Sastra Islam: Perbedaan antara revisi
kTidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 2: | Baris 2: | ||
==Sastra Islam di Indonesia== |
==Sastra Islam di Indonesia== |
||
Dalam literatur sastra di [[Indonesia]], sastra keagamaan, khususnya Islam, meski tidak diakui secara universal, tampaknya telah menjadi genre tersendiri. Menurut [[A. Teeuw]], dalam [[sejarah]] sastra di Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema sastra dari [[Hamzah Fansuri]] hingga Sutardji. Selain keduanya, tema ini pun juga menjadi tema pavorit (''[[an sich]]'') bagi [[Sunan Bonang]], Yasadipura II, [[Ranggawarsita III]], [[Raja Ali Haji]], [[Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi]], [[Sanusi Pane]], [[HAMKA]], [[Amir Hamzah]], [[Chairil Anwar]], [[Achdiat Karta Mihardja]], [[Bachrum Rangkuti]], [[AA. Navis]], Jamil Suherman, [[Kuntowijoyo]], [[Danarto]], dan [[Abdul Hadi WM]]<ref name="republika">Sukron Kamil: Corak Baru Genre Sastra Islam Indonesia Mutakhir, Republika, 4 Mei 2010.</ref>. |
Dalam [[literatur]] sastra di [[Indonesia]], sastra keagamaan, khususnya Islam, meski tidak diakui secara universal, tampaknya telah menjadi genre tersendiri. Menurut [[A. Teeuw]], dalam [[sejarah]] sastra di Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema sastra dari [[Hamzah Fansuri]] hingga Sutardji. Selain keduanya, tema ini pun juga menjadi tema pavorit (''[[an sich]]'') bagi [[Sunan Bonang]], Yasadipura II, [[Ranggawarsita III]], [[Raja Ali Haji]], [[Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi]], [[Sanusi Pane]], [[HAMKA]], [[Amir Hamzah]], [[Chairil Anwar]], [[Achdiat Karta Mihardja]], [[Bachrum Rangkuti]], [[AA. Navis]], Jamil Suherman, [[Kuntowijoyo]], [[Danarto]], dan [[Abdul Hadi WM]]<ref name="republika">Sukron Kamil: Corak Baru Genre Sastra Islam Indonesia Mutakhir, Republika, 4 Mei 2010.</ref>. |
||
Menurut Sukron Kamil, di Indonesia, sastra Islam dikenal dengan banyak sebutan. Diantaranya: (1) sastra [[sufistik]], yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (''tazkiyah an-nafs'') dengan berakhlak baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah. (2) Sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan perjalanan [[spiritual]] seorang [[sufi]] mencapai taraf di mana hubungan jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu [[musyâhadah]], penyaksian terhadap keesaan Allah. (3) Sastra [[transendental]], yaitu sastra yang membahas [[Tuhan]] Yang Transenden. Dan (4) sastra [[profetik]], yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.<ref name="republika"/> |
Menurut Sukron Kamil, di Indonesia, sastra Islam dikenal dengan banyak sebutan. Diantaranya: (1) sastra [[sufistik]], yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (''tazkiyah an-nafs'') dengan berakhlak baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah. (2) Sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan perjalanan [[spiritual]] seorang [[sufi]] mencapai taraf di mana hubungan jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu [[musyâhadah]], penyaksian terhadap keesaan Allah. (3) Sastra [[transendental]], yaitu sastra yang membahas [[Tuhan]] Yang Transenden. Dan (4) sastra [[profetik]], yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.<ref name="republika"/> |
||
Baris 9: | Baris 9: | ||
Menurut [[Abdurrahman Wahid]], sastra Islam merupakan bagian dari [[peradaban Islam]] yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong melihatnya secara [[legalitas formal]] dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada al Qur’an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang [[muslim]] yang tidak bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari [[al Qur’an]] dan [[Hadits]] (formal) dan bersifat adoptif terhadap pengaruh-pengaruh lain terutama dimensi [[sosiologis]] dan [[psikologis]] [[sastrawan muslim]] yang tercermin dari karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya<ref>Majalah Horison, 7/1984</ref>. |
