Joan Maetsuycker: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 35: Baris 35:


Setelah posisi VOC di [[kepulauan Maluku]] dapat diperkuat, maka VOC memasang pos di [[Manado]] untuk mengawasi lalulintas dagang antara [[Spanyol]] di kepulauan [[Filipina]] dengan [[Tidore]]. Penyerangan ke Makassar dimundurkan dari jadwal semula yaitu dari yang direncanakan pada tahun 1658. Hal ini disebabkan adanya pemberontakan di Palembang hingga menyebabkan kerugian di pihak VOC. Akibatnya terjadi perang antara VOC dan Palembang pada tahun 1658. Sementara itu pada tahun yang sama VOC membuat perjanjian damai dengan [[Kerajaan Banten]].
Setelah posisi VOC di [[kepulauan Maluku]] dapat diperkuat, maka VOC memasang pos di [[Manado]] untuk mengawasi lalulintas dagang antara [[Spanyol]] di kepulauan [[Filipina]] dengan [[Tidore]]. Penyerangan ke Makassar dimundurkan dari jadwal semula yaitu dari yang direncanakan pada tahun 1658. Hal ini disebabkan adanya pemberontakan di Palembang hingga menyebabkan kerugian di pihak VOC. Akibatnya terjadi perang antara VOC dan Palembang pada tahun 1658. Sementara itu pada tahun yang sama VOC membuat perjanjian damai dengan [[Kerajaan Banten]].

=== Perang Gowa ===
Maetsuyker kembali ke ambisinya semula yaitu mengontrol [[Kesultanan Gowa|Gowa]]. Tindakan awal yang dilakukannya adalah menghancurkan kekuatan pantai Gowa yang saat itu dilindungi oleh kapal-kapal Portugis. Serangan dilakukan pada bulan Agustus [[1660]]. VOC akhirnya berhasil meluluhlantakan kapal-kapal Portugis di pelabuhan Makassar. Akibat dari kekalahan ini, raja Gowa saat itu [[Sultan Hasanuddin]] dipaksa menerima perjanjian damai dengan VOC.

Melihat bahwa Gowa sudah lemah karena angkatan perangnya dikalahkan oleh VOC, pemimpin [[kerajaan Bone]] (yang saat itu merupakan jajahan dari kerajaan Gowa) Arung Palakka memberontak kepada Hasanuddin dan memusatkan kekuatannya di [[Butung]]. VOC melihat pemberontakan Bone kepada Gowa merupakan celah yang bisa dimanfaatkan untuk menguasai Gowa secara keseluruhan. Karena itu pada tahun 1663, VOC mengajak Arung Palakka dan pengikutnya untuk pergi ke [[Batavia]]. Di Batavia, Arung Palakka dijanjikan bahwa Bone akan berdaulat sepenuhnya jika mau membantu VOC menghancurkan Makassar.

Kesepakatan antara Arung Palakka dan Maetsuyker akhirnya disetujui. Pada tahun 1666, dibawah pimpinan [[Laksamana]] [[Cornelis Speelman]] dibantu dengan tentara [[Bugis]] pimpinan Arung Palaka dan juga tentara [[Ambon]] pimpinan dari Kapten Jonker, menyerang Makassar. Tahun 1667, armada Speelman berhasil mendarat di Butung dan menghancurkan tentara Gowa di sana. Dari Butung, Speelman tidak mengarahkan armadanya ke Makassar tetapi langsung menuju Tidore (yang saat itu sudah tidak dilindungi oleh Spanyol) untuk memaksa perjanjian damai dengan VOC. Akibat tekanan yang diberikan oleh VOC Tidore bersedia menerima perjanjian tersebut,dan akhirnya [[Ternate]] dan Tidore sepenuhnya berada dalam kekuasaan VOC.

Kondisi tersebut diatas sangat menguntungkan VOC karena praktis Gowa tidak akan mendapat bantuan dari manapun, apalagi setelah sebelumnya pos Portugis di [[Larantuka]] dihancurkan oleh armada VOC dan akhirnya memaksa Portugis hengkang ke [[Pante Makasar|Lifau]]. Setelah mendarat di Butung, Arung Palakka kembali ke Bone dan mengobarkan revolusi melawan Gowa kepada rakyatnya. Dan pada tahun 1668 Gowa berhasil dikalahkan oleh koalisi VOC dan Bone. Dan pada tanggal 18 November 1668, dilakukan perjanjian antara Sultan Hasanuddin dengan VOC yang dikenal dengan [[Perjanjian Bongaya]]. Isi dari perjanjian tersebut adalah Kerajaan Gowa sepenuhnya berada di bawah kontrol VOC, dan pengaruh Raja Gowa adalah hanya sekitar kota Makassar dan tidak berhak mengontrol wilayah diluar kota.

