Lompat ke isi

Akkorontigi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membuat halaman berisi ''''''Akkorontigi''''' atau '''''Mappacing''''' merupakan tradisi dalam masyarakat bugis disebut malam pacar sebagai prosesi yang dilakukan di rumah bagi calon mempelai...'
Tag: tanpa kategori [ * ] VisualEditor
 
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''''Akkorontigi''''' atau '''''Mappacing''''' merupakan tradisi dalam masyarakat bugis disebut malam pacar sebagai prosesi yang dilakukan di rumah bagi calon mempelai perempuan pada malam sebelum hari akad nikah. Kata Mappacing berasal dari kata Paccing yang berarti pacar/daun inai, diibaratkan sebagai alat untuk menyucikan gadis dari hal-hal yang bersifat kekotoran/keburukan, baik secara fisik maupun batin, agar memmpelai memperoleh keselamatan, kesejahteraan dalam mengarungi kehidupan rumah tangga kelak.
'''''Akkorontigi''''' atau '''''Mappacing''''' merupakan salah satu tradisi menjelang pernikahan dalam masyarakat bugis yakni '''''malam pacar''''' sebagai prosesi yang dilakukan di rumah calon mempelai perempuan pada malam sebelum hari akad nikah. Kata '''''Mappacing''''' berasal dari kata '''''Paccing''''' yang berarti pacar/daun inai, diibaratkan sebagai alat untuk menyucikan gadis dari hal-hal yang bersifat kekotoran/keburukan, baik secara fisik maupun batin, agar memmpelai memperoleh keselamatan, kesejahteraan dalam mengarungi kehidupan rumah tangga kelak.


Prosesi '''''Mappacing''''' dilaksanakan pada malam hari, calon mempelai duduk di '''''Lamming''''' dengan tangan bersimpuh menghadap ke atas. Saat pembaca ''barzanji'' (''pabarazanji'') sampai pada bacaan ''Badrun Alaina'', yang dalam bahasa Makasssar dikenal sebagai istilah ''Niallemi Saraka'', acara mapaccing dimulai dengan cara seorang ibu mengambil sedikit daun ''paccing'' kemudian dibubuhi pada telapak tangan calon pengantin. Setelah semua tamu yang ditetapkan melakukan ''mapaccing'', seluruh hadirin sama-sama mendoakan semoga calon mempelai mendapat restu dari Allah dan menjadi suri tauladan karena martabat dan harga dirinya yang tinggi. Acara ini sudah berlangsung sejak lama dan menjadi hal yang sakral dan nyaris menjadi suatu hal yang wajib dilakukan dalam setiap pernikahan terutama bagi mempelai perempuan dengan sentuhan nuansa Islami, sarat dengan pemberian doa restu oleh segenap keluarga dan handai taulan.
Sebagai rangkaian adat perkawinan [[Suku Bugis|'''''suku Bugis''''']], [[Kota Makassar|'''''Makassar''''']], mappacing menggunakan symbol-symbol yang memiliki sarat makna untuk menjaga keutuhan keluarga, dan memelihara kasih sayang dalam rumah tangga, selain tradisi mappacing disertakan juga Benno, Tai Bani, Bantal, Sarung yang tersusun tujuh lapis, Daun Pisang, Daun Nangka, dan Bekkeng. Benno merupakan beras yang digoreng kering hingga mekar melambangkan harapan agar calon pengantin akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Tai Bani yaitu lilin dari lebah, melambangkan suluh (penerang) kehidupan agar menjadi suri tauladan dalam kehidupan bermasyarakat. Bantal dimaknai sebagai kemakmuran. Secara spesifik diartikan sebagai pengalas kepala bermakna penghormatan atau martabat dalam bahasa Bugis disebut Mappakalebbi. Sarung terususn tujuh lembar, menyimbolkan harga diri. Daun Pisang, melambangkan kehidupan yanng sambung menyambung. Daun Nangka , berarti cita-cita yang luhur. Bekkeng merupakan tempat paccing yang sudah ditumbuk halus, mengandung arti kerukunan hidup dalam suatu keluarga. Adapun daun paccing itu sendiri melambangkan kesucian.


