Lompat ke isi

Rudini: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 10: Baris 10:
|term_start = 11 Maret 1999
|term_start = 11 Maret 1999
|term_end = 22 Maret 2000
|term_end = 22 Maret 2000
|predecessor = [[Yogie Suardi Memet]]<br><small>(sebagai Ketua Lembaga Pemiihan Umum)</small>
|predecessor = [[Syarwan Hamid]]<br><small>(sebagai Ketua Lembaga Pemiihan Umum)</small>
|successor = Pelaksana Harian (2000–2001) {{flatlist|
|successor = Pelaksana Harian (2000–2001) {{flatlist|
* ''Djuhad Mahja''
* ''Djuhad Mahja''

Revisi per 19 Maret 2021 17.43

Rudini
Ketua Komisi Pemilihan Umum ke-1
Masa jabatan
11 Maret 1999 – 22 Maret 2000
Sebelum
Pendahulu
Syarwan Hamid
(sebagai Ketua Lembaga Pemiihan Umum)
Pengganti
Pelaksana Harian (2000–2001)
  • Djuhad Mahja
  • Agus Miftach
  • Benny Akbar Fatah
Nazaruddin Sjamsuddin (2001)
Ketua Lembaga Pemiihan Umum ke-3
Masa jabatan
Januari 1991 – 1 Oktober 1992
PresidenSoeharto
Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-19
Masa jabatan
23 Maret 1988 – 17 Maret 1993
PresidenSoeharto
Informasi pribadi
Lahir(1929-12-15)15 Desember 1929
Belanda Malang, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal21 Januari 2006(2006-01-21) (umur 76)
Indonesia Jakarta, Indonesia
Suami/istri
Oddyana Rudini
(m. 1959)
Anak3 (1 laki-laki, 2 perempuan)
Alma materAkademi Militer Breda (1955)
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabangTNI Angkatan Darat
Masa dinas1955—1987
PangkatJenderal
SatuanInfanteri
KomandoBatalyon Infanteri 400/Raider
Kontingen Garuda VI
Brigade Infanteri Lintas Udara 18
Komando Tempur Lintas Udara
Kodam XIII/Merdeka
Kostrad
TNI Angkatan Darat
Pertempuran/perangPemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Operasi Seroja
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Jenderal TNI (Purn.) Rudini (15 Desember 1929 – 21 Januari 2006) adalah seorang jenderal berbintang empat dan politikus Indonesia. Ia adalah Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

Nama

Meskipun dikenal secara umum dengan mononim Rudini, majalah ASEAN Forecast meletakkan nama ayah Rudini, Poespohandojo di belakang namanya, sehingga namanya menjadi Rudini Poespohandojo. Hal ini dikarenakan mononim tidak lazim digunakan secara internasional dalam korespondensi resmi.[1]

Kehidupan awal dan pendidikan

Rudini lahir pada pukul 12.00 tanggal 15 Desember 1929, sebagai anak ketiga dari sepuluh anak pasangan Raden Ismangoen Poespohandojo dan Raden Ajoe Koesbandijah. Ayahnya, Ismangoen Poespohandojo, lahir pada tahun 1901 di Cilacap dan bekerja sebagai pegawai di Dinas Pekerjaan Umum, sedangkan ibunya, Raden Ajoe Koesbandijah, lahir di Yogyakarta pada tahun 1908. Rudini memiliki dua kakak kandung yang bernama Efendi dan Eriati Suprapto dan tujuh adik kandung yang bernama Ruliati Rahmat, Rubiani Daryono Kertosastro, Hariani Lukman, Ruswati Dahlan, Juliani, Bommi Harsono, dan Subandrio.[2]

