Lompat ke isi

Bubungan Tinggi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 14: Baris 14:
[[Rumah Banjar]] terdiri dari berbagai jenis dan bentuk, pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan nenek moyang yaitu [[Kaharingan]] yang mana dalam kepercayaan [[suku Dayak]] alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.
[[Rumah Banjar]] terdiri dari berbagai jenis dan bentuk, pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan nenek moyang yaitu [[Kaharingan]] yang mana dalam kepercayaan [[suku Dayak]] alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.


[[Rumah Bubungan Tinggi]] merupakan lambang [[mikrokosmos]] dalam [[makrokosmos]] yang besar. Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di mana mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan [[Mahatala]] dan [[Jatha]].
[[Rumah Bubungan Tinggi]] merupakan lambang [[mikrokosmos]] dalam [[makrokosmos]] yang besar. Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di mana mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan [[Mahatala]] dan [[Jata]].


Rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah di dalam [[Dwitunggal Semesta]].
Rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah di dalam [[Dwitunggal Semesta]].
Baris 20: Baris 20:
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara [[ghaib]] oleh para [[dewata]] seperti pada [[rumah Balai]] suku [[Dayak Meratus]] yang berfungsi sebagai rumah ritual.
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara [[ghaib]] oleh para [[dewata]] seperti pada [[rumah Balai]] suku [[Dayak Meratus]] yang berfungsi sebagai rumah ritual.


Pada masa Kerajaan [[Negara Dipa]] sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan [[Maharaja Suryanata]] dan [[Puteri Junjung Buih]] merupakan simbol persatuan alam atas
Pada masa Kerajaan [[Negara Dipa]] sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan [[Maharaja Suryanata]] dan [[Puteri Junjung Buih]] merupakan simbol persatuan alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu.
dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu.


[[Suryanata]] sebagai [[manifestasi]] [[dewa Matahari]] (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan [[Puteri Junjung Buih]] berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah.
[[Suryanata]] sebagai [[manifestasi]] [[dewa Matahari]] (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan [[Puteri Junjung Buih]] berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah.

Revisi per 12 Juli 2017 13.17

Atap Bubungan Tinggi pada Rumah Bubungan Tinggi.
Rumah Melayu yang memengaruhi model atap Bubungan Tinggi

Atap Bubungan Tinggi adalah bumbungan atap rumah Banjar yang merupakan atap pelana dengan sudut 45° pada posisi melintang yang menutupi ruang induk yang disebut Palidangan.

Kontruksi Atap Bubungan Tinggi tersebut ditopang oleh 8 buah tiang utama (Tihang Pitugur) disebut Sangga Ribut. Ruang Palidangan ini secara kosmologis merupakan pusat rumah atau titik tengah rumah, yang secara filosofi merupakan ruang yang paling penting (privat). Susunan ke 8 buah Tihang Pitugur atau Saka Guru yang membentuk konstruksi utama bangunan inilah yang menyangga kuda-kuda atap utama yang disebut Bubungan Tinggi. Ke-8 buah tiang inilah yang didirikan terlebih dahulu, setelah itu barulah tiang-tiang lainnya.

Rumah Banjar yang menggunakan atap Bubungan Tinggi dinamakan Rumah Bubungan Tinggi yaitu jenis rumah bernilai paling tinggi di antara jenis-jenis rumah Banjar karena merupakan jenis rumah yang dipergunakan sebagai kediaman Sultan dalam suatau kompleks keraton.

Atap Bubungan Tinggi terletak di antara atap Pisang Sasikat yang menutupi kedua buah Anjung. Di sebelah depan atap Bubungan Tinggi disebut atap Sindang Langit, sedangkan di belakang atap Bubungan Tinggi disebut atap Hambin Awan. Tetapi untuk rumah Gajah Baliku atap di sebelah depan atap Bubungan Tinggi disebut atap Gajah (atap perisai).

Meskipun masyarakat Banjar sekarang adalah masyarakat yang secara khusus hidup didalam unsur keagamaan Islam, namun masih banyak sekali adat dan budaya Banjar yang masih mempertahankan adat budaya nenek moyang Dayak Kaharingan. Jika kita lihat maka di dalam kehidupan sehari hari masyarakat Banjar pun masih kental akan Kaharingan meski terkadang hal itu tidak disadari. Wajar saja, karna Kaharingan adalah kepercayaan awal suku Dayak di Kalimantan. Bahkan ketika mereka sudah memeluk agama Islam pun, masyarakat Banjar masih tidak bisa lepas total dari adat Kaharingan meskipun sebagian besar telah disunting agar sesuai dengan Islam.

Rumah Banjar terdiri dari berbagai jenis dan bentuk, pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan nenek moyang yaitu Kaharingan yang mana dalam kepercayaan suku Dayak alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.

Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar. Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di mana mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata.

Rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah di dalam Dwitunggal Semesta.

Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Meratus yang berfungsi sebagai rumah ritual.

Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol persatuan alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu.

Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah.

Pangeran Suryanata sebagai perlambang "Dunia Atas" sedang Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "Dunia Bawah".

Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang melambangkan "alam atas".

Pohon Hayat; Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah "pohon hayat" yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi "pohon kehidupan / Batang Garing" di dalam kepercayaan Dayak Kaharingan.

Payung; Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan "payung kuning" sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan / kemewahan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.

Simetris; Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa yang sekilas sangat mirip dengan rumah adat Dayak Maanyan. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi kementerian, menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri), masing-masing terdiri atas 4 menteri, Mantri Panganan bergelar 'Patih' dan Mantri Pangiwa bergelar 'Sang', tiap-tiang menteri memiliki pasukan masing-masing. Konsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi.

Rumah yang menggunakan atap Bubungan Tinggi :

  1. Rumah Bubungan Tinggi
  2. Rumah Gajah Baliku

Bubungan Cacak Burung

Sementara itu dalam perkembangannya juga dikenal adanya jenis rumah Cacak Burung, dimana pada dasarnya atap sebuah rumah dalam posisi memanjang ke belakang (membujur) kemudian diberi suatu atap limas dalam posisi melintang sehingga berbentuk tanda Cacak Burung ( + ). Dalam hal ini posisi atap limas yang melintang (bahalang) lebih tinggi daripada posisi atap yang membujur ke belakang.

Rumah Cacak Burung menggunakan suatu bentuk atap limas yang memanjang dalam posisi melintang (bahalang) yang sekaligus menutupi ruang Palidangan dan kedua buah Anjung. Bubungan Cacak Burung ini merupakan suatu perkembangan bentuk dari Bubungan Tinggi yang disederhanakan, jadi posisinya sama dengan Bubungan Tinggi. Posisi Nok Atap (pamuung/wuwungan) Bubungan Cacak Burung yang menutup ruang Palidangan dan kedua anjung ini lebih tinggi dari dari Nok Atap atap pelana yang menutupi ruang Paluaran/Ambin Sayup.

Rujukan

  1. Imam Santoso, gambar konstruksi Type Rumah Banjar Bubungan Tinggi Baruh Kambang, Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalsel, 11 Februari 1984.
  2. Budiarti, gambar konstruksi Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi Habirau Negara, Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Kalimantan Selatan, Kanwil Depdikbud Kalsel, 03-09-1994.

Pranala luar