dicurigai terlibat dalam pemberontakan sehingga Pakubuwono II mencabut kedudukannya sebagai Adipati Lasem dan menggantinya dengan jabatan buatan VOC, yaitu Tumenggung Mayor Tituler yang hanya memiliki wewenang untuk mengatur orang Tionghoa Lasem. Untuk menghormati kepahlawanan Tan Kee Wie dan pasukan yang gugur, sebuah prasasti batu granit berukir ditempatkan pada batas tembok Tan Kee Wie di Batok Mimi, di tepi muara Sungai Paturen yang membelah Lasem.<ref name=sanyoto/>
Kerjasama laskar Cina dengan pribumi berhasil menghancurkan tangsi Kompeni di Rembang pada tanggal 21 Juli 1741. Namun, setelah pasukan Belanda memperoleh bantuan tentara dan persenjataan dari Semarang, perlawanan ini dapat dikalahkan.<ref name="kin"/> Mereka kalah dalam hal persenjataan dan terdesak hingga Tanjung Mondoliko (Welahan).<ref name="sam"/> Oei Ing Kiat dicurigai Belanda terlibat dalam peperangan sehingga pangkatnya diturunkan dan gelar Tumenggungnya dicopot. Ia hanya diperkenankan menjadi administrator masyarakat Tionghoa saja.<ref name="ss"/>


===Akhir pertempuran===
=== Perang Kuning ===
{{lihat pula|Perang Kuning}}
Pada tahun 1750, Raden Panji Margono kembali merencanakan pemberontakan terhadap VOC dengan didukung oleh warga Tionghoa.<ref name="ss"/> Karena berniat melindungi Semarang, Pakubowono II membocorkan rencana penyerangan mereka ke pihak Belanda sehingga Raden Margono dan Oei Ing Kiat tewas dalam pertempuran.<ref>Suara Pembaruan. 24 Januari 2009. [http://epaper.suarapembaruan.com/?iid=20660&startpage=page0000016 Tionghoa dalam Sejarah Indonesia].</ref> Namun, tindakan Pakubuwono II justru membuatnya ditinggalkan para pengikutnya yang anti-[[VOC]] dan akhirnya [[Kasunanan Kartasura]] hancur diserang pasukan pemberontak.
Pada tahun [[1750]], [[Panji Margono|Raden Panji Margono]] kembali merencanakan pemberontakan terhadap VOC.<ref name="ss"/> Pemberontakan tersebut didukung oleh laskar Tionghoa yang dipimpin Oei Ing Kiat dan laskar santri yang dipimpin Kyai [[Ali Badawi]].


Pertempuran meletus pada bulan Agustus 1750. Pasukan dari Tuban yang dipimpin Tumenggung Citrasoma bertempur dengan pasukan pemberontak Aragosoka yang dipimpin oleh Raden Panji Suryakusuma di Bonang dan Leran. Pasukan VOC dari Jepara yang melewati jalur laut menuju Layur (utara Lasem) dihadang pasukan Lasem dibawah pimpinan Oei Ing Kiat yang dipersenjatai senapan dan meriam hasil rampasan perang. Di sebelah timur Sungai Paturenan, pasukan Kyai Ali Badawi menghadang pasukan VOC dan Citrasoma. Raden Panji Margono memimpin pertempuran jarak dekat melawan pasukan Belanda di daerah Narukan dan Karangpace (barat Lasem) hingga ke utara di tepi laut. Di tempat ini, Raden Panji Margono gugur terkena sabetan pedang.<ref name=unjiya/>
==Kultus==
Untuk memperingati Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat, masyarakat mendirikan Kelenteng ''Tan Oei Ji Siang Sen'' atau ''Gi Yong Kong Bio'' (lit. Kelenteng Kebenaran dan Keberanian).<ref name="ss"/>


