Lompat ke isi

Aksara Lontara: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 260: Baris 260:
! colspan=4 style="text-align: center"| Rekaan Modern Bugis/Makassar
! colspan=4 style="text-align: center"| Rekaan Modern Bugis/Makassar
|-
|-
! style="text-align: center"| Glotal<ref>http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2633r.pdf</ref>
! style="text-align: center"| Glotal<ref name="djirong">http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2633r.pdf</ref>
! style="text-align: center"| Anusvara <br> ([[Nasal]])<ref>http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2633r.pdf</ref>
! style="text-align: center"| Anusvara <br> ([[Nasal]])<ref name="djirong"/>
! style="text-align: center"| Virama <br> Alt.1<ref>http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2633r.pdf</ref>
! style="text-align: center"| Virama <br> Alt.1<ref name="djirong"/>
! style="text-align: center"| Virama <br> Alt.2
! style="text-align: center"| Virama <br> Alt.2
|-
|-

Revisi per 13 April 2020 14.17

Lontara
ᨒᨚᨈᨑ
Jenis aksara
Abugida
BahasaBugis, Makassar, Mandar, Bima (dengan modifikasi), Ende(dengan modifikasi)
Periode
Abad 17 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
Aksara kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Incung
Jawa
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Bugi, 367 Sunting ini di Wikidata, ​Buginese
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Buginese
U+1A00–U+1A1F
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Lontara, juga dikenal sebagai aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru adalah aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Sulawesi Selatan. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Bugis, Makassar, dan Mandar, namun dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi.[1]

Sejarah

Aksara lontara merupakan salah turunan aksara Kawi yang digunakan di kepulauan Indonesia antar tahun 800-an hingga 1500-an masehi yang juga merupakan keturunan jauh dari akar aksara Brahmi India. Aksara lontara kemungkinan mulai muncul secara berangsur-angsur sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh Islam yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara lontara menggunakan dasar sistem abugida indik ketimbang huruf Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.[2] Namun begitu, tidak diketahui secara pasti tahapan evolusi yang menghasilkan aksara lontara karena bentuk-bentuk aksara lontara telah berdeviasi jauh dari purwarapa kawi. Diasumsikan bahwa aksara lontara dan makassar mungkin berkembang dari perantara aksara turunan kawi yang kini telah hilang.[1][3] Adanya kesamaan grafis antar aksara-aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dengan aksara lontara memunculkan teori hubungan pengaruh antar kedua aksara tersebut.[4] Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara pararel dari purwarupa Gujarat, India.[5]

Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah Aksara Makassar, Lontara Bugis, Arab, dan latin. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara lontara yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.[1]

Media

Aksara lontara kebanyakan ditemukan dalam bentuk naskah buku yang menggunakan kertas impor dari Eropa. Terdapat pula beberapa naskah lontara yang ditemukan dalam bentuk unik menyerupai pita rekaman: selembar daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Media ini namun hanya ditemukan pada beberapa contoh saja, sastra beraksara lontara lebih lazim ditemukan pada media kertas.[1] Selain kertas, aksara lontara juga dapat ditemukan pada benda-benda tertentu sebagai bagian dari seni terapan, misal pada cap[6] dan kerajinan perak.[2]

Memasuki pertengahan abad 19 M, berkembanglah teknologi cetak aksara lontara yang diprakarsai oleh B. F. Matthes. Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan injil yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut. Matthes tiba di Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun. Bekerja sama dengan percetakan Tetterode di Rotterdam, sebuah font cetak untuk aksara lontara yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastra Makassar dan Bugis, dengan font lontara yang digubah Matthes, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Langgam cetak ini kemudian menjadi model pengajaran standar di sekolah-sekolah dasar masa itu, bermula dari sekolah-sekolah di daerah Makassar yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Akibat tersebarnya langgam standar tersebut, gaya tulis aksara lontara yang awalnya memiliki beberapa macam variasi lama kelamaan menjadi lebih seragam.[4]

