Lompat ke isi

Geger Cilegon 1888: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Perlawanan: Noref section
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Asal Mula: Ki Wasyid
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 6: Baris 6:
{{Noref section}}
{{Noref section}}
=== Asal Mula ===
=== Asal Mula ===
Perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi oleh kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan [[Kolonial Belanda|Belanda]] di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak [[Letusan Krakatau 1883|meletusnya Gunung Krakatau]] di [[Selat Sunda]] ([[23 Agustus]] [[1883]]) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan [[Anyer]], [[Merak, Sukamulya, Tangerang|Merak]], [[Caringin, Labuan, Pandeglang|Caringin]], Sirih, [[Pasauran]], Tajur, dan [[Carita, Carita, Pandeglang|Carita]]. Selain itu, peristiwa lain seperti musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) memperparah penderitaan rakyat.<ref>{{Cite web|date=2021-04-17|title=Pemburuan Terhadap Guru Agama|url=https://historia.id/agama/articles/pemburuan-terhadap-guru-agama-DbWKm|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2022-04-24}}</ref>
Perlawanan yang dikobarkan [[Ki Wasyid]] bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi oleh kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan [[Kolonial Belanda|Belanda]] di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak [[Letusan Krakatau 1883|meletusnya Gunung Krakatau]] di [[Selat Sunda]] ([[23 Agustus]] [[1883]]) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan [[Anyer]], [[Merak, Sukamulya, Tangerang|Merak]], [[Caringin, Labuan, Pandeglang|Caringin]], Sirih, [[Pasauran]], Tajur, dan [[Carita, Carita, Pandeglang|Carita]]. Selain itu, peristiwa lain seperti musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) memperparah penderitaan rakyat.<ref>{{Cite web|date=2021-04-17|title=Pemburuan Terhadap Guru Agama|url=https://historia.id/agama/articles/pemburuan-terhadap-guru-agama-DbWKm|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2022-04-24}}</ref>


Di tengah peristiwa ini, kebijakan [[Hindia Belanda|Pemerintah Kolonial Belanda]] yang mewajibkan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit meresahka warga. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).
Di tengah peristiwa ini, kebijakan [[Hindia Belanda|Pemerintah Kolonial Belanda]] yang mewajibkan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit meresahka warga. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).

Revisi per 20 Agustus 2022 04.50

Geger Cilegon adalah peristiwa perlawanan bersenjata rakyat Banten terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888.[1]

Latar belakang

Asal Mula

Perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi oleh kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan Belanda di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu, peristiwa lain seperti musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) memperparah penderitaan rakyat.[2]

Di tengah peristiwa ini, kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang mewajibkan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit meresahka warga. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).

Gerakan Ki Wasyid

Ada anekdot yang disebutkan terjadi di desa Lebak Kelapa. Di sana terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat yang dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asalkan warga memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Akan tetapi, fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Hal inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dituduh melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.[3]

Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkannya menara musala di Kampung Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat mengganggu ketenangan karena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh. Asisten Residen Banten kemudian menginstruksikan kepada patih lokal agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras.

Di dalam masyarakat kolonial, terdapat ketidakcocokan ekstrem antara aspek-aspek tertentu dari praktik keagamaan tradisional dan lembaga-lembaga kolonial yang menyebabkan kekhawatiran di kalangan pribumi dan merasa bahwa kebudayaan mereka sendiri akan mengalami kemunduran. Pembela-pembela tradisi ini menginginkan dipulihkannya tatanan tradisional dan terus mengobarkan perlawanan terhadap kaum penjajah.

Perkembangan ini mengisyaratkan bahwa gerakan keagamaan berusaha menegakkan hak aspirasi politik. Hal ini disebabkan adanya suatu ketersingkiran politik dan keinginan untuk kembali memperkuat tradisi tradisional. Dilihat dari sisi ini, gerakan kebangkitan agama di Banten dapat diidentifikasikan sebagai sebuah gerakan religio-politik, yang menanmpung berbagai kelompok sosial.