Sebagai rangkaian adat perkawinan [[Suku Bugis|'''''suku Bugis''''']], [[Kota Makassar|'''''Makassar''''']], ''mappacing'' menggunakan symbol-symbol yang memiliki sarat makna untuk menjaga keutuhan keluarga, dan memelihara kasih sayang dalam rumah tangga, selain tradisi mappacing disertakan juga ''Benno'', ''Tai Bani'', Bantal, Sarung yang tersusun tujuh lapis, Daun Pisang, Daun Nangka, dan ''Bekkeng''. ''Benno'' merupakan beras yang digoreng kering hingga mekar melambangkan harapan agar calon pengantin akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. ''Tai Bani'' yaitu lilin dari lebah, melambangkan suluh (penerang) kehidupan agar menjadi suri tauladan dalam kehidupan bermasyarakat. Bantal dimaknai sebagai kemakmuran. Secara spesifik diartikan sebagai pengalas kepala bermakna penghormatan atau martabat dalam bahasa Bugis disebut ''Mappakalebbi''. Sarung terususn tujuh lembar, menyimbolkan harga diri. Daun Pisang, melambangkan kehidupan yanng sambung menyambung. Daun Nangka , berarti cita-cita yang luhur. Bekkeng merupakan tempat paccing yang sudah ditumbuk halus, mengandung arti kerukunan hidup dalam suatu keluarga. Adapun daun paccing itu sendiri melambangkan kesucian.
Prosesi Mappacing dilaksanakan pada malam hari, calon mempelai duduk di pelaminan duduk di Lamming dengan tangan bersimpuh menghadap ke atas. Saat pembaca barzanji (pabarazanji) sampai pada bacaan Badrun Alaina, yang dalam bahasa Makasssar dikenal sebagai istilah Niallemi Saraka, acara mapaccing dimulai dengan cara Seorang ibu mengambil sedikit daun paccing kemudian dibubuhi pada telapak tangan calon pengantin. Setelah semua tamu yang ditetapkan melakukan mapaccing, seluruh hadirin sama-sama mendoakan semoga calon mempelai mendapat restu dari Allah dan menjadi suri tauladan karena martabat dan harga dirinya yang tinggi. Acara ini sudah berlangsung sejak lama dan menjadi hal yang sakral dan nyaris menjadi suatu hal yang wajib dilakukan dalam setiap pernikahan terutama bagi mempelai perempuan dengan sentuhan nuansa Islami, sarat dengan pemberian doa restu oleh segenap keluarga dan handai taulan.


{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6|title=Akkorontigi|last=Kuswardhani|first=Weni|date=16 Maret 2019|website=Akkorontigi|publisher=Warisan Budaya Takbenda Indonesia|access-date=2010}}
{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6|title=Akkorontigi|last=Kuswardhani|first=Weni|date=16 Maret 2019|website=Akkorontigi|publisher=Warisan Budaya Takbenda Indonesia|access-date=2010}}

Revisi per 16 Maret 2019 06.09

Akkorontigi atau Mappacing merupakan salah satu tradisi menjelang pernikahan dalam masyarakat bugis yakni malam pacar sebagai prosesi yang dilakukan di rumah calon mempelai perempuan pada malam sebelum hari akad nikah. Kata Mappacing berasal dari kata Paccing yang berarti pacar/daun inai, diibaratkan sebagai alat untuk menyucikan gadis dari hal-hal yang bersifat kekotoran/keburukan, baik secara fisik maupun batin, agar memmpelai memperoleh keselamatan, kesejahteraan dalam mengarungi kehidupan rumah tangga kelak.

Prosesi Mappacing dilaksanakan pada malam hari, calon mempelai duduk di Lamming dengan tangan bersimpuh menghadap ke atas. Saat pembaca barzanji (pabarazanji) sampai pada bacaan Badrun Alaina, yang dalam bahasa Makasssar dikenal sebagai istilah Niallemi Saraka, acara mapaccing dimulai dengan cara seorang ibu mengambil sedikit daun paccing kemudian dibubuhi pada telapak tangan calon pengantin. Setelah semua tamu yang ditetapkan melakukan mapaccing, seluruh hadirin sama-sama mendoakan semoga calon mempelai mendapat restu dari Allah dan menjadi suri tauladan karena martabat dan harga dirinya yang tinggi. Acara ini sudah berlangsung sejak lama dan menjadi hal yang sakral dan nyaris menjadi suatu hal yang wajib dilakukan dalam setiap pernikahan terutama bagi mempelai perempuan dengan sentuhan nuansa Islami, sarat dengan pemberian doa restu oleh segenap keluarga dan handai taulan.

Sebagai rangkaian adat perkawinan suku Bugis, Makassar, mappacing menggunakan symbol-symbol yang memiliki sarat makna untuk menjaga keutuhan keluarga, dan memelihara kasih sayang dalam rumah tangga, selain tradisi mappacing disertakan juga Benno, Tai Bani, Bantal, Sarung yang tersusun tujuh lapis, Daun Pisang, Daun Nangka, dan Bekkeng. Benno merupakan beras yang digoreng kering hingga mekar melambangkan harapan agar calon pengantin akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Tai Bani yaitu lilin dari lebah, melambangkan suluh (penerang) kehidupan agar menjadi suri tauladan dalam kehidupan bermasyarakat. Bantal dimaknai sebagai kemakmuran. Secara spesifik diartikan sebagai pengalas kepala bermakna penghormatan atau martabat dalam bahasa Bugis disebut Mappakalebbi. Sarung terususn tujuh lembar, menyimbolkan harga diri. Daun Pisang, melambangkan kehidupan yanng sambung menyambung. Daun Nangka , berarti cita-cita yang luhur. Bekkeng merupakan tempat paccing yang sudah ditumbuk halus, mengandung arti kerukunan hidup dalam suatu keluarga. Adapun daun paccing itu sendiri melambangkan kesucian.

Kuswardhani, Weni (16 Maret 2019). "Akkorontigi". Akkorontigi. Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses tanggal 2010.