Penggunaan

Secara tradisional, aksara lontara digunakan untuk menulis beberapa bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan. Materi beraksara lontara paling banyak ditemukan dalam bahasa Bugis, diikuti oleh bahasa Makassar, kemudian bahasa Mandar yang materinya paling sedikit. Masyarakat Toraja yang juga berdiam di Sulawesi Selatan tidak menggunakan aksara lontara karena tradisi sastra Toraja mengandalkan penyampaian lisan tanpa tradisi naskah asli. Aksara lontara yang sedikit dimodifikasi juga digunakan untuk beberapa bahasa di luar Sulawesi Selatan yang wilayahnya pernah mendapat pengaruh Bugis-Makassar, seperti bahasa Bima di Sumbawa timur dan bahasa Ende di Flores.[1]

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang berhubungan, sebagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskah kertas. Istilah Lontara (kadang dieja Lontaraq atau Lontara' untuk menandakan bunyi glottal di akhir) dalam bahasa Bugis juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat Bugis. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian (lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (attotiolong). Tiap Kerajaan Bugis umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.[1]

Penggunaan Aksara Lontara

Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.[1] Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (arung), atau perdana menteri (to marilaleng). Salah satu peninggalan buku harian Bugis beraksara lontara dalam koleksi publik adalah satu volume buku harian Sultan Ahmad al-Salih Syamsuddin (sultan ke-22 Kerajaan Boné, berkuasa 1775-1812 M) yang ia isi sendiri antar 1 Januari 1775 M hingga 1795 M.[7] Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman karena satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.[1]

Salah satu sastra puitis yang umum ditemukan dalam naskah lontara adalah epos Bugis I La Galigo (ᨕᨗᨒᨁᨒᨗᨁᨚ, dikenal pula dengan nama Sure' La Galigo ᨔᨘᨑᨛᨁᨒᨗᨁᨚ). Epos mengenai asal-usul masyarakat Bugis ini merupakan puisi berbait yang terdiri dari cuplikan berbagai protagonis di latar kerajaan mitologis pra-Islam bernama Luwu'. Meski terbagi ke dalam berbagai episode cerita yang merentang hingga beberapa generasi karakter, semua cuplikan saling menyambung dan cenderung konsisten dari segi isi dan bahasa sehingga semuanya membentuk satu kesatuan yang koheren. Apabila disatukan, keseluruhan I La Galigo dapat mencapai hingga 6000 halaman folio, menjadikannya salah satu karya sastra terpanjang di dunia. Konvensi puitis dan alusi Galigo kemudian melahirkan pula genre puisi tolo', yang menggabungkan kesejarahan genre lontara'​ dengan bentuk puitis Galigo.[1]

Aksara lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa, azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.[1] Naskah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran abjad Jawi untuk istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara lontara yang bertahan paling lama dan masih diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara lontara di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di Sengkang yang mempublikasikan berbagai teks Islami dengan bahasa Bugis dan aksara lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan jumlah publikasi beraksara lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara lontara dan bahkan edisi baru dari buku yang versi terdahulunya memiliki aksara lontara seringkali tergantikan sepenuhnya dengan alih aksara latin.[8]

Penggunaan kontemporer

Dalam ranah kontemporer, aksara lontara telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sulawesi Selatan sejak 1980-an. Namun bukti-bukti anekdotal menunjukkan bahwa metode pengajaran kontemporer yang kaku dan materi bacaan yang terbatas justru berefek kontra-produktif dalam literasi aksara lontara. Generasi muda masyarakat Sulawesi Selatan umumnya hanya sadar akan adanya aksara lontara dan mengenal beberapa huruf, namun jarang sekali ada yang mampu membaca dan menulisnya secara substansial. Kemampuan yang memadai untuk membaca dan menulis teks beraksara lontara umumnya terbatas pada generasi tua.[2][3] Teks lontara yang isinya tidak dapat dibaca oleh pemiliknya kadang dikeramatkan, meski substansi isinya seringkali tidak sebanding dengan romantisasi pemilik teks tersebut. Cummings menuturkan pengalamannya pada tahun 2002 ketika mensurvei sastra Makassar: Sebuah keluarga (yang semua anggotanya tidak bisa membaca aksara lontara) menuturkan padanya mengenai naskah lontara warisan yang mereka simpan di kediaman mereka. Ketika naskah yang bersangkutan akhirnya diperbolehkan untuk dilihat, ternyata isinya tidak lebih dari akte jual beli kuda.[9]

