Lompat ke isi

Candi Ceto: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alecs.bot (bicara | kontrib)
k bot Menambah: fr:Temple de Cetho
Kembangraps (bicara | kontrib)
sunting dan tambah info
Baris 1: Baris 1:
'''Candi Cetho''' merupakan sebuah [[candi]] peninggalan budaya [[Hindu]] dari [[abad ke-14]] pada masa akhir pemerintahan [[Majapahit]]. Fungsi candi ini tidaklah berbeda dengan candi Hindu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu.
'''Candi Cetho''' merupakan sebuah [[candi]] bercorak [[agama Hindu]] peninggalan masa akhir pemerintahan [[Majapahit]] (abad ke-15). Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti pada abad ke-19, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan [[Candi Sukuh]]. Candi yang berlokasi di Dusun Ceto, Desa Gumeng, [[Jenawi, Karanganyar|Kecamatan Jenawi]], [[Kabupaten Karanganyar]], ini sampai saat ini masih digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/[[Kejawen]].

== Susunan bangunan ==
== Susunan bangunan ==
[[Berkas:Candi Cetho.jpg|thumb|200px|right|Gapura Candi Cetho]]
[[Berkas:Candi Cetho.jpg|thumb|200px|right|Gapura Candi Cetho]]
Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada sebelas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur.
Candi Cetho terdiri dari sembilan trap (tingkat) berbentuk memanjang kebelakang dengan trap terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba yaitu ''punden berundak'').

Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi [[Suharto]], pada tahun 1980-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak, yang bukanlah tipikal candi bercorak Hindu, tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah di muka, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung [[Sabdapalon]], [[Nayagenggong]], [[Brawijaya]] V, serta ''phallus'', dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi [[Saraswati]], sumbangan dari [[Kabupaten Gianyar]], pada bagian timur kompleks candi.

Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat [[petilasan]] [[Ki Ageng Krincingwesi]], leluhur masyarakat Dusun Cetho.

Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol ''phallus'' ([[penis]], alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan (''[[piercing]]'') bertipe ''ampallang''. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia.


Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah [[Sudhamala]], seperti yang terdapat pula di [[Candi Sukuh]]. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara [[ruwatan]]. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua [[arca]] di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca [[Sabdapalon]] dan di selatan [[Sabdapalon|Nayagenggong]], dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang [[Brawijaya|Prabu Brawijaya]] V.
Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa halaman namun ditrap ini terdapat petilasan [[Ki Ageng Krincingwesi]] yang merupakan leluhur masyarakat Cetho.


Pada aras kedelapan terdapat arca ''phallus'' (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud ''mahadewa''. Pemujaan terhadap arca [[phallus]] melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (''nafsu hewani'') berbentuk ''phallus'' (alat kelamin laki-laki) sepanjang lebih dari 2 [[meter|m]], dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi. Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah ''Sudhamala'', (seperti yang terdapat pula di [[Candi Sukuh]]) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap di atasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua buah [[arca]] di samping kanan kiri yang merupakan arca [[Sabdapalon|Sabdopalon]] dan [[Nayagenggong]], dua orang abdhi kinasih dari Sang [[Brawijaya|Prabu Brawijaya]] yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili kedua tokoh tersebut. Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai ''“mahadewa”''. Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan sebuah pengharapan kepada [[Tuhan|Tuhan Yang Maha Esa]] agar kesuburan yang dilimpahkan itu tak kan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang ''bèrbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta'' yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan di muka bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan doa kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.


Candi Cetho menghadap ke arah timur hal ini berbeda dengan candi-candi yang ada di [[Jawa Tengah]] karena Candi Cetho begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi [[Jawa Timur]]. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Sedangkan di sebelah barat dari bangunan candi dengan menuruni lereng yang sangat terjal bisa ditemukan lagi sebuah bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai [[Candi Kethek]]. Namun sayang sekali sampai saat ini penggalian candi belum dilakukan. Bangunan Candi Cetho secara keseluruhan terbuat dari batu–batuan yang dipahat berbentuk persegi empat dan ditata rapi untuk ubin, ataupun pagar serta relief candi. Kebanyakan arca dan relief sudah banyak mengalami kerusakan. Candi Cetho yang terletak di lereng [[Gunung Lawu]] sebelah barat masuk di [[kabupaten Karanganyar]], Jawa Tengah, dikelilingi kelebatan [[rimba]] dan sejuknya udara kebun teh Kemuning.
Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Sedangkan di sebelah barat dari bangunan candi dengan menuruni lereng yang sangat terjal bisa ditemukan lagi sebuah bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai [[Candi Kethek]]. Namun sayang sekali sampai saat ini penggalian candi belum dilakukan. Bangunan Candi Cetho secara keseluruhan terbuat dari batu–batuan yang dipahat berbentuk persegi empat dan ditata rapi untuk ubin, ataupun pagar serta relief candi. Kebanyakan arca dan relief sudah banyak mengalami kerusakan. Candi Cetho yang terletak di lereng [[Gunung Lawu]] sebelah barat masuk di [[kabupaten Karanganyar]], Jawa Tengah, dikelilingi kelebatan [[rimba]] dan sejuknya udara kebun teh Kemuning.


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 30 September 2008 11.26

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti pada abad ke-19, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Candi yang berlokasi di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, ini sampai saat ini masih digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/Kejawen.

Susunan bangunan

Berkas:Candi Cetho.jpg
Gapura Candi Cetho

Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada sebelas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur.

Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada tahun 1980-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak, yang bukanlah tipikal candi bercorak Hindu, tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah di muka, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi.

Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.

Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia.

Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.

Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.

Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Sedangkan di sebelah barat dari bangunan candi dengan menuruni lereng yang sangat terjal bisa ditemukan lagi sebuah bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Candi Kethek. Namun sayang sekali sampai saat ini penggalian candi belum dilakukan. Bangunan Candi Cetho secara keseluruhan terbuat dari batu–batuan yang dipahat berbentuk persegi empat dan ditata rapi untuk ubin, ataupun pagar serta relief candi. Kebanyakan arca dan relief sudah banyak mengalami kerusakan. Candi Cetho yang terletak di lereng Gunung Lawu sebelah barat masuk di kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dikelilingi kelebatan rimba dan sejuknya udara kebun teh Kemuning.

Referensi