Sebagai anak dari seorang pegawai Dinas Pekerjaan Umum, Rudini dan keluarganya harus berpindah-pindah dari kota dan kota. Beberapa saat setelah kelahirannya, keluarganya berpindah dari Malang ke Mojokerto. Rudini menempuh pendidikan dasarnya di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Mojokerto. Namun, pada masa itu, Rudini terkena penyakit malaria. Meskipun Rudini akhirnya sembuh dari penyakit malarianya, orangtuanya mengkhawatirkan kondisi kesehatannya sehingga pada saat kelas 4 HIS ia dipindahkan ke HIS Malang. Selama bersekolah di HIS, Rudini lebih menyukai pelajaran yang berkaitan dengan perhitungan dan kurang suka dengan pelajaran hafalan.[3] Rudini menamatkan pendidikannya pada tahun 1942, beberapa bulan setelah Jepang menduduki Hindia Belanda.[4]

Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, Rudini meneruskan pendidikannya di sebuah SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Celaket. Selama menempuh pendidikan menengahnya, ia diwajibkan oleh pemerintah Jepang untuk menempuh pendidikan wajib militer sebagai bagian dari kurikulum. Instrukturnya di sekolah itu adalah Purbo S. Suwondo.[5] Pendidikan militer yang diberikan berupa latihan berbaris, merayap, sumo, latihan jalan, dan latihan lari.[6] Rudini pun lulus dari SMP pada tahun 1947.[7]

Tidak seperti pemuda lainnya yang berjuang pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, Rudini diharuskan oleh orangtuanya untuk meneruskan pendidikannya ke pendidikan menengah ke atas.[5] Ia menempuh pendidikan di SMA Katolik Santo Albertus Malang[5] dan lulus pada tahun 1950.[8]

Pendidikan militer

Karel Frederik Puffius (kiri) dan Willem Kloppenburg (kanan), dua gubernur KMA Breda yang menjabat semasa Rudini menempuh pendidikan di KMA Breda.

Setelah lulus dari SMA, orangtua Rudini menginginkannya menjadi dokter, namun ia bertekad untuk mendaftar menjadi tentara. Rudini pun menuruti keinginan orangtuanya ketika ia mencari universitas di Jakarta. Meskipun begitu, Rudini tetap bersikukuh dengan cita-cita awalnya sebagai tentara.[9] Rudini sempat mencoba mendaftar sebagai penerbang di TNI-AU, namun ditolak karena tinggi badannya yang tidak memenuhi syarat.[10]

Setahun kemudian, pada bulan Agustus 1951, Rudini mendengar kabar bahwa TNI Angkatan Darat membuka kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan (Koninklijke Militaire Academie, KMA) di Breda.[11] Meskipun ia sudah terlambat mendengar kabar tersebut, Rudini dibantu dengan surat pengantar (katebelece) dari seorang perwira Angkatan Darat bernama Soewarto.[12] Ia mengikuti pendaftaran dan dinyatakan lulus tes pendaftaran bersama dengan 29 orang lainnya.[13] Rudini dan teman-temannya diberangkatkan ke Belanda pada bulan Oktober 1951.[14] Di tempat itu, Rudini dan kawan-kawan yang diterima melalui jalur TNI-AD bergabung dengan siswa Indonesia yang sudah disana terlebih dahulu sehingga jumlah mereka menjadi 36 siswa.[15]

Setelah tiba di Belanda, Rudini diberikan sejumlah perlengkapan dan setelan untuk kehidupan sehari-hari di KMA Breda. Seragam Rudini selama menempuh pendidikan di KMA sama dengan seragam kadet Belanda, namun emblem di baret dan tanda pundak disesuaikan dengan seragam dari TNI-AD. Dalam kehidupan sehari-hari di KMA Breda, Rudini tidur bersama dengan tujuh kadet dari Belanda agar bisa lebih mudah menyesuaikan dengan situasi di KMA Breda. Rudini hanya bisa bertemu dengan teman-temannya dari Indonesia pada saat-saat tertentu saja, seperti pada hari libur dan hari raya.

