Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto: Perbedaan antara revisi
k Menambah Kategori:Bangunan bersejarah di Salatiga menggunakan HotCat |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
[[Berkas:Rumah Tinggal Dokter Hasmo Sugiarto.jpg|jmpl|260x260px|Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.]] |
[[Berkas:Rumah Tinggal Dokter Hasmo Sugiarto.jpg|jmpl|260x260px|Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.]] |
||
'''Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto''' adalah bangunan [[cagar budaya]] yang terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, [[Salatiga, Sidorejo, Salatiga|Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga]], [[Jawa Tengah|Provinsi Jawa Tengah]]. Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial. |
'''Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto''' adalah bangunan [[cagar budaya]] yang terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, [[Salatiga, Sidorejo, Salatiga|Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga]], [[Jawa Tengah|Provinsi Jawa Tengah]]. Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di [[Kota Salatiga]]. Pada [[17 Juni]] [[2015]], bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain, yaitu [[GPIB Tamansari Salatiga]], Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius, [[Rumah Tinggal Notosoegondo]], dan [[Toko Aneka Jaya]]. |
||
== Keadaan bangunan == |
== Keadaan bangunan == |
||
Baris 9: | Baris 9: | ||
tersebut sebagai kawasan elit (...)"}}'' Menurut Prakosa dan Supangkat, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).{{sfnp|Prakosa|2017|p=27|ps=: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar ''Toentangscheweg'' (...)"}}{{sfnp|Supangkat|2012|p=35|ps=: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri ''Toentangscheweg'', sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (''Europeesche Wijk'')".}} |
tersebut sebagai kawasan elit (...)"}}'' Menurut Prakosa dan Supangkat, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).{{sfnp|Prakosa|2017|p=27|ps=: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar ''Toentangscheweg'' (...)"}}{{sfnp|Supangkat|2012|p=35|ps=: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri ''Toentangscheweg'', sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (''Europeesche Wijk'')".}} |
||
Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di |
Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Hingga tahun [[2020]], kondisi fisik bangunannya terawat dengan baik. Selain itu, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika gaya ''art deco'' Indo-Eropa dan belum pernah mengalami perubahan desain maupun renovasi.<ref name=":0">{{Cite web|url=http://salatigakota.go.id/PariwisataBcb.php|title=Bangunan Cagar Budaya|last=Pemerintah Kota Salatiga|first=|date=tanpa tanggal|website=Pemerintah Kota Salatiga|access-date=12 Maret 2020}}</ref> Bangunan rumah tersebut terdiri atas bangunan induk, paviliun di sisi kiri, serta ruang keluarga yang menunjukkan bahwa penghuninya banyak. Fondasi yang dipakai adalah batu kali besar dan tinggi untuk menghindari resapan air yang dapat merusak tembok, sedangkan atapnya berbentuk perisai ganda tiga dengan pendopo berbentuk gazebo di sudut bangunan. Bangunan rumah serta pekarangan yang luasnya hingga Jalan Margosari ini mulai ditempati oleh keluarga Hasmo Sugijarto sejak tahun [[1950]]. Sugijarto sendiri memiliki istri yang berprofesi sebagai bidan dan delapan orang anak yang semuanya perempuan.''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=245-246|ps=: "Bangunan rumah tinggal bergaya Indo-Eropa yang mulai dikembangkan di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 ini masih kokoh dan asli. Belum ada perubahan desain maupun renovasi bentuk (...)"}}'' |
||
== Kompensasi pelestarian == |
== Kompensasi pelestarian == |
||
Rumah tinggal yang berdekatan dengan [[Kantor Pos Salatiga]] tersebut terdaftar sebagai salah satu cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 111-73/Sla/67{{efn|Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 ({{harvnb|Hatmadji, dkk|2009|pp=3}}).}}''{{sfnp|Hatmadji, dkk|2009|p=133-135|ps=: "Nama BCB/Situs : Rumah Tinggal (Dr. R. Hasmo Sugijarto); No. Inventaris : 11-73/Sla/67; Lokasi : Jl. Moh. Yamin 4 Salatiga (...)"}}'' dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.<ref name=":0" /> Pada |