Setelah mendengar berita kematian Panji Margono, Oei Ing Kiat menjadi gelap mata. Sambil membawa pedang pusaka ''Naga Gak Sow Bun'', ia nekad maju ke depan medan perang tanpa mempedulikan desing peluru dan ledakan meriam sambil membantai banyak serdadu VOC. Namun, amarahnya yang tak terkendali membuatnya tidak waspada sehingga dadanya tertembak oleh serdadu bayaran dari Ambon. Oei Ing Kiat mendekap dadanya yang terluka sambil mundur dari medan perang, kemudian ambruk dan meninggalkan pesan kepada orang-orang di sekelilingnya:
Kakak Tan Pan Ciang yang bernama Tan Kee Wie, seorang ahli ukir, bermimpi bahwa di sungai Juana terdapat dua batang kayu yang terapung. Kedua batang kayu tersebut tidak bisa diambil oleh siapapun meskipun banyak yang menginginkan. Tan Kee Wie diperintahkan dalam mimpi tersebut untuk mengambil kedua batang kayu dan mengukirnya menjadi patung Tan Pan Tjiang dan Oei Ing Kiat sebagai pengingat bagi anak dan cucunya.<ref name="titd">TITD Tri Murti Lasem. [http://titdtrimurtilasem.blogspot.com/ Sejarah Klenteng Gie Yong Kong Babagan]. Terjemahan ringkas dari buku Babad Tanah Jawi, Jilid 23, hal. 11-16. Percetakan Balai Pustaka, 1940, Seri No. 1289 V, oleh Temenggung Martopura.</ref>
# Supaya jenasahnya dimakamkan di lereng puncak gunung Bugel menghadap ke barat dengan ditandai dayung perahu serta pohon beringin.
# Hanya keluarganya yang diperbolehkan untuk mengetahui makamnya.
# Jenasahnya dibawa ke Warugunung, di rumah istri mudanya yang beretnis Jawa, untuk dibersihkan dan dimakamkan.


Setelah kematian Oei Ing Kiat, perlawanan di Lasem benar-benar padam. Lasem kembali dikuasai oleh Belanda, rumah Oei Ing Kiat digunakan oleh keponakannya yang diangkat menjadi Kapten Tituler Lasem, sementara seluruh jung dan perahunya disita.<ref name=sanyoto/> Pada tahun 1780, setelah keadaan di Lasem tenang, penduduk Tionghoa di Babagan, Lasem mendirikan [[Klenteng]] [[Gie Yong Bio]] untung mengenang jasa ketiga pemimpin pemberontakan Lasem, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono.<ref name=long>Chendong Long. Editor: 王海波. 31 Maret 2012. China News Network, [http://www.chinanews.com/hr/2012/03-31/3789598.shtml 印尼拉森的庙堂文化:悠久历史充满华人气息]. {{zh}}</ref>
Makam Oei Ing Kiat dipercaya berada di kompleks pemakaman Gunung Bugel, Desa [[Warugunung, Pancur, Rembang]]. Makam tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, bahkan sering dikunjungi oleh penduduk berbagai daerah, terutama setiap malam Jumat dan Minggu pagi.<ref>jl-80. 24 Mei 2003. [http://www.suaramerdeka.com/harian/0305/24/dar25.htm Ratusan Orang Kunjungi Makam Kuno]. Harian Umum Suara Merdeka.</ref>


==Kultur populer==
== Kultus ==
{{lihat pula|Gie Yong Bio}}
*Kisah Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat muncul dalam novel berjudul '''Sembilan Oktober 1740: Drama Sejarah''' karya [[Remy Sylado]].
Untuk memperingati kepahlawanan Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Tan Pan Ciang, masyarakat Tionghoa di Lasem mendirikan Kelenteng ''Tan Oei Ji Siang Sen'' atau ''[[Gie Yong Bio|Gi Yong Kong Bio]]'' (lit. Kelenteng Kebenaran dan Keberanian)<ref name="ss"/> pada tahun 1780an. Menurut penuturan para orang tua di Lasem, setelah pertempuran berakhir, seorang ahli ukir bermimpi bahwa di sungai Juwana terdapat dua batang kayu yang terapung. Kedua batang kayu tersebut tidak bisa diambil oleh siapapun meskipun banyak yang menginginkan. Si ahli ukir diperintahkan dalam mimpi tersebut untuk mengambil kedua batang kayu dan mengukirnya menjadi patung Tan Oei Ji Sian Seng sebagai pengingat bagi anak dan cucunya.
*Drama musikal karya [[Remy Sylado]] berjudul '''Tan Uy Ji Sian Seng''' (Tuan Terhormat dari Marga Tan dan Uy) dipentaskan pada Mal Ciputra Jakarta dalam rangka menyambut [[Tahun Baru Imlek]] 2560. Drama musikal tersebut menceritakan perjuangan tokoh Tionghoa Tan Pan Ciang dan Oey Ing Kiat dalam melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan [[Perang Kuning]] di [[Semarang]] pada tahun 1742.<ref>JPPN. 23 Januari 2009. Akses=12 Mei 2013. [http://www.jpnn.com/?mib=berita.detail&id=13081 Drama Musikal Menyambut Imlek].</ref>


