Lompat ke isi

Derma: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 93: Baris 93:
# ''Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti'': "Aku memasak, mereka tidak memasak. Tidaklah pantas jika aku yang memasak ini tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak" (memberi karena rasa peduli).
# ''Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti'': "Aku memasak, mereka tidak memasak. Tidaklah pantas jika aku yang memasak ini tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak" (memberi karena rasa peduli).
# ''Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati ti danam deti'': memberi agar tampak baik di mata orang lain.
# ''Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati ti danam deti'': memberi agar tampak baik di mata orang lain.
# ''Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti'': memberi demi merias dan mempercantik akal budi.
# ''Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti'': memberi demi menghias dan memperindah akal budi.


Menurut [[kanon Pali]]:
Menurut [[kanon Pali]]:

Revisi per 24 Juli 2018 07.14

Perempuan bederma, karya János Thorma

Derma adalah pemberian kepada orang lain atas dasar kemurahan hati atau niat untuk berbuat baik. Derma dapat berwujud barang maupun jasa (misalnya pendidikan) yang diberikan secara cuma-cuma. Bederma diajarkan oleh sejumlah agama dan adat-istiadat.

Kata "derma" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dharma (धर्म) dalam bahasa Sanskerta, yang berarti kepatutan, kebajikan, perbuatan yang benar, atau amal saleh. Istilah lain untuk derma adalah "sedekah", dari kata ṣadaqah (صدقة) dalam bahasa Arab, yang berarti segala macam perbuatan baik terhadap orang lain yang dilakukan secara tulus dan ikhlas.

Agama Yahudi

Ukiran kotak tzedakah (puske) pada patahan sebuah batu nisan di Pekuburan Yahudi di Otwock (Karczew-Anielin), Polandia.
Pundi-pundi tzedakah dan gelt (koin atau uang dalam bahasa Yiddi).

Dalam agama Yahudi, tzedakah (bahasa Ibrani: צדקה, ṣedakah‎, secara harfiah berarti kebenaran, tetapi lazim pula diartikan sebagai karya amal atau kedermawanan [1]) mengacu pada kewajiban pemeluk agama Yahudi untuk bertindak benar dan adil.[2] Pemberian tzedakah yang dilakukan sekarang ini dianggap sebagai kelanjutan dari praktik Ma'ser Ani atau persepuluhan bagi fakir miskin, serta praktik-praktik kedermawanan lain yang diamanatkan dalam Alkitab, seperti mengizinkan fakir miskin menuai hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladang, dan membiarkan siapa saja menikmati hasil bumi yang tumbuh selama Smitah (tahun sabat). Tzedakah, disertai doa dan pertobatan, dianggap sebagai penawar bagi imbas dari perbuatan buruk.

Dalam agama Yahudi, tzedakah (kedermawanan) dipandang sebagai salah satu perbuatan termulia yang dapat dilakukan oleh manusia.[3] Para petani Yahudi dilarang memanen hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladangnya maupun memungut panenan yang terjatuh, sehingga dapat dimanfaatkan oleh fakir miskin.

Alim besar Yahudi, Musa bin Maimun, pernah menyusun sebuah daftar tindakan kedermawanan. Menurut Musa bin Maimun, tindakan kedermawanan yang paling benar adalah memampukan seseorang untuk mandiri sehingga mampu menjadi dermawan bagi orang lain. Tindakan-tindakan kedermawanan dalam daftar yang disusunnya adalah sebagai berikut:[4]

  1. Memampukan si penerima menjadi mandiri
  2. Memberi bilamana si pemberi dan si penerima tidak saling kenal
  3. Memberi bilamana si pemberi mengenal si penerima, tetapi si penerima tidak mengenal si pemberi
  4. Memberi bilamana si pemberi tidak mengenal si penerima, tetapi si penerima mengenal si pemberi
  5. Memberi sebelum diminta
  6. Memberi sesudah diminta
  7. Memberi kurang dari yang mampu diberikan, tetapi dilakukan dengan senang hati
  8. Memberi dengan bersungut-sungut

Agama Islam

Dalam agama Islam, konsep kedermawanan pada umumnya dibedakan menjadi Sadaqah yang berarti bederma secara suka rela, dan Zakat yang berarti bederma menurut ketentuan syariat Islam demi menunaikan kewajiban selaku pemeluk agama Islam dan warga masyarakat. Oleh karena itu, meskipun Zakat memainkan peranan yang lebih besar bagi karya amal Islam, agaknya Sadaqah yang lebih semakna dengan 'derma'.

