Lompat ke isi

Wikipedia:Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Pengembalian manual Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Auliu Da Costa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Dikembalikan Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Baris 1: Baris 1:
Dr. (H.C.) Jourou Mario Belougi (lahir 5 Mei 1975) adalah seorang aktivis pro-demokrasi dan pegiat lingkungan asal Indonesia.
<!-- Halaman ini hanya untuk uji coba menyunting dan dikosongkan secara berkala -->


J. Mario Belougi

===Kehidupan awal===
J. Mario Belougi menjalani kehidupan awal di pinggiran Kota Manado, Sulawesi Utara. Pada tahun 1980, Belougi ikut kerabatnya pindah ke Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, di sini awal mula Belougi mengenal kehidupan jalanan dan berafiliasi dengan komunitas arus bawah, kehidupan jalanan yang keras membentuk pribadi Belougi menjadi sosok yang peduli terhadap isu sosial dan kemanusiaan. Ia ikut dalam gerakan penyelamatan rakyat miskin kota dan perlindungan cagar budaya tahun 1990, yang kemudian dikenal dengan gerakan "Save Our Makassar". Sosoknya yang inspiratif dan peduli membuat tokoh aktivis Indonesia asal Sulawesi Selatan, Zohra Andi Baso mendidik Belougi ke dunia aktivisme.

===Aktivisme===
Belougi mengawali kariernya sebagai pegiat sosial dengan menjadi aktivis jalanan di Kota Ujung Pandang pada awal 1990-an. Ia bersama rekan-tekannya mendirikan komunitas "Anak Republik" untuk perkumpulan anak-anak jalanan, komunitas tersebut menjadikan halaman parkir Benteng Rotterdam Ujung Pandang sebagai rumah pergerakan. Sejak awal Belougi menunjukkan sikap kontra terhadap oligarki, Ia berkali-kali ditahan oleh pihak berwajib atas sikapnya menolak diskriminasi dan intimidasi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Perjalanan karier Belougi banyak terinspirasi dari tokoh-tokoh aktivis seperti Abdul Nasser, George Aditjondro dan Wangari Maathai. Pada tahun 1994, George Aditjondro merekomendasi Belougi untuk bergabung dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat di Palu, Sulawesi Tengah, di sini Belougi banyak terlibat diskusi bersama Studi Politik Akar Rumput (Grassroots Political Studies), sebuah lembaga non-formal yang dibangun pegiat sosial di pedalaman Sulawesi pada awal 1990-an untuk mengawal pembangunan demokrasi dan politik di daerah tertinggal.

Pada tahun 1995, Belougi gaungkan
gerakan moral untuk demokrasi (The Moral Movement for Democracy) dalam kampanye kedaulatan lingkungan dan perlindungan masyarakat adat dari kejahatan korporasi dan oligarki, kegiatan tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan progresif yang terorganisir di kalangan rakyat arus bawah dan ikut berperan dalam menolak dogmatisme pemerintah yang mengurung kebebasan dan merampas hak-hak dasar rakyat dalam demokrasi dan politik. Pada tahun 1996, Belougi mengakomodir tokoh-tokoh pergerakan arus bawah bergabung dalam Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang diketuai oleh tokoh pergerakan Dr. Sri Bintang Pamungkas. Pada masa kampanye Pemilu 1997, untuk kesekian kalinya Belougi ditahan oleh pihak berwajib atas sikap kritisnya terhadap kejahatan politik yang sarat rekayasa dan membohongi rakyat, hal ini terkait sikap pemerintah yang tidak mengakui keberadaan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) sebagai partai politik di Indonesia, menganulir kepemimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta mengacaukan kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Isu kejahatan politik yang dilancarkan Belougi berdampak pada tingginya angka golput pada Pemilu 1997 serta menjadi bagian lahirnya pergolakan di berbagai daerah hingga berakhirnya rezim otoriter di Indonesia tahun 1998.

Pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie, Belougi melakukan aktivisme di pedalaman daerah konflik Timor Timur, Belougi banyak menyoroti masalah demokrasi dan hak asasi manusia, Ia dikabarkan menjadi korban dalam serangan Pembantaian Gereja Katolik Liquica tahun 1999. Belougi disinyalir memiliki akses data tentang kejahatan politik dan kemanusiaan di Timor Timur yang bakal dipertaruhkan pegiat hak asasi manusia di pengadilan Internasional. Kantor berita Australia (AAP) dan BBC London menyebut peristiwa Liquica menelan korban jiwa 200 orang lebih dari Ummat Katolik.