Elite agama mendapatkan peran penting untuk memimpin gerakan pemberontakan 1888, kepribadian mereka yang kharismatik menjadikan mereka sebagai salah satu unsur penting dalam usaha membina pertumbuhan pergerakan. Salah satu kekuatan utama gerakan pemberontakan petani 1888 adalah elite agama, terletak pada fakta bahwa gerakan itu menggunakan tarekat sufi (Qadiriyah) sebagai landasan organisasinya. Disiplin dari tarekat bukan hanya mempunyai sifat mengikat terhadap pengikutnya, akan tetapi juga menanamkan semangat revolusioner dalam diri mereka yang kemudian didakwahkan kepada masyarakat.

Pada tahun 1872-1876, Haji Abdul Karim menyebarkan kegiatan tarekat Qadiriyah di Banten, dengan cara berkeliling ke pelosok-pelosok. Haji Abdul Karim dianggap sebagai Kyai terbesar di daerah Banten dan mendapat gelar Kyai Agung, di samping ada juga yang menganggapnya sebagai Wali Allah. Pada tahun 1876, dia diangkat menjadi pengganti Syekh Chatib Sambas, pemimpin tertinggi tarekat Qadiriyah di Mekkah. Beliau saat berangkat ke Arab, mengatakan kepada murid-muridnya, bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih berada di bawah kekuasaan asing.

Pada tahun 1883, K.H. Tubagus Ismail pulang dari Mekkah. Sebagai keturunan Sultan Banten dia dianggap sebagai calon “Wali Allah”. Dengan kehadirannya ini maka dorongan untuk mendirikan kembali kesultanan Banten pun muncul kembali. Pada tahun 1884, berlangsung perundingan pertama yang membicarakan rencana konkret untuk mengadakan pemberontakan bersenjata. Perundingan itu terjadi di rumah Haji Wasid, yang dipimpin oleh K.H Tubagus Ismail.

Dalam satu pertemuan di rumah Haji Wasid di Beji diputuskan untuk mencari pengikut dikalangan para murid. 26 Pertemuan-pertemuan diadakan diberbagai tempat yang dihadiri oleh bagian terbesar pemimpin-pemimpin pemberontakan setempat. Guru-guru tarekat ditugaskan untuk menyebarkan gagasan itu dan mencari pengikut. Pejabat-pejabat Eropa merasa cemas melihat kegiatan yang sangat meningkat dalam kehidupan agama rakyat, akan tetapi mereka ditenangkan oleh pejabat-pejabat Banten yang tidak melihat hal-hal yang membahayakan dalam manifestasi-manifestasi keagamaan itu.

Pertemuan-pertemuan yang paling penting diantara anggota-anggota komplotan menggunakan kedok pesta rakyat, seperti pesta perkawinan atau pesta sunatan. Pertemuan-pertemuan yang lebih kecil menggunakan kedok pertemuan zikir. Mereka begitu pandai merahasiakan rencana-rencana komplotan mereka sehingga selama bertahun-tahun pemerintah kolonial tidak dapat menemukan fakta-fakta yang bisa dijadikan alas an untuk menangkap mereka.

Dalam empat bulan terakhir tahun 1887 kegiatan anggota-anggota komplotan sangat meningkat, mereka adakan pertemuan-pertemuan melakukan perjalanan dan mempropagandakan perjuangan mereka di satu pihak dan melatih murid-murid mereka dalam cara-cara bertempur di lain pihak. Menjelang waktu itu, semangat pemberontakan sudah mencekam anggota-anggota tarekat. Mereka sependapat bahwa gerakan mereka sudah mencapai banyak kemajuan, dan mereka memutuskan untuk memperluas persiapan-persiapan pemberontakan dan mengikutsertakan orang-orang di luar tarekat.

Pada 29 September 1887, kiai-kiai Banten mengadakan pertemuan yang kedua dala tempo kurang dari sebulan di Beiji, sebagai tamu haji Wasyid. Kali ini yang pertama dibicarakan adalah masalah mengumpulkan senjata. Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selam tiga bulan terakhir tahun 1887 dan pertengahan pertama tahun 1888, ditandai oleh faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Pelatihan pencak (silat) dipergiat ;
  2. Pengumpulan dan pembuatan senjata ;
  3. Propaganda di luar Banten dilanjutkan.

Kegiatan-kegiatan lain diteruskan, seperti menghasut rakyat dengan jalan membakar semangat mereka dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan. Kegiatan-kegiatan gerakan benar-benar ditingkatkan, dan salah satu buktinya yang nyata adalah seringnya diadakan pertemuan oleh pemimpin-pemimpin pemberontak hampir setiap minggu. Haji Abdulsalam ditugaskan untuk menyediakan senjata-senjata gelap, ia dibantu oleh Haji Dulgani dan Haji Usman.