Makam Oei Ing Kiat dipercaya berada di kompleks pemakaman Gunung Bugel, Desa [[Warugunung, Pancur, Rembang]]. Makam tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, bahkan sering dikunjungi oleh penduduk berbagai daerah, terutama setiap malam Jumat dan Minggu pagi.<ref>Harian Umum Suara Merdeka. 24 Mei 2003. [http://www.suaramerdeka.com/harian/0305/24/dar25.htm Ratusan Orang Kunjungi Makam Kuno]{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}.</ref>
==Lihat pula==

* [[Tridharma]]
== Budaya populer ==
* [[Agama Khonghucu]]
* Kisah Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat muncul dalam novel berjudul ''Sembilan Oktober 1740: Drama Sejarah'' karya [[Remy Sylado]].
* [[Taoisme]]
* Drama musikal karya [[Remy Sylado]] berjudul "Tan Uy Ji Sian Seng" (Tuan Terhormat dari Marga Tan dan Uy) dipentaskan pada Mal Ciputra Jakarta dalam rangka menyambut [[Tahun Baru Imlek]] 2560. Drama musikal tersebut menceritakan perjuangan tokoh Tionghoa Tan Pan Ciang dan Oey Ing Kiat dalam melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan [[Perang Kuning]] di [[Semarang]] pada tahun 1742.<ref>JPPN. 23 Januari 2009. Akses=12 Mei 2013. [http://www.jpnn.com/?mib=berita.detail&id=13081 Drama Musikal Menyambut Imlek]{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}.</ref>
* [[Kepercayaan tradisional Tionghoa]]

== Lihat pula ==
* [[Pahlawan Lasem]]
* [[Ze Hai Zhen Ren]]
* [[Ze Hai Zhen Ren]]


==Catatan kaki==
== Catatan kaki ==
{{reflist}}
{{reflist}}


==Pranala luar==
== Pranala luar ==
*http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PEMBUNUHAN%20MASSAL%20ETNIS%20CINA%201740%20DALAM.pdf Kajian New Historisisme.
* [http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PEMBUNUHAN%20MASSAL%20ETNIS%20CINA%201740%20DALAM.pdf Pembunuhan Masal Etnis Cina 1740 dalam Drama Remy Sylado]


[[Kategori:Dewa-Dewi Taoisme]]
[[Kategori:Dewa-Dewi Taoisme]]
[[Kategori:Sejarah Jawa]]
[[Kategori:Konflik dalam tahun 1741]]
[[Kategori:Kasunanan Kartasura]]
[[Kategori:Perang yang melibatkan Belanda]]
[[Kategori:Sejarah Hindia Belanda]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]

Revisi terkini sejak 5 Januari 2022 22.48

Rupang Raden Panji Margono di altar klenteng Gie Yong Bio

Chen Huang Er Xian Sheng (Hanzi: 陈黄二先生; Hokkien: Tan Oei Ji Sian Seng) atau Yi Yong Gong (Hokkien: Gi Yong Kong) adalah dua orang pejuang yang dipuja di Juwana, Rembang, dan Lasem. Bersama dengan Raden Panji Margono, ketiganya menjadi pemimpin pemberontakan melawan VOC pada tahun 1741-1742 dan 1750 yang dikenal sebagai Perang Kuning.[1] Penduduk Tionghoa di Lasem menghormati keduanya sebagai pahlawan dan membangun Klenteng Gie Yong Bio pada tahun 1780 sebagai monumen pengingat keberanian mereka.[2]

