Kerajaan Sekar: Perbedaan antara revisi
Menambahkan templat penanda |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Dikembalikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Tambah referensi|date=April 2022}}{{Gaya penulisan}}{{Yatim}} |
{{Tambah referensi|date=April 2022}}{{Gaya penulisan}}{{Yatim}} |
||
'''Kerajaan Sekar''' merupakan satu di antara sembilan kerajaan yang masih eksis di tanah [[Papua]]. Delapan kerajaan lainnya adalah Ati-Ati, Patipi, Rumbati, Papagar, Argumi, Wertuar, Namatota, dan Penisi.<ref>[https://batampos.co.id/2018/01/14/mengenal-rustuty-rumagesan-satu-satunya-perempuan-yang-bertakhta-di-papua/#:~:text=Kerajaan%20Sekar%20merupakan%20satu%20di,Fak-Fak%2C%20Papua%20Barat. https://batampos.co.id/2018/01/14/mengenal-rustuty-rumagesan-satu-satunya-perempuan-yang-bertakhta-di-papua/#:~:text=Kerajaan%20Sekar%20merupakan%20satu%20di,Fak-Fak%2C%20Papua%20Barat.]</ref> Kerajaan ini terletak di semenanjung Onin, Teluk Berau, kab. [[Fakfak, Fakfak|Fak Fak]], provinsi [[Papua Barat]]. |
'''Kerajaan Sekar''' merupakan satu di antara sembilan kerajaan yang masih eksis di tanah [[Papua]]. Delapan kerajaan lainnya adalah [[Ati-Ati]], [[Patipi]], [[Rumbati]], [[Papagar]], [[Argumi]], [[Wertuar]], [[Namatota]], dan [[Penisi]].<ref>[https://batampos.co.id/2018/01/14/mengenal-rustuty-rumagesan-satu-satunya-perempuan-yang-bertakhta-di-papua/#:~:text=Kerajaan%20Sekar%20merupakan%20satu%20di,Fak-Fak%2C%20Papua%20Barat. https://batampos.co.id/2018/01/14/mengenal-rustuty-rumagesan-satu-satunya-perempuan-yang-bertakhta-di-papua/#:~:text=Kerajaan%20Sekar%20merupakan%20satu%20di,Fak-Fak%2C%20Papua%20Barat.]</ref> Kerajaan ini terletak di [[semenanjung Onin]], [[Teluk Berau]], kab. [[Fakfak, Fakfak|Fak Fak]], provinsi [[Papua Barat]]. |
||
Sejak 700 tahun lalu Kerajaan Sekar dan kerajaan lainnya telah berdiri serta tersohor sebagai penyebar agama Islam yang memiliki aturan tegas dalam berbagai hal, termasuk berpakaian.[https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/11/27/149245-kerajaan-sekar-salah-satu-perintis-penyebaran-islam-di-papua] |
Sejak 700 tahun lalu Kerajaan Sekar dan kerajaan lainnya telah berdiri serta tersohor sebagai penyebar agama Islam yang memiliki aturan tegas dalam berbagai hal, termasuk berpakaian.[https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/11/27/149245-kerajaan-sekar-salah-satu-perintis-penyebaran-islam-di-papua] |
Revisi per 9 April 2022 13.13
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (April 2022) |
Gaya atau nada penulisan artikel ini tidak mengikuti gaya dan nada penulisan ensiklopedis yang diberlakukan di Wikipedia. |
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. |
Kerajaan Sekar merupakan satu di antara sembilan kerajaan yang masih eksis di tanah Papua. Delapan kerajaan lainnya adalah Ati-Ati, Patipi, Rumbati, Papagar, Argumi, Wertuar, Namatota, dan Penisi.[1] Kerajaan ini terletak di semenanjung Onin, Teluk Berau, kab. Fak Fak, provinsi Papua Barat.
Sejak 700 tahun lalu Kerajaan Sekar dan kerajaan lainnya telah berdiri serta tersohor sebagai penyebar agama Islam yang memiliki aturan tegas dalam berbagai hal, termasuk berpakaian.[1]
Sejarah
Sejarah 1
Tahun 1365, daerah Wwanin/Onin (Kabupaten Fakfak) merupakan daerah pengaruh mandala Kerajaan Majapahit, kawasan ini mungkin bagian dari koloni kerajaan Hindu di Kepulauan Maluku yang diakui ditaklukan Majapahit.
Tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan di mana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan).
Tahun 1660, VOC memang sempat menandatangani perjanjian dengan sultan Tidore di mana Tidore mengakui protektorat Belanda atas penduduk Irian barat. Tidore sebenarnya tidak pernah menguasai Irian. Jadi protektorat Belanda hanya merupakan fiksi hukum.