Zakat adalah rukun (saka guru) ketiga dari Lima Rukun Islam.[5][6] Ada berbagai aturan terkait pelaksanaan zakat, tetapi secara umum, orang diwajibkan untuk menyerahkan 2,5% dari jumlah simpanan dan pendapatan usahanya, serta 5–10% dari hasil panennya kepada fakir miskin. Para penerima zakat meliputi orang-orang yang nyaris tidak memiliki apa-apa, orang-orang yang berpenghasilan sangat rendah, orang-orang yang tidak sanggup membayar utang, orang-orang yang kehabisan dana dalam perjalanan, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Prinsip umum zakat adalah zakaah, yakni yang kaya harus memberi kepada yang miskin. Salah satu prinsip penting dalam agama Islam adalah ajaran bahwa segala sesuatu merupakan milik Allah, sehingga harta kekayaan hanya boleh disimpan sebagai titipan untuk dikelola.

Arti harfiah dari kata zakat adalah "memurnikan", "mengembangkan", dan "memicu pertumbuhan". Menurut syariat Islam, zakat adalah ibadah. Harta kekayaan seorang Muslim dimurnikan melalui tindakan memisahkan sebagian dari harta kekayaan itu bagi orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana tanaman dipangkas guna meremajakannya dan merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.

Zakat adalah sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh setiap Muslim dewasa, pria maupun wanita, yang waras (sehat rohani), merdeka, dan mampu secara finansial, untuk digunakan sebagai dana bantuan bagi pihak-pihak tertentu.

Pihak-pihak tertentu ini diperinci dalam surah At-Taubah ayat 60:

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (Al-Qur'an 9:60).

Sifat wajib dari Zakat ditetapkan dalam Al-Qur'an, sunah (atau hadis), dan mufakat para sahabat nabi dan para ulama. Allah berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 34–35:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (Al-Qur'an 9:34–35).

Umat Muslim dari zaman ke zaman sepakat mengenai sifat wajib membayar Zakat atas emas dan perak, dan Zakat atas berbagai macam alat tukar lainnya.

Zakat menjadi wajib bilamana jumlah uang telah mencapai atau melebihi batas tertentu yang disebut nisab. Zakat tidak wajib jika jumlah uang yang dimiliki masih di bawah nisab. Nisab (atau jumlah terendah) untuk emas dan alat tukar dari emas adalah 20 miskal, yakni sekitar 85 gram emas murni. Satu miskal kurang lebih setara dengan 4,25 gram. Nisab untuk perak dan alat tukar dari perak adalah 200 dirham, yakni sekitar 595 gram perak murni. Nisab untuk jenis uang dan alat tukar lainnya disesuaikan dengan nisab untuk emas; nisab untuk uang setara dengan harga 85 gram emas 999 (emas murni) pada hari pembayaran Zakat.

Zakat menjadi wajib setelah uang berada dalam penguasaan pemiliknya sepanjang satu tahun kamariah. Jika telah memenuhi persyaratan waktu penguasaan ini, maka pemilik uang wajib merelakan 2,5% (atau 1/40) dari uangnya sebagai Zakat (satu tahun kamariah terdiri atas kurang lebih 355 hari). Pemilik uang harus terlebih dahulu mengurangkan jumlah uang yang ia simpan dengan jumlah uang yang ia pinjam dari orang lain; jika jumlah yang tersisa sudah mencapai nisab, barulah dihitung Zakat yang harus dibayar.