Pada masa awal pendidikannya di KMA Breda, Rudini memilih kesatuan perhubungan. Namun, setelah mengikuti psikotes, ia dipindahkan ke kesatuan infanteri.[15]

Selama mengikuti pendidikan di KMA Breda, fisik Rudini ditempa melalui latihan-latihan militer yang berat. Pada tahun kedua di KMA Breda, Rudini dan kadet lainnya melakukan long march tanpa henti selama 4 hari, dengan menempuh 60 km setiap harinya. Long march tersebut dilaksanakan melalui jalur-jalur di bukit dan sungai yang terletak di wilayah selatan Belanda. Menurut Karma Soeparman, teman seangkatan Rudini di KMA Breda, kaki Rudini sempat terluka parah selama long march tersebut. Ia tetap berhasil menyelesaikan garis akhir kendati kondisi kakinya yang luka berat.[15]

Postur tubuh Rudini yang pendek seringkali menjadi bahan perhatian dan ejekan kadet-kadet di KMA. Karma Soeparman menggambarkan bahwa penampilan Rudini selama di KMA Breda "sungguh tak meyakinkan" karena "tubuhnya yang kecil, suaranya yang pelan, dan wajahnya [yang] masih seperti anak-anak". Postur tubuhnya yang pendek menyebabkan Rudini harus meletakkan bantal di bawah bokongnya setiap menyetir mobil agar ia lebih tinggi.[15]

Rudini akhirnya lulus dari KMA Breda pada tahun 1955.[8] Rute pemulangan Rudini dilakukan melalui jalur laut yang melalui sejumlah pelabuhan, seperti Port Said di Terusan Suez, Sri Lanka, Pelabuhan Belawan, dan Tanjung Priok. Setelah tiba di Tanjung Priok, Rudini langsung disambut oleh keluarganya dan berangkat ke Malang, kampung halamannya.[16] Setelah tiba di Malang, Rudini melapor kepada kesatuan TNI dengan seragam TNI dengan corak warna seragam Belanda. Ia kembali ke Jakarta beberapa saat kemudian, dan dilantik sebagai perwira TNI-AD oleh KSAD Abdul Haris Nasution. Setelah dilantik sebagai perwira, Rudini menempuh pendidikan penyesuaian doktrin TNI di Inspektorat Pendidikan dan Latihan (sekarang Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI).[17] Rudini lulus dari Inspektorat Pendidikan dan Latihan setahun kemudian, yakni pada tahun 1956. Rudini awalnya disarankan untuk menjadi komandan peleton (danton) di Batalyon Infanteri 511 (Yonif 511), namun menolak setelah tahu bahwa istri dari komandan batalyonnya, Narsih, adalah teman Rudini semasa SMA. Rudini minta ditempatkan di Batalyon Infanteri 518 (Yonif 518, sekarang digabungkan ke Batalyon Infanteri Lintas Udara 501). Permintaannya tersebut disetujui oleh atasannya.[18]

Karir militer

Penugasan di Sulawesi Selatan

Beberapa saat setelah Rudini menjadi danton di Yonif 511, peleton Rudini ditugaskan sebagai bagian dari Resimen Tim Pertempuran yang bertugas untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Pada awal penugasannya, Rudini seringkali direndahkan secara diam-diam oleh anak buahnya. Beberapa saat kemudian, Rudini pun menginstruksikan pasukannya untuk berpatroli di daerah yang dianggap masih terdapat banyak pemberontak DI/TII. Rudini hanya mengajak lima tentara saja. Anak buahnya awalnya ketakutan dengan perintah Rudini, karena biasanya patroli dilakukan dengan jumlah anggota minimal satu regu. Patroli Rudini tersebut berhasil kembali dari patroli dengan selamat.

Dalam kejadian lainnya, pasukan Rudini sempat diberondong tembakan dari pasukan DI/TII akibat kesalahan strategi dalam menyerbu suatu daerah berbukit. Rudini menilai bahwa bukit-bukit di daerah tersebut harus dikuasai terlebih dahulu, sedangkan atasannya memerintahkan untuk langsung masuk ke daerah tersebut. Penilaian Rudini tersebut diacuhkan dan berakibat pada gugurnya sejumlah pasukan Rudini. Jip yang ditumpangi Rudini sendiri terkena 27 tembakan dari pihak musuh namun ia tetap bertahan hidup. Setelah peristiwa tersebut, Rudini dijuluki sebagai "Letnan Antipeluru" oleh kawan-kawannya.

