Lompat ke isi

Estetika agama: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membuat halaman berisi 'Puja dan puji bagi Allah sendiri. Penyempurna segala alam perwujudan/Penuh kasih, penuh ampunan/Raja Hari Keputusan/Cuma Pada-Mu kami semua sembah menghadap/Cuma pada-Mu kami semua palingkan harap/Bimbinglah kami ke lebuh lempang/Menjejaki siapa telah Kauberi hati/Buan yang Kaudera dengan kemurkaan/Bukan yang hilang jalan (Surat al-Fatihah yang dipuisian oleh Muhammad Diponegoro dalam Ulumul Qur’an no.1. VII, 1996) Estetika adalah salah satu penanda penting da...'
 
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 18: Baris 18:


Estetika tentu saja tidak bisa lepas dari tokoh besarnya. Merekalah yang membuat estetika menemukan tempatnya dalam ruang-ruang kefilsafatan. Kita mulai dari Plato, satu dari tiga filsuf terbesar selain Sang Maha Guru Socreates dan Sang Murid, Aristoteles. Plato adalah filsuf yang “bemain-main” pada dunia “Idea”. Makanya, berkait estetika, cintalah yang menjadi sumber keindahan. Cinta di sini adalah cinta diserap secara maksimal,
Estetika tentu saja tidak bisa lepas dari tokoh besarnya. Merekalah yang membuat estetika menemukan tempatnya dalam ruang-ruang kefilsafatan. Kita mulai dari Plato, satu dari tiga filsuf terbesar selain Sang Maha Guru Socreates dan Sang Murid, Aristoteles. Plato adalah filsuf yang “bemain-main” pada dunia “Idea”. Makanya, berkait estetika, cintalah yang menjadi sumber keindahan. Cinta di sini adalah cinta diserap secara maksimal,

Level keindahan Plato, seperti diurai Pak mFahruddin, dimulai dari yang fisik (tubuh, tampilan luar), selanjutnya adalah intersubjektif (mencintai tubuh yang lain), kemudian spiritual, dan terakhir keindahan yang tak terikat aspek jasmani. Keindahan yang non-jasmani ini terkait dengan ide, misalnya sifat seseorang yang toleran dengan sesama, dan lain sebagainya.

Sementara Aristoteles setia dengan konsep realismenya. Sebagaimana kita tahu, ia adalah anti-tesis dari gurunya Plato yang mengatakan realitas itu adalah “idea”. Dalam estetika ia mengatakan bahwa seni adalah mimesis (tiruan) dari alam, benda, dan manusia. Perlu digarisbawahi, tiruan di sini adalah penciptaan yang baru, bukan meniru yang sudah ada.


{{sedang ditulis}}
{{sedang ditulis}}

Revisi per 4 Juli 2021 14.29

Puja dan puji bagi Allah sendiri. Penyempurna segala alam perwujudan/Penuh kasih, penuh ampunan/Raja Hari Keputusan/Cuma Pada-Mu kami semua sembah menghadap/Cuma pada-Mu kami semua palingkan harap/Bimbinglah kami ke lebuh lempang/Menjejaki siapa telah Kauberi hati/Buan yang Kaudera dengan kemurkaan/Bukan yang hilang jalan (Surat al-Fatihah yang dipuisian oleh Muhammad Diponegoro dalam Ulumul Qur’an no.1. VII, 1996)

Estetika adalah salah satu penanda penting dalam filsafat. Tidak sah kiranya bicara filsafat jika bidang yang satu tidak dibincangkan. Ia terlingkup ke dalam aksiologi selain etika. Kehidupan manusia tentunya juga tak bisa lepas dari estetika. Bahkan saking pentingnya bidang yang berkutat pada indah atau tidaknya sesuatu ini, ia dianggap sebagai puncak dari agama. Agama manjadi sempurna jika estetika termaktub di dalamnya. Penjelasannya: tujuan agama adalah etika, dan tujuan etika tak lain adalah demi rasa nyaman, aman, serta tentram. Nah, rasa di sini adlah domainnya estetika (Fahruddin, Faiz, kajian filsafat Masjid Jenderal Sudirman/MJS). Dengan bahasa lain, penilaian indah natau tidaknya sesuatu itu pasti akan terus ada pada diri manusia karena potensi yang dimiliki manusia itu sendiri, bisa indra, akal ataupun hati nurani.

Estetika dalam ranah filsafat memancangkan tokoh-tokoh besarnya, di antaranya ada Shaftesbury, Reid, Hume, Socrates, juga Kant (Suseno, 2006). Yang lain Plato, atau juga mengulas bidang yang juga disebut filsafat keindahan ini. Buku pertama yang mengungkai estetika adlah karya Baum Garten, Aesthetica < 1750 > (Fahruddin Faiz, kajian filsafat MJS).