Sejak abad ke-16, selain di Kepulauan Raja Ampat yang termasuk wilayah kekuasaan Sultan Bacan dan Sultan Ternate, kawasan lain di Papua yaitu daerah pesisir Papua dari pulau Biak (serta daerah sebaran orang Biak) sampai Mimika merupakan bagian dari wilayah mandala Kesultanan Tidore. Tidore menganut adat Uli-Siwa (Persekutuan Sembilan), sehingga provinsi-provinsi Tidore seperti Biak, Fakfak dan sebagainya juga dibagi dalam sembilan distrik (pertuanan).
Tahun 1826 Pieter Merkus, gubernur Belanda untuk Maluku, mendengar kabar angin bahwa Inggris mulai masuk pantai Irian di sebelah timur Kepulauan Aru. Dia mengutuskan rombongan untuk menjajagi pantai tersebut sampai Pulau Dolak. Dua tahun kemudian, Belanda membangun Fort Du Bus, yang sekarang menjadi kota Lobo, dengan tujuan utama menghadang kekuatan Eropa lain mendarat di Irian barat. Fort Du Bus ditinggalkan tahun 1836.
Tahun 1872, Tidore mengakui kekuasaan Kerajaan Belanda atasnya.
Belanda baru kembali ke Irian tahun 1898. Irian dibagi antara Belanda, Jerman (bagian utara Irian timur) dan Inggris (bagian selatan Irian timur). Garis busur 141 diakui sebagai batas timur Irian barat. Pada 1898 – 1949, Papua bagian barat dikenal sebagai Nugini Belanda.
Sejarah 2
Sebelum penegakan Pemerintahan Kolonial Belanda di Nieuw Guinea bagian barat (sekarang Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat), di daerah pantai barat Papua terdapat beberapa daerah kerajaan. Menurut Mansoben, pada awalnya di Semenanjung Onin wilayah pantai barat Papua terdapat tiga kerajaan tradisional, yaitu:
- Kerajaan Rumbati,
- Kerajaan Fatagar
- Kerajaaan Atiati.
Namun, dalam perkembangannya muncul kerajaan-kerajaan kecil yang pada mulanya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Rumbati, tetapi kemudian berhasil memperoleh pengakuan sebagai kerajaan yang berdiri sendiri terutama setelah penegakan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah itu.
Adapun kerajaan-kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Patipi, Kerajaan Sekar, Kerajaan Wertuar dan Kerajaan Arguni. Dalam memori serah terima jabatan F.H. Dumas disebutkan bahwa di Semenanjung Onin terdapat beberapa kerajaan yaitu: Kerajaan Rumbati, Kerajaan Namatota, Kerajaan Atiati, Kerajaan Fatagar, Kerajaan Arguni, dan Kerajaan Sekar. Keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Tidore di wilayah itu. Para raja tersebut menjalankan kekuasaan atas nama Sultan Tidore, sebab Sultan Tidore yang menganugerahkan gelar raja kepada para raja yang berkuasa di Semenanjung Onin.
Yang memberi gelar raja kepada para raja di daerah pantai barat Papua adalah Sultan Tidore. Meskipun mereka diberi gelarraja, tetapi kenyataannya mereka hanyalah agen dagang dan pemungut pajak di wilayah kekuasaannya atas perintah dari Sultan Tidore. Hal ini berarti para raja di wilayah itu berperan sebagai makelar dagang antara penduduk setempat dan Sultan Tidore. Dengan demikian, fungsi raja yang terutama bukan di bidang politik, melainkan di bidang ekonomi untuk menunjang kepentingan Sultan Tidore.
Sultan Tidore membangun hubungan dagang dengan para raja di daerah pantai barat Papua melalui perantaraan raja Lilintah (Misool). Sultan Tidore berupaya menjalin hubungan dagang dengan orang-orang yang dianggap menonjol di daerah itu. Mereka diangkat menjadi kepala adat oleh atau atas nama Sultan Tidore. Setelah pengangkatan itu, para kepala adat itu dimanfaatkan untuk memperluas kekuasaan dan menambah penghasilan Sultan Tidore.
Pengangkatan para raja itu berkaitan dengan kepentingan ekonomi dari Sultan Tidore. Konsekuensi dari pengangkatan raja-raja di Semenanjung Onin oleh Sultan Tidore adalah para raja dan penduduknya ditempatkan di bawah kekuasaan Sultan Tidore. Oleh karena itu, penduduk di Semenanjung Onin diwajibkan untuk membayar upeti kepada sultan Tidore.
Setelah penegakan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda pada 1898, pengaruh Sultan Tidore terhadap raja-raja di pantai barat Nieuw Guinea (Papua) perlahan-lahan berkurang. Para raja ditempatkan di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya, kewajiban para raja tersebut berakhir untuk membayar upeti kepada Sultan Tidore.
Meskipun kekuasaan Sultan Tidore telah berakhir di wilayah para raja di Semenanjung Onin, akan tetapi relasi kekerabatan antara para raja dengan penduduk di wilayah kekuasan Sultan Tidore belum berakhir. Relasi kekerabatan itu terjalin melalui ikatan perkawinan.[2]