Menurut [[Abdurrahman Wahid]], sastra Islam merupakan bagian dari [[peradaban Islam]] yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong melihatnya secara [[legalitas formal]] dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada al Qur’an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang [[muslim]] yang tidak bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari [[al Qur’an]] dan [[Hadits]] (formal) dan bersifat adoptif terhadap pengaruh-pengaruh lain terutama dimensi [[sosiologis]] dan [[psikologis]] [[sastrawan muslim]] yang tercermin dari karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya<ref>Majalah Horison, 7/1984</ref>. |
||
==Periodisasi Sastra Islam di Nusantara== |
|||
Menurut [[Abdul Hadi WM]]<ref>Prof Abdul Hadi WM, Artikel: Sastra Islam Melayu Indonesia, 2008</ref>, Sastra Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari perkembangan sastra [[Melayu]]. Sedangkan perkembangan sastra Melayu Islam sejak awal kemunculannya hingga akhir zaman klasiknya dapat dibagi menjadi empat periodisasi: (1) Zaman Awal, pada abad ke-14 – 15 M; (2) Zaman Peralihan, dari akhir abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 M; (3) Zaman Klasik, dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M; (4) Zaman Akhir, dari pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-20 M. |
|||
===Sastra Islam Nusantara Zaman Awal=== |
|||
Zaman Awal ditandai dengan munculnya terjemahan dan saduran karya-karya [[Arab]] dan [[Persia]] ke dalam bahasa Melayu. Babakan ini bersamaan dengan munculnya dua kerajaan Islam awal yaitu Samudra Pasai (1270-1516 M) dan Malaka (1400-1511 M). Karya-karya saduran dan terjemahan itu pada umumnya ditulis untuk kepentingan pengajaran dan penyebaran agama. Terutama epos Arab Persia seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya; kisah-kisah para nabi (Qisas al-Anbiya‘), termasuk [[Nabi Muhammad s.a.w]]., dan cerita berbingkai seperti Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Seribu Satu Malam. Pada masa ini, puisi beberapa penyair seperti [[Ma‘arri]], [[Umar Khayyam]], ‘Attar, Sa‘di, dan Rumi juga telah muncul terjemahannya dalam bahasa Melayu. |
|||
===Sastra Islam Nusantara Zaman Peralihan=== |
|||
Zaman Peralihan berlangsung bersamaan dengan masa akhir kejayaan [[Malaka]] dan munculnya kesultanan [[Aceh Darussalam]] (1516-1700 M). Zaman ini ditandai dengan usaha Melayunisasi hikayat-hikayat Arab dan Persia, pengislaman kisah-kisah warisan zaman [[Hindu]], dan penulisan epos lokal serta historiografi. Syair-syair [[tasawuf]], agiografi sufi, dan alegori-alegori mistik mulai ditulis pada zaman ini. Di antara alegori mistik terkenal ialah [[Hikayat Burung Pingai]], yang merupakan versi Melayu dari Mantiq al-Tayr ([[Musyawarah Burung]]) karangan penyair sufi Persia [[Farid al-Din al-‘Attar]] (w. 1220 M). |
|||
===Sastra Islam Nusantara Zaman Akhir=== |
|||
Zaman Klasik sastra Melayu berlangsung dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M. Periode ini ditandai dengan kesadaran pengarang Melayu untuk membubuhkan nama diri dalam karangan yang ditulisnya. Syair-syair tasawuf dan karya bercorak sufistik lain kian banyak dilahirkan dalam periode ini, begitu juga epos, karya sejarah, dan roman yang lebih orisinal. Keorisinalan karya penulis Melayu pada [[periode]] ini tampak terutama dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri yang indah dan begitu mendalam isinya. |
|||