===Gagasan dan tantangan ===
Pada tahun 2000, Belougi bersama Dorcas L. Coloay, Rudolf Oscar Kandou dan Rulie Langoru mendirikan Belougi Center Institute yang fokus terhadap isu sosial dan kemanusiaan terutama lingkungan dan pendidikan. Pada tahun yang sama Belougi Center menjadi pelopor perawatan pulau-pulau terluar untuk mendukung kedaulatan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari kampanye "Indonesia Back to Nature". Keberaniannya membongkar kejahatan kemanusiaan di sejumlah pulau terluar membuat Belougi banyak terseret masalah kriminal.

Sosok Belougi menjadi kontroversi setelah namanya dikaitkan sebagai otak pelaku insiden pengibaran bendera Filipina di Pulau Miangas tahun 2005, hal ini sebagai bentuk peringatan terhadap pemerintah yang mengabaikan kedaulatan lingkungan, demokrasi dan hak asasi manusia yang berdampak pada kesenjangan sosial dan ekonomi rakyat di pulau-pulau terluar, Insiden tersebut menjadi sorotan publik internasional dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia dengan membangun infrastruktur dan fasilitas umum seperti bandara dan pelabuhan, serta memberi status kewarganegaraan (WNI) kepada warga di pulau terluar Indonesia.

Melalui pendekatan "Adaptive, Collaborative and Caring" (ACC), Belougi merangkul lembaga lokal yang berbasis di pelosok sebagai pendamping dan mendorong semua pihak bekerjasama dengan masyarakat adat dalam mewujudkan pembangunan demokrasi multikultural dan desentralisasi untuk menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pendiri Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) dan penerima Nobel Perdamaian bidang lingkungan dan politik 2005, Wangari Maathai merekomendasikan konsep tersebut menjadi bagian dari kampanye internasional dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat di New York, Amerika Serikat tahun 2007.

===Kehidupan dan karier===
J. Mario Belougi lahir dari bangsa Sangir dan Toraja-Mandar. Belougi menikah dan memiliki dua putri; Wanda Belougi (2002) dan Melani Belougi (2004), serta seorang putra; Ayyas Belougi (2012). Selain aktif dalam kegiatan aktivisme, Belougi juga melakoni aktivitas sebagai petani lokal dan nelayan tradisional serta merupakan ketua pendamping Belougi Institut pada proyek Konservasi Ekologi Indonesia (Indonesia Eclogical Conservation); INEC.

===Kampanye populer===
*Save Our Makassar (1990)
*The Moral Movement for Democracy (1995)
*Indonesia Back to Nature (2000)

===Lihat pula===
Daftar tokoh Indonesia
Daftar tokoh Sulawesi Utara

Revisi per 6 Februari 2023 10.24

Dr. (H.C.) Jourou Mario Belougi (lahir 5 Mei 1975) adalah seorang aktivis pro-demokrasi dan pegiat lingkungan asal Indonesia.


                    J. Mario Belougi

Kehidupan awal

J. Mario Belougi menjalani kehidupan awal di pinggiran Kota Manado, Sulawesi Utara. Pada tahun 1980, Belougi ikut kerabatnya pindah ke Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, di sini awal mula Belougi mengenal kehidupan jalanan dan berafiliasi dengan komunitas arus bawah, kehidupan jalanan yang keras membentuk pribadi Belougi menjadi sosok yang peduli terhadap isu sosial dan kemanusiaan. Ia ikut dalam gerakan penyelamatan rakyat miskin kota dan perlindungan cagar budaya tahun 1990, yang kemudian dikenal dengan gerakan "Save Our Makassar". Sosoknya yang inspiratif dan peduli membuat tokoh aktivis Indonesia asal Sulawesi Selatan, Zohra Andi Baso mendidik Belougi ke dunia aktivisme.

Aktivisme

Belougi mengawali kariernya sebagai pegiat sosial dengan menjadi aktivis jalanan di Kota Ujung Pandang pada awal 1990-an. Ia bersama rekan-tekannya mendirikan komunitas "Anak Republik" untuk perkumpulan anak-anak jalanan, komunitas tersebut menjadikan halaman parkir Benteng Rotterdam Ujung Pandang sebagai rumah pergerakan. Sejak awal Belougi menunjukkan sikap kontra terhadap oligarki, Ia berkali-kali ditahan oleh pihak berwajib atas sikapnya menolak diskriminasi dan intimidasi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Perjalanan karier Belougi banyak terinspirasi dari tokoh-tokoh aktivis seperti Abdul Nasser, George Aditjondro dan Wangari Maathai. Pada tahun 1994, George Aditjondro merekomendasi Belougi untuk bergabung dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat di Palu, Sulawesi Tengah, di sini Belougi banyak terlibat diskusi bersama Studi Politik Akar Rumput (Grassroots Political Studies), sebuah lembaga non-formal yang dibangun pegiat sosial di pedalaman Sulawesi pada awal 1990-an untuk mengawal pembangunan demokrasi dan politik di daerah tertinggal.

