Museum Aceh: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
<gallery mode="packed-overlay" heights="200"> |
|||
Berkas:Aceh Tsunami Museum site visit; February 2020 (34).jpg|Aceh_Tsunami_Museum_site_visit;_February_2020_(34) |
|||
Berkas:Aceh Tsunami Museum site visit; February 2020 (03).jpg|Aceh_Tsunami_Museum_site_visit;_February_2020_(03) |
|||
Berkas:Aceh Tsunami Museum site visit; February 2020 (42).jpg|Aceh_Tsunami_Museum_site_visit;_February_2020_(42) |
|||
Berkas:Aceh Tsunami Museum site visit; February 2020 (09).jpg|Aceh_Tsunami_Museum_site_visit;_February_2020_(09) |
|||
Berkas:Aceh Tsunami Museum site visit; February 2020 (37).jpg|Aceh_Tsunami_Museum_site_visit;_February_2020_(37) |
|||
Berkas:Rumoh Aceh 2.JPG|Rumoh_Aceh_2 |
|||
</gallery> |
|||
[[Berkas:Museum Aceh.JPG|jmpl|300px|Museum Aceh]] |
[[Berkas:Museum Aceh.JPG|jmpl|300px|Museum Aceh]] |
||
{{Infobox building |
{{Infobox building |
Revisi per 15 Juni 2024 08.24
Gedung Museum Aceh | |
---|---|
Informasi umum | |
Lokasi | Banda Aceh, Indonesia |
Alamat | Jl. Sultan Mahmudsyah No.10, Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh. |
Koordinat | 5°32′55″N 95°19′15″E / 5.548634944409422°N 95.3209661225625°E |
Mulai dibangun | 31 Juli 1915 |
Pemilik | Bank Indonesia |
Museum Negeri Aceh (Aksara Jawoë : موسياوم نڬري اچيه) adalah sebuah museum etnografi dari suku bangsa asli yang mendiami Tanah Aceh.
Sejarah
Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda.[1] Pemakaiannya diresmikanpada tanggal 31 Juli 1915 oleh Jenderal H.N.A. Swart selaku Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh.[2] Pada waktu itu bangunannya berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15 November 1914.
Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya.
Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama.
Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.
Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas.
Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.
Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.
Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat 5 butir 10 f, maka kewenangan penyelenggaraan Museum Negeri Propinsi Daerah Istimewa Aceh berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sekarang Provinsi Aceh).
Pengembangan
Sejalan dengan program pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas.
Selain untuk pembangunan sarana/gedung museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.
Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.
Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat 5 butir 10 f, maka kewenangan penyelenggaraan Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Aceh (sekarang Provinsi Aceh).
Pameran
Pameran Sumatra
Islam Dalam Budaya Sumatra 2013 Museum Aceh Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata 24 September - 7 Oktober 2013. Museum Aceh Jl. Sultan Alaiddin Mahmudsyah.
Gedung Pameran Tetap
Gedung Pameran Tetap, merupakan perpaduan antara arsitektur tradisional dengan arsitektur modern. Bentuk bangunan ini merupakan modifikasi dari bentuk rumah tradisional Aceh. Pada bagian depan bangunan Gedung Pameran Tetap terdapat taman dan beberapa buah meriam besi peninggalan Belanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-17.
Rumah Aceh dibangun menyerupai rumah tempat tinggal tradisional masyarakat Aceh.[3] Bentuk bangunannya adalah rumah panggung. Lantai bangunan ini dirancang setinggi 9 kaki atau lebih dari permukaan tanah. Bersandar pada tiang-tiang penyangga dari kayu dengan ruang kolong di bawahnya.
Koleksi
Gambar
-
Krông Padé, lumbung padi dari etnis Aceh
-
Jeungki, alat penumbuk padi dari etnis Aceh
Lihat pula
Referensi
- ^ Sudirman (2022). Umar, Mawardi, ed. "Atjeh Museum" (PDF). Seri Informasi Sejarah (86). Lembaran ertama.
- ^ Wanti, Irini Dewi (2010). "Memaknai Tahun Kunjungan Museum 2010 (Suatu Kajian Terhadap Museum-Museum di Aceh)" (PDF). Buletin Haba (54): 5.
- ^ Hasbullah (2011). "Melirik Peunulang Indatu untuk Kesejahteraan Anak Cucu: Beberapa Potensi Wisata Sejarah di Banda Aceh" (PDF). Buletin Haba (58): 12. ISSN 1410-3877.
Pranala luar
- Situs resmi
- Profil Museum Aceh Diarsipkan 2013-02-02 di Wayback Machine.