Dalam menulis karya-karya mereka, penulis-penulis Melayu pada umumnya bertolak dari dua wawasan estetika yang popular di dunia Islam. Pertama, wawasan etsteika yag diasaskan para filosof dan teoritikus peripatetik (mashsha‘iya) seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Abdul Qahir al-Jurjani, yang memandang sastra sebagai karya imaginatif (mutakhayyil). Keimaginatifan sebuah karya bisa tercapai jika pengarang menggunakan bahasa figuratif (majaz) seintensif dan semaksimal mungkin. Wawasan estetik ini merupakan sintesa pandangan Plato dan Aristoteles. Kedua, wawasan [[estetika]] yang diasaskan para sufi seperti [[Imam al-Ghazali]], [[Ibn ‘Arabi]], ‘Attar, Rumi, dan Jami. Bagi mereka karya sastra adalah representasi simbolik dari gagasan dan pengalaman keruhanian. |
|||
===Sastra Islam Nusantara Zaman Klasik=== |
|||
Zaman Akhir membentang dari awal abad ke-18 hingga akhir abad ke-19 M. Pada periode ini karya-karya keislaman ditulis di berbagai pusat kebudayaan Islam baru seperti [[Palembang]], [[Banjarmasin]], [[Pattani]], [[Johor]], [[Riau]], [[Kelantan]], dan tempat-tempat lain di kepulauan Melayu. Sekalipun sejak akhir abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam ini sudah jatuh ke tangan penguasa kolonial seperti Belanda dan [[Inggris]], namun kegiatan penulisan sastra Islam masih terus berlanjut hingga awal abad ke-20 M. Tidak banyak pembaruan dilakukan pada zaman ini. Namun zaman ini melahirkan penulis-penulis kitab keagamaan dan historiografi terkemuka seperti Abdul Samad al-Falimbangi, [[Arsyad al-Banjari]], Kimas Fakhrudin, Sultan Badruddin, Nawawi al- Bantani, [[Raja Ali Haji]], dan lain-lain. |
|||
===Sastra Melayu dan Hikayat=== |
|||
Menurut Abdul Hadi WM<ref>ibid</ref>, dalam sastra Melayu semua karya berbentuk prosa pada umumnya disebut hikayat, dari kata-kata Arab yang arti literalnya ialah kisah atau cerita. Berdasarkan pokok pembahasan dan corak penyajiannya, keseluruhan hikayat Melayu lazim dibagi ke dalam sepuluh jenis: |
|||
1. Hikayat Para Nabi, biasa disebut Surat Anbiya‘. Mengisahkan kehidupan para nabi sebelum Nabi Muhammad, termasuk [[Nabi Adam]], Idris, Nuh, Ibrahim, Musa, Ayub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Isa Almasih, dan lain sebagainya. Yang paling populer ialah Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Yusuf dan Zuleikha, dan Isa Almasih. |
|||
2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan kehidupan Nabi Muhammad. Termasuk Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi dan Iblis, Hikayat Nabi dan Orang Miskin, Hikayat Nabi Mengajar Ali, dan lain sebagainya. |
|||
3. Kisah Sahabat dan Kerabat Nabi. Menceritakan kehidupan dan perjuangan sahabat-sahabat Nabi Muhammad seperti Abu Bakar, [[Umar bin Khattab]], Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hikayat Raja Handak, Hikayat Salman al-Farisi, Hikayat Hasan dan Husein, dan lain sebagainya. |
|||
4. Hikayat Para Wali Sufi. Misalnya Hikayat Rabi‘ah al-Adawiyah, Hikayat Ibrahim Adham, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syamsi Tabriz, dan lain-lain. |
|||
5. Hikayat Pahlawan atau epos. Misalnya yang paling populer dan dijumpai dalam berbagai versi ialah Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya. |
|||
6. Hikayat Para Bangsawan. Misalnya Hikayat Johar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Siti Hasanah, Hikayat Siti Zubaidah Berperang dengan Pendekar Cina, Hikayat Syekh Mardan dan lain sebagainya. Hikayat jenis ini paling banyak dijumpai dalam sastra Melayu. Yang diceritakan biasanya adalah petualangan, percintaan, dan perjuangan tokoh membela negeri atau martabat keluarga. Jadi termasuk ke dalam jenis roman. |
|||
7. Perumpamaan atau Alegori Sufi. Pada umumnya alegori sufi digubah berdasarkan roman yang popular, tetapi disajikan secara simbolik sebagai kisah perjalanan kerohanian. Yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Inderaputra, Hikayat Burung Pingai, dan lain-lain. |