Kerancuan

Aksara lontara secara tradisional tidak memiliki tanda baca untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata mati meskipun bahasa Bugis, Makassar, dan Mandar yang kerap menggunakan aksara lontara memiliki banyak kata dengan suku kata mati. Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/, glotal /ʔ/, dan penggandaan konsonan yang lumrah dalam bahasa Bugis sama sekali tidak ditulis dalam ejaan aksara lontara, sehingga kata seperti sara (kesedihan), sara' ("menguasai"), dan sarang ("sarang") semuanya akan ditulis sebagai sara ᨔᨑ dalam aksara lontara. Dalam bahasa Makassar, tulisan ᨅᨅ dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: ​​baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba, dan bambang.[3]

Mengingat bahwa penulisan aksara lontara tradisional juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara lontara kerap memiliki banyak kerancuan kata yang seringkali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks lontara memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.[1][3] Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga tanda baca vokal tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.

Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings memberikan sebuah contoh kalimat buatan berbahasa Makassar yang bisa menghasilkan dua arti berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:[9]

Aksara Lontara (Bahasa Makassar) Kemungkinan Cara Baca
Latin Arti
ᨊᨀᨑᨙᨕᨗᨄᨙᨄᨙᨅᨒᨉᨈᨚᨀ nakanréi pépé' balla' datoka api melahap sebuah klenteng Tionghoa
nakanréi pépé' balanda tokka' api melahap sang Belanda botak

Tanpa mengetahui maksud atau kejadian nyata yang mungkin dirujuk oleh penulis, maka pembacaan yang "benar" dari kalimat di atas tidak mungkin ditentukan sendiri oleh pembaca umum. Pembaca paling mahir sekalipun kerap perlu berhenti sejenak untuk mengintepretasikan apa yang ia baca.[3] Karena seringkali tidak memiliki informasi krusial dalam menuliskan bahasa yang bersangkutan, beberapa penulis seperti Noor menjuluki aksara lontara sebagai "aksara defektif."[4]

Aksara

Lontara adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 23 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang kemudian diubah dengan pemberian tanda baca atau diakritik tertentu. Aksara ditulis dari kiri ke kanan dan secara tradisional ditulis secara scriptio continua (tanpa spasi antar kata) dengan tanda bacaan yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara lontara, sehingga teks lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.

Aksara dasar

Aksara dasar (ina’ sure’ ᨕᨗᨊᨔᨘᨑᨛ dalam bahasa Bugis, anrong lontara’ ᨕᨑᨚᨒᨚᨈᨑ dalam bahasa Makassar) dalam aksara lontara merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 23 aksara dasar dalam aksara lontara, sebagaimana berikut:[10]

Ina’ Sure’ atau Anrong Lontara’
ka ga nga ngka pa ba ma mpa ta da na nra
ca ja nya nca ya ra la wa sa a ha

Terdapat empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, yakni ngka , mpa , nra dan nca . Keempat aksara ini tidak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan merupakan salah satu ciri khas tulisan Bugis. Namun dalam praktek penulisan tradisional Bugispun, keempat aksara ini seringkali tidak dipakai dengan konsisten bahkan oleh juru tulis profesional.[4]

Tanda baca

Tanda baca atau diakritik (ana’ sure’ ᨕᨊᨔᨘᨑᨛ dalam bahasa Bugis, ana’ lontara’ ᨕᨊᨒᨚᨈᨑ dalam bahasa Makassar) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan. Terdapat 5 tanda baca dalam aksara lontara, sebagaimana berikut:[10]

Ana’ Sure’ atau Ana’ Lontara’
-a -i -u [1] -o -e[2]
Nama Bugis tetti’ riase’ tetti’ riawa kecce’ riolo kecce’ rimunri kecce’ riase’
Nama Makassar ana’ i rate ana’ i rawa ana’ ri olo ana’ ri boko (anca’)
na ni nu no ne
ᨊᨗ ᨊᨘ ᨊᨙ ᨊᨚ ᨊᨛ
Catatan
1. ^/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
2. ^/ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"

