Undang-Undang Pornografi: Perbedaan antara revisi
Baris 24: | Baris 24: | ||
===Menyudutkan perempuan=== |
===Menyudutkan perempuan=== |
||
RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual. RUU Porno dianggap juga telah melecehkan kaum laki-laki di Indonesia, karena secara pukul rata menganggap mereka semua tak mampu mengontrol nafsu birahinya. |
RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual. RUU Porno dianggap juga telah melecehkan kaum laki-laki di Indonesia, karena secara pukul rata menganggap mereka semua tak mampu mengontrol nafsu birahinya. |
||
tset |
|||
[[Gambar:Big6042201.jpg|frame|Aksi Budaya tolak RUU APP]] |
[[Gambar:Big6042201.jpg|frame|Aksi Budaya tolak RUU APP]] |
||
Revisi per 6 Mei 2006 05.15
Artikel ini membahas suatu peristiwa terkini. Informasi pada halaman ini dapat berubah setiap saat seiring dengan perkembangan peristiwa dan laporan berita awal mungkin tidak dapat diandalkan. Pembaruan terakhir untuk artikel ini mungkin tidak mencerminkan informasi terkini. |
Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (juga umum dieja Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP) adalah suatu rancangan produk hukum yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 14 Februari 2006. RUU yang berisi 11 bab dan 93 pasal pada rancangan pertamanya ini mengatur masalah pornografi dan pornoaksi di Indonesia. RUU ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah berbagai bentuk kejahatan itu dalam kerangka menciptakan kehidupan yang bermoral.
Pada rancangan kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pasal mengenai sanksi pidana dan pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum". Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) sehingga secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur"[1]. Pornoaksi adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".
Panitia khusus DPR
Panitia khusus DPR untuk RUU Antipornografi dan Pornoaksi ini diketuai oleh Balkan Kaplale dari Partai Demokrat.
Draf RUU APP adalah warisan dari Komisi VI DPR Periode 1999-2004. Pada Periode 2004-2009 awalnya RUU APP ini tidak tercantum dalam prolegnas, tapi kemudian masuk lewat Komisi VIII DPR, lalu dibahas di Badan Musyawarah DPR (Bamus). Bamus kemudian menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke Sidang paripurna DPR. Paripurna kemudian menerima usulan tersebut dan menugaskan panitia khusus (Pansus) untuk membahas.
Pada Maret 2006, 10 anggota Pansus RUU Antipornografi menandatangani pernyataan penolakan terhadap Ketua Pansus RUU, Balkan Kaplale karena telah melakukan kebohongan publik, atas pernyataannya di media massa yang membuat masyarakat bingung. [1] [2] [3]
Kontroversi
Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum [4]. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.
Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.
Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
Penyeragaman budaya
RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila. Dengan memaksakan sebuah sudut pandang untuk diberlakukan secara menyeluruh tanpa pandang bulu, negara melakukan penyeragaman budaya, membunuh kebudayaan ratusan suku bangsa serta menghilangkan identitas bangsa.
Menyudutkan perempuan
RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual. RUU Porno dianggap juga telah melecehkan kaum laki-laki di Indonesia, karena secara pukul rata menganggap mereka semua tak mampu mengontrol nafsu birahinya. tset
Karnaval budaya
Pada 22 April 2006, ribuan masyarakat bergabung dalam karnaval budaya "Bhinneka Tunggal Ika" untuk menolak RUU ini. Peserta berasal dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari aktivis perempuan, seniman, artis, masyarakat adat, budayawan, rohaniwan, mahasiswa, hingga komunitas jamu gendong dan komunitas waria. Peserta berkumpul di Monumen Nasional (Monas) untuk kemudian berpawai sepanjang jalan Thamrin hingga jalan Sudirman, kemudian berputar menuju Bundaran HI.
Ribuan peserta aksi melakukan pawai iring-iringan yang dimulai oleh kelompok pengendara sepeda onthel, delman, dilanjutkan dengan aksi-aksi tarian dan musik-musik daerah seperti tanjidor, gamelan, barongsai, tarian Bali, tarian adat Papua, tayub, reog, dan ondel-ondel. Banyak peserta tampak mengenakan pakaian tradisi Jawa, Tionghoa, Badui, Papua, Bali, Madura, Aceh, NTT dan lain-lain. Mulai dari kebaya hingga koteka dan berbagai baju daerah dari seantero Indonesia yang banyak mempertunjukkan area-area terbuka dari tubuh.
Tokoh
Banyak tokoh ikut serta dalam aksi demonstrasi ini, diantaranya mantan Ibu Negara Shinta N Wahid, GKR Hemas dari Keraton Yogyakarta, Inul Daratista, Gadis Arivia, Rima Melati, Ratna Sarumpaet, Franky Sahilatua, Butet Kertarejasa, Garin Nugroho, Goenawan Moehammad, Sarwono Kusumaatmadja, Dawam Rahardjo, Ayu Utami, Rieke Dyah Pitaloka, Becky Tumewu, Ria Irawan, Jajang C Noer, Lia Waroka, Olga Lidya, Nia Dinata, Yeni Rosa Damayanti, Sukmawati Soekarnoputri, Putri Indonesia Artika Sari Devi dan Nadine Candrawinata, dll. [5] [6]
Rujukan
- ^ :en:Pornography, Wikipedia berbahasa Inggris, versi 07:32, 12 Maret 2006
Pranala luar
- (Indonesia) Rancangan pertama RUU APP di situs DPD RI
- (Indonesia) "RUU Antipornografi Direvisi", 13 Maret 2006
- (Indonesia) Meski Direvisi, Bali Tetap Tolak RUU APP
- (Indonesia) Multitafsir RUU APP
- (Indonesia) Tak Seharusnya Lelah karena Berbeda
- (Indonesia) Bergoyang dalam Bayang-bayang RUU
- (Indonesia) Mengapa RUU APP Menimbulkan Kontroversi?
- (Indonesia) Langgar Konstitusi, Langgar HAM?
- (Indonesia) RUU Malaikat dan Politik Seks
- (Indonesia) Misoginis dan Memojokkan
- (Indonesia) Wahabisasi "Islam-Indonesia" (Wahid Institute)
- (Indonesia) Blog 'Ruuappri' - blog yang mendukung RUU APP
- (Indonesia) Blog 'Jiwa Merdeka' - blog masyarakat Bali menolak RUU APP
- (Indonesia) Petisi Online Menolak RUU APP
- (Indonesia) Berita Foto: Karnaval Budaya Tolak RUU APP