|||
8. Cerita Berbingkai. Sebagian besar kisah berbingkai dalam sastra Melayu merupakan saduran dari cerita berbingkai Arab dan Persia. Yang terkenal selain Kisah Seribu Satu Malam adalah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bachtiar, Hikayat Khalilah dan Dimnah, dan lain-lain. Di antara cerita terbingkai ini termasuk fabel, yaitu Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Khalilah dan Dimnah. Sebelum hadirnya versi Arab Persia, telah hadir versi India dalam sastra Jawa dengan judul Tantri Kamandaka, yang merupakan saduran dari Panchatantra. Fabel asli Melayu yang terkenal ialah Kisah Pelanduk Jenaka. |
|||
9. Kisah Jenaka. Yang terkenal Hikayat Abu Nuwas dan Hikayat Nasrudin Affandi. Kisah Jenaka asli Melayu yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Pak Belalang. |
|||
10.Karya bercorak sejarah atau historiografi. Karya semacam ini sering pula disebut salasilah. Khazanahnya tergolong banyak dalam sastra Melayu. Yang terkenal ialah Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Aceh, dan lain-lain. |
|||
==Catatan Kaki== |
==Catatan Kaki== |
Revisi per 22 Desember 2011 12.34
Sastra Islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran Islam; memuji dan mengangkat tokoh-tokoh Islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam; mengkritik pemahaman Islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat asli Islam awal, atau paling tidak, sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Goenawan Mohammad: 2010).
Sastra Islam di Indonesia
Dalam literatur sastra di Indonesia, sastra keagamaan, khususnya Islam, meski tidak diakui secara universal, tampaknya telah menjadi genre tersendiri. Menurut A. Teeuw, dalam sejarah sastra di Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema sastra dari Hamzah Fansuri hingga Sutardji. Selain keduanya, tema ini pun juga menjadi tema pavorit (an sich) bagi Sunan Bonang, Yasadipura II, Ranggawarsita III, Raja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Sanusi Pane, HAMKA, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, Bachrum Rangkuti, AA. Navis, Jamil Suherman, Kuntowijoyo, Danarto, dan Abdul Hadi WM[1].
Menurut Sukron Kamil, di Indonesia, sastra Islam dikenal dengan banyak sebutan. Diantaranya: (1) sastra sufistik, yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlak baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah. (2) Sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf di mana hubungan jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu musyâhadah, penyaksian terhadap keesaan Allah. (3) Sastra transendental, yaitu sastra yang membahas Tuhan Yang Transenden. Dan (4) sastra profetik, yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.[1]
Pendapat lain menyebutkan, Kesusastraan Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa, cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia (l'art par die et l'art pour humanite) yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani. Seperti disebutkan dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta, yang dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik[2].
Menurut Abdurrahman Wahid, sastra Islam merupakan bagian dari peradaban Islam yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong melihatnya secara legalitas formal dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada al Qur’an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang muslim yang tidak bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari al Qur’an dan Hadits (formal) dan bersifat adoptif terhadap pengaruh-pengaruh lain terutama dimensi sosiologis dan psikologis sastrawan muslim yang tercermin dari karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya[3].
