Bungoro: Perbedaan antara revisi
k ←Membuat halaman berisi 'Bungoro merupakan salah satu wilayah kecamatan dalam lingkup Kabupaten Pangkep, luasnya mencapai 90,12 km2 atau sekitar 8,10 % dari luas wilayah Kabupaten Pangkep secara ...' |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
Bungoro |
'''[[Bungoro]]''' : Salah satu kecamatan dalam lingkup Kabupaten [[Pangkep]], luasnya mencapai 90,12 km2 atau 8,10 % dari luas wilayah Kabupaten Pangkep secara keseluruhan. Untuk mencapai kecamatan ini dapat ditempuh 2 km dari ibukota kabupaten, [[Pangkajene]]. |
||
Pada masa pemerintahan kekaraengan, Bungoro merupakan salah satu wilayah adatgemeenschap di Pangkep, selain Pangkajene, Balocci, Labakkang, Ma’rang, Segeri dan Mandalle. |
Pada masa pemerintahan kekaraengan, Bungoro merupakan salah satu wilayah adatgemeenschap di Pangkep, selain Pangkajene, [[Balocci]], [[Labakkang]], [[Ma’rang]], [[Segeri]] dan [[Mandalle]]. |
||
Pada mulanya Bungoro dinamai Kalumpang, yang didirikan oleh seorang anak tunggal dari Karaeng Barasa (Pangkajene) di Kalumpang. Menurut A. Baso Tantu, Kalumpang adalah nama pohon / tanaman keras yang dijadikan nama untuk daerah Bungoro sekarang, yang tidak disetujui oleh bate |
Pada mulanya Bungoro dinamai Kalumpang, yang didirikan oleh seorang anak tunggal dari Karaeng Barasa (Pangkajene) di Kalumpang. Menurut A. Baso Tantu, Kalumpang adalah nama pohon / tanaman keras yang dijadikan nama untuk daerah Bungoro sekarang, yang tidak disetujui oleh bate anak [[Karaeng Gowa]] yang diutus oleh Gowa untuk memerintah di daerah ini. Karena itu, Kalumpang diganti namanya menjadi Bungoro, yang juga nama lain dari pohon tersebut. (Makkulau, 2008). |
||
Versi lain dari Asal Muasal nama ”Bungoro” yang penulis dapatkan adalah cerita tentang kedatangan Belanda untuk pertama kali di daerah Bungoro sekarang, kemudian sambil menunjuk ke bawah menanyakan nama daerah baru yang didatanginya tersebut. Penduduk yang berpenutur |
Versi lain dari Asal Muasal nama ”Bungoro” yang penulis dapatkan adalah cerita tentang kedatangan Belanda untuk pertama kali di daerah Bungoro sekarang, kemudian sambil menunjuk ke bawah menanyakan nama daerah baru yang didatanginya tersebut. Penduduk yang berpenutur Bahasa [[Bugis]] malahan menganggap bahwa yang ditanyakan itu adalah sebuah sumur yang berada tidak jauh dari tempat berdiri dan menunjuk sang Belanda itu. Jadi penduduk itu menjawabnya, “Bungung ro” (Bugis : sumur itu). Oleh Belanda, dianggaplah nama daerah itu ”Bungonro”, yang kemudian mendapatkan penyempurnaan pengucapan menjadi “Bungoro”. |
||
Pada masa pemerintahan kekaraengan, Distrik Bungoro dikepalai oleh seorang Karaeng dan didampingi oleh 18 kepala |
Pada masa pemerintahan kekaraengan, Distrik Bungoro dikepalai oleh seorang [[Karaeng]] dan didampingi oleh 18 kepala kampung, seorang diantaranya bergelar [[Loho]], seorang bergelar [[Jennang]], tujuh orang bergelar [[Lo’mo]] dan delapan orang yang bergelar [[Matowa ]]. Ornamentnya (arajangnya) terdiri dari selembar bendera yang dinamai [[Cinde]], yang kemunculannya dianggap dari langit lalu turun ke sebuah bukit yang bernama Cinde. Pusaka kekaraengan Bungoro lainnya adalah sebilah sonri (kelewang) dan tombak yang dinamai Masolo. |
||
Sebagaimana halnya dengan Barasa (Pangkajene) dalam permulaan Abad XVII, Bungoro jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Gowa. Dalam tahun 1667, Bungoro bebas dari kekuasaan Gowa dan dimasukkan oleh Belanda ke dalam apa yang dikatakan Noorderprovincien. Dalam tahun 1824 semasa pemerintahan La Palowong Daeng Pasampo di Bungoro, sebahagian dari kekaraengan ini ditempatkan dibawah pemerintahan Daeng Sidjalling, saudara dari La Palowong Daeng Pasampo. Bahagian yang dikuasai dan diperintah oleh Daeng Sidjalling itu dinamai “Tala’ju” atau “Bungoro Riwawo”, yang terdiri dari Kampung Salebbo (tempat kedudukan dari Karaeng), Barue’, Lampangang, Campagayya dan Landea. |
