Masjid Tuanku Pamansiangan: Perbedaan antara revisi
k Menambah Kategori:X Koto, Tanah Datar menggunakan HotCat Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
k Cagar |
||
Baris 137: | Baris 137: | ||
[[Kategori:Masjid di Sumatera Barat|Menara]] |
[[Kategori:Masjid di Sumatera Barat|Menara]] |
||
[[Kategori:Kabupaten Tanah Datar]] |
[[Kategori:Kabupaten Tanah Datar]] |
||
[[Kategori:Cagar budaya |
[[Kategori:Cagar budaya di Sumatera Barat]] |
||
[[Kategori:X Koto, Tanah Datar]] |
[[Kategori:X Koto, Tanah Datar]] |
Revisi terkini sejak 6 Agustus 2024 05.44
Masjid Tuanku Pamansiangan | |
---|---|
Agama | |
Afiliasi | Islam |
Kepemimpinan | Wakaf |
Lokasi | |
Lokasi | Nagari Koto Laweh, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Indonesia |
Arsitektur | |
Tipe | Surau |
Gaya arsitektur | Minangkabau |
Peletakan batu pertama | 1800-an |
Spesifikasi | |
Panjang | 15,3 meter |
Lebar | 15,3 meter |
Masjid Tuanku Pamansiangan atau Masjid Tuanku Mansiangan terletak di Nagari Koto Laweh, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Indonesia. Masjid ini diperkirakan telah berdiri sejak 1800-an dan dinamakan menurut nama pendirinya, yakni Tuanku Pamansiangan.[1] Bangunannya terbuat dari kayu beratapkan seng. Masjid ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah pada 2008.[2][3][4][5]
Kondisi Masjid Tuanku Pamansiangan masih terawat baik sampai saat ini. Tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu masih utuh sebagaimana aslinya. Masjid ini memiliki ciri khas berupa ornamen ukiran Minangkabau yang menghiasi tiang, jendela, dan dinding masjid.[6][1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Cikal bakal keberadaan masjid ini berawal dari sebuah surau di lokasi yang sama yang didirikan oleh Tuanku Pamansiangan, seorang ulama Minangkabau yang mendakwahkan agama Islam di Tanah Datar. Lahir pada 1771, Tuanku Pamansiangan bernama asli Abdullah.[7] Ia awalnya belajar agama kepada Syekh Kapeh-Kapeh Paninjauan, murid dari Syekh Burhanuddin di Ulakan. Setelah selesai belajar, Abdullah kembali ke Koto Laweh dan mendirikan surau untuk mendukung kegiatan dakwahnya. Lokasi berdirinya surau merupakan tanah rawa yang banyak tumbuh mensiang, yang selanjutnya melekat sebagai julukan Abdullah sehingga ia dikenal dengan nama Tuanku Pamansiangan atau Tuanku Mansiangan.[1]
Seiring pertambahan jumlah murid, Tuanku Pamansiangan meluaskan suraunya menjadi masjid. Namun, tidak diketahui kapan pastinya surau tersebut berganti menjadi masjid. Dalam buku berjudul Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia yang ditulis Abdul Baqir Zien, Masjid Tuanku Pamansiangan diperkirakan telah berdiri sejak 1800-an.[8] Adapun berdasarkan penelusuran Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Masjid Tuanku Pamansiangan didirikan pada 1870.[2]
Ketika pertama kali dibangun, Masjid Tuanku Pamansiangan memiliki bangunan terbuat dari bambu beratapkan ijuk. Abdul Baqir Zien mencatat, Masjid Tuanku Pamansiangan telah mengalami tiga kali direnovasi sejak didirikan dan saat ini bangunannya telah menggunakan kayu dengan atap dari seng.[8] Penggantian material bangunan diperkirakan berlangsung pada 1903 sampai 1905, merujuk pada kaligrafi abjad Jawi yang terdapat pada bagian mihrab bertuliskan: "Mulai memahat tahun 1323 pada 14 Shafar mulai menyudah tahun 1325".[2] Pengambilan bahan bangunan yakni kayu diperoleh dari hutan. Kayu-kayu digunakan sebagai tiang dan dinding. Sejak didirikan, tiang dan dinding Masjid Tuanku Pamansiangan masih utuh dan terawat sampai saat sekarang.[8] Adapun pengerjaan pembangunan melibatkan tukang-tukang China.[9]
Ide pemugaran masjid sempat mucul pada 1967, yakni mengganti bangunan masjid menjadi permanen dan mengubah bentuk yang ada sekarang. Awalnya, rencana tersebut mendapat dukungan dari sebagian masyarakat, tetapi urung dikarekanan akan menghilangkan nilai sejarah yang dimiliki masjid.[6]