Perjanjian ini membuat Hasanuddin berang, karena dianggap sangat merugikan kerajaannya. Akhirnya pada awal tahun 1669, dengan kekuatan terakhirnya Gowa melawan tentara VOC. Perlawanan hebat ini berakhir setelah Speelman mendapat bantuan dari Batavia dan berhasil menerobos Benteng terkuat Gowa saat itu, [[Somba Opu, Gowa|Somba Opu]] pada tanggal 22 Juni 1669. Akibat dari kekalahan ini, Sultan Hasanuddin akhirnya mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670. Dengan meninggalnya Sultan Hasanuddin, berakhirlah Perang Gowa, dan sejak saat itu Makassar dikuasai oleh VOC. Kemudian sesuai dengan janjinya, VOC pada tahun 1672 mengangkat Arung Palakka sebagai Raja Bone.


Berbeda dengan banyak Gubernur-Jenderal lainnya, Maetsuycker diperkirakan beragama [[Katolik]].
Berbeda dengan banyak Gubernur-Jenderal lainnya, Maetsuycker diperkirakan beragama [[Katolik]].

Revisi per 30 Mei 2013 04.38

Carel Reyniersz
Potret Carel Reyniersz
Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda ke-12
Masa jabatan
1653–1678
Informasi pribadi
Lahir(1606-10-14)14 Oktober 1606
Amsterdam, Republik Belanda
Meninggal24 Januari 1678(1678-01-24) (umur 71)
Batavia, Hindia Belanda
KebangsaanBelanda
PekerjaanGubernur Kolonial
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Joan Maetsuycker (14 Oktober 1606 – 24 Januari 1678) adalah Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang ke 12. Ia memerintah antara tahun 16531678. Ia juga pernah menjabat sebagai gubernur Belanda di Zeylan (Ceylon) pada periode 1646-1650.[1]

Karir Di Pemerintahan Belanda

Maetsuycker belajar tentang hukum di Leuven. dan menjadi pengacara di kota The Hague (Den Haag), kemudian meneruskan karirnya di Amsterdam.

Pada tahun 1635, Maetsuyker ditugaskan ke Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1636 dengan menumpang kapal Prins Willem beliau meninggalkan Amsterdam dan sampai di Batavia pada 26 September 1636 dan menjabat sebagai kepala urusan rumah tangga di Dewan Keadilan (Raad van Justitie) di Batavia. Di tahun yang sama juga Maetsuyker menjadi presiden komite yatim piatu, kemudian pada tahun 1637 menjabat presiden dari akademi hukum kelautan. Karir Maetsuyker terus menanjak, pada tahun 1640 dia menjadi ketua dewan keadilan dan juga ketua dari urusan pengawasan dan kependudukan bangsa Cina.

Tanggal 13 Agustus 1641, beliau diangkat menjadi konsul kehormatan untuk Hindia Belanda. Saat menjabat posisi ini, beliau diajak oleh Gubernur Jenderal van Diemen untuk membuat suatu ketetapan hukum dan peraturan untuk penduduk Batavia. Peraturan dan hukum yang ditetapkan ini dikenal dengan istilah “Bataviasche Statuten”, dan mulai berlaku pada tanggal 5 Juli 1642. Statuta ini sendiri berlaku hingga pendudukan Inggris di Indonesia pada tahun 1811-1816, dan juga masih dipakai setelah masa English Interregnum hingga tahun 1828.

Tidak lama kemudian tepatnya pada tanggal 10 Agustus 1642, beliau memimpin ekspedisi ke Sri Lanka yang saat itu merupakan pusat perdagangan dari Portugis di Asia Selatan. Tujuan dari ekspedisi ini adalah membahas mengenai perbatasan antara wilayah VOC di Ceylon dengan Portugis di sana, termasuk aset-aset di dalamnya. Tahun 1646 hingga tahun 1650, Maetsuyker menjadi Gubernur di Ceylon. Tahun 1650, beliau kembali ke Hindia Belanda untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Hindia dan juga sebagai Direktur Jenderal VOC.[2]

Menjadi Gubernur Jenderal

Di masa kepemimpinannya, Maetsuyker memiliki ambisi kuat untuk memperluas wilayah VOC di Indonesia. Di masa kepimpinannya dia memiliki dua orang bawahan yang sangat setia yaitu Rijckloff van Goens dan Cornelis Speelman.

Langkah pertama yang diambil oleh Maetsuyker adalah mengincar Kerajaan Makassar di Sulawesi yang selama ini selalu menolak kerjasama dagang dengan VOC tetapi berhubungan dengan Portugis. Untuk memantapkan langkah tersebut, mula-mula adalah mengkondisikan kepulauan Maluku betul-betul sepenuhnya dikuasai oleh VOC. Karena itu VOC melakukan pengusiran kepada penduduk di Ambon dan juga pemusnahan tanaman cengkeh di Hoamoal, peristiwa ini dilakukan pada tahun 1656. Setahun kemudian VOC melakukan hal yang sama di Pulau Buru, penduduk di pulau itu diusir.