Nama dan etimologi

[sunting | sunting sumber]

Gelar Chen Huang Er Xian Sheng memiliki arti "Dua Tuan Terhormat dari Keluarga Chen dan Huang". Chen dan Huang merupakan marga; Er memiliki arti dua; Xian Sheng memiliki arti tuan. Dalam logat Hokkien, gelar itu disebut Tan Oei Ji Sian Seng.[1] Keduanya memilik nama asli Tan Kee Wie dan Oei Ing kiat. Tan Kee Wie dikenal sebagai juragan bata yang dermawan.[3] Selain sebagai pengusaha, ia juga dikenal sebagai pendekar atau guru kungfu.[2]

Oei Ing Kiat (Oey Ing Kiat) adalah seorang Tionghoa beragama Islam yang sangat kaya, keturunan Bi Nang Oen yang merupakan salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen adalah seorang pujangga dari Campa yang menjadi penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad XV. Oei Ing Kiat sendiri merupakan pengusaha dan syahbandar yang memiliki banyak kapal junk dan perahu antar pulau.[3]

Bersama dengan Raden Panji Margono, ketiganya saling mengangkat sumpah persaudaraan. Dalam "Kitab Carita Sajarah Lasem" karangan R. Panji Kamzah, setelah mengetahui kematian Panji Margono, Oei Ing Kiat menjadi marah dan berteriak, "Aku ingin mati menyusul saudaraku Den Panji dan saudaraku Tan Kee Wie".

Babad Tanah Jawi menyebut kedua pemimpin pemberontak Lasem bernama Encik Macan dan Muda Tik, yaitu Tan Pan Ciang (bukan Khe Pan Jiang) dan Oei Ing Kiat. Nama Tan Kee Wie tidak disebutkan, sementara Tan Pan Ciang merupakan nama samaran Raden Panji Margono yang menyamar sebagai seorang babah (keturunan campuran Tionghoa-Jawa). Babad Tanah Jawi mencatat keduanya sebagai pengusaha genting dari Desa Klotok.[1]

Oei Ing Kiat menjabat sebagai bupati di Lasem (1727-1743?) menggantikan ayah Raden Panji Margono, yaitu Tejakusuma V (1714-1727). Sebagai Bupati Lasem, ia diberi gelar Tumenggung Widyaningrat oleh Pakubuwana II. Tejakusuma V memiliki sikap anti-VOC sehingga ia tidak menyukai kedekatan Susuhunan Pakubuwana II dengan pihak Belanda. Sementara itu, Panji Margono sendiri lebih menyukai kehidupan sebagai pedagang.[4][5]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Pada saat terjadi Geger Pacinan pada Tahun 1740, banyak warga Tinghoa dari Batavia yang mengungsi ke berbagai daerah pesisir yang relatif lebih aman, salah satunya adalah Lasem. Mengetahui peristiwa tersebut, Oei Ing Kiat dan penduduk Lasem baik pribumi maupun Tionghoa menjadi semakin benci terhadap Kompeni Belanda. Ia mengizinkan para pengungsi untuk membangun perkampungan-perkampungan baru di tepi Sungai Kemandung Karangturi, Pereng, dan Soditan.[6][7] Sebagai dampaknya, warga Lasem berniat melakukan pemberontakan terhadap Belanda dan mengangkat tiga pemimpin pemberontakan, yaitu Raden Panji Margono, Raden Ngabehi Widyaningrat (Oei Ing Kiat), dan Tan Kee Wie. Raden Panji Margono menyamar sebagai seorang babah (keturunan Jawa-Tionghoa) bernama Tan Pan Ciang.[3][8]

Perang Jawa

[sunting | sunting sumber]