Instruktur AMN

Setelah ditugaskan di Sulawesi Selatan selama tiga tahun, pada tahun 1959 Rudini dipindahtugaskan ke pulau Jawa sebagai instruktur di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Rudini menduga bahwa pemindahtugasannya ini berkaitan dengan surat yang dikirimkan oleh ibunya kepada Mas Efendi, seorang teman Rudini, yang kemudian meneruskannya kepada komandan resimennya. Pemindahtugasan tersebut membuat Rudini menjadi gundah.

Selama menjadi instruktur, Rudini hanya mendapatkan gaji yang sangat sedikit. Menurutnya, gaji yang diterimanya pada masa itu—Rp 750 per minggu—hanya bisa dibelikan beras lima kilogram. Saking rendahnya, Rudini merasa bahwa dirinya selama menjadi instruktur adalah seorang "dhuafa dalam baju tentara". Namun, Rudini tetap merasa bahwa dirinya harus tetap bisa menjadi teladan bagi anak didiknya. Beberapa anak didiknya yang mencapai pangkat jenderal adalah Edi Sudradjat, Feisal Tanjung, T. B. Silalahi, dan Basofi Sudirman

Selain menjadi instruktur, Rudini juga menduduki sejumlah jabatan struktural di AMN. Beberapa jabatan yang dipegangnya diantaranya Koordinator Korps Taruna, Komandan Kompi Batalyon Taruna, dan Kepala Seksi II.

Pada tahun 1965, terjadi peristiwa Gerakan 30 September. Rudini tidak terlibat dalam penumpasan gerakan karena jabatannya sebagai instruktur. Dua tahun setelah peristiwa tersebut terjadi, dia dipindahkan ke unit tempur sebagai Wakil Komandan Batalyon (Wadanyon) 401/Banteng Raiders.

Wakil Komandan dan Komandan Batalyon 401/Banteng Raiders

Tugas pertama yang diberikan kepada Rudini sebagai wadanyon adalah melakukan pembersihan internal terhadap pengikut-pengikut PKI yang masih berada di dalam struktur batalyon tersebut. Ia pun harus memecat tiga orang yang terkena pembersihan tersebut.

Jabatan wakil komandan tersebut dipegangnya tidak lama karena beberapa saat kemudian, dia diperintahkan untuk mengikuti Kursus Lanjutan Perwira di Bandung. Setelah lulus dari kursus tersebut, ia dipromosikan menjadi Komandan Batalyon (Danyon) 401/Banteng Raiders. Pemilihannya sebagai danyon didasarkan pada pengalaman tempurnya di Sulawesi Selatan. Surono Reksodimedjo, Panglima Kodam VII/Diponegoro pada saat itu, memang menunjuk danyon berdasarkan pada pengalaman tempurnya.

Pada tahun 1968, beberapa bulan setelah Rudini menjadi danyon, batalyonnya tersebut dijadikan satuan organik dari Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Kepala Staf dan Komandan Brigade Infanteri Linud 18/Kostrad

Setelah tiga tahun menjabat sebagai Komandan Batalyon 401/Banteng Raiders, Rudini diminta untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Setelah lulus dari Seskoad pada tahun 1969, Rudini dinaikkan pangkatnya menjadi letnan kolonel. Setahun kemudian, pada tahun 1970, Rudini dijadikan Kepala Staf Brigade Infanteri Linud 18/Kostrad. Karena brigade infanteri tersebut bermarkas di Malang, Rudini menyatakan bahwa ia merasa "pulang kampung" setelah menjadi kepala staf. Ia memperoleh jatah rumah dinas selama menjadi kepala staf.