Estetika sering disebut juga dengan filsafat seni. Ya, kita tahu seni adalah hasil oleh rasa seorang seniman. Logika modern memilih seni dengan sangat reduktif. Seni dikerucutkan menjadi seni rupa (lukis dan patung), seni pertunjukan (musik, film, dan lain-lain), seni tari, dan sastra. Tentu saja banyak varian lain dari seni, misal yang kita jumpai di daerah-daerah seluruh Nusantara. Seni di pelosok negeri sungguh sangat kaya, seni anyam saja, misalnya, ditemukan yang dianyam juga beragam bisa pandan, rotan, pohon terap, dan lainnya. Belum lagi beragam ritual lain, yang itu tentu saja mengandung unsur seni di dalamnya.

Hari ini, kita sebagai penikmat seni pasti sangat terhibur dengan hasil olah sastra model Pramoedya Ananta Toer Sapardi Djoko Damono, Dewi Lestari, atau torehan-torehan ala Tere Liye. Dalam seni lukis, kita juga pasti kagum dengan sapuan di atas kanvas ala Affandi, Sudjojono, atau Joko Pekik. Begitu juga dengan kesehatan kita dari pagi hingga menjelang tidur, sebagian dari kita pasti tidak bisa lepas dari yang namanya musik. Sehingga, mengalunkan lagu-lagu Peterpan, Taylor Swift, atau Syahrini di gadget yang kita pakai. Atau bagi yang sedang jatuh cinta, berduaan di gedung bioskup adalah solusi, sebelum target mengena. Di sinilah letak betapa seni adalah hidup itu sendiri.

Nah, seni tidak bisa dilepaskan dari keindahan. Dalam kajian filsafat MJS, Pak Fahruddin menjelaskan definisi keindahan dari beberapa tokoh filsafat. Aristoteles, misalnya, mengatakan keindahan adalah suatu yang baik dan menyenangkan. Kaum Sophis mengatakan keindahan adalah apapun yang membuat senang. Sementara Hegel menyatakan, keindahan adalah identitas yang sempurna dari yang ideal dan nyata. Ditambahkan Pak Fahruddin, jika Ketuhanan Yang Maha Esa dalam filsafat bangsa kita belum mengejawantah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, berti itu belumlah indah.

Keindahan, seperti dijelaskan dosen berperawakan kecil ini, ada parameternya, di antaranya: unity (kesatuan, keutuhan), harmony (sebagai contoh adalah keselarasan nada), symetry (terpadu, misal merah dan putih), balance, dan contrast (berbeda tapi saling mendukung). Selain parameter, ada pula nilai dari sebuah keindahan. Ada nilai intrinsik, dan ada nilai ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada pada bandanya, sementara ekstrinsik ada pada aspek luarnya. Misalnya, si A menyukai sebuah buku karena buku tersebut berkaitan dengan seseorang di masa lalunya.

Nilai keindahan yang lain, ada juga yang disebut dengan nilai intelektual. Nilai ini berkaitan dengan teori tentang obyek yang diserap. Misalnya, sebuah patung dikatakan indah karena berkait dengan ulasan di buku tentang patung tersebut. Ada pula yang disebut nilai katarsis. Hal ini berkaitan dengan psikis seseorang, dan yang terakhir nilai ekspresi. Biasanya berkaitan dengan kepuasan senimannya, atau si pembuat karya.

Berbicara tentang estetika, tidak terlepas juga dari sejarah. Karena bagaimanapun estetika tidak muncul di ruang hampa. Ia berkutat dengan ruang dan waktu. Ia hadir dan berkelindan dengan manusia yang dianggap sebagai “pusat” kosmos. Kata Pak Fahruddin, di masa klasik, estetika berfokus pada si subyek. Masa ini, senimanlah yang menjadi pembicaraan. Sedang di era modern, si subyek digantikan oleh obyek. Obyek di sini maksudnya adalah karya si seniman, dan di zaman posmo, subyek sekaligus obyek dipadupadankan. Tidak ada lagi pemilihan antara subyek dan obyek.

Estetika tentu saja tidak bisa lepas dari tokoh besarnya. Merekalah yang membuat estetika menemukan tempatnya dalam ruang-ruang kefilsafatan. Kita mulai dari Plato, satu dari tiga filsuf terbesar selain Sang Maha Guru Socreates dan Sang Murid, Aristoteles. Plato adalah filsuf yang “bemain-main” pada dunia “Idea”. Makanya, berkait estetika, cintalah yang menjadi sumber keindahan. Cinta di sini adalah cinta diserap secara maksimal,

Level keindahan Plato, seperti diurai Pak mFahruddin, dimulai dari yang fisik (tubuh, tampilan luar), selanjutnya adalah intersubjektif (mencintai tubuh yang lain), kemudian spiritual, dan terakhir keindahan yang tak terikat aspek jasmani. Keindahan yang non-jasmani ini terkait dengan ide, misalnya sifat seseorang yang toleran dengan sesama, dan lain sebagainya.

Sementara Aristoteles setia dengan konsep realismenya. Sebagaimana kita tahu, ia adalah anti-tesis dari gurunya Plato yang mengatakan realitas itu adalah “idea”. Dalam estetika ia mengatakan bahwa seni adalah mimesis (tiruan) dari alam, benda, dan manusia. Perlu digarisbawahi, tiruan di sini adalah penciptaan yang baru, bukan meniru yang sudah ada.