Rumah tinggal yang berdekatan dengan [[Kantor Pos Salatiga]] tersebut terdaftar sebagai salah satu cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 111-73/Sla/67{{efn|Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 ({{harvnb|Hatmadji, dkk|2009|pp=3}}).}}''{{sfnp|Hatmadji, dkk|2009|p=133-135|ps=: "Nama BCB/Situs : Rumah Tinggal (Dr. R. Hasmo Sugijarto); No. Inventaris : 11-73/Sla/67; Lokasi : Jl. Moh. Yamin 4 Salatiga (...)"}}'' dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.<ref name=":0" /> Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain di Kota Salatiga. Kompensasi tersebut diserahkan kepada Sri Kadarinah selaku pemilik dan pengelola bangunan. Adapun empat bangunan lain itu adalah [[GPIB Tamansari Salatiga]] (diserahkan kepada Marthinus Mijan Rukait selaku Ketua IV Pelaksana Harian Majelis GPIB Tamansari Salatiga), Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius (diserahkan kepada Suster Kepala Maria Gratia Surtinan), [[Rumah Tinggal Notosoegondo]] (diserahkan kepada Hendriani selaku pemilik dan pengelola bangunan), dan [[Toko Aneka Jaya]] (diserahkan kepada Heriyanto selaku pemilik dan pengelola bangunan).<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/pemberian-kompensasi-pelestari-cagar-budaya-kota-salatiga/|title=Pemberian Kompensasi Pelestari Cagar Budaya Kota Salatiga|last=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=19 Juni 2015|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=11 Maret 2020}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/bangunan-bangunan-di-kota-salatiga-penerima-kompensasi-pelestarian/|title=Bangunan-Bangunan di Kota Salatiga Penerima Kompensasi Pelestarian|last=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=19 Juni 2015|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=11 Maret 2020}}</ref> |
||
== Lihat pula == |
== Lihat pula == |
Revisi per 17 Agustus 2020 08.10
Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto adalah bangunan cagar budaya yang terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain, yaitu GPIB Tamansari Salatiga, Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius, Rumah Tinggal Notosoegondo, dan Toko Aneka Jaya.
Keadaan bangunan
Rumah ini dibangun pada awal abad ke-20 dan diperkirakan berusia lebih dari 100 tahun. Lokasinya berada di kawasan strategis, yaitu Jalan Moh. Yamin (dahulu bernama Julianalaan).[1][2][3][4] Pada masa pemerintahan gemeente (kotapraja), kawasan tersebut berkembang menjadi pusat kota yang dikenal dengan nama Europeesche Wijk.[5][6] Menurut Prakosa dan Supangkat, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).[7][8]
Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Hingga tahun 2020, kondisi fisik bangunannya terawat dengan baik. Selain itu, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika gaya art deco Indo-Eropa dan belum pernah mengalami perubahan desain maupun renovasi.[9] Bangunan rumah tersebut terdiri atas bangunan induk, paviliun di sisi kiri, serta ruang keluarga yang menunjukkan bahwa penghuninya banyak. Fondasi yang dipakai adalah batu kali besar dan tinggi untuk menghindari resapan air yang dapat merusak tembok, sedangkan atapnya berbentuk perisai ganda tiga dengan pendopo berbentuk gazebo di sudut bangunan. Bangunan rumah serta pekarangan yang luasnya hingga Jalan Margosari ini mulai ditempati oleh keluarga Hasmo Sugijarto sejak tahun 1950. Sugijarto sendiri memiliki istri yang berprofesi sebagai bidan dan delapan orang anak yang semuanya perempuan.[10]
Kompensasi pelestarian
Rumah tinggal yang berdekatan dengan Kantor Pos Salatiga tersebut terdaftar sebagai salah satu cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 111-73/Sla/67[a][11] dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.[9] Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain di Kota Salatiga. Kompensasi tersebut diserahkan kepada Sri Kadarinah selaku pemilik dan pengelola bangunan. Adapun empat bangunan lain itu adalah GPIB Tamansari Salatiga (diserahkan kepada Marthinus Mijan Rukait selaku Ketua IV Pelaksana Harian Majelis GPIB Tamansari Salatiga), Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius (diserahkan kepada Suster Kepala Maria Gratia Surtinan), Rumah Tinggal Notosoegondo (diserahkan kepada Hendriani selaku pemilik dan pengelola bangunan), dan Toko Aneka Jaya (diserahkan kepada Heriyanto selaku pemilik dan pengelola bangunan).[12][13]
Lihat pula
- Gedung Pakuwon
- Istana Djoen Eng
- Rumah Dinas Wali Kota Salatiga
- Rumah Tinggal Notosoegondo
- Toko Aneka Jaya
- Tugu Jam Tamansari
- Wisma BCA Salatiga
Keterangan
- ^ Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 (Hatmadji, dkk 2009, hlm. 3).