Jika si pemilik uang memiliki uang dalam jumlah yang sudah mencapai nisab pada awal tahun kamariah, namun jumlah kekayaannya kemudian meningkat sepanjang tahun itu, maka si pemilik uang harus menambahkan jumlah peningkatan kekayaannya pada jumlah uang yang sudah mencapai nisab pada awal tahun, barulah kemudian menghitung zakat yang harus ia bayar, yakni 2,5% dari jumlah keseluruhan uang yang ia miliki pada akhir tahun kamariah. Ada sejumlah perbedaan kecil di antara mazhab-mazhab fikih mengenai cara menghitung zakat. Tiap-tiap Muslim menghitung sendiri jumlah zakat yang harus dibayarnya. Nyaris semua perhitungan zakat mencakup pula pembayaran tahunan sebesar 2,5% dari jumlah modal yang dimiliki seseorang.

Orang yang saleh dapat pula bederma sekehendak hatinya dalam bentuk sadaqah, dan dianjurkan untuk melakukannya secara diam-diam. Meskipun dapat diartikan sebagai "sumbangan sukarela", kata "sadaqah" sebenarnya mengandung makna yang luas. Nabi Muhammad diriwayatkan pernah mengajarkan bahwa sekadar berwajah cerah ketika berjumpa dengan saudara seiman sudah merupakan suatu sadaqah.

Nabi bersabda, "tiap muslim wajib bersadaqah." Para sahabat bertanya, "bagaimana kalau ia tidak memiliki sesuatu?" Nabi menjawab, "bekerja dengan keterampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersadaqah." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak mampu?" Nabi menjawab, "menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak melakukannya?" Nabi menjawab, "beramar ma'ruf." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak melakukannya?" Nabi menjawab, "mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sadaqah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Agama Buddha

Mangkuk derma yang dibawa para biksu bilamana berkeliling mengumpulkan derma.
Tiga orang biksu mengumpulkan derma di Lhasa, Tibet (1993).

Dalam agama Buddha, derma merupakan wujud penghormatan seorang grihapati (Pali: gahapati, tuan rumah, wali rumah, umat awam) kepada seorang biksu (Pali: bhikkhu, biarawan), biksuni (Pali: bhikkhuni, biarawati), arya (Pali: ariya, orang mulia, orang suci), atau satwa (Pali: satta, makhluk) lainnya. Derma dalam agama Buddha bukanlah tindakan kedermawanan atau karya amal sebagaimana yang dibayangkan oleh para mufasir Barat, melainkan lebih merupakan suatu keterkaitan simbolis dengan alam gaib, dan berfungsi sebagai ungkapan kerendahan hati dan rasa hormat di tengah-tengah masyarakat sekuler.[7] Tindakan bederma adalah sarana penghubung manusia dengan biksu atau biksuni beserta hal-hal yang diwakili oleh biksu atau biksuni tersebut, sebagaimana sabda Sang Buddha:

yang berumah (grihapati) dan yang tak berumah (biksu-biksuni)
saling bergantung satu sama lain
kedua-duanya mencapai Darma sejati....

Dalam agama Buddha mazhab Theravada, biksu dan biksuni berkeliling setiap hari untuk mengumpulkan derma (pindacara) berupa persembahan makanan (piṇḍapāta). Tindakan ini seringkali dianggap sebagai pembukaan kesempatan bagi umat awam untuk menciptakan pahala kebajikan (puṇya). Uang tidak dapat diterima oleh seorang biksu mazhab Theravada, baik yang diberikan sebagai pengganti maupun bersama makanan, karena menurut aturan pelatihan pratimoksa (Pali: patimokkha) penerimaan uang merupakan suatu pelanggaran yang patut diganjari penyitaan dan pengakuan bersalah.[9]