Salah satu pertemuan penting sebelum pemberontakan, ialah pertemuan pada 12 Ruwah atau 22 April 1888, yang diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir jamuan, 300-an orang tamu berkumpul di masjid, dimana para kiai dan murid-murid mereka bersumpah:

  1. bahwa mereka akan ambil bagian dalam perang sabil;
  2. bahwa mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir;
  3. bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar.

Pada 15 Juni 1888, atau hari kelima bulan Syawal, beberapa pemimpin terkemuka bertemu di rumah Haji Wasid di Beji, diamana mereka membicarakan mengenai tanggal dimulainya penyerangan. Mereka mencapai kata sepakat bahwa pemberontakan akan dimulai pada 12 Juli. Akan tetapi setelah pertemuan 22 Juni 1888, tanggal pemberontakan diubah menjadi 9 Juli 1888. Hal ini dikarenakan Haji Wasid dan Haji Iskak menyerukan agar pemberontakan segera dilaksanakan, untuk mengantisipasi kemungkinan rencana mereka tercium pejabat-pejabat pemerintahan.

Perlawanan

Perlawanan besar pun dilakukan. Perlawanan ini dipimpin oleh Ki Tubagus Ismail dan KH. Wasyid dan melibatkan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Insiden ini dilakukan untuk menyerang orang-orang Belanda yang tinggal di Cilegon.

Pada hari Minggu tanggal 8 Juli, Cilegon menyaksikan sebuah arak-arakan berpakaian putih melalui jalan-jalannya. Arak-arakan itu dimulai dari rumah Haji Akhiya dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen. Para Kiai dan murid-murinya memakai pakaian putih dan sepotong kain putih diikat di kepala mereka. Kemudian, pada malam harinya barisan pejuang terus bertambah besar. Bersenjata golok dan tombak, dan dipimpin oleh Haji Wajid dan Haji Tubagus Ismail, yang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja, sasaran awal dari penyerangan.

Di Desa Saneja itulah Haji Tubagus Usmail memimpin pasukannya pada Minggu malam untuk melakukan serangan pertama. Ia memimpin sejumlah besar partisan, terutama dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber. Diperkuat dengan bala bantuan dari Saneja dan desa sekitarnya, kaum pemberontak bergerak menuju daerah tempat tinggal pejabat Cirebon. Rumah Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen, merupakan sasaran serangan yang pertama. Tidak diketahui apa karena memang rencana awal seperti itu atau hanya karena ada faktor lain, sehingga rumah Dumas menjadi sasaran awal penyerangan. Pada saat penyerangan ke rumah Dumas, Haji Tubagus Ismail membawa pasukan berjumlah sekitar 100 orang.

Pemimpin utama operasi ini adalah Haji Wasid. Atas perintahnya, sebagian kaum pemberontak menyerbu penjara untuk membebaskan semua tahanan, sebagian lagi akan menyerang untuk membebaskan semua tahanan, sebagian lagi akan menyerang kepatihan, dan sebagian lainnya akan bergerak menuju rumah asisten residen. Sementara kaum pemberontak berkumpul, pejabat-pejabat pamong praja dan keluarganya berusaha menyelamatkan diri dalam suasanan ketakutan.

Pada pagi hari yang sama, sebagian dari pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim bergerak menuju penjara, kaum pemberontak berhasil memasuki penjara dengan paksa, dan segera membebaskan semua tahanan. Mereka berhasil membebaskan 20 tahanan, yang kemudian langsung bergabung dengan kaum pemberontak. Kekerasan dan kekacauan berkecamuk sepanjang hari itu, Cilegon menjadi tempat pertumpahan darah antara orang-orang Islam dengan pejabat-pejabat pemerintahan kolonial pada waktu itu. Hampir semua pejabat terkemuka di Cilegon jatuh sebagai korban dari senjata kaum pemberontak. Di sini, kekuasaan asing benar-benar berhadapan dengan kekuatan pemberontak yang sudah terorganisir selama berbulan-bulan.

