Lompat ke isi

Situs Selogending: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Adhiyan216 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor
Baris 28: Baris 28:
# Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
# Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
# Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". The Leiden University Scholarly Repository.
# Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". The Leiden University Scholarly Repository.

[[Kategori:Senduro, Lumajang]]
[[Kategori:Situs arkeologi di Jawa Timur]]

Revisi per 6 Februari 2024 15.34

Situs Selogending
Agama
AfiliasiHindu Tengger
ProvinsiProvinsi Jawa Timur
Lokasi
SektorDesa Kandangan

Situs Selogending adalah situs peninggalan masa lalu yang memiliki karakter pemujaan berbentuk punden berundak dan mempunyai pusat pemujaan berbentuk batu menhir. Situs ini terletak di Desa Kandangan, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Sebagai sebuah situs pemujaan, Situs Selogending memiliki areal peribadatan seluas kurang lebih lima hektar. Paling tidak ada lima batu menhir yang dikeramatkan yaitu : Watu Selogending, Watu Wadung Prabu, Watu Mbah Pikulun, Watu Tejo Kusumo dan Watu Tejo Gedang.

Latar Belakang

Gunung Semeru sebagai penjelmaan Gunung Meru di India dihormati oleh masyarakat sejak lama. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan prasasti Kumbolo yang menceritakan perjalanan seorang pandita bernama Mpu Kameswara ke Gunung Semeru. Prasasti Kumbolo diperkirakan ditulis pada tahun 1525 Masehi. Adapun tujuan perjalanannya adalah untuk mencari air suci atau Tirtayatra di kaki Gunung Semeru tepatnya di Kalimati atau di Sumbermani.

Hingga saat ini ritual mencari air suci tetap dilestarikan. Umat Hindu Bali bahkan secara berkala mengunjungi sumber mata air Watu Klosot di Pasrujambe. Pasrujambe sendiri merupakan kawasan kuno yang pada masa lampau pernah menjadi tujuan peziarah. Hal ini dibuktikan dengan temuan beberapa benda purbakala di Sungai Rawa. Salah satu prasasti bertuliskan nama sebuah tempat yaitu Rabut Macan Pethak. Jika ditinjau secara kebahasaan Rabut Macan Pethak artinya adalah "Bukit Harimau Putih."

Karena Sungai Rawa mempunyai ikatan yang sangat erat dengan Situs Selogending maka yang disebut sebagai Rabut Macan Pethak itu tentu adalah Selogending itu sendiri. Hubungan antara Situs Selogending dan Sumber Rawa juga terabadikan dalam suatu laporan Belanda yang menyebutkan nama tempat bernama Selarawa. Selarawa merupakan gabungan dua kata yaitu Sela dan Rawa yang merujuk pada dua tempat yaitu Selogending dan Sumber Rawa. Dalam laporan Belanda dikatakan bahwa Selarawa adalah sebuah pertapaan yang dipimpin oleh Pandita Amongdharma. Pertapaan ini menyembunyikan mantan penguasa Malang yaitu Adipati Malayakusuma. Laporan Belanda juga menyebutkan bahwa mata-mata Belanda sempat bertemu dengan Pandita Amongdharma di Gunung Ciri (Banjarsawah). Pada pertemuan itu mata-mata Belanda dilarang oleh Amongdharma untuk menemui Malayakusuma.

Kerajaan Purwakanda

Purwakanda adalah nama kerajaan yang tertulis dalam kitab Kyai Suryaraja. Dalam kitab ini juga disebutkan beberapa toponimi seperti Kadipaten Lumajang, Kerajaan Sindura hingga Kerajaan Purwakanda. Sindura tentu merupakan nama samaran dari Senduro sementara Purwakanda adalah nama samaran dari Kandangan. Purwakanda dipimpin oleh Raden Pujakusuma yang mempunyai beberapa anak seperti Tejo Kusumo dan Kusumo Wijoyo. Menariknya, tokoh bernama Raden Pujakusuma ternyata sangat mirip dengan perjalanan hidup Malayakusuma. Selain dibuang ke laut, Pujakusuma juga memiliki beberapa saudara yang diangkat menjadi Wedana. Sebut saja Raden Panji Endro Kusumo dan Raden Panji Atmo Kusumo. Keduanya adalah Wedana Lumajang yang namanya tercatat dalam arsip-arsip Belanda.

Secara tata letak ternyata batu-batu keramat di Situs Selogending sesuai dengan tata letak makam beberapa tokoh penting di TPU Senduro. Sebut saja Watu Selogending yang sesuai dengan letak makam Mbok Saminten. Begitu juga dengan Watu Wadung Prabu yang sesuai dengan letak makam Mbah Sumo (Kusumo Wijoyo). Sementara Watu Tejo Kusumo sesuai dengan letak makam Mbah Tompokerso maka Watu Tejo Gedang sesuai dengan letak makam Mbok Erun.

Kesamaan ini tentu bukan tanpa sebab. Sebelum menjadi bagian dari Kecamatan Senduro, Kandangan adalah sebuah Distrik yang membawahi Desa Senduro. Distrik ini juga membawahi daerah lainnya seperti Pasrujambe dan Gucialit. Karena merupakan sebuah distrik, Kandangan dulunya dipimpin oleh seorang Wedana yang pada saat ini setara dengan Camat.

Karena menyimpan informasi garis keturunan tokoh penting pada masa lalu maka Situs Selogending tidak hanya menjadi situs pemujaan tetapi juga menjadi monumen suatu trah yang hilang. Monumen ini sengaja dibuat agar anak keturunan dari tokoh yang diabadikan tidak melupakan sejarah leluhurnya. Inilah intisari dari "Kerajaan Purwakanda" yang digubah oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II yang ternyata menjadi nyawa bagi bangunan suci di Kandangan.

Referensi

  1. Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  2. Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". The Leiden University Scholarly Repository.