Di negara-negara penganut mazhab Mahayana, praktik pindacara sudah nyaris punah. Di Tiongkok, Korea, dan Jepang, budaya masyarakat setempat menolak gagasan memberi makanan kepada para biksu 'peminta-minta', dan tidak ada pula tradisi menciptakan pahala kebajikan melalui tindakan bederma kepada para biksu yang mempraktikkan pindacara. Selepas kurun waktu penindasan, biara-biara dibangun di daerah-daerah pegunungan yang terpencil sehingga jarak yang jauh antara biara dan kota-kota terdekat memustahilkan praktik pindacara. Di Jepang, praktik takuhatsu yang dilakukan setiap minggu atau setiap bulan menggantikan praktik pindacara. Di negara-negara pegunungan Himalaya, jumlah biksu yang sangat banyak membuat pelaksanaan pindacara berpotensi membebani keluarga-keluarga di sekitar biara. Persaingan dengan agama-agama lain dalam meminta dukungan masyarakat juga membuat praktik pindacara menjadi sukar dan bahkan membahayakan keselamatan jiwa; biksu-biksu pertama di Kerajaan Silla di Korea konon dipukuli orang karena jumlah mereka yang sangat sedikit kala itu.

Dalam agama Buddha, baik tindakan "bederma" maupun tindakan "memberi" disebut "dāna".[10] Tindakan memberi adalah salah satu dari tiga jalan pengamalan agama yang dirumuskan oleh Sang Buddha bagi umat awam, yakni dāna, sīla, dan bāwanā.[11]

Dalam agama Buddha terdapat suatu paradoks bahwasanya semakin banyak orang memberi – dan semakin banyak orang memberi tanpa pamrih – semakin makmur (dalam arti luas) pula orang itu kelak. Melalui tindakan memberi, orang menghancurkan nafsu serakah yang dapat membuat hidupnya semakin menderita. Kedermawanan juga ditunjukkan terhadap makhluk-makhluk lain, baik sebagai sarana menciptakan pahala kebajikan maupun untuk membantu si penerima. Dalam tradisi mazhab Mahayana, meskipun Triratna tempat berlindung merupakan dasar dari pahala kebajikan yang terbesar, dengan memandang mahkluk lain sebagai pihak yang memiliki fitrah Buddha dan memberi persembahan bagi ujud murni Buddha untuk berdiam di dalamnya akan sama berfaedahnya. Kedermawanan terhadap makhluk-makhluk lain sangat ditekankan dalam mazhab Mahayana sebagai salah satu dari kesempurnaan (paramita) sebagaimana yang termaktub dalam risalah Lama Tsongkhapa yang berjudul 'Pokok-Pokok Ringkas dari Jalan Bertahap' (bahasa Tibet Baku: lam-rim bsdus-don):

Kerelaan yang bulat untuk memberi adalah permata pengabul keinginan yang mampu mengabulkan harapan-harapan dari makhluk-makhluk yang sedang mengembara.
Ialah senjata tertajam untuk meretas simpul kekikiran.
Ialah penuntun menuju perilaku bodhisatwa (makhluk yang tercerahkan) yang memperbesar rasa percaya diri dan keberanian,
dan merupakan landasan bagi pemakluman ketenaran dan kehormatanmu ke seluruh jagat.
Sadar akan hal ini, orang yang bijaksana secara sehat menggantungkan hidupnya pada jalan mulia
yakni (senantiasa dengan rela hati) sepenuhnya menyerahkan raga, harta benda, dan kesanggupan-kesanggupan baik mereka.
Para lama yang senantiasa waspada telah menjalani laku yang demikian.
Jikalau engkau juga hendak mencari pembebasan,
alangkah baiknya jika engkau menempa dirimu dengan laku yang sama.[12]

Dalam agama Buddha, tindakan bederma adalah permulaan dari perjalanan mencapai nirwana (Pali: nibbana). Pada praktiknya, orang dapat memberi apa saja dengan maupun tanpa disertai niat mencapai nirwana. Tindakan ini dapat menuntun orang mencapai keimanan (Pali: saddha), yakni salah satu kuasa utama (Pali: bala) yang harus dibangkitkan orang dalam dirinya bagi Buddha, Darma, dan Sangga.