Setelah posisi VOC di kepulauan Maluku dapat diperkuat, maka VOC memasang pos di Manado untuk mengawasi lalulintas dagang antara Spanyol di kepulauan Filipina dengan Tidore. Penyerangan ke Makassar dimundurkan dari jadwal semula yaitu dari yang direncanakan pada tahun 1658. Hal ini disebabkan adanya pemberontakan di Palembang hingga menyebabkan kerugian di pihak VOC. Akibatnya terjadi perang antara VOC dan Palembang pada tahun 1658. Sementara itu pada tahun yang sama VOC membuat perjanjian damai dengan Kerajaan Banten.

Perang Gowa

Maetsuyker kembali ke ambisinya semula yaitu mengontrol Gowa. Tindakan awal yang dilakukannya adalah menghancurkan kekuatan pantai Gowa yang saat itu dilindungi oleh kapal-kapal Portugis. Serangan dilakukan pada bulan Agustus 1660. VOC akhirnya berhasil meluluhlantakan kapal-kapal Portugis di pelabuhan Makassar. Akibat dari kekalahan ini, raja Gowa saat itu Sultan Hasanuddin dipaksa menerima perjanjian damai dengan VOC.

Melihat bahwa Gowa sudah lemah karena angkatan perangnya dikalahkan oleh VOC, pemimpin kerajaan Bone (yang saat itu merupakan jajahan dari kerajaan Gowa) Arung Palakka memberontak kepada Hasanuddin dan memusatkan kekuatannya di Butung. VOC melihat pemberontakan Bone kepada Gowa merupakan celah yang bisa dimanfaatkan untuk menguasai Gowa secara keseluruhan. Karena itu pada tahun 1663, VOC mengajak Arung Palakka dan pengikutnya untuk pergi ke Batavia. Di Batavia, Arung Palakka dijanjikan bahwa Bone akan berdaulat sepenuhnya jika mau membantu VOC menghancurkan Makassar.

Kesepakatan antara Arung Palakka dan Maetsuyker akhirnya disetujui. Pada tahun 1666, dibawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman dibantu dengan tentara Bugis pimpinan Arung Palaka dan juga tentara Ambon pimpinan dari Kapten Jonker, menyerang Makassar. Tahun 1667, armada Speelman berhasil mendarat di Butung dan menghancurkan tentara Gowa di sana. Dari Butung, Speelman tidak mengarahkan armadanya ke Makassar tetapi langsung menuju Tidore (yang saat itu sudah tidak dilindungi oleh Spanyol) untuk memaksa perjanjian damai dengan VOC. Akibat tekanan yang diberikan oleh VOC Tidore bersedia menerima perjanjian tersebut,dan akhirnya Ternate dan Tidore sepenuhnya berada dalam kekuasaan VOC.

Kondisi tersebut diatas sangat menguntungkan VOC karena praktis Gowa tidak akan mendapat bantuan dari manapun, apalagi setelah sebelumnya pos Portugis di Larantuka dihancurkan oleh armada VOC dan akhirnya memaksa Portugis hengkang ke Lifau. Setelah mendarat di Butung, Arung Palakka kembali ke Bone dan mengobarkan revolusi melawan Gowa kepada rakyatnya. Dan pada tahun 1668 Gowa berhasil dikalahkan oleh koalisi VOC dan Bone. Dan pada tanggal 18 November 1668, dilakukan perjanjian antara Sultan Hasanuddin dengan VOC yang dikenal dengan Perjanjian Bongaya. Isi dari perjanjian tersebut adalah Kerajaan Gowa sepenuhnya berada di bawah kontrol VOC, dan pengaruh Raja Gowa adalah hanya sekitar kota Makassar dan tidak berhak mengontrol wilayah diluar kota.

Perjanjian ini membuat Hasanuddin berang, karena dianggap sangat merugikan kerajaannya. Akhirnya pada awal tahun 1669, dengan kekuatan terakhirnya Gowa melawan tentara VOC. Perlawanan hebat ini berakhir setelah Speelman mendapat bantuan dari Batavia dan berhasil menerobos Benteng terkuat Gowa saat itu, Somba Opu pada tanggal 22 Juni 1669. Akibat dari kekalahan ini, Sultan Hasanuddin akhirnya mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670. Dengan meninggalnya Sultan Hasanuddin, berakhirlah Perang Gowa, dan sejak saat itu Makassar dikuasai oleh VOC. Kemudian sesuai dengan janjinya, VOC pada tahun 1672 mengangkat Arung Palakka sebagai Raja Bone.

Berbeda dengan banyak Gubernur-Jenderal lainnya, Maetsuycker diperkirakan beragama Katolik.

Jasa-jasa Maetsuyker kepada pemerintah Belanda antara lain:

Referensi

  1. ^ Cahoon, Ben. "Dutch Governors". Worldstatesmen. Diakses tanggal 1 March 2013. 
  2. ^ http://gghindiabelanda.blogspot.com/2006/10/joan-maetsuycker-1653-1678.html Joan Maetsuycker

Lihat pula

Jabatan pemerintahan
Didahului oleh:
Carel Reyniersz
Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda
1653-1678
Diteruskan oleh:
Rijkloff van Goens