Pada saat itu Jaksa dan ajun kolektor telah ditawan, pemberontak kemudian membawa mereka bersama dengan wedana dan kepala penjara, ke gardu Jombang Wetan yang merupakan markas Haji Wasid dan Haji Iskak. Wedana, jaksa, ajun kolektor dan kepala penjara kemudian dibawa ke alun-alun untuk dieksekusi. Puncaknya adalah pengejaran terhadap asisten residen Gubbels, yang baru saja kembali dari Anyer. Pengejaran terhadap Gubbels, berakhir setelah kaum pemberontak menyerbu ke rumahnya dan menyergapnya. Setelah Gubbels tewas mayatnya kemudian diseret ke luar rumah dan disambut dengan sorakan kemenangan. Di sini terlihat adanya kebencian rakyat yang sangat mendalam terhadap pamong praja. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.

Peristiwa yang menjadi titik balik dari pemberontakan ini, yang menyebabkan jatuhnya mental psikis para pemberontak adalah peristiwa pertempuran Toyokerto. Petang hari tanggal 9 Juli, kaum pemberontak diliputi semangat yang tinggi setelah berhasil menumpas para pamong praja di Cilegon. Dengan kemenangan itu mereka merasa yakin bahwa tidak lama lagi mereka akan berada di Serang.

Pada pagi harinya, pejabat-pejabat Serang mulai menyadari ancaman tersebut, mereka memutuskan untuk megirim sepasukan tentara dengan 28 senjata api untuk memulihkan ketertiban di Cilegon. Bupati dan Kontrolir Serang juga pergi kesana, bersama dengan Letnan van der Star. Ketika Bupati beserta rombongannya melakukan perjalanan dari Serang, mereka tiba-tiba dihadang pemberontak yang berjumlah ratusan orang.

Bupati berusaha membujuk mereka untuk membatalkan rencana mereka, akan tetapi usaha itu sia-sia. Bupati kemudian mengatakan jika mereka tidak bubar dan meletakkan senjata, maka tentara akan melepaskan tembakan. Namun peringatan tersebut tidak digubris, justru pemberontak melepaskan tembakan ke arah Bupati dan Kontrolir. Karena kondisi yang dirasa semakin tidak kondusif, maka tentara melepaskan tembakan ke pemberontak.

Bentrokan tersebut menewaskan sembilan pemberontak dan melukai yang lainnya. Sisanya melarikan diri sambil berlindung di belakang pepohonan. Kaum pemberontak mengalami satu pukulan hebat ketika mereka menyadari bahwa, walaupun mereka yakin akan kekebalan terhadap peluru musuh, akan tetapi bentorakan dengan pemerintah berakhir dengan tewasnya sejumlah rekan seperjuangan mereka. Selain itu, mereka juga sangat terkejut ketika untuk pertama kalinya melihat senapan jenis baru, yakni senapan repetisi.

Efeknya adalah suatu psikosis yang meluas di kalangan pemberontak, yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap kecewa. Sebagai akibatnya, mereka kehilangan semangat untuk meneruskan perjuangan guna mencapai tujuan utama pemberontakan. Sesungguhnya moril kaum pemberontak, dapat dikatakan sudah dipatahkan. Dengan tercerai-berainyanya pasukan induk mereka setelah bentrokan di Toyomerto itu, pemberontakan mulai surut.

Pada pagi hari itu juga, sepasukan tentara dari Batavia yang berkekuatan satu batalion, mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu yang sama, sebuah skuadron kavaleri juga dalam perjalanan menuju Serang. Untuk menumpas pemberontakan yang hampir padam itu, dikirimkan pasukan-pasukan ekspedisike berbagai penjuru. Mereka ditugaskan untuk menangkap dan mengambil tindakan terhadap kaum pemberontak.

Operasi menegakkan hukum benar-benar berjalan lancar setelah pasukan ekspedisi tiba di daerah itu. selama tiga minggu mereka sibuk melakukan pengejaran di bebagai distrik afdeling Cilegon. Baru pada minggu ketiga operasi pengejaran diperluas ke bagian barat Kabupaten Caringin dan Lebak.

Akibat dari operasi ini, kaum pemberontak terpaksa beralih ke strategi defensif. Rencana Haji Wasid untuk bertahan di daerah sekitar Beji dan Gunung Gede mendapat rintangan, karena ia sudah kehilangan basis utama operasinya. Satu-satunya jalan untuk meneruskan perjuangan selama munhkin dengan menggunakan taktik bermain sembunyi. Setelah pasukan pemerintah menyerang daerah yang paling vital bagi kaum pemberontak, mereka tanpa henti mengejar pemimpin-pemimpin pemberontak yang masih berkeliaran dengan anak buahnya yang tinggal sedikit jumlahnya.