Rujukan
- ^ Saputra, Imam Yuda (27 April 2016). "Wisata Salatiga: Ini 11 Benda Cagar Budaya". Solopos. Diakses tanggal 12 Maret 2020.
- ^ Supangkat (2012), hlm. 21: "Beberapa nama jalan lain yang "berbau" Belanda misalnya: Koffiestraat yang kemudian diganti Prins Hendriklaan (sekarang Jalan Yos Soedarso), Emmalaan (sekarang Jalan Adisutjipto), Prinsenlaan (sekarang Jalan Tentara Pelajar), Julianalaan (sekarang Jalan Moh. Yamin) (...)"
- ^ Prakosa (2017), hlm. 64: "Cerita lain terkait hubungan golongan Eropa dengan masyarakat bumiputra datang dari keluarga Dokter Frederik Bousche. Keluarga indo Belanda yang pernah bertempat tinggal di Julianalaan (saat ini di depan Kantor Pos Salatiga) dan dimiliki oleh keluarga Dr. R. Hasmo Sugijarto) itu dikenal dermawan (...)"
- ^ Harnoko, dkk (2008), hlm. 42: "Jalan Moh. Yamin ada bangunan-bangunan kolonial, yang kini digunakan untuk rumah tinggal, kantor pos, dan kantor pegadaian (...)"
- ^ Anwar (2019), hlm. 147: "Untuk wilayah yang saat ini bernama Jalan Diponegoro, Jalan Yos Sudarso, Jalan Patimura, Jalan Moh. Yamin, pada masa kolonial adalah zona Europeesche Wijk dihuni oleh orang Eropa yang kaya-raya (...)"
- ^ Rohman (2020), hlm. 124: "Pada masa pemerintahan gemeente, kawasan di sekitar rumah dinas asisten Salatiga memang berkembang menjadi pusat kota. Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih untuk menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan elit (...)"
- ^ Prakosa (2017), hlm. 27: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar Toentangscheweg (...)"
- ^ Supangkat (2012), hlm. 35: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri Toentangscheweg, sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (Europeesche Wijk)".
- ^ a b Pemerintah Kota Salatiga (tanpa tanggal). "Bangunan Cagar Budaya". Pemerintah Kota Salatiga. Diakses tanggal 12 Maret 2020.
- ^ Rahardjo, dkk (2013), hlm. 245-246: "Bangunan rumah tinggal bergaya Indo-Eropa yang mulai dikembangkan di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 ini masih kokoh dan asli. Belum ada perubahan desain maupun renovasi bentuk (...)"
- ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 133-135: "Nama BCB/Situs : Rumah Tinggal (Dr. R. Hasmo Sugijarto); No. Inventaris : 11-73/Sla/67; Lokasi : Jl. Moh. Yamin 4 Salatiga (...)"
- ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (19 Juni 2015). "Pemberian Kompensasi Pelestari Cagar Budaya Kota Salatiga". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020.
- ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (19 Juni 2015). "Bangunan-Bangunan di Kota Salatiga Penerima Kompensasi Pelestarian". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020.
Daftar pustaka
Buku
- Harnoko, Darto, dkk (2008). Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olah Raga Kota Salatiga.
- Prakosa, Abel Jatayu (2017). Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917-1942. Semarang: Sinar Hidoep.
- Rahardjo, Slamet, dkk (2013). Sejarah Bangunan Cagar Budaya Kota Salatiga. Salatiga: Pemerintah Daerah Kota Salatiga.
- Supangkat, Eddy (2012). Salatiga: Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media.
Jurnal ilmiah
- Anwar, Muhammad Khoirul (Agustus 2019). "Rekonstrusi Kota Kolonial Salatiga dan Kontribusi Teknologi Geographical Information System". Sasdaya (Gadjah Mada Journal of Humanities). 3 (2). ISSN 2549-3884.
- Rohman, Fandy Aprianto (Juni 2020). "Administrasi Pemerintahan Gemeente di Salatiga 1917-1942". Walasuji. 11 (1). ISSN 2502-2229.
Lainnya
- Hatmadji, Tri, dkk (2009). "Cagar Budaya Salatiga". Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.