Pada tahun 1995, Belougi gaungkan gerakan moral untuk demokrasi (The Moral Movement for Democracy) dalam kampanye kedaulatan lingkungan dan perlindungan masyarakat adat dari kejahatan korporasi dan oligarki, kegiatan tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan progresif yang terorganisir di kalangan rakyat arus bawah dan ikut berperan dalam menolak dogmatisme pemerintah yang mengurung kebebasan dan merampas hak-hak dasar rakyat dalam demokrasi dan politik. Pada tahun 1996, Belougi mengakomodir tokoh-tokoh pergerakan arus bawah bergabung dalam Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang diketuai oleh tokoh pergerakan Dr. Sri Bintang Pamungkas. Pada masa kampanye Pemilu 1997, untuk kesekian kalinya Belougi ditahan oleh pihak berwajib atas sikap kritisnya terhadap kejahatan politik yang sarat rekayasa dan membohongi rakyat, hal ini terkait sikap pemerintah yang tidak mengakui keberadaan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) sebagai partai politik di Indonesia, menganulir kepemimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta mengacaukan kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Isu kejahatan politik yang dilancarkan Belougi berdampak pada tingginya angka golput pada Pemilu 1997 serta menjadi bagian lahirnya pergolakan di berbagai daerah hingga berakhirnya rezim otoriter di Indonesia tahun 1998.

Pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie, Belougi melakukan aktivisme di pedalaman daerah konflik Timor Timur, Belougi banyak menyoroti masalah demokrasi dan hak asasi manusia, Ia dikabarkan menjadi korban dalam serangan Pembantaian Gereja Katolik Liquica tahun 1999. Belougi disinyalir memiliki akses data tentang kejahatan politik dan kemanusiaan di Timor Timur yang bakal dipertaruhkan pegiat hak asasi manusia di pengadilan Internasional. Kantor berita Australia (AAP) dan BBC London menyebut peristiwa Liquica menelan korban jiwa 200 orang lebih dari Ummat Katolik.

Gagasan dan tantangan

Pada tahun 2000, Belougi bersama Dorcas L. Coloay, Rudolf Oscar Kandou dan Rulie Langoru mendirikan Belougi Center Institute yang fokus terhadap isu sosial dan kemanusiaan terutama lingkungan dan pendidikan. Pada tahun yang sama Belougi Center menjadi pelopor perawatan pulau-pulau terluar untuk mendukung kedaulatan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari kampanye "Indonesia Back to Nature". Keberaniannya membongkar kejahatan kemanusiaan di sejumlah pulau terluar membuat Belougi banyak terseret masalah kriminal.

Sosok Belougi menjadi kontroversi setelah namanya dikaitkan sebagai otak pelaku insiden pengibaran bendera Filipina di Pulau Miangas tahun 2005, hal ini sebagai bentuk peringatan terhadap pemerintah yang mengabaikan kedaulatan lingkungan, demokrasi dan hak asasi manusia yang berdampak pada kesenjangan sosial dan ekonomi rakyat di pulau-pulau terluar, Insiden tersebut menjadi sorotan publik internasional dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia dengan membangun infrastruktur dan fasilitas umum seperti bandara dan pelabuhan, serta memberi status kewarganegaraan (WNI) kepada warga di pulau terluar Indonesia.

Melalui pendekatan "Adaptive, Collaborative and Caring" (ACC), Belougi merangkul lembaga lokal yang berbasis di pelosok sebagai pendamping dan mendorong semua pihak bekerjasama dengan masyarakat adat dalam mewujudkan pembangunan demokrasi multikultural dan desentralisasi untuk menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pendiri Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) dan penerima Nobel Perdamaian bidang lingkungan dan politik 2005, Wangari Maathai merekomendasikan konsep tersebut menjadi bagian dari kampanye internasional dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat di New York, Amerika Serikat tahun 2007.

Kehidupan dan karier

J. Mario Belougi lahir dari bangsa Sangir dan Toraja-Mandar. Belougi menikah dan memiliki dua putri; Wanda Belougi (2002) dan Melani Belougi (2004), serta seorang putra; Ayyas Belougi (2012). Selain aktif dalam kegiatan aktivisme, Belougi juga melakoni aktivitas sebagai petani lokal dan nelayan tradisional serta merupakan ketua pendamping Belougi Institut pada proyek Konservasi Ekologi Indonesia (Indonesia Eclogical Conservation); INEC.

Kampanye populer

  • Save Our Makassar (1990)
  • The Moral Movement for Democracy (1995)
  • Indonesia Back to Nature (2000)

Lihat pula

Daftar tokoh Indonesia Daftar tokoh Sulawesi Utara