Lompat ke isi

Ruwat: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP67Risa (bicara | kontrib)
Tag: BP2014
k pembersihan kosmetika dasar
 
(18 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Essay-like|date=Desember 2021}}
===Pengertian===
{{Tone|date=Desember 2021}}
Ruwat dalam [[budaya]] masyarakat [[Jawa]] dan [[Sunda]] merupakan suatu tradisi yang sering disebut dengan penyucian. Diruwat, berarti disucikan. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk meminta keselamatan pada leluhur, dan penunggu serta penguasa yang ada. Segala macam benda bahkan makhluk hidup dapat diruwat, termasuk manusia. Contohnya ruwatan desa, negara, rumah baru, maupun anak.
{{More citations needed|date=Februari 2023}}'''Ruwat''' adalah salah satu [[upacara]] dalam [[Budaya Jawa|kebudayaan Jawa]] yang ditujukan untuk membuang keburukan atau menyelamatkan sesuatu dari sebuah gangguan. Seseorang atau sesuatu yang telah diruwat diharapkan mendapat [[keselamatan]], [[kesehatan]], dan [[Damai|ketenteraman]] kembali.<ref>{{Cite web|date=2018-03-28|title=Ruwatan, Membuang Sengkala dalam Tradisi Budaya Jawa|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/ruwatan-membuang-sengkala-dalam-tradisi-budaya-jawa/|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta|language=en-US|access-date=2021-12-23}}</ref> Gangguan dalam hal ini dapat berupa banyak hal, seperti nasib buruk, terkena [[ilmu hitam]], atau [[makhluk gaib]].<ref>{{Cite web|date=2021-05-18|title=Ruwat, Ruwatan Adalah Apa? Tradisi Masyarakat Jawa Memiliki Arti Membuang Sial|url=https://sumsel.tribunnews.com/2021/05/18/ruwat-ruwatan-adalah-apa-tradisi-masyarakat-jawa-memiliki-arti-membuang-sial|website=Tribunsumsel.com|language=id-ID|access-date=2021-12-23}}</ref>


==Latar Belakang==
== Asal kata ==
Ruwat dalam [[keratabasa]] Jawa dapat diartikan ''"kudu bisa luru lan bisa ngrawat"'' yang bermakna harus bisa mencari dan merawat.<ref>{{Cite book|last=Kasim|first=Supali|date=2012|url=https://books.google.com/books?id=_Gh2DwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA61&dq=ruwat+adalah&hl=id|title=Budaya Dermayu: Nilai-Nilai Historis, Estetis, dan Transendental|publisher=Gapura Publishing.com|isbn=978-602-18890-2-2|language=id}}</ref>
Diruwat (jawa) atau diruat (sunda) berasal dari adat istiadat Jawa, istilah ruwat berasal dari istilah ''Ngaruati'' artinya menjaga dari kecelakaan Dewa Batara. Biasanya ruwat dilaksanakan ketika: anak yang sedang sakit, anak tunggal yang tidak memiliki adik maupun kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari kehidupan, mempnyai tanda Wisnu (tanda putih pada badannya, dll

== Pengertian ==

<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]-->Dalam
masyarakat [[Jawa]], ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu:

1.
Ritual ruwat untuk diri sendiri.

2.
Ritual ruwat untuk lingkungan.

3.
Ritual ruwat untuk wilayah.

Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala, dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang
membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan
dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya,
dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi
tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena
pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang
cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran
wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.

Proses
ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan
diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup
lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu
pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.

Tradisi
“upacara /ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai
sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang
berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon
Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan
berkembang di dalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah
pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali,
atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin
dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang
mengambil tema/cerita Murwakala.

Dalam
tradisi jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto/berada
dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut.
Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi
mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang)
yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang
kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa,
yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika
raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara
guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar
inilah yang kemudian dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini
diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa
(asalmuasal manusia),dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah
kesadaran: atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam
kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).

Untuk
pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan
sebagai berikut:

1.
Alat musik jawa ( Gamelan )

2.
Wayang kulit satu kotak ( komplet )

3.
Kelir atau layar kain.

4.
Blencong atau lampu dari minyak.

== Latar Belakang ==
Diruwat (jawa) atau diruat (sunda) berasal dari adat istiadat Jawa, istilah ruwat berasal dari istilah ''Ngaruati'' artinya menjaga dari kecelakaan Dewa Batara. Biasanya ruwat dilaksanakan ketika: anak yang sedang sakit, anak tunggal yang tidak memiliki adik maupun kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari kehidupan, mempunyai tanda Wisnu (tanda putih pada badannya, dll.

== Catatan kaki ==
<references />

[[Kategori:Hindu di Indonesia]]

Revisi terkini sejak 9 Februari 2023 17.14

Ruwat adalah salah satu upacara dalam kebudayaan Jawa yang ditujukan untuk membuang keburukan atau menyelamatkan sesuatu dari sebuah gangguan. Seseorang atau sesuatu yang telah diruwat diharapkan mendapat keselamatan, kesehatan, dan ketenteraman kembali.[1] Gangguan dalam hal ini dapat berupa banyak hal, seperti nasib buruk, terkena ilmu hitam, atau makhluk gaib.[2]

Asal kata

[sunting | sunting sumber]

Ruwat dalam keratabasa Jawa dapat diartikan "kudu bisa luru lan bisa ngrawat" yang bermakna harus bisa mencari dan merawat.[3]

Pengertian

[sunting | sunting sumber]

Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu:

1. Ritual ruwat untuk diri sendiri.

2. Ritual ruwat untuk lingkungan.

3. Ritual ruwat untuk wilayah.

Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala, dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya, dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.

Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.

Tradisi “upacara /ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang di dalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.

Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia),dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran: atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).

Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut:

1. Alat musik jawa ( Gamelan )

2. Wayang kulit satu kotak ( komplet )

3. Kelir atau layar kain.

4. Blencong atau lampu dari minyak.

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Diruwat (jawa) atau diruat (sunda) berasal dari adat istiadat Jawa, istilah ruwat berasal dari istilah Ngaruati artinya menjaga dari kecelakaan Dewa Batara. Biasanya ruwat dilaksanakan ketika: anak yang sedang sakit, anak tunggal yang tidak memiliki adik maupun kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari kehidupan, mempunyai tanda Wisnu (tanda putih pada badannya, dll.

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Ruwatan, Membuang Sengkala dalam Tradisi Budaya Jawa". Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta (dalam bahasa Inggris). 2018-03-28. Diakses tanggal 2021-12-23. 
  2. ^ "Ruwat, Ruwatan Adalah Apa? Tradisi Masyarakat Jawa Memiliki Arti Membuang Sial". Tribunsumsel.com. 2021-05-18. Diakses tanggal 2021-12-23. 
  3. ^ Kasim, Supali (2012). Budaya Dermayu: Nilai-Nilai Historis, Estetis, dan Transendental. Gapura Publishing.com. ISBN 978-602-18890-2-2.