Sebagaimana halnya dengan [[Barasa]] (Pangkajene) dalam permulaan Abad XVII, Bungoro jatuh ke dalam kekuasaan [[Kerajaan Gowa]]. Dalam tahun 1667, Bungoro bebas dari kekuasaan Gowa dan dimasukkan oleh Belanda ke dalam apa yang dikatakan Noorderprovincien. Dalam tahun 1824 semasa pemerintahan La Palowong Daeng Pasampo di Bungoro, sebahagian dari kekaraengan ini ditempatkan dibawah pemerintahan Daeng Sidjalling, saudara dari La Palowong [[Daeng]] Pasampo. Bahagian yang dikuasai dan diperintah oleh Daeng Sidjalling itu dinamai “Tala’ju” atau “Bungoro Riwawo”, yang terdiri dari Kampung Salebbo (tempat kedudukan dari Karaeng), Barue’, Lampangang, Campagayya dan Landea. |
||
Sewaktu regent (Karaeng) Bungoro yang bernama La Mallantingang Daeng Pabeta dalam tahun 1668 berhenti dari jabatannya, anaknya yang bernama La Pabbicara Daeng Manimbangi masih kecil. Oleh karenanya, Kepala Regent Labakkang yang bernama La Mannaggongang Daeng Pasawi ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda selaku pejabat regent Bungoro untuk sementara waktu. (Makkulau, 2008). |
Sewaktu regent (Karaeng) Bungoro yang bernama La Mallantingang Daeng Pabeta dalam tahun 1668 berhenti dari jabatannya, anaknya yang bernama La Pabbicara Daeng Manimbangi masih kecil. Oleh karenanya, Kepala Regent Labakkang yang bernama La Mannaggongang Daeng Pasawi ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda selaku pejabat regent Bungoro untuk sementara waktu. (Makkulau, 2008). |
||
Dalam Tahun 1893, La Pabbicara Daeng Manimbangi tersebut diangkat menjadi Kepala Regent Bungoro. Dalam tahun 1906 kepala regent ini diasingkan ke Padang (Sumatera Barat) oleh Belanda karena dianggap berbahaya bagi keamanan dan ketenteraman di Sulawesi Selatan berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 16 Februari 1906 No. 26. Olehnya itu menurut Surat Penetapan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1906 No. 34 (Stbl No. 309), Keregent-nan Bungoro dihapuskan dan digabungkan pada |
Dalam Tahun 1893, La Pabbicara Daeng Manimbangi tersebut diangkat menjadi Kepala Regent Bungoro. Dalam tahun 1906 kepala regent ini diasingkan ke Padang (Sumatera Barat) oleh Belanda karena dianggap berbahaya bagi keamanan dan ketenteraman di [[Sulawesi Selatan]] berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah [[Hindia Belanda]] tanggal 16 Februari 1906 No. 26. Olehnya itu menurut Surat Penetapan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1906 No. 34 (Stbl No. 309), Keregent-nan Bungoro dihapuskan dan digabungkan pada Keregentnan Pangkajene. |
||
Dalam Tahun 1918 Bungoro dikembalikan menjadi Kekaraengan tersendiri menurut Surat Penetapan Gubernur Celebes dan daerah – daerah takluknya tertanggal 1 Mei 1918 No. 86 / XIX sambil menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat Hindia Belanda. Pada masa itu yang menjadi Karaeng Bungoro adalah La Tambi, kemudian beliau digantikan oleh La DolohaE Daeng Palallo. Selanjutnya La Dolohae Dg Palallo digantikan oleh Andi Mustari yang juga merupakan Camat pertama di Bungoro. (Makkulau, 2008). |
Dalam Tahun 1918 Bungoro dikembalikan menjadi Kekaraengan tersendiri menurut Surat Penetapan Gubernur Celebes dan daerah – daerah takluknya tertanggal 1 Mei 1918 No. 86 / XIX sambil menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat Hindia Belanda. Pada masa itu yang menjadi Karaeng Bungoro adalah La Tambi, kemudian beliau digantikan oleh La DolohaE Daeng Palallo. Selanjutnya La Dolohae Dg Palallo digantikan oleh Andi Mustari yang juga merupakan Camat pertama di Bungoro. (Makkulau, 2008). |
Revisi per 31 Januari 2010 08.51