Alasan-alasan yang mendasari tindakan bederma memainkan peranan yang penting dalam pengembangan keunggulan-keunggulan rohani. Kitab-kitab sutra (Pali: sutta) memuat berbagai macam alasan yang mendorong orang untuk bersikap dermawan. Sebagai contoh, Angguttara Nikaya (A.iv,236) memerinci delapan alasan sebagai berikut:[13]

  1. Asajja danam deti: memberi untuk menghina (memberi agar si penerima merasa terhina, atau memberi dengan maksud menghina si penerima).
  2. Bhaya danam deti: memberi karena takut bahaya.
  3. Adasi me ti danam deti: memberi sebagai balasan pemberian yang pernah diterima di masa lampau.
  4. Dassati me ti danam deti: memberi dengan harapan dibalas dengan pemberian serupa di kemudian hari.
  5. Sadhu danan ti danam deti: memberi karena tindakan memberi dianggap baik.
  6. Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti: "Aku memasak, mereka tidak memasak. Tidaklah pantas jika aku yang memasak ini tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak" (memberi karena rasa peduli).
  7. Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati ti danam deti: memberi agar tampak baik di mata orang lain.
  8. Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti: memberi demi menghias dan memperindah akal budi.

Menurut kanon Pali:

Dari segala pemberian, pemberian Darmalah yang tertinggi.

— Dhp. XXIV ayat 354)[note 2]

Agama Kristen

Gambar pundi-pundi derma yang ditampilkan dalam sehelai tenunan dewangga di Orléans, abad ke-15.

Bederma adalah adalah amal kasih terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Pada Zaman Apostolik, umat Kristen diajari bahwa bederma adalah ungkapan cinta kasih yang pertama-pertama diungkapkan oleh Allah melalui pengorbanan diri Yesus selaku suatu amal kasih demi keselamatan umat beriman.[15]

Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.

Sisi lahiriah dan batiniah dari tindakan bederma:
Yesus mengutamakan motif-motif di balik tindakan bederma, yang seharusnya adalah kasih.

Akan tetapi, berikanlah isinya sebagai sedekah dan sesungguhnya semuanya akan menjadi bersih bagimu.

Yesus memuji perempuan yang miskin namun dermawan ini.

Derma orang kaya dibanding derma orang miskin:
Yesus membandingkan derma dari orang kaya dengan derma dari orang miskin

Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."

Bedermalah karena cinta kasih, bukan karena diwajibkan:

Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.

Agama Hindu

Wanita Bederma di Kuil, karya Raja Ravi Varma, (1848–1906)

Dāna (bahasa Sanskerta: दान) adalah gagasan kuno mengenai tindakan bederma dari Zaman Weda dalam agama Hindu.[16] Kata yang digunakan dengan makna "derma" dalam kesusastraan Weda adalah Bhiksya (भिक्षा).[17][18] Pembahasan tertua mengenai dāna dalam Weda termaktub dalam Regweda, dan berisi penjabaran alasan-alasan untuk berbuat baik dengan cara bederma.[19]

Para Dewa tak menggariskan kelaparan menjadi sebab ajal kita: bahkan orang yang makan kenyang pun menemui ajal dengan berbagai cara,
Kekayaan orang yang rela melepaskannya tidaklah terbuang percuma, tetapi orang yang tidak mau memberi tak akan menemukan ketentraman hati,
Orang yang menyimpan makanan di lumbung, yang bilamana orang miskin dalam kesukaran datang meminta makanan, tega membiarkan orang miskin itu kelaparan, bila tua kelak, tak ada orang yang menentramkan hatinya.

Berlimpahlah rezeki orang yang memberi makan peminta-minta makanan, dan menyantuni orang yang lemah,
Kejayaan menyertainya dalam gemuruh sorak pertempuran. Ia mendapatkan sahabat di kala susah kelak,
Tanpa sahabatlah orang yang tak memberi apa-apa bilamana sahabat dan handai tolan datang meminta makanan.

Hendaklah orang kaya mencukupi orang miskin yang datang meminta-minta, dan mengarahkan pandangannya ke jalan yang lebih jauh ke depan,
Kekayaan sekarang jatuh ke tangan seseorang, lalu ke tangan orang lain, terus-menerus berputar laksana roda-roda kereta,
Bodohlah orang yang mendapatkan makanan dengan kerja yang tak berfaedah: sesungguhnya kukatakan, makanan itu adalah biang kehancurannya,
Ia tidak memberi makan sahabat tepercaya, tak ada orang yang mengasihinya. Bersalah sungguh orang yang makan tanpa ditemani orang lain.

