Lompat ke isi

Gondang (musik Sunda): Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Anashir (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
SU42Rita (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
Gondang adalah lagu pada [[tutunggulan]]<ref name="sumber2">Danadibrata,R.A.2006.Kamus Basa Sunda.Bandung:Kiblat Kaca 232</ref>.Ngagondang adalah kakawihan yang dipirig oleh tutunggulan<ref name="sumber2"></ref>.
{{paragraf pembuka}}
Pada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci SANGHYANG SRI, waktu menumbuk padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah panen usai<ref name="sumber1">[http://www.sundanet.com/?p=72 SENI GONDANG](diakses 31 oktober 2011)</ref>.Yang melakukan gondang yaitu wanita yang dianggap suci atau sudah tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman Prabu Siliwangi<ref name="sumber2">[http://iwansusanto.com/kesenian-gondang-hut-majalengka-ke-519.htm Kesenian Gondang, HUT Kabupaten Majalengka ke-519](diakses 31 Oktober 2011)</ref>. Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta kasih, dengan gerak dan lagu yang romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang<ref name="sumber1"></ref>. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan<ref name="sumber1"></ref>.
Pada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci SANGHYANG SRI, waktu menumbuk padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah panen usai<ref name="sumber1">[http://www.sundanet.com/?p=72 SENI GONDANG](diakses 31 oktober 2011)</ref>.Yang melakukan gondang yaitu wanita yang dianggap suci atau sudah tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman Prabu Siliwangi<ref name="sumber2">[http://iwansusanto.com/kesenian-gondang-hut-majalengka-ke-519.htm Kesenian Gondang, HUT Kabupaten Majalengka ke-519](diakses 31 Oktober 2011)</ref>. Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta kasih, dengan gerak dan lagu yang romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang<ref name="sumber1"></ref>. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan<ref name="sumber1"></ref>.



Revisi per 2 November 2011 06.56

Gondang adalah lagu pada tutunggulan[1].Ngagondang adalah kakawihan yang dipirig oleh tutunggulan[1]. Pada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci SANGHYANG SRI, waktu menumbuk padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah panen usai[2].Yang melakukan gondang yaitu wanita yang dianggap suci atau sudah tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman Prabu Siliwangi[1]. Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta kasih, dengan gerak dan lagu yang romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang[2]. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan[2].

Lagu-lagu yang dipergunakan banyak mengambil dari lagu rakyat, atau lagu perkembangan yang diubah katanya[2]. Salah seorang inovator seni pertunjukan ini adalah Tatang Kosasih, yang mengolahnya pada awal tahun 1960-an[2]. Kata-katanya tidak saja berbahasa Sunda, tetapi dicampur dengan bahasa Indonesia, dan untuk membedakan dengan kreasi gondang lainnya, gondang karya Tatang Kosasih biasa disebut “gondang tidak jangan”[2]. Mang Koko dan Wahyu Wibisana pernah membuat Gondang Samagaha (gerhana), yang mengisahkan kegiatan muda-mudi dikala terjadi gerhana, diiringi gamelan pelog dan salendro[2].

Salah satu ciri gondang adalah adanya kegiatan “tutunggulan” dengan alat alu atau lesung[2]. “Tingtung tutunggulan gondang” artinya bunyi-bunyian yang terdengar dari pukulan alu dan lesung yang dimainkan oleh beberapa orang, sehingga membentuk paduan bunyi yang polyphonis[2].

Tutunggulan biasa pula dijadikan “tangara” (tanda) untuk masyarakat sekitarnya bahwa ada seseorang yang akan melangsungkan perhelatan[2].

Referensi

  1. ^ a b c Danadibrata,R.A.2006.Kamus Basa Sunda.Bandung:Kiblat Kaca 232 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "sumber2" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ a b c d e f g h i j SENI GONDANG(diakses 31 oktober 2011)