Bahasa Makassar tidak memiliki bunyi pepet (e sebagaimana dalam kata "empat", IPA /ə/}), sehingga tanda baca kecce’ riase’ Bugis tidak diperlukan dalam penulisan bahasa Makassar. Namun begitu, juru tulis Makassar kadang memanfaatkan ulang tanda baca ini untuk menandakan bunyi nasal akhir /-ŋ/ dalam teks berbahasa Makassar, yang mana tanda baca ini menjadi dikenal dengan nama anca’.[4]

Pungtuasi

Teks tradisional lontara tidak banyak menggunakan pungtuasi atau tanda bacaan, sehingga aksara lontara diketahui hanya memiliki dua tanda bacaan asli: pallawa dan tanda pengakhir bagian. Pallawa berfungsi seperti titik atau koma dalam huruf latin dengan membagi teks ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat. Pungtuasi ini dapat ditemukan dalam semua naskah lontara. Tanda pengakhir bagian digunakan untuk membelah teks ke dalam satuan yang menyerupai bab, namun penggunaannnya hanya teratestasi dalam lembar contoh aksara Bugis yang diproduksi Percetakan Nasional Prancis (Imprimerie Nationale) pada tahun 1990 M.[10][11]

Pungtuasi
pallawa akhir bagian

Sumber kontemporer kadang juga mengikutsertakan ekivalen aksara lontara untuk pungtuasi latin seperti koma, titik dua, titik koma, tanda seru, dan tanda tanya. Namun tanda-tanda bacaan tersebut merupakan rekaan kontemporer yang tidak pernah ditemukan dalam naskah tradisional.[10]

Tanda baca mati

Aksara lontara Bugis-Makassar secara tradisional tidak memiliki tanda baca mati (virama) yang mematikan vokal aksara dasar, sehingga lumrah ditemukan kata-kata yang tidak sepenuhnya dieja mengikuti pelafalan kata yang bersangkutan. Tidak adanya tanda baca mati asli merupakan salah satu alasan utama banyaknya kerancuan dalam teks lontara standar. Namun begitu, tanda baca mati asli dapat ditemukan pada varian aksara lontara yang digunakan untuk menulis bahasa Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores yang diketahui telah digunakan dalam tradisi tulis Bima dan Ende sejak masa pra-kemerdekaan.[12][13] Tanda baca mati Bima-Ende ini tidak diserap balik ke dalam penulisan Bugis-Makassar sehingga lontara standar Bugis-Makassar tetap tidak memiliki tanda baca mati hingga masa modern.

Lontara Bugis-Makassar baru bereksperimen dengan rekaan tanda baca mati pada abad 21 M, umumnya sebagai upaya untuk memudahkan pengajaran aksara lontara dalam kurikulum muatan lokal dan untuk memudahkan penulisan tepat bahasa Indonesia serta istilah asing. Tidak semua pihak menyetujui perlu adanya penambahan tanda baca mati dalam aksara lontara, namun Pandey mencatat adanya tiga macam alternatif yang pernah diusulkan dalam sejumlah publikasi lontara Bugis-Makassar abad 21 M. Meskipun begitu usulan penggunaan baca mati ini juga tidak memiliki status resmi maupun konsensus umum sehingga rekomendasi antar pihak bisa jadi kontradiktif.[12][14][3] Satu hal yang pasti ialah tanda baca mati tidak pernah muncul dalam konteks penggunaan tradisional dan naskah historis nyata Bugis-Makassar.[1]

Tanda baca mati
Bima/Ende Rekaan Modern Bugis/Makassar
Glotal[15] Anusvara
(Nasal)[15]
Virama
Alt.1[15]
Virama
Alt.2
-n na' nang -n

Sandi

Tabel sandi lontara bilang-bilang beserta ekivalen lontara standarnya sebagaimana dicatat oleh Matthes[16]