Masalah paling penting yang harus dicari solusinya adalah bagaimana cara mereka dapat keluar dari keadaan pasif itu dan merebut kembali kondisi inisiatif. Mereka menyadari bahwa mereka harus mencari markas baru, dikarenakan tinggal disemenanjung kecil Gunung Gede berarti dikepung oleh pasukan pemerintah yang pasti akan menumpas mereka.

Untuk mempersiapkan operasi militer terhadap sisa-sisa pemberontak, pejabat pemerintah dan militer mengadakanrapat di Labuan pada malam hari 27 Juli. Rapat memutuskan untuk mengirimkan sebuah pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kapten Veenhuyzen ke Ciseureuheun. Pasukan dibagi menjadi dua jalur, jalur darat dan laut untuk menghadang pemberontak.

Pada saat penghadangan tersebut, Kapten Veenhuyzen sempat menawarkan kepada pemberontak agar menyarah, namun pemberontak menjawabnya dengan serentetan tembakan. Pasukan Veenhuyzen segera melancarkan serangan balasan, sehingga berkobarlah pertempuran kecil. Kaum pemberontak yang mempertahankan diri menyerang berulang-ulang, tetapi tampaknya situasi sudah tak memberi harapan. Mereka sudah nekat untuk bertempur hingga akhir.

Pada pukul 10 pagi hari 30 Juli, pasukan itu meninggalkan Sumur dengan membawa kesebelas mayat pemberontak yang tewas. Kemudian di Cilegon, mayat-mayat itu diidentifikasikan sebagai pemberontak yang sedang dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah, termasuk Haji Wasid, Kiai Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dan Haji Usman. Dengan selesainya operasi militer itu, pemberontakan telah dapat ditumpas dalam waktu kurang dari satu bulan

Ki Wasyid yang selanjutnya pemimpin pemberontakan melakukan perang gerilya hingga ke Ujung Kulon, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukittinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Manado/Minahasa, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, Haji Abdul Salam dibuang ke Kupang, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Manado, Ambon, dan Saparua. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.

Dampak peristiwa Geger Cilegon terhadap tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyyah di Cirebon

Terlibatnya murid-murid dari syekh Abdul Karim di Banten pada peristiwa Geger Cilegon membuat syekh Tolhah yang merupakan satu perguruan dengan syekh Abdul Karim dicurigai dan dimata-matai oleh Belanda, syekh Tolhan kemudian dimasukan ke dalam penjara dan kemudian dilepaskan karena tidak cukup bukti. Pada masa sebelumnya syekh Abdul Karim lah yang menunjuk dirinya sebagai khalifah bagian timur jawa barat. Pada tahun 1876 setelah belajar agama Islam dibawah bimbingan syekh Chatib Sambas di Mekah, beliau ditunjuk sebagai khalifah tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyyah di Cirebon setelah kepulangannya[4]

Syekh Tolhah di Trusmi kemudian bergerak dengan mengatasnamakan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyyah untuk menghindari konflik, di Trusmi syekh Tolhah juga menjaga hubungan baik dengan Sultan Sepuh Atmaja Rajaningrat yang kemudian menetapkan beliau sebagai penasehat pribadi sultan.[4]

Pada tahun 1935 syekh Tolhah wafat, beliau kemudian dikebumikan di pemakaman Astana Gunung Jati.[5]

Referensi

  1. ^ Media, Kompas Cyber (2021-06-29). "Geger Cilegon 1888: Latar Belakang dan Jalannya Perang Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2022-04-24. 
  2. ^ "Pemburuan Terhadap Guru Agama". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2021-04-17. Diakses tanggal 2022-04-24. 
  3. ^ Hamka, 1982:144
  4. ^ a b Mulyati. Sri. 2010. Peran Edukasi Tarekat Qadariyyah Naqsabandiyyah Dengan Referensi Utama Suryalaya. Jakarta : Prenada Media
  5. ^ Millie, Julian Patrick. 2006. Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java. Leiden : University of Leiden

Bacaan lebih lanjut

Sartono Kartodirdjo (1984). Pemberontakan Petani Banten 1888. Pustaka Jaya.