Dua tahun kemudian, pada tahun 1972, Rudini dijadikan Komandan Brigade Infanteri Linud 18/Kostrad. Tak lama setelah itu, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel. Selama menjadi komandan batalyon, pada tahun 1973, Rudini dipromosikan untuk mengikuti kursus Manajemen Pertahanan Internasional (International Defense Management) di Montgomery, Amerika Serikat. Setelah mengikuti kursus tersebut, Rudini pulang ke Indonesia pada tanggal 15 Oktober 1973. Beberapa hari kemudian, pada pukul 20.30 tanggal 4 November, Rudini ditelpon melalui interlokal oleh staf dari G-3 Hankam agar segera ke Jakarta. Keesokan harinya, Rudini diberitahu bahwa dia akan memimpin Kontingen Garuda VI dalam rangka gencatan senjata di Timur Tengah.

Komandan Kontingen VI Garuda

Direktur Internal Audit dari Markas Besar PBB di New York PCJ Kien didampingi Kolonel Rudini sedang melakukan pemeriksaan di markas Kontingen Indonesia.
Rudini (kanan) bersama dengan Brigjen Himawan Soetanto (tengah) dan Dubes RI di Mesir Syarif Padmadisastra.

Kontingen yang dipimpin oleh Rudini terdiri dari satu batalyon lengkap. Wakilnya adalah Letkol Atmanto, sedangkan kepala stafnya, Mayor Basofi Sudirman, adalah Komandan Batalyon Infanteri 512 yang merupakan mantan muridnya di AMN. Pemberangkatan kontingen tersebut harusnya dimulai dari tanggal 12 November, namun karena persiapan logistik yang lengkap akhirnya pemberangkatannya ditunda. Gelombang pertama dari kontingen tersebut akhirnya diberangkatkan pada tanggal 26 Desember dipimpin oleh Rudini. Gelombang kedua dipimpin oleh Basofi Sudirman beberapa hari kemudian. Rudini dan pasukannya tiba pada musim dingin dan ditampung di daerah Heliopolis, Kairo, dengan pasukan dari kontingen negara lain.

Pada saat menjalankan tugas di daerah Ismailia, Rudini dengan sopirnya menabrak sebuah bus. Rudini hanya lecet sedikit, namun sopirnya menderita luka parah. Ia pun membawa sopirnya ke sebuah rumah sakit di daerah tersebut.

Setelah sembilan bulan menjalankan tugas sebagai Komandan Kontingen VI, Rudini dan pasukannya akhirnya pulang ke Indonesia. Rudini memimpin kepulangan dari gelombang ketiga pasukannya pada tanggal 2 Oktober 1974.

Panglima dan Kepala Staf Komando Tempur Lintas Udara — Penugasan di Timor Timur

Kepala Staf TNI Angkatan Darat

Rudini berjabat tangan dengan KSAD Amerika Serikat, John A. Wickham Jr. pada sebuah kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat, 10 April 1984.


Karier

Rudini pernah menjabat sebagai Panglima Kodam XIII/Merdeka (1978), Panglima Kostrad (1981) dan Kepala Staf Angkatan Darat (1983-1986). Ia adalah seorang pejabat Orde Baru yang berkiprah dalam era Reformasi. Ia terbebas dari penghujatan yang menerpa pejabat-pejabat Orde Baru pada awal bergulirnya Reformasi dan bahkan dipercaya sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) (1999-2001) yang bertugas sebagai penyelenggara Pemilu pada 7 Juni 1999. Ia kemudian memimpin 52 anggota KPU yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemilihan umum dengan kontestan multipartai (48 partai politik dengan beragam asas dan kepentingan) pertama setelah 44 tahun. Rudini juga adalah anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Kehidupan pribadi

Rudini menikah dengan Oddyana Rudini pada tahun 1959.[19] Pernikahannya melahirkan satu anak laki-laki yang bernama Arif Haristiono dan dua anak perempuan yang bernama Mirna Adriani dan Dewi Nandiri.[15]

Kematian

Ia meninggal dunia pada 21 Januari 2006 karena serangan jantung dalam usia 76 tahun, meninggalkan satu orang istri dan tiga orang anak. Jenderal TNI Rudini dimakamkan di TMP Kalibata