Aksara lontara memiliki versi sandi bernama lontara bilang-bilang yang kadang digunakan dalam bahasa Bugis untuk fungsi spesifik penulisan basa to bakke', semacam teka-teki permainan kata, serta élong maliung bettuanna, puisi dengan makna tersembunyi yang memanfaatkan basa to bakke'​. Dalam sandi ini, tiap aksara dasar dalam lontara standar digantikan dengan bentuk-bentuk yang diturunkan dari abjad dan angka Arab. Tanda baca tidak diubah dan digunakan sebagaimana dalam lontara standar, namun menempel pada aksara dasar yang bentuknya telah disandikan. Sandi ini merupakan adaptasi dari sandi abjad Arab yang tercatat pernah digunakan di wilayah Pakistan-Afghanistan. Sandi ini dibuat dengan mengkonversi huruf Arab yang diposisikan dalam urutan abjadī menjadi stilisasi angka dengan nilai tertentu. Dalam versi Bugis, beberapa huruf untuk bunyi Arab yang tidak digunakan dalam bahasa Bugis dihilangkan, sementara huruf-huruf untuk bunyi yang muncul dalam bahasa Melayu dan Bugis ditambahkan melaui prinsip konversi yang sama.[13][17]

Contoh teks

Cuplikan I La Galigo sebagaimana dikutip Matthes:[18]

Aksara Lontara (Bahasa Bugis) Alih Aksara latin
ᨕᨛᨃᨕᨛᨃᨁᨑᨙ᨞ ᨕᨛᨃᨔᨙᨕᨘᨓᨓᨛᨈᨘ᨞ ᨕᨛᨃᨔᨙᨕᨘᨓᨕᨑᨘᨆᨀᨘᨋᨕᨗᨑᨗᨒᨘᨓᨘᨆᨔᨒᨕᨘᨒᨗ᨞ ᨕᨗᨑᨚᨕᨑᨘᨆᨔᨒᨕᨘᨒᨗᨕᨙ᨞ ᨕᨊᨔᨙᨕᨘᨓᨕᨘᨓᨑᨗᨐᨗᨉᨚᨊᨑᨗᨐᨅᨚᨊ᨞ ᨊᨕᨊᨄᨈᨚᨒ᨞ ᨑᨗᨈᨊᨕᨙᨑᨗᨒᨘᨓᨘ᨞ ᨆᨔᨑᨊᨗᨕᨗᨉᨚᨊ᨞ ᨕᨅᨚᨊ᨞ ᨔᨅᨆᨒᨔᨆᨀᨘᨘᨓᨊᨕᨊᨊ᨞ ᨈᨘᨑᨘᨆᨊᨛᨈᨚᨊᨗ᨞ ᨔᨋᨚᨓᨙᨔᨗᨅᨓᨈᨅᨗᨕᨙᨆᨅᨘᨑ᨞ ᨆᨅᨙᨒᨊᨗᨆᨀᨛᨉᨕᨙ᨞ ᨕᨛᨃᨄᨗᨁᨊᨑᨗᨒᨔᨊᨕᨗᨐᨑᨚᨕᨑᨘᨆᨔᨒᨕᨘᨒᨗᨕᨙ᨞ ᨆᨕᨘᨅᨕᨘᨊᨈᨛᨄᨕᨘᨒᨙᨊᨗᨈᨕᨘᨓᨙᨆᨙᨆᨕᨘᨕᨗᨓᨗ᨞ ᨔᨅᨆᨀᨛᨎᨊᨊᨆᨀᨛᨅᨚᨀᨒᨕᨗᨒᨕᨗᨊ᨞ Engka engka-garé | engka séuwa wetu | engka séuwa aru makunrai ri-Luwu masala-uli | Iyaro aru-masala-ulié | ana séuwa-uwa riyidona riyabona | na-anapatola | ri-ta naé ri-Luwu | Masara-ni idona, abona | saba malasa-makuwana anana | Turu-mane-toni | sanrowé sibawa tabié mabura | Mabéla-ni make-daé | engka pinrana ri-lasana iya-ro aru-masa-la-ulié | Mau bauna te-paulé-ni tauwé mémauiwi | saba makeñcana na-makebo-kala i-laina |

Perbandingan dengan aksara Makassar

Bahasa Makassar pada awalnya ditulis menggunakan sebuah aksara asli Makassar sebelum berangsur-angsur tergantikan sepenuhnya dengan aksara lontara karena pengaruh Bugis. Kedua aksara yang berkerabat dekat ini memiliki aturan tulis yang hampir identik, meski secara rupa terlihat cukup berbeda. Perbandingan kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[3]