Ketiga bersaudara memimpin para pejuang Jawa-Tionghoa untuk menyerang kompi-kompi pasukan Belanda di Rembang pada tahun 1741. Kerjasama laskar Tionghoa dengan pribumi berhasil menghancurkan tangsi Kompeni di Rembang pada tanggal 21 Juli 1741. Setelah berhasil menguasai Rembang, pada November 1742 mereka menggunakan kapal-kapal model jung untuk melancarkan serangan ke markas VOC di Juwana dan Jepara. Namun, pasukan Belanda memperoleh bantuan tentara dan persenjataan dari Semarang sehingga pasukan ketiganya terdesak hingga Tanjung Mandalika (Welahan). Pada pertempuran itu, kapal Tan Kee Wie terkena serangan meriam dari kapal-kapal VOC saat berada di selat antara Pulau Mandalika dan Ujungwatu pada 5 November 1742. Sisa pasukan Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Panji Margono dan Oei Ing Kiat menjadi kacau-balau dan mundur ke Lasem.[1]

Raden Panji Margono dan pengawalnya, Galiyo, yang pada saat itu mengenakan pakaian khas Tionghoa, mengganti pakaian mereka dengan pakaian Jawa di Desa Raci agar dapat dengan selamat kembali ke Lasem. Selain itu, mereka membeli berbagai pekakas dapur bekas dan menyamar sebagai tukang loak barang tembaga. Oei Ing Kiat melepas pakaian hitamnya dan menyamar menjadi orang Jawa. Sesampainya di Kartasura, ia melapor ke Sunan Pakubuwono II bahwa ia lari dari Lasem karena hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. Meskipun demikian, Oei Ing Kiat dicurigai terlibat dalam pemberontakan sehingga Pakubuwono II mencabut kedudukannya sebagai Adipati Lasem dan menggantinya dengan jabatan buatan VOC, yaitu Tumenggung Mayor Tituler yang hanya memiliki wewenang untuk mengatur orang Tionghoa Lasem. Untuk menghormati kepahlawanan Tan Kee Wie dan pasukan yang gugur, sebuah prasasti batu granit berukir ditempatkan pada batas tembok Tan Kee Wie di Batok Mimi, di tepi muara Sungai Paturen yang membelah Lasem.[6]

Perang Kuning

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1750, Raden Panji Margono kembali merencanakan pemberontakan terhadap VOC.[4] Pemberontakan tersebut didukung oleh laskar Tionghoa yang dipimpin Oei Ing Kiat dan laskar santri yang dipimpin Kyai Ali Badawi.

Pertempuran meletus pada bulan Agustus 1750. Pasukan dari Tuban yang dipimpin Tumenggung Citrasoma bertempur dengan pasukan pemberontak Aragosoka yang dipimpin oleh Raden Panji Suryakusuma di Bonang dan Leran. Pasukan VOC dari Jepara yang melewati jalur laut menuju Layur (utara Lasem) dihadang pasukan Lasem dibawah pimpinan Oei Ing Kiat yang dipersenjatai senapan dan meriam hasil rampasan perang. Di sebelah timur Sungai Paturenan, pasukan Kyai Ali Badawi menghadang pasukan VOC dan Citrasoma. Raden Panji Margono memimpin pertempuran jarak dekat melawan pasukan Belanda di daerah Narukan dan Karangpace (barat Lasem) hingga ke utara di tepi laut. Di tempat ini, Raden Panji Margono gugur terkena sabetan pedang.[3]

Setelah mendengar berita kematian Panji Margono, Oei Ing Kiat menjadi gelap mata. Sambil membawa pedang pusaka Naga Gak Sow Bun, ia nekad maju ke depan medan perang tanpa mempedulikan desing peluru dan ledakan meriam sambil membantai banyak serdadu VOC. Namun, amarahnya yang tak terkendali membuatnya tidak waspada sehingga dadanya tertembak oleh serdadu bayaran dari Ambon. Oei Ing Kiat mendekap dadanya yang terluka sambil mundur dari medan perang, kemudian ambruk dan meninggalkan pesan kepada orang-orang di sekelilingnya:

  1. Supaya jenasahnya dimakamkan di lereng puncak gunung Bugel menghadap ke barat dengan ditandai dayung perahu serta pohon beringin.
  2. Hanya keluarganya yang diperbolehkan untuk mengetahui makamnya.
  3. Jenasahnya dibawa ke Warugunung, di rumah istri mudanya yang beretnis Jawa, untuk dibersihkan dan dimakamkan.