— Regweda, X.117, [20]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Bederma juga dianjurkan oleh Sang Buddha untuk dilakukan dengan cara yang lebih bersahaja dalam berbagai nas sahih, misalnya Dighajanu Sutta.
  2. ^ Dalam bahasa Pali, ayat ini berbunyi: "Sabba danam, Dhamma danam jinati," terdapat dalam kitab Dhammapada, Bab 24, ayat 354. Thanissaro (1997)[14] menerjemahkan keseluruhan ayat ini sebagai berikut:

    Anugerah Darma mengalahkan segala anugerah;
    nikmat Darma mengalahkan segala nikmat;
    sukacita Darma mengalahkan segala sukacita;
    akhir dari keinginan, segala derita,
    dan kecemasan.

Rujukan

  1. ^ Rabbi Hayim Halevy Donin; 'To Be A Jew.' Basic Books, New York; 1972, hlm. 48.
  2. ^ "Umat Yahudi tidak melakukan karya amal, dan konsep karya amal nyaris tidak ada dalam tradisi agama Yahudi. Sebagai gantinya, umat Yahudi memberi tzedakah, yang berarti 'kebenaran' dan 'keadilan.' Bilamana seorang Yahudi menyumbangkan uang, waktu, dan sumber-sumber daya yang ia miliki kepada orang yang membutuhkannya, ia tidak sedang bersikap welas asih, murah hati, atau 'dermawan.' Ia hanya sekadar bertindak benar dan adil." Tzedakah vs The Myth of Charity; oleh Yanki Tauber; Diakses 03-11-2012.
  3. ^ ?
  4. ^ http://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/45907/jewish/Eight-Levels-of-Charity.htm
  5. ^ "Five Pillars". PBS. Diakses tanggal 2010-11-17. 
  6. ^ Hooker, Richard (14 Juli 1999). "arkan ad-din the five pillars of religion". Washington State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-03. Diakses tanggal 2010-11-17. 
  7. ^ Sebagai wujud nyata keyakinan akan hakikat timbal balik dari derma ini, di beberapa negara pengamal mazhab Theravada, jika seorang biksu menampik derma dari seseorang—tindakan yang disebut "membalik mangkuk nasi"—maka sang biksu dianggap telah mengucilkan si penderma. Salah satu contohnya adalah ketika para biksu menampik derma dari aparat militer di Myanmar yang dikuasai rezim militer (Carl Mydans, 20 September 2007, New York Times).
  8. ^ Thanissaro (2001).Accesstoinsight.org
  9. ^ Thanissaro (2007)
  10. ^ Nyanatiloka (1980), entry for "dāna". Budsas.org
  11. ^ Nyanatiloka (1980), entry for "dāna" Budsas.org; and, PTS (1921–25), entry for "Puñña" (merit)Uchicago.edu.
  12. ^ Tsongkhapa & Berzin (2001), ayat 15.
  13. ^ Accesstoinsight.org
  14. ^ Accesstoinsight.org
  15. ^ Yakobus 1:27 "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia."
  16. ^ Shah dkk. (2013), Soulful Corporations: A Values-Based Perspective on Corporate Social Responsibility, Springer, ISBN 978-8132212744, halaman 125, Kutipan: "Gagasan Daana (kedermawanan) berasal dari Zaman Weda. Regweda mengajarkan kedermawanan sebagai tugas dan tanggung jawab setiap warga negara."
  17. ^ bhikSA Kamus Sanskerta Inggris, Universitas Koeln, Jerman
  18. ^ Alberto Garcia Gomez dkk. (2014), Religious Perspectives on Human Vulnerability in Bioethics, Springer, ISBN 978-9401787352, halaman 170-171
  19. ^ R Hindery, Comparative ethics in Hindu and Buddhist traditions, The Journal of the International Association of Buddhist Studies, Jilid 2, Nomor 1, Halaman 105
  20. ^ Regweda, Mandala 10, Seloka 117, Ralph T. H. Griffith (penerjemah)

Daftar pustaka