Lompat ke isi

Berahoi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Berahoi''' merupakan tradisi berpantun pada masyarakat [[Melayu Langkat]] di [[Sumatera Utara]] yang dilakukan sambil mengirik padi atau melepaskan padi dari tangkainya. Peserta ada yang [[berpantun]], lalu yang lain menyahut pantun dengan kata “ahoi-ahoi”.<ref>{{Cite book|title=Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Utara|last=Simanjuntak|first=B.A|publisher=DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN|year=1979/1980|isbn=|location=Jakarta|pages=91}}</ref>
'''Berahoi''' merupakan tradisi berpantun pada masyarakat [[Melayu Langkat]] di [[Sumatera Utara]] yang dilakukan sambil mengirik padi atau melepaskan padi dari tangkainya. Peserta ada yang [[berpantun]], lalu yang lainnya menyahut pantun tersebut dengan kata “ahoi-ahoi”.<ref>{{Cite book|title=Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Utara|last=Simanjuntak|first=B.A|publisher=DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN|year=1979/1980|isbn=|location=Jakarta|pages=91}}</ref>


Peserta yang terlibat adalah pemuda-pemudi (biasanya diikuti 40 orang) yang tinggal satu kampung atau bertetangga dengan pemilik sawah. Mengirik padi sambil berpantun dilakukan secara sukarela, tanpa bayaran. Si pemilik sawah sekedar menyediakan minuman dan makanan, biasanya berupa [[nasi]] dan [[lemang]], sebagai pengganti lelah mereka.
Peserta yang terlibat adalah pemuda-pemudi (biasanya diikuti 40 orang) yang tinggal satu kampung atau bertetangga dengan pemilik sawah. Mengirik padi sambil berpantun dilakukan secara sukarela, tanpa bayaran. Si pemilik sawah sekedar menyediakan minuman dan makanan, biasanya berupa [[nasi]] dan [[lemang]], sebagai pengganti lelah mereka.

Revisi per 5 Maret 2019 14.53

Berahoi merupakan tradisi berpantun pada masyarakat Melayu Langkat di Sumatera Utara yang dilakukan sambil mengirik padi atau melepaskan padi dari tangkainya. Peserta ada yang berpantun, lalu yang lainnya menyahut pantun tersebut dengan kata “ahoi-ahoi”.[1]

Peserta yang terlibat adalah pemuda-pemudi (biasanya diikuti 40 orang) yang tinggal satu kampung atau bertetangga dengan pemilik sawah. Mengirik padi sambil berpantun dilakukan secara sukarela, tanpa bayaran. Si pemilik sawah sekedar menyediakan minuman dan makanan, biasanya berupa nasi dan lemang, sebagai pengganti lelah mereka.

Referensi

  1. ^ Simanjuntak, B.A (1979/1980). Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Utara. Jakarta: DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. hlm. 91.