Lompat ke isi

Minahasa: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 24: Baris 24:
'''Minahasa''' secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau [[Maesa]] yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari [[Tontemboan]], [[Tombulu]], [[Tonsea]], Tolour ([[Tondano]]), [[Tonsawang]], [[Ponosakan]], [[Pasan]], dan [[Bantik]].
'''Minahasa''' secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau [[Maesa]] yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari [[Tontemboan]], [[Tombulu]], [[Tonsea]], Tolour ([[Tondano]]), [[Tonsawang]], [[Ponosakan]], [[Pasan]], dan [[Bantik]].


Asal usul nama “Minahasa”
Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah [[J.D. Schierstein]], [[Residen]] [[Manado]], dalam laporannya kepada [[Gubernur]] [[Maluku]] pada [[8 Oktober]] [[1789]]. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai ''Landraad'' atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".
Diakui, bahwa sampai saat ini belum ditemukan sumber-sumber lain yang menjelaskan, siapa orang pertama yang menggunakan nama Minahasa, selain Residen J.D. Schierstein. Bukti-bukti historis menunjukan bahwa sampai sejauh ini, para penulis sejarah lokal yang mengkaitkan tulisan-tulisan mereka dengan nama Minahasa masih tetap merujuk pada laporan yang dibuat oleh bekas Residen Manado Schierstein tanggal 8 Oktober tahun 1789 untuk Alexander Cornabe yang kala itu menjabat sebagai Gubernur di Maluku. Dalam laporan Schierstein ini, untuk pertama kalinya ditemukan penggunaan kata “minhasa” yang kini digunakan sebagai simbol sebuah wilayah yang sekarang ditempati oleh suku bangsa “Minahasa”. Sampai sejauh ini, belum ditemukan ada penelitian komprehensif yang secara kusus membahas sumber dan makna penggunaan kata “minhasa” yang sebelumnya, digunakan J.D. Schierstein dalam laporannya tanggal 10 Oktober 1789 itu. Pemaknaan terhadap kata “minhasa” versi Schierstein, tampak berbeda dengan orang Minahasa yang muncul antara abad ke XIX dan XX. Kutipan berikut menunjukan perbedaannya:


“Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada Paduka Tuan, bahwa “minhasa” atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat-istiadat mereka dan penegasan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan sumpah” [2]
Nama '''Minaesa''' pertama kali muncul pada perkumpulan para "[[Tonaas]]" di [[Watu Pinawetengan]] (Batu Pinabetengan). Nama '''Minahasa''' yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen [[J.D. Schierstein]], tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik [[Bantik]] dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "[[Perang Tateli]]". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi [[Kabupaten Minahasa Utara]], [[Kota Bitung]], dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi [[Tondano]], [[Kakas]], [[Remboken]], [[Eris]], [[Lembean Timur]] dan [[Kombi]]), anak suku Tontemboan (meliputi [[Kabupaten Minahasa Selatan]], dan sebagian [[Kabupaten Minahasa]]), anak suku Tombulu (meliputi [[Kota Tomohon]], sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi [[Tombatu]] dan [[Touluaan]]), anak suku Ponosakan (meliputi [[Belang]]), dan Pasan (meliputi [[Ratahan]]). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri [[Maras]], [[Molas]], [[Bailang]], [[Talawaan Bantik]], [[Bengkol]], [[Buha]], [[Singkil]], [[Malalayang]] (Minanga), [[Kalasey]], [[Tanamon]] dan [[Somoit]] (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata [[kawanua]] yang artinya sama asal kampung.

Bila diperhatikan dengan cermat isi penggunaan kata “minhasa” yang tertulis dalam laporan Schierstein tersebut sebenarnya menguraikan “proses musyawarah” yang diprakarsai Residen J.D. Schierstein untuk mendamaikan pertikaian yang selalu terjadi antar “ukung” dan “walak” dari subetnik: Tontemboan, Tombuluh, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan dan Bantik. Terutama, permusuhan antara para ukung dan “walak dari kelompok subetnik Tondano dan Tonsawang. Proses perdamaian ini ditegaskan lagi oleh Bert Supit seperti berikut ini:

“Perdamaian yang dicapai pada tanggal 9 Desember 1789, pada akhir bulan itu juga disahkan dengan cara adat; suatu prestasi yang gemilang dari Residen J.D. Schierstein. Penyelesaian dilakukannya melalui suatu musyawarah antar-ukung seluruh Minahasa yang diundang untuk menyelenggarakan suatu musyawarah besar. Dalam Musyawarah itu ia mengajak mereka untuk bersama dengan Kompeni, mendamaikan bentrokan antar-walak . Setelah usul ajakannya disetujui, dimintanya agar tiap-tiap ukung mengerahkan kekuatan dan bersama-sama dengan kompeni, memaksa walak-walak lain mengadakan perdamaian” (Supit, 1986:141).

Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi [[Kabupaten Minahasa Utara]], [[Kota Bitung]], dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi [[Tondano]], [[Kakas]], [[Remboken]], [[Eris]], [[Lembean Timur]] dan [[Kombi]]), anak suku Tontemboan (meliputi [[Kabupaten Minahasa Selatan]], dan sebagian [[Kabupaten Minahasa]]), anak suku Tombulu (meliputi [[Kota Tomohon]], sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi [[Tombatu]] dan [[Touluaan]]), anak suku Ponosakan (meliputi [[Belang]]), dan Pasan (meliputi [[Ratahan]]). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri [[Maras]], [[Molas]], [[Bailang]], [[Talawaan Bantik]], [[Bengkol]], [[Buha]], [[Singkil]], [[Malalayang]] (Minanga), [[Kalasey]], [[Tanamon]] dan [[Somoit]] (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata [[kawanua]] yang artinya sama asal kampung.


== Asal Usul Orang Minahasa ==
== Asal Usul Orang Minahasa ==

Revisi per 17 April 2013 03.03

Tari Maengket
Tari Kabasaran

Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi, yang mencakup luas 27.515 km persegi, dan terdiri dari empat daerah, yaitu: Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.

Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut. Terdapat berbagai tumbuhan seperti kelapa dan kebun-kebun cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Kuskus, Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).

Etimology Minahasa

sebutan "Minahasa" sebenarnya berasal dari kata, Mina yang berarti telah diadakan/telah terjadi dan Asa/Esa yang berarti satu, jadi Minahasa berarti telah diadakan persatuan atau mereka yang telah bersatu. ketika peristiwa persatuan diadakan disebut "Mahasa" yang berarti bersatu. Mahasa pertama diadakan di Watu Pinawetengan untuk pembagian wilayah pemukiman, Mahasa kedua diadakan untuk melawan ekspansi kerajaan bolaang-mongondow, Mahasa ketiga dilakukan untuk menyelesaikan pertikaian antara Walak Kakaskasen yang berkedudukan diLotta(kakaskasen, Lotta dan Tateli) dengan Bantik, yang kesemuanya berasal dari satu garis keturunan Toar-Lumimuut.

Huruf

Tulisan kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di antaranya berada di Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini masih sulit diterjemahkan.

Pemerintahan

Pemerintahan kerajaan di Sulawesi Utara berkembang menjadi kerajaan besar yang memiliki pengaruh luas ke luar Sulawesi atau ke Maluku. Pada 670, para pemimpin suku-suku yang berbeda, yang semua berbicara bahasa yang berbeda, bertemu dengan sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang akan membentuk satu unit dan tetap bersama dan akan melawan setiap musuh luar jika mereka diserang. Bagian anak Suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu yang membangun pemerintahan kerajaan dan terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa. Baca tulisan David DS Lumoindong mengenai Kerajaan di Sulawesi Utara.

Minahasa

WARANEY

Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano), Tonsawang, Ponosakan, Pasan, dan Bantik.

Asal usul nama “Minahasa” Diakui, bahwa sampai saat ini belum ditemukan sumber-sumber lain yang menjelaskan, siapa orang pertama yang menggunakan nama Minahasa, selain Residen J.D. Schierstein. Bukti-bukti historis menunjukan bahwa sampai sejauh ini, para penulis sejarah lokal yang mengkaitkan tulisan-tulisan mereka dengan nama Minahasa masih tetap merujuk pada laporan yang dibuat oleh bekas Residen Manado Schierstein tanggal 8 Oktober tahun 1789 untuk Alexander Cornabe yang kala itu menjabat sebagai Gubernur di Maluku. Dalam laporan Schierstein ini, untuk pertama kalinya ditemukan penggunaan kata “minhasa” yang kini digunakan sebagai simbol sebuah wilayah yang sekarang ditempati oleh suku bangsa “Minahasa”. Sampai sejauh ini, belum ditemukan ada penelitian komprehensif yang secara kusus membahas sumber dan makna penggunaan kata “minhasa” yang sebelumnya, digunakan J.D. Schierstein dalam laporannya tanggal 10 Oktober 1789 itu. Pemaknaan terhadap kata “minhasa” versi Schierstein, tampak berbeda dengan orang Minahasa yang muncul antara abad ke XIX dan XX. Kutipan berikut menunjukan perbedaannya:

“Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada Paduka Tuan, bahwa “minhasa” atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat-istiadat mereka dan penegasan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan sumpah” [2]

Bila diperhatikan dengan cermat isi penggunaan kata “minhasa” yang tertulis dalam laporan Schierstein tersebut sebenarnya menguraikan “proses musyawarah” yang diprakarsai Residen J.D. Schierstein untuk mendamaikan pertikaian yang selalu terjadi antar “ukung” dan “walak” dari subetnik: Tontemboan, Tombuluh, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan dan Bantik. Terutama, permusuhan antara para ukung dan “walak dari kelompok subetnik Tondano dan Tonsawang. Proses perdamaian ini ditegaskan lagi oleh Bert Supit seperti berikut ini:

“Perdamaian yang dicapai pada tanggal 9 Desember 1789, pada akhir bulan itu juga disahkan dengan cara adat; suatu prestasi yang gemilang dari Residen J.D. Schierstein. Penyelesaian dilakukannya melalui suatu musyawarah antar-ukung seluruh Minahasa yang diundang untuk menyelenggarakan suatu musyawarah besar. Dalam Musyawarah itu ia mengajak mereka untuk bersama dengan Kompeni, mendamaikan bentrokan antar-walak . Setelah usul ajakannya disetujui, dimintanya agar tiap-tiap ukung mengerahkan kekuatan dan bersama-sama dengan kompeni, memaksa walak-walak lain mengadakan perdamaian” (Supit, 1986:141).

Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku Ponosakan (meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.

Asal Usul Orang Minahasa

Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. [6] orang Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. [7]

Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya, keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.

Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.

Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena berbagai konflik di daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Orang-orang ini karena itu disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air). Danau ini adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.

Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay. Ini merupakan nenek moyang dari subethnic Pasam-Bangko (Ratahan Dan pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage. Ini adalah Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada 1670 dan menjadi walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mangondow- dan akhirnya ke tempat Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Bantik subethnic.

Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:

Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan), Ponosakan, Babontehu, Bantik.

Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.

Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa Bolaang Mangondow berperang melawan. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Mangondow Bolaang adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay).

Kependudukan

Kebanyakan penduduk Minahasa beragama Kristen, dan juga merupakan salah satu suku-bangsa yang paling dekat hubungannya dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Eropa terjadi saat pedagang Spanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata Minahasa berasal dari konfederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.

Taman Laut Bunaken

Di depan pantai kota Manado berada pulau Manado Tua dengan daerah selam yang sangat indah dimana pulau Bunaken jadi salah satu pulau yang terkenal di sekitar lingkungan ini.

Sejarah

KAWASARAN

Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut, pada awalnya para leluhur orang minahasa bermukim di sekitar pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan berpindah ke Nietakkan (dekat tompaso baru).

Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.

Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.

Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow (2x9) : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu (9x7) : Rakyat

Prasasti Pinawetengan

Prasasti Pinawetengan

Batu Pinawetengan terletak di Kecamatan Tompaso Barat. Merupakan batu alam yang diatasnya ditulis dengan huruf hieroglif, yang sampai kini masih belum terpecahkan cara membacanya. Batu ini merupakan tempat diadakannya Musyawarah Perdamaian keturunan Toar dan menjadi tonggak Sejarah perubahan sistem pemerintahan pada keturunan Toar Lumimuut. Menurut Paulus Lumoindong Musyawarah ini terjadi sekitar tahun 300-400 Masehi. Menurut David DS Lumoindong, bahkan penulisan Prasasti ini sejajar atau bahkan lebih tua dari Prasasti Kutai tahun 450 M. Isi tulisan ini menurut Tuturan Sastra Maeres ini berisi Musyawarah Pembagian Wilayah, Deklarasi untuk tetap menjaga kesatuan.

Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahn

Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama).

Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Menurut Paulus Lumoindong peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500 Masehi.

Hasil riset Dr. J.P.G. Riedel, bahwa hal tersebut terjadi sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa.

Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.

Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara Anak suku Toulour : menuju timur (atep) Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besarPada saat itu daratan minahasa belum dipadati penduduk, baru beberapa daerah yang dipadati penduduk, di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia, Kalawatan. Perkembangan anak suku seperti anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik.

Pengembangan Suku {Pemekaran}

Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toumpakewa berubah menjadi Tontemboan, Toumbulu', Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.