Aksara Dasar
ka ga nga ngka pa ba ma mpa ta da na nra ca ja nya nca ya ra la wa sa a ha
Bugis
Makassar tua
𑻠 𑻡 𑻢 𑻣 𑻤 𑻥 𑻦 𑻧 𑻨 𑻩 𑻪 𑻫 𑻬 𑻭 𑻮 𑻯 𑻰 𑻱
Tanda Baca
-a -i -u [1] -o -e[2]
na ni nu no ne
Bugis
ᨊᨗ ᨊᨘ ᨊᨙ ᨊᨚ ᨊᨛ
Makassar tua
𑻨 𑻨𑻳 𑻨𑻴 𑻨𑻵 𑻨𑻶
Catatan
1. ^/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
2. ^/ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
Pungtuasi
Bugis pallawa akhir bagian
Makassar tua passimbang akhir bagian
𑻷 𑻸

Blok unicode

Buginese[1][2]
Official Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1A0x
U+1A1x ◌ᨗ ◌ᨘ  ᨙ◌ ◌ᨚ ◌ᨛ
Catatan
1. ^Per Unicode versi 13.0
2. ^Abu-abu berarti titik kode kosong

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l Kumar, John; McGlynn, John H (1996). Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. hlm. 168. ISBN 0834803496. 
  2. ^ a b c Knight, Campbell (2016). "The Media of Bugis Literacy: A Coda to Pelras". International Journal of Asia Pacific Studies. 12 (supp. 1): 53-721. 
  3. ^ a b c d e f g Jukes, Anthony (2014). "Writing and reading Makassarese". International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast Asia: Proceedings. LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies. 
  4. ^ a b c d e J. Noorduyn (1993). "Variation in the Bugis/Makasarese script". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (149): 533–570. 
  5. ^ Miller, Christopher (2010). "A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines". Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society. 36 (1). 
  6. ^ Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). Singapore: NUS Press. ISBN 9813250860. 
  7. ^ Gallop, Annabel Teh (01 January 2015). "The Bugis diary of the Sultan of Boné". British Library. Diakses tanggal 11 April 2020. 
  8. ^ Tol, Roger (2015). "Bugis Kitab Literature. The Phase-Out of a Manuscript Tradition". Journal of Islamic Manuscripts. 6: 66–90. doi:10.1163/1878464X-00601005. 
  9. ^ a b Cummings, William (2002). Making Blood White: historical transformations in early modern Makassar. Honolulu: University of Hawai'i Press. ISBN 9780824825133. 
  10. ^ a b c d Everson, Michael (05-10-2003). "Revised final proposal for encoding the Lontara (Buginese) script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N2633R). 
  11. ^ Kai, Daniel (2003-08-13). "Introduction to the Bugis Script" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/03-254). 
  12. ^ a b Pandey, Anshuman (2016-04-28). "Proposal to encode VIRAMA signs for Buginese" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/16-075). 
  13. ^ a b Miller, Christopher (2011-03-11). "Indonesian and Philippine Scripts and extensions not yet encoded or proposed for encoding in Unicode". UC Berkeley Script Encoding Initiative. 
  14. ^ Ahmad, Abd. Aziz (2018). Prosiding Seminar Nasional Lembaga Penelitian Universitas Negeri Makassar: Pengembangan tanda baca aksara Lontara. hlm. 40-53. ISBN 978-602-5554-71-1. 
  15. ^ a b c http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n2633r.pdf
  16. ^ Matthes, B F (1883). Eenige proeven van Boegineesche en Makassaarsche Poëzie. Martinus Nijhoff. 
  17. ^ Tol, Roger (1992). "Fish food on a tree branch; Hidden meanings in Bugis poetry". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Leiden. 148 (1): 82-102. doi:10.1163/22134379-90003169. 
  18. ^ Matthes, B. F. (1875). Boeginesche Spraakkunst. Den Haag: Martinus Nijhoff. hlm. 18. 

Pranala luar

Naskah digital

Lainnya