Sejak didirikan, masjid ini tidak mengalami perubahan berarti, kecuali perbaikan pada beberapa bagian seperti: atap yang dahulunya ijuk sudah diganti dengan atap seng dan papan lantai yang sudah lapuk diganti dengan yang baru.[6]
Konstruksi
[sunting | sunting sumber]Denah bangunan Masjid Tuanku Pamansiangan berukuran 15,3 x 15,3 meter. Sebagaimana masjid berarsitektur Minangkabau lainnya, atap masjid ini berupa tajug, yakni bentuk limas bujur sangkar berundak-undak dengan permukaan melengkung ke dalam. Atap ditopang oleh sembilan tiang. Tiang utama masjid memiliki diameter 64 cm, lebih besar daripada tiang lainnya yang berdiameter 30 cm.[2]
Masjid ini memiliki lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah setinggi satu setengah meter dan bisa dinaiki melalui anak-anak tangga. Lantai terbuat dari papan yang sebagian besar sudah diganti dengan bahan baru.[2]
Bukaan berupa jendela berjumlah enam yang masing-masing terdapat ukiran pada bagian atas lengkungannya.[2]
Ornamen
[sunting | sunting sumber]Masjid Tuanku Pamansiangan memiliki ornamen berupa ukiran Minangkabau. Motif dari ukiran tersebut di antaranya berupa pola geometris dan tumbuhan-tumbuhan dengan warna terdiri dari merah, hijau, putih, dan coklat keemasan.[10]
Bagian atas tiang utama memiliki motif pucuak rabuang, motif sikambang manih, dan motif sakek tagantuang. Adapun tiang lainnya hanya memiliki satu jenis motif, yakni pandan tajulai. Pucuak rabuang merupakan motif yang diambil dari bentuk pucuk rebung yaitu sejenis bambu muda yang masih kuncup dan belum memiliki daun. Sikambang manih berbentuk seperti bunga yang sedang mekar. Pandan tajulai yakni bentuk menyerupai dauan pandan.[11]
Pada bidang dinding di bagian atas masjid yang mengarah ke mihrab, motifnya mengisi bidang berbentuk persegi. Di dalamnya, terdapat motif saik galamai dan bungo di bagian pinggir serta motif mangkuto dan kuciang lalok di bagian tengah. Di tengah-tengah, terdapat pula kaligrafi yang bertuliskan tahun renovasi masjid.[12]
Motif mangkuto yakni bentuk mahkota sebagai pengaruh yang dibawa oleh bangsa Belanda.[10]
Pada jendela masjid, motifnya mengisi bidang berbentuk setengah lingkaran berupa beberapa motif mangkuto dan motif kuciang lalok. Di pinggir jendela, dihiasi motif saik saik galamai dan bungo, sedangkan di bagian bawah dihiasi motif limpapeh. Motif limpapeh memiliki berbentuk rama-rama atau kupu-kupu.[13]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Abdul Baqir Zein 1999, hlm. 61-63.
- ^ a b c d e f Masjid-masjid Kuno... 2006, hlm. 16-17.
- ^ Joni S. Abenk 27 November 2016.
- ^ Pemerintah Provinsi Sumatera Barat 2012.
- ^ situsbudaya.id 4 Februari 2015.
- ^ a b c Fauziana Izzati, dkk 2018.
- ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-02-05. Diakses tanggal 2019-12-24.
- ^ a b c Abdul Baqir Zein 1999, hlm. 62.
- ^ Abdul Baqir Zein 1999, hlm. 61.
- ^ a b Fauziana Izzati, dkk 2018, hlm. 106.
- ^ Fauziana Izzati, dkk 2018, hlm. 103.
- ^ Fauziana Izzati, dkk 2018, hlm. 103-104.
- ^ Fauziana Izzati, dkk 2018, hlm. 104-106.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Abdul Baqir Zein (1999). Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani. ISBN 979-561-567-X. Diakses tanggal 25 April 2019.
- Masjid-masjid Kuno di Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau (PDF). Batusangkar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar. 2006. Diakses tanggal 25 April 2019.
- Fauziana Izzati; Yuniarti Munaf; Dharsono SK (2018). "Ornamen Pada Masjid Tuanku Pamansiangan, Nagari Koto Laweh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat". Gorga: Jurnal Seni Rupa. Universitas Negeri Medan. 7 (2).
- "Daftar Cagar Budaya Tidak Bergerak Provinsi Sumatera Barat", Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 2012, diakses tanggal 25 April 2019
- Joni S. Abenk (27 November 2016). "Masjid Tuanku Pamansiangan Koto Laweh, Mesjid Cagar Budaya Yang Harus Dijaga". Pasbana.com. Diakses tanggal 25 April 2019.
- 4 Februari 2015 (27 November 2016). "Masjid Tuanku Pamansiangan Sumatera Barat". situsbudaya.id. Diakses tanggal 25 April 2019.