Setelah kematian Oei Ing Kiat, perlawanan di Lasem benar-benar padam. Lasem kembali dikuasai oleh Belanda, rumah Oei Ing Kiat digunakan oleh keponakannya yang diangkat menjadi Kapten Tituler Lasem, sementara seluruh jung dan perahunya disita.[6] Pada tahun 1780, setelah keadaan di Lasem tenang, penduduk Tionghoa di Babagan, Lasem mendirikan Klenteng Gie Yong Bio untung mengenang jasa ketiga pemimpin pemberontakan Lasem, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono.[9]

Untuk memperingati kepahlawanan Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Tan Pan Ciang, masyarakat Tionghoa di Lasem mendirikan Kelenteng Tan Oei Ji Siang Sen atau Gi Yong Kong Bio (lit. Kelenteng Kebenaran dan Keberanian)[4] pada tahun 1780an. Menurut penuturan para orang tua di Lasem, setelah pertempuran berakhir, seorang ahli ukir bermimpi bahwa di sungai Juwana terdapat dua batang kayu yang terapung. Kedua batang kayu tersebut tidak bisa diambil oleh siapapun meskipun banyak yang menginginkan. Si ahli ukir diperintahkan dalam mimpi tersebut untuk mengambil kedua batang kayu dan mengukirnya menjadi patung Tan Oei Ji Sian Seng sebagai pengingat bagi anak dan cucunya.

Makam Oei Ing Kiat dipercaya berada di kompleks pemakaman Gunung Bugel, Desa Warugunung, Pancur, Rembang. Makam tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, bahkan sering dikunjungi oleh penduduk berbagai daerah, terutama setiap malam Jumat dan Minggu pagi.[10]

Budaya populer

[sunting | sunting sumber]
  • Kisah Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat muncul dalam novel berjudul Sembilan Oktober 1740: Drama Sejarah karya Remy Sylado.
  • Drama musikal karya Remy Sylado berjudul "Tan Uy Ji Sian Seng" (Tuan Terhormat dari Marga Tan dan Uy) dipentaskan pada Mal Ciputra Jakarta dalam rangka menyambut Tahun Baru Imlek 2560. Drama musikal tersebut menceritakan perjuangan tokoh Tionghoa Tan Pan Ciang dan Oey Ing Kiat dalam melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan Perang Kuning di Semarang pada tahun 1742.[11]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Yayasan Kelenteng Sam Po Kong. "Dewa-Dewi Kelenteng". Semarang.
  2. ^ a b Yon, 2009, "Membedah Cina Lasem". Dalam "Sejarah Perkembangan Klenteng Gie Yong Bio di Lasem dan Pengaruhnya Masyarakat 1967-1998" oleh Nurul Hidayati Septyana, 2012.
  3. ^ a b c d Unjiya, 2008, "Lasem Negeri Dampo Awang yang Terlupakan. Dalam "Sejarah Perkembangan Klenteng Gie Yong Bio di Lasem dan Pengaruhnya Masyarakat 1967-1998" oleh Nurul Hidayati Septyana, 2012.
  4. ^ a b c Sam Setyautama. Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
  5. ^ Benny G. Setiono. 2003. "Tionghoa dalam Pusaran Politik". TransMedia.
  6. ^ a b c Sanyoto. November 2009. "Sebuah Epos Puputan Cina Lasem", Mimbar Rakyat, Edisi XV, pp. 6-7.
  7. ^ Munawir Aziz. 23 Oktober 2012. Kompas, "Perang Kuning dalam Imaji Tionghoa-Jawa".
  8. ^ Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: TransMedia Pustaka. ISBN 979-799-052-4. 
  9. ^ Chendong Long. Editor: 王海波. 31 Maret 2012. China News Network, 印尼拉森的庙堂文化:悠久历史充满华人气息.
  10. ^ Harian Umum Suara Merdeka. 24 Mei 2003. Ratusan Orang Kunjungi Makam Kuno[pranala nonaktif permanen].
  11. ^ JPPN. 23 Januari 2009. Akses=12 Mei 2013. Drama Musikal Menyambut Imlek[pranala nonaktif permanen].

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]