Walak dan Pakasa'an Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik zaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Prasasti Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Telebusu (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 zaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.

Sistem Pemerintahan

Sistem Pemerintahan pada empat suku utama terdiri atas :Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak Teterusan : Panglima perang Potuasan : Penasehat

Dalam Sejarah Ratahan, Pasan, Ponosakan dari data buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang Benten (Bentenan) yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada zaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena [Kerajaan Ratahan] bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.

Pergerakan Mengusir Penjajahan

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Spanyol

Minahasa juga pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan berakhir tahun 1645. Perang ini dipicu oleh ketidakadilan Spanyol terhadap orang-orang Minahasa, terutama dalam hal perdagangan beras, sebagai komoditi utama waktu itu. Perang terbuka terjadi nanti pada tahun 1644-1646. Akhir dari perang itu adalah kekalahan total Spanyol, sehingga berhasil diusir oleh para waranei (ksatria-ksatria Minahasa.

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Kompeni Belanda dengan VOC

Di rentang tahun 1679 sampai 1809, adalah masa Kompeni Belanda dengan VOCnya. Di masa ini terjadinya ketegangan yang cukup panas antara hukum adat orang Minahasa dengan hukum Belanda. Perjumpaan antara orang-orang Belanda dengan Minahasa memang tidak terjadi secara baik, karena motivasi orang-orang Belanda sudah tentu ada menjajah. Sementara orang Minahasa tidak suka dijajah. Sejumlah perjanjianpun dibuat untuk berusaha menaklukan orang Minahasa. Tapi, perlawanan pun harus terjadi, puncaknya adalah Perang Tondano yang terjadi tahun 1808 sampai 1809.

Perang Tondano, yang berlangsung selama 11 bulan dan 4 hari itu, terjadi secara herois. Demi mempertahankan kedaulatan Tanah Minahasa, para waranei Minahasa rela mati. Pada tanggal l4 malam jelang tanggal 5 Agustus 1809, perang berkecemuk dengan sengitnya, dan berakhir dengan kakalahan orang Minahasa. Fakta sejarah ini, sekaligus membuktikan bahwa orang Minahasa adalah orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan tanahnya, baca buku "Para Pahlawan Perang Minahasa Lawan Belanda" oleh David DS Lumoindong. Sekaligus juga mengkoreksi stigma banyak orang kepada orang-orang Minahasa, bahwa "orang-orang Minahasa penjilat Belanda". Stigma itu sudah tentu tidak benar, karena Perang Tondano, adalah Perang Minahasa melawan Belanda.

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Jepang

Perjuangan Minahasa untuk merdeka sejak tahun 1808 terus berkobar dan mulai mengobarkan perang gerilya ke seluruh Indonesia. Para pejuang Minahasa masuk ke pasukan Belanda untuk mempelajari segala hal demi menyusun kekuatan besar yang akhirnya dapat memenangkan perang. Di era menjelang Kemerdekaan Indonesia, gerakan perjuangan orang Minahasa telah bergerak secara nasional dengan memanfaatkan segala fasilitas Belanda dan Jepang. Orang minahasa membangun Pasukan Kristen, Perkumpulan para cendekiawan, perkumpulan budaya. Minahasa berhasil mendapatkan kepercayaan Belanda, bahlan pemimpin-pemimpin pasukan belanda dipercayakan pada orang minahasa, seperti Pasukan KNIL. Jabatan yang dipegang orang Minahasa merupakan kekuatan besar yang bersatu dengan para pejuang dari daerah lainnya sehingga Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh besar yang sangat berjasa melahirkan bangsa Indonesian diantaranya Dr.G.S.J.Sam Ratulangi, A.Maramis, Kawilarang, Ventje Sumual,

Ada sebagian kecil orang Minahasa yang memakai marga Jepang karena beberapa orang Minahasa yang menikah dengan orang Jepang. Tanah Minahasa pada zaman purba disebut sebagai [Tanah Malesung] karena bentuknya seperti lesung atau tanah yang berlembah dan bergelombang. Slogan Minahasa: "Si Tou Tumou Tou" yang artinya manusia hidup untuk memanusiakan manusia yang lain, dengan slogan perjuangan "I Yayat U Santi" yang artinya maju untuk membangun negeri.

Pergerakan Mengusir Penjajahan Era Kemerdekaan

Perjuangan Minahasa untuk merdeka terus berkobar saat mempertahankan kemerdekaan. Perang 14 februari 1946.

Lihat pula

Pranala luar