Periodisasi Sastra Islam di Nusantara
Menurut Abdul Hadi WM[4], Sastra Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari perkembangan sastra Melayu. Sedangkan perkembangan sastra Melayu Islam sejak awal kemunculannya hingga akhir zaman klasiknya dapat dibagi menjadi empat periodisasi: (1) Zaman Awal, pada abad ke-14 – 15 M; (2) Zaman Peralihan, dari akhir abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 M; (3) Zaman Klasik, dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M; (4) Zaman Akhir, dari pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-20 M.
Sastra Islam Nusantara Zaman Awal
Zaman Awal ditandai dengan munculnya terjemahan dan saduran karya-karya Arab dan Persia ke dalam bahasa Melayu. Babakan ini bersamaan dengan munculnya dua kerajaan Islam awal yaitu Samudra Pasai (1270-1516 M) dan Malaka (1400-1511 M). Karya-karya saduran dan terjemahan itu pada umumnya ditulis untuk kepentingan pengajaran dan penyebaran agama. Terutama epos Arab Persia seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya; kisah-kisah para nabi (Qisas al-Anbiya‘), termasuk Nabi Muhammad s.a.w., dan cerita berbingkai seperti Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Seribu Satu Malam. Pada masa ini, puisi beberapa penyair seperti Ma‘arri, Umar Khayyam, ‘Attar, Sa‘di, dan Rumi juga telah muncul terjemahannya dalam bahasa Melayu.
Sastra Islam Nusantara Zaman Peralihan
Zaman Peralihan berlangsung bersamaan dengan masa akhir kejayaan Malaka dan munculnya kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Zaman ini ditandai dengan usaha Melayunisasi hikayat-hikayat Arab dan Persia, pengislaman kisah-kisah warisan zaman Hindu, dan penulisan epos lokal serta historiografi. Syair-syair tasawuf, agiografi sufi, dan alegori-alegori mistik mulai ditulis pada zaman ini. Di antara alegori mistik terkenal ialah Hikayat Burung Pingai, yang merupakan versi Melayu dari Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karangan penyair sufi Persia Farid al-Din al-‘Attar (w. 1220 M).
Sastra Islam Nusantara Zaman Akhir
Zaman Klasik sastra Melayu berlangsung dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M. Periode ini ditandai dengan kesadaran pengarang Melayu untuk membubuhkan nama diri dalam karangan yang ditulisnya. Syair-syair tasawuf dan karya bercorak sufistik lain kian banyak dilahirkan dalam periode ini, begitu juga epos, karya sejarah, dan roman yang lebih orisinal. Keorisinalan karya penulis Melayu pada periode ini tampak terutama dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri yang indah dan begitu mendalam isinya.
Dalam menulis karya-karya mereka, penulis-penulis Melayu pada umumnya bertolak dari dua wawasan estetika yang popular di dunia Islam. Pertama, wawasan etsteika yag diasaskan para filosof dan teoritikus peripatetik (mashsha‘iya) seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Abdul Qahir al-Jurjani, yang memandang sastra sebagai karya imaginatif (mutakhayyil). Keimaginatifan sebuah karya bisa tercapai jika pengarang menggunakan bahasa figuratif (majaz) seintensif dan semaksimal mungkin. Wawasan estetik ini merupakan sintesa pandangan Plato dan Aristoteles. Kedua, wawasan estetika yang diasaskan para sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, ‘Attar, Rumi, dan Jami. Bagi mereka karya sastra adalah representasi simbolik dari gagasan dan pengalaman keruhanian.