Bungoro : Salah satu kecamatan dalam lingkup Kabupaten Pangkep, luasnya mencapai 90,12 km2 atau 8,10 % dari luas wilayah Kabupaten Pangkep secara keseluruhan. Untuk mencapai kecamatan ini dapat ditempuh 2 km dari ibukota kabupaten, Pangkajene. Pada masa pemerintahan kekaraengan, Bungoro merupakan salah satu wilayah adatgemeenschap di Pangkep, selain Pangkajene, Balocci, Labakkang, Ma’rang, Segeri dan Mandalle. Pada mulanya Bungoro dinamai Kalumpang, yang didirikan oleh seorang anak tunggal dari Karaeng Barasa (Pangkajene) di Kalumpang. Menurut A. Baso Tantu, Kalumpang adalah nama pohon / tanaman keras yang dijadikan nama untuk daerah Bungoro sekarang, yang tidak disetujui oleh bate anak Karaeng Gowa yang diutus oleh Gowa untuk memerintah di daerah ini. Karena itu, Kalumpang diganti namanya menjadi Bungoro, yang juga nama lain dari pohon tersebut. (Makkulau, 2008). Versi lain dari Asal Muasal nama ”Bungoro” yang penulis dapatkan adalah cerita tentang kedatangan Belanda untuk pertama kali di daerah Bungoro sekarang, kemudian sambil menunjuk ke bawah menanyakan nama daerah baru yang didatanginya tersebut. Penduduk yang berpenutur Bahasa Bugis malahan menganggap bahwa yang ditanyakan itu adalah sebuah sumur yang berada tidak jauh dari tempat berdiri dan menunjuk sang Belanda itu. Jadi penduduk itu menjawabnya, “Bungung ro” (Bugis : sumur itu). Oleh Belanda, dianggaplah nama daerah itu ”Bungonro”, yang kemudian mendapatkan penyempurnaan pengucapan menjadi “Bungoro”. Pada masa pemerintahan kekaraengan, Distrik Bungoro dikepalai oleh seorang Karaeng dan didampingi oleh 18 kepala kampung, seorang diantaranya bergelar Loho, seorang bergelar Jennang, tujuh orang bergelar Lo’mo dan delapan orang yang bergelar Matowa . Ornamentnya (arajangnya) terdiri dari selembar bendera yang dinamai Cinde, yang kemunculannya dianggap dari langit lalu turun ke sebuah bukit yang bernama Cinde. Pusaka kekaraengan Bungoro lainnya adalah sebilah sonri (kelewang) dan tombak yang dinamai Masolo. Sebagaimana halnya dengan Barasa (Pangkajene) dalam permulaan Abad XVII, Bungoro jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Gowa. Dalam tahun 1667, Bungoro bebas dari kekuasaan Gowa dan dimasukkan oleh Belanda ke dalam apa yang dikatakan Noorderprovincien. Dalam tahun 1824 semasa pemerintahan La Palowong Daeng Pasampo di Bungoro, sebahagian dari kekaraengan ini ditempatkan dibawah pemerintahan Daeng Sidjalling, saudara dari La Palowong Daeng Pasampo. Bahagian yang dikuasai dan diperintah oleh Daeng Sidjalling itu dinamai “Tala’ju” atau “Bungoro Riwawo”, yang terdiri dari Kampung Salebbo (tempat kedudukan dari Karaeng), Barue’, Lampangang, Campagayya dan Landea. Sewaktu regent (Karaeng) Bungoro yang bernama La Mallantingang Daeng Pabeta dalam tahun 1668 berhenti dari jabatannya, anaknya yang bernama La Pabbicara Daeng Manimbangi masih kecil. Oleh karenanya, Kepala Regent Labakkang yang bernama La Mannaggongang Daeng Pasawi ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda selaku pejabat regent Bungoro untuk sementara waktu. (Makkulau, 2008). Dalam Tahun 1893, La Pabbicara Daeng Manimbangi tersebut diangkat menjadi Kepala Regent Bungoro. Dalam tahun 1906 kepala regent ini diasingkan ke Padang (Sumatera Barat) oleh Belanda karena dianggap berbahaya bagi keamanan dan ketenteraman di Sulawesi Selatan berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 16 Februari 1906 No. 26. Olehnya itu menurut Surat Penetapan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1906 No. 34 (Stbl No. 309), Keregent-nan Bungoro dihapuskan dan digabungkan pada Keregentnan Pangkajene. Dalam Tahun 1918 Bungoro dikembalikan menjadi Kekaraengan tersendiri menurut Surat Penetapan Gubernur Celebes dan daerah – daerah takluknya tertanggal 1 Mei 1918 No. 86 / XIX sambil menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat Hindia Belanda. Pada masa itu yang menjadi Karaeng Bungoro adalah La Tambi, kemudian beliau digantikan oleh La DolohaE Daeng Palallo. Selanjutnya La Dolohae Dg Palallo digantikan oleh Andi Mustari yang juga merupakan Camat pertama di Bungoro. (Makkulau, 2008).