Riwayat pekerjaan

  • Danton Ki Yon 518/Brawijaya (1956)
  • Pelatih Taruna AMN (1959)
  • Wadanyon 401/Banteng Raiders (1967)
  • Danyon 401/Banteng Raiders (1967-1970)
  • Kastaf Brigif Linud 18/Kostrad (1970-1972)
  • Dan Brigif Linud 18/Kostrad (1972-1974)
  • Panglima Komando Tempur Lintas Udara (1974-1975)
  • Kepala Staf Kostrad (1977)
  • Panglima Kodam XIII/Merdeka (1978)
  • Panglima Kostrad (1981)
  • Kepala Staf Angkatan Darat (1983-1986)
  • Menteri Dalam Negeri (1988-1993)
  • Ketua Komisi Pemilihan Umum (1999-2001)

Penghargaan

  • Bintang Mahaputra
  • Satya Lencana Gerakan Operasi Militer V
  • Satya Lencana Santi Dharma
  • Satya Lencana Seroja
  • Satya Lencana Unicef
  • Satya Lencana Kesetiaan 8 Tahun
  • Satya Lencana Kesetiaan 16 tahun
  • Satya Lencana Kesetiaan 24 tahun
  • Satya Lencana Penegak
  • Satya Lencana Dwidya Sistha

Bibliografi

Referensi

  1. ^ "Leadership Profile: Rudini Poespohandojo" (PDF). ASEAN Forecast. 6 (2). Februari 1986. hlm. 24. Diakses tanggal 17 Maret 2021. 
  2. ^ Hendrajit et al. 2005, hlm. 5.
  3. ^ Hendrajit et al. 2005, hlm. 7.
  4. ^ Hendrajit et al. 2005, hlm. 9.
  5. ^ a b c Hendrajit et al. 2005, hlm. 11.
  6. ^ Hendrajit et al. 2005, hlm. 12.
  7. ^ Hendrajit et al. 2005, hlm. 14.
  8. ^ a b Setya P., Galih. "Rudini". Merdeka. Diakses tanggal 17 Maret 2021. 
  9. ^ Hendrajit, Abriyanto & Hasibuan 2005, hlm. 15.
  10. ^ Hendrajit, Abriyanto & Hasibuan 2005, hlm. 15-16.
  11. ^ Hendrajit et al. 2005, hlm. 19.
  12. ^ Hendrajit et al. 2005, hlm. 20.
  13. ^ Hendrajit et al. 2005, hlm. 22.
  14. ^ Hendrajit, Abriyanto & Hasibuan 2005, hlm. 30.
  15. ^ a b c d e Nasution, Amran; Thaha, Ahmadie (28 Januari 1989). "Ia Bukan Si Anak Yang Hilang". Tempo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Maret 2021. Diakses tanggal 18 Maret 2021. 
  16. ^ Hendrajit, Abriyanto & Hasibuan 2005, hlm. 47–48.
  17. ^ Hendrajit, Abriyanto & Hasibuan 2005, hlm. 48.
  18. ^ Hendrajit, Abriyanto & Hasibuan 2005, hlm. 50.
  19. ^ The International Who's Who, 1997-98 (dalam bahasa Inggris). Europa Publications. 1997. hlm. 1300. ISBN 978-1-85743-022-6. 

Pranala luar

Jabatan pemerintahan
Jabatan baru Ketua Komisi Pemilihan Umum
1999–2001
Diteruskan oleh:
Nazaruddin Sjamsuddin
Jabatan politik
Didahului oleh:
Soepardjo Rustam
Menteri Dalam Negeri Indonesia
1988–1993
Diteruskan oleh:
Yogie Suardi Memet
Jabatan militer
Didahului oleh:
Poniman
Kepala Staf TNI Angkatan Darat
1983–1986
Diteruskan oleh:
Try Sutrisno
Didahului oleh:
Muhammad Ismail
Pangkostrad
24 Januari 198124 Mei 1983
Diteruskan oleh:
Soeweno