Sastra Islam Nusantara Zaman Klasik
Zaman Akhir membentang dari awal abad ke-18 hingga akhir abad ke-19 M. Pada periode ini karya-karya keislaman ditulis di berbagai pusat kebudayaan Islam baru seperti Palembang, Banjarmasin, Pattani, Johor, Riau, Kelantan, dan tempat-tempat lain di kepulauan Melayu. Sekalipun sejak akhir abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam ini sudah jatuh ke tangan penguasa kolonial seperti Belanda dan Inggris, namun kegiatan penulisan sastra Islam masih terus berlanjut hingga awal abad ke-20 M. Tidak banyak pembaruan dilakukan pada zaman ini. Namun zaman ini melahirkan penulis-penulis kitab keagamaan dan historiografi terkemuka seperti Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Kimas Fakhrudin, Sultan Badruddin, Nawawi al- Bantani, Raja Ali Haji, dan lain-lain.
Sastra Melayu dan Hikayat
Menurut Abdul Hadi WM[5], dalam sastra Melayu semua karya berbentuk prosa pada umumnya disebut hikayat, dari kata-kata Arab yang arti literalnya ialah kisah atau cerita. Berdasarkan pokok pembahasan dan corak penyajiannya, keseluruhan hikayat Melayu lazim dibagi ke dalam sepuluh jenis:
1. Hikayat Para Nabi, biasa disebut Surat Anbiya‘. Mengisahkan kehidupan para nabi sebelum Nabi Muhammad, termasuk Nabi Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Musa, Ayub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Isa Almasih, dan lain sebagainya. Yang paling populer ialah Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Yusuf dan Zuleikha, dan Isa Almasih.
2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan kehidupan Nabi Muhammad. Termasuk Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi dan Iblis, Hikayat Nabi dan Orang Miskin, Hikayat Nabi Mengajar Ali, dan lain sebagainya.
3. Kisah Sahabat dan Kerabat Nabi. Menceritakan kehidupan dan perjuangan sahabat-sahabat Nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hikayat Raja Handak, Hikayat Salman al-Farisi, Hikayat Hasan dan Husein, dan lain sebagainya.
4. Hikayat Para Wali Sufi. Misalnya Hikayat Rabi‘ah al-Adawiyah, Hikayat Ibrahim Adham, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syamsi Tabriz, dan lain-lain.
5. Hikayat Pahlawan atau epos. Misalnya yang paling populer dan dijumpai dalam berbagai versi ialah Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya.
6. Hikayat Para Bangsawan. Misalnya Hikayat Johar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Siti Hasanah, Hikayat Siti Zubaidah Berperang dengan Pendekar Cina, Hikayat Syekh Mardan dan lain sebagainya. Hikayat jenis ini paling banyak dijumpai dalam sastra Melayu. Yang diceritakan biasanya adalah petualangan, percintaan, dan perjuangan tokoh membela negeri atau martabat keluarga. Jadi termasuk ke dalam jenis roman.
7. Perumpamaan atau Alegori Sufi. Pada umumnya alegori sufi digubah berdasarkan roman yang popular, tetapi disajikan secara simbolik sebagai kisah perjalanan kerohanian. Yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Inderaputra, Hikayat Burung Pingai, dan lain-lain.
8. Cerita Berbingkai. Sebagian besar kisah berbingkai dalam sastra Melayu merupakan saduran dari cerita berbingkai Arab dan Persia. Yang terkenal selain Kisah Seribu Satu Malam adalah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bachtiar, Hikayat Khalilah dan Dimnah, dan lain-lain. Di antara cerita terbingkai ini termasuk fabel, yaitu Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Khalilah dan Dimnah. Sebelum hadirnya versi Arab Persia, telah hadir versi India dalam sastra Jawa dengan judul Tantri Kamandaka, yang merupakan saduran dari Panchatantra. Fabel asli Melayu yang terkenal ialah Kisah Pelanduk Jenaka.
9. Kisah Jenaka. Yang terkenal Hikayat Abu Nuwas dan Hikayat Nasrudin Affandi. Kisah Jenaka asli Melayu yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Pak Belalang.
10.Karya bercorak sejarah atau historiografi. Karya semacam ini sering pula disebut salasilah. Khazanahnya tergolong banyak dalam sastra Melayu. Yang terkenal